IMPLIKASI DAN PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP BENTUK TATANAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN TRADISIONAL KAWASAN MENARA KUDUS
MOHAMAD, TAUFIK (1996) IMPLIKASI DAN PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP BENTUK TATANAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN TRADISIONAL KAWASAN MENARA KUDUS. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO .
PDF - Published Version 6Mb |
Abstract
Kajian
ini bertitik tolak dari adanya anggapan, bahwa manusia sebagai kelompok
sosial dalam cara berhubungan dan berkomunikasi, bersosialisasi dengan
sistem kekerabatannya dan banyak lagi sifat-sifat manusia lainnya;
mempunyai pengaruh atas bentuk-bentuk lingkungan
Suatu bentuk "komunikasi" dasar budaya, yang secara fisik nampak sebagai
hasil dari aktifitas-aktifitas manusia, dikenal sebagai apa yang
disebut cultural landscape atau pola tata ruang budaya (Rapoport,
1977:346), yaitu sebuah ciptaan simbolis yang menggambarkan suatu sikap
sebagai manifestasi dari image ideal, visual dari karakter perilaku,
serta sistem simbol dari suatu kelompok masyarakat.
Pola tata ruang budaya dalam kenyataannya muncul di satu daerah
"kultural¬spesifik" yang memikul suatu karakter yang khas, yang
diakibatkan adanya suatu religi, kepercayaan atau tradisi, sehingga
mempengaruhi perilaku manusia (human behavior), keadaan jiwa (mood)
serta kepuasan (satisfaction) seseorang.
Dan kajian ini terungkap bahwa religi, kepercayaan atau tradisi
mempunyai pengaruh dominan dan image yang mendasari terjadinya
keputusan, antara lain menyangkut ekspresi fisik yang pada gilirannya
mempengaruhi lingkungan pemarkirnannya.
Penriukiman tradisional di kawasan Menara Kudus dalam kespesifikannya
sebagai permukiman kaum "santri", temyata masih "relatif' mampu bertahan
(resistance to change) dalam konstelasi peradaban yang semaldn maju.
Hal ini disebabkan adanya religi, kepercayaan serta tradisi yang
berkaitan dengan pengaruh tokoh (hero-local) yaitu Sunan Kudus.
Keberadaan Makam Sunan Kudus yang merupakan potensi dari kawasan ini
mampu menciptakan jiwa dan semangat (genius- loci) atau rasa ruang
kawasan.
Sinkretisme Hindu Jawa di Kudus menyebabkan makarn tokoh-tokoh lokal
dihormati atau dikeramatkan, sehingga lingkungannya menjadi disucikan,
religius, sangat eksklusif dan menjadikan daerah tersebut seakan menutup
diri terhadap orang luar yang tercermin dalam wadag fisik dan tata
ruangnya.
Dalam hal ini "lorong" dan "jalan pertolongan" yang berfungsi sebagai
sarana sirkulasi dan komunikasi temyata mampu menumbuhkan kesadaran
(cognized) dan gagasan-gagasan (idea) kolektif untuk memecahlcan masalah
lingkungan bersama, yang merupakan potensi bagi usaha pelestarian
kawasan.
Dengan demikian dasar budaya masyarakat relatif mapan (defensive) dan
mampu menseleksi penetrasi budaya luar; apalagi masyarakat Jawa dikenal
keandalannya dalam "sirdcretisrne" atau memadukan pengaruh luar untuk
disatukan dengan kepribadian dan jati dirinya yang asli (Sidharta &
Budihardjo, 1989).
Dalam upaya pengembangannya, tatanan lingkungan permulciman tradisional
kawasan Menara Kudus memerlukan pendekatan yang menyangkut aspek sosial
budaya (non deterministik) serta peraturan bangunan (building
regulation), sehingga kespesifikan lingkungan (fisik dan non fisik)
tetap terjaga kelestariannya dengan menjadikan kawasan ini sebagai
daerah "cagar budaya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar