PEMIKIRAN MANGKUNAGARA IV TENTANG KEPRAJURITAN
Abstract
The
purpose of this writing is to describe the military thoughts of
Mangkunagara IV in serat-serat piwulang . His military thoughts
emphasized on status and task of soldier, that could be clasified in two
categories, i.e. technical and ethical thoughts. Contextually, the
military thoughts connected to the condition of the Mangkunagaran in the
governmental period of Mangkunagara IV. At that time, Mangkunagara IV
was ordering the military. So, it could be concluded that the military
thoughts in serat-serat piwulang were the means of mental education of
Mangkunagaran soldier and the ethical foundation to support his on going
policy.
Key Words: Mangkunagara IV, military thought, Mangkunagaran Legion, Wirawiyata, Laksitaraja, Tripama.
1. Pendahuluan
Dalam
sejarah Jawa tradisional, di antara para penguasa Mangkunagaran,
Mangkunagara IV adalah pemimpin praja yang paling terkenal, karena
merupakan pribadi yang kompleks. Ia tidak hanya sebagai pemimpin praja,
tetapi juga seorang maecenas dan pujangga. Dalam kedudukannya sebagai
pemimpin praja, melalui kebijakan-kebijakannya dalam bidang
pemerintahan, perekonomian, dan kemiliteran, ia berhasil memajukan praja
Mangkunagaran; sebagai maecenas, ia adalah seorang pelindung seni yang
giat dan kreatif dalam mengembangkan kesenian Jawa; sebagai pujangga,
dengan karya-karyanya ia telah berjasa dalam mengembangkan kesusastraan
Jawa.
Dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin praja dan pujangga itu, Mangkunagara IV
telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam serat-serat piwulang, berupa ajaran-ajaran moral yang ditujukan kepada putranya, santana, narapraja, prajurit, dan kawula
Mangkunagaran. Sebagian dari pemikirannya telah menjadi objek kajian
dari beberapa ahli dengan berbagai pendekatan, antara lain: Soebardi
(1974), Simuh (1983), Koosinah Soerjono Sastrohadikusumo (1993), dan
Moh. Ardani (1995), yang masing-masing memberikan perhatian pada salah
satu karya monumentalnya yaitu Serat Wedhatama yang berisi tentang pemikiran filsafat dan bersifat religius.
Selain pemikiran yang terdapat dalam Serat Wedhatama,
bidang keprajuritan juga merupakan aspek yang menonjol dari pemikiran
Mangkunagara IV. Akan tetapi tampaknya perhatian terhadap hal itu belum
banyak diberikan oleh para ahli. Atas dasar pertimbangan itu, berbeda
dengan studi yang telah dilakukan, tulisan ini bertujuan untuk membahas
pemikiran Mangkunagara IV tentang keprajuritan yang tertuang dalam
karya-karya serat piwulang-nya, yaitu Serat Wirawiyata, Laksitaraja, dan Tripama
dari perspektif sejarah intelektual. Pembahasan difokuskan pada aspek
latar belakang, substansi, dan tujuan dari adanya pemikiran itu.
Menurut
Brinton (1985: 201), sejarah intelektual tidak semata-mata hanya
merupakan suatu ringkasan dari aspek pemikiran tertentu, tetapi mencoba
membahas pemikiran-pemikiran tokohnya dalam konteks masyarakat dan
kebudayaannya. Sejarah intelektual juga mencoba memahami
hubungan pemikiran-pemikiran itu dengan faktor-faktor nonintelektual
pada umumnya baik dalam sosiologi perseorangan maupun masyarakat.
Bertolak
dari pendapat di atas, maka dalam membahas pemikiran Mangkunagara IV
tentang keprajuritan perlu diungkapkan latar belakang sosial kultural
masyarakat di mana Mangkunagara IV hidup. Hal ini disebabkan oleh karena
lokasi sosial kultural sangat mempengaruhi pemikiran seseorang dan
pemikiran Mangkunagara IV tentang keprajuritan dapat diungkapkan
maknanya apabila ditempatkan dalam konteks sosial-kulturalnya.
Sehubungan dengan hal itu, perlu dilacak ikatan kultural pemikir
tercermin dalam pemikirannya, baik ciri-ciri maupun strukturnya,
pandangan dunia, kosmologi serta etosnya yang senantiasa mengkerangkai
alam pikirannya. Pendekatan kontekstual membantu mencari korelasi
pelbagai aspek kehidupan masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Dalam hal ini unsur-unsur biografi Mangkunagara IV sangat
membantu dalam pengidentifikasian itu (Kartodirdjo, 1992: 181). Dengan
demikian, pemikiran Mangkunagara IV tentang keprajuritan dapat dipahami
dalam hubungan dengan latar belakang sosial kulturalnya, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dijelaskan.
2. Profil Mangkunagara IV: Sebuah Perjalanan Karier dalam Bidang Keprajuritan dan Pemerintahan
Mangkunagara
IV yang ketika dilahirkan diberi nama Raden Mas Sudira adalah putra ke
tujuh Pangeran Hadiwijaya I. Ia dilahirkan pada 3 Maret 1811 di Dalem
Hadiwijayan Surakarta (“Kangdjeng Goesti …”: 6-7). Sejak lahir ia
dipungut sebagai putra oleh Mangkunagara II dan dibawa ke istana
Mangkunagaran. Pada masa kanak-kanak, sejak dini pada dirinya mulai
ditanamkan pendidikan yang berlaku di lingkungan keraton, yaitu
pendidikan yang berorientasi pada pembentukan pola kelakuan yang sesuai
dengan adat-istiadat Jawa, karena dalam masyarakat tradisional proses
pendidikan berpangkal pada prinsip bahwa fungsi pendidikan adalah
pelestarian tradisi serta kontinuitasnya dari generasi ke generasi
(Kartodirdjo, dkk., 1987: 100).
Setelah
sepuluh tahun menjalani proses sosialisasi dan enkulturasi di bawah
pengawasan Mangkunagara II, kemudian Raden Mas Sudira dititipkan kepada
kakak sepupunya Raden Mas Sarengat atau Pangeran Riya (kelak
menjadi Mangkunagara III) yang menganggapnya sebagai putra pertama
karena belum memiliki keturunan (“Punika Pemutan…”: 1). Pada masa di
bawah bimbingan Pangeran Riya inilah jiwa kepujanggaan dan kesatriaan
mulai ditanamkan pada diri Raden Mas Sudira.
Seperti
putra bangsawan lainnya, ia menjalani proses pendidikan yang penuh
dengan ajaran moral dalam nuansa budaya Jawa tradisional. Oleh karena
tujuan pendidikan pada waktu itu untuk mengembangkan kepribadian, maka
oleh pangeran Riya ia diberi pelajaran tentang etika, yaitu pelajaran
tentang bagaimana seseorang harus membawa diri, bersikap, dan melakukan
tindakan-tindakan agar dapat hidup menjadi pribadi yang baik
(Magnis-Suseno, 1999: 6).
Ia
juga diberi pelajaran menulis dan membaca karya sastra Jawa dari para
pujangga besar (“Punika Pemutan…”: 1), serta diperkenalkan dengan
kesenian Jawa, yaitu seni karawitan dan seni tari. Di kalangan keraton,
kedua bentuk kesenian itu memiliki nilai etis dan paedagogis, karena
merupakan bagian dari pendidikan untuk membentuk jiwa, budi pekerti, dan
tata krama yang luhur (Brakel-Papenhuyzen, 1991: 310 dan Soedarsono,
2000: 128).
Selain
etika dan kebudayaan Jawa, ia juga diberi pelajaran agama Islam, karena
hidup di lingkungan yang telah memiliki tradisi keagamaan yang telah
mapan. Menurut pengakuan Raden Mas Sudira seperti dituturkan dalam Serat Wedhatama,
ia sangat tertarik pada pelajaran agama Islam. Sebagai manifestasi dari
hasratnya untuk belajar ilmu agama, ia kemudian berguru kepada para
ulama. Akan tetapi, sebagai bangsawan, Raden Mas Sudira dihadapkan pada
pilihan lain, yaitu harus mengabdikan diri pada tugas-tugas dalam bidang
pemerintahan (“Wedhatama”, Pupuh Sinom bait ke- 12 : 118 ).
Berbeda
dengan masa kecilnya yang aman terlindung, masa remaja Raden Mas Sudira
dijalaninya dalam suasana prihatin. Ia harus melewati masa itu dengan
mengabdikan diri, yang merupakan mata rantai dalam proses pendidikan
dari putra bangsawan Jawa. Setelah dikhitankan pada usia tiga belas
tahun (1824), Raden Mas Sudira diabdikan ke istana Mangkunagaran, dengan
tujuan agar ia dapat belajar berinteraksi dengan orang lain dan lebih
mengenal lingkungan sosialnya.
Karier
militernya dimulai pada tahun 1826, ketika ia dimasukkan oleh Pangeran
Riya ke Legiun Mangkunagaran dalam usia lima belas tahun. Tidak lama
setelah memasuki dinas militer di bagian infantri, ia mendapatkan
kepercayaan untuk menduduki jabatan sebagai kepala detasemen di
kesatuannya (Titimangsa Wigati…: 74) Ini merupakan awal karier yang baik bagi dirinya, karena diberi kesempatan untuk belajar menjadi pemimpin.
Pada
saat meletusnya Perang Jawa (1825-1830) yang mendapatkan dukungan yang
besar dari para petani dan ulama, atas permintaan pemerintah Hindia
Belanda dibentuk pasukan gabungan yang terdiri atas prajurit Kasunanan
dan Mangkunagaran oleh Sunan Paku Buwana VI dan Mangkunagara II.
Kesatuan prajurit itu bersama-sama dengan pasukan pemerintah Hindia
Belanda bertugas untuk menjaga daerah yang berbatasan dengan Yogyakarta,
agar perlawanan yang dilancarkan oleh Pangeran Dipanagara tidak
menjalar ke wilayah Surakarta (Kartodirdjo, 1976: 233).
Sehubungan
dengan itu, pada tahun 1827 Raden Mas Sudira mendapatkan tugas
mengikuti kakeknya, Mangkunagara II, untuk membendung meluasnya
peperangan itu ke Surakarta. Bersama-sama dengan prajurit lainnya, ia
bertugas untuk berjaga di pos-pos pertahanan Belanda di wilayah Klaten
dan sekitarnya (Kangjeng Gusti …, 1936: 4-5). Sebagai seorang
prajurit yang masih muda dan belum memiliki pengalaman karena belum lama
mengabdi di dinas kemiliteran, hal ini merupakan suatu pengalaman yang
berharga.
Bagi
Raden Mas Sudira kehidupan militer yang penuh dengan kedisiplinan dan
suasana perang adalah ajang untuk menempa diri. Ia selalu memanfaatkan
kesempatan yang diberikan kepadanya dengan baik. Tampaknya ia adalah
orang yang selalu bersungguh-sungguh dalam menjalankan setiap peran yang
harus dimainkan. Bakat kepemimpinannya mulai terlihat dan orang mulai
memperhitungkan kecakapannya.
Adalah suatu hal yang wajar dan logis apabila tiga tahun setelah pengabdiannya di Legiun Mangkunagaran, ia diangkat menjadi kapten infantri dalam usia delapan belas tahun. Pengangkatan ini
merupakan suatu prestasi bagi Raden Mas Sudira, dan mungkin menjadi
catatan tersendiri dalam sejarah Legiun Mangkunagaran, karena ia
mencapai pangkat itu dalam usia sangat muda. Ia menggantikan kedudukan kakaknya, Raden Mas Subekti, yang harus kembali ke Dalem Hadiwijayan karena dilantik menjadi Pangeran Hadiwijaya II, menggantikan ayahnya, Pangeran Hadiwijaya I, yang telah meninggal dunia (Kangjeng Gusti…, 1936: 6).
Masih
dalam rangkaian dengan upaya untuk membendung meluasnya Perang Jawa, ia
kemudian mendapatkan tugas sebagai komandan. Ia memimpin lima puluh
orang prajurit bersenjata dari Legiun Mangkunagaran untuk ditempatkan di
pos pertahanan Gombang yang bertanggung jawab mengawasi daerah yang
telah ditakhlukan di kawasan Masaran bagian selatan selama dua setengah
tahun (Kangjeng Gusti …, 1936: 7). Hal ini merupakan prestasi
tersendiri bagi Raden Mas Sudira. Dengan penugasan itu berarti ia
mendapatkan kepercayaan dan sekaligus pengakuan terhadap kemampuannya
dalam bidang kemiliteran.
Selama
berada di medan perang, Raden Mas Sudira tentunya telah mendapatkan
berbagai pengalaman yang berharga bagi hidupnya dan memperluas cakrawala
berpikirnya, karena telah memiliki kesempatan untuk berkenalan secara
lebih dekat dengan masyarakat dari berbagai golongan. Ia sangat mengenal
kehidupan orang-orang desa dengan aktivitas pertaniannya di sawah. Ia
juga memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang Belanda
khususnya para perwira dan pegawai. Keberadaannya di berbagai tempat
telah mengakrabkan dirinya dengan lingkungan alamnya (Pigeaud, 1927:
239). Semuanya itu telah ikut membentuk karakter dan mentalnya. Kurun
waktu ini merupakan masa-masa yang terpenting dalam pembentukan
pribadinya sebagai negarawan. Oleh karena telah terbiasa
dengan disiplin militer dan mengetahui dengan baik keadaan rakyat
Mangkunagaran, maka dalam tahun-tahun yang penuh dengan kesukaran karena
adanya peperangan, ia berkesempatan untuk mengembangkan bakatnya di
bidang organisasi demi keamanan dan ketentraman praja Mangkunagaran.
Dengan
berakhirnya Perang Jawa, pada tahun 1832 Raden Mas Sudira ditarik
kembali ke istana Mangkunagaran dan melanjutkan pengabdiannya di legiun
Mangkunagaran. Oleh karena dianggap berhasil dalam menjalankan tugasnya
selama Perang Jawa, ia mendapatkan beberapa piagam penghargaan dan
bintang jasa dari pemerintah Hindia Belanda. Kemudian ia dinikahkan oleh
Pangeran Riya yang telah diangkat menjadi Pangeran Arya Prangwadana,
dengan salah seorang putri Pangeran Arya Suryamentaram yang lahir dari
seorang garwa padmi yang berasal dari Suryadipuran (Serat Sujarah Dalem Mangkunagaran, 1922: 23). Sejak perkawinannya itu ia menggunakan nama Raden Mas Arya Gandakusuma.
Pengangkatan
Pangeran Riya untuk menduduki pucuk pemerintahan praja Mangkunagaran
menggantikan kakeknya Mangkunagara II yang wafat pada tahun 1835,
memiliki arti penting bagi kelangsungan karier Raden Mas Arya
Gandakusuma. Hal ini disebabkan oleh karena ia selalu dipromosikan untuk
menduduki jabatan-jabatan strategis, yang membuka peluang baginya untuk
menduduki pucuk pemerintahan praja Mangkunagaran.
Di
bawah Mangkunagara III, praja Mangkunagaran memasuki lembaran baru
dalam bidang pemerintahan. Sebagai pemimpin praja, ia mulai mencurahkan
perhatian pada pembangunan keprajaannya. Organisasi pemerintahan
Mangkunagaran diatur dan ditata kembali menurut tatanan sebuah negara (kados adeging praja sejati), yaitu diadakan penataan wilayah kekuasaan praja Mangkunagaran, Dinas Kepolisian dan Pengadilan. Selain itu juga diangkat patih dengan pangkat bupati patih yang berkewajiban menjalankan roda pemerintahan (Pringgodigdo, 1938: 22; Pringgadigda, 1939: 26).
Untuk
menunjang kebijakan pemerintahannya, Mangkunagara III membutuhkan
personal-personal yang memiliki kemampuan yang memadai. Berkaitan dengan
itu, setelah cukup lama mengabdikan diri di Legiun Mangkunagaran dengan
berbagai pengalaman yang telah dimiliki, dan karena memiliki bobot
kepemimpinan yang tinggi, Raden Mas Arya Gandakusuma dipromosikan oleh
Mangkunagara III untuk berkarier di bidang pemerintahan.
Kariernya di pemerintahan dimulai dari jabatan patih
yang mengalami kekosongan, yaitu menggantikan kedudukan salah seorang
pejabat sebelumnya, Ngabehi Wignyawijaya, yang meninggal dunia. Setahun
kemudian ia juga diangkat menjadi pembantu terdekat Mangkunagara III
sebagai kapten ajudan, sekaligus bertugas mengurusi administrasi Legiun
Mangkunagaran, menggantikan Mas Kapten Ngabehi Jayapranata. Dengan kata
lain, pada saat itu ia menduduki jabatan rangkap. Akan tetapi, jabatan patih
dipangkunya dalam waktu yang tidak lama, karena ketika ia diangkat
menjadi mayor infantri yang secara khusus bertugas mengurusi
admisnistrasi Legiun Mangkunagaran, jabatan itu kemudian diserahkan
kepada Raden Ngabehi Mangkureja (Dalijana, 19939: 50).
Di
tangan Raden Mas Arya Gandakusuma Legiun Mangkunagaran mengalami banyak
kemajuan. Ini tidak lain karena ia memiliki dedikasi dan loyalitas yang
tinggi terhadap korpsnya, yang dilandasi oleh adanya keinginan untuk
memberikan yang terbaik pada praja Mangkunagaran, yaitu terwujudnya
ketentraman dan kesejahteraan. Berkat arahan dan bimbingannya, para
prajurit, khususnya para perwira, menjadi semakin mahir dalam berolah
senjata dan siasat perang. Dalam Sejarah Kanthi (1981: 142 dan
155) digambarkan bahwa ketrampilan berolah senjata prajurit Legiun
Mangkunagaran tidak berbeda dengan prajurit Belanda. Atas prestasi itu,
Mangkunagara III dan pemerintah Hindia Belanda semakin memberikan
perhatian terhadap kemampuannya. Adalah mudah dipahami, apabila di
kemudian hari pada tanggal 17 Mei 1850, karena semangat pengabdian dan
usahanya yang sungguh-sungguh untuk memajukan praja Mangkunagaran, ia
diangkat sebagai pangeran dengan gelar Pangeran Arya Gandakusuma. Ia
bertugas mengurusi administrasi praja Mangkunagaran (De Locomotief, 2 September 1881; Titimangsa Wigati ing Sejarah Mangkunegaran: 76).
Pengangkatan
ini mungkin merupakan suatu strategi dari Mangkunagara III agar saudara
sepupu yang juga putra angkatnya, Pangeran Arya Gandakusuma, memiliki
peluang untuk menggantikan dirinya di kemudian hari. Terlepas dari hal
itu, sebagai pribadi yang mempunyai ambisi, bagi Pangeran Arya
Gandakusuma pengangkatan ini merupakan kesempatan untuk menggapai
cita-citanya menduduki jabatan tertinggi di praja Mangkunagaran.
Peluang
untuk menduduki jabatan itu menjadi semakin terbuka setelah
Mangkunagara III meninggal dunia pada 6 Januari 1853 (AVRS 1953, ANRI),
apalagi setelah pemerintah Hindia Belanda lebih mendukung dirinya
daripada dua pangeran keturunan Mangkunagara III dari garwa ampil,
yakni Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Kusumadiningrat. Menurut
pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Arya Gandakusuma yang telah lama
mendapatkan kepercayaan, adalah figur yang dianggap paling pantas untuk
menggantikan kedudukan Mangkunagara III, walaupun bukan keturunannya.
Oleh karena itu, ia tetap akan diperjuangkan untuk menduduki pucuk
pemerintahan praja Mangkunagaran.
Mengingat
masih ada dua pangeran yang berhak menggantikan kedudukan Mangkunagara
III, agar suksesi kepemimpinan praja Mangkunagaran dapat berjalan mulus,
maka Residen Surakarta, Buschkens, mengadakan pendekatan dengan pihak
kerabat Mangkunagaran. Selain mengadakan pembicaraan dengan Pangeran
Arya Gandakusuma, ia juga melakukan pendekatan terhadap Pangeran
Natadiningrat, Pangeran Suryamijaya, dan Raden Ngabehi Mangkureja, agar
mendukung rencana pemerintah Hindia Belanda. Di samping itu, Buschkens
juga menyakinkan para pejabat pemerintah Mangkunagaran agar mempercayai
hal-hal yang akan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berjanji
tidak akan mengadakan perubahan-perubahan di praja Mangkunagaran yang
dapat merugikan kedudukannya (Sejarah Kanthi, 1981: 160, 161, dan 177).
Akhirnya,
harapan telah berubah menjadi kenyataan. Cita-cita Pangeran Arya
Gandakusuma telah tercapai setelah berdasarkan surat keputusan tanggal 8
Maret 1853, ia secara resmi diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda
menjadi pengganti Mangkunagara III dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Prabu Prangwadana, Letnan Kolonel Komandan Legiun
Mangkunagaran (Geheim Besluit van den 8 Maart 1853 No. La. L., M.N. IV no. 12A dan 93 dan AVRS 1853).
Kalau
diperhatikan, sebenarnya ada dua persoalan utama yang menyertai
pengangkatan pengganti Mangkunagara III beserta persyaratan yang harus
dimilikinya. Pertama, adanya harapan agar praja Mangkunagaran bersedia
bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diperlukan
seseorang yang mampu untuk menegakkan ketertiban dan pemerintahan.
Kedua, sepeninggal Mangkunagara III, walaupun pada masa pemerintahannya
telah dilakukan penataan pemerintahan, namun dapat dikatakan bahwa
kondisi administrasi praja Mangkunagaran masih buruk. Mangkunagara III juga meninggalkan hutang yang sangat besar kepada pemerintah Hindia Belanda (De Locomotief, 2 September 1881). Oleh karena itu, penggantinya diharapkan dapat langsung tampil untuk mengatur dan mengatasi persoalan itu.
Pangeran
Arya Gandakusuma yang memiliki kepribadian yang kuat, wawasan yang
luas, visi ke depan yang jelas, dan pengalaman serta ketrampilan dalam
bidang militer dan pemerintahan, dipandang dapat memenuhi berbagai
harapan dari pemerintah Hindia Belanda daripada Pangeran
Suryadiningat dan Pangeran Kusumadiningrat. Kedua pangeran itu dianggap
tidak pantas untuk menduduki pucuk pemerintahan praja Mangkunagaran.
Pangeran Suryadiningrat dianggap sering menyalahgunakan kekuasaan dan
Pangeran Kusumadiningrat adalah orang yang lemah, tidak tegas, serta
tidak disukai oleh kerabatnya. Menurut Residen Buschkens, walaupun
Pangeran Gandakusuma hanya sepupu Mangkunagara III, tetapi ia memiliki
kemampuan dan kesetiaan yang tinggi. Hal ini telah ditunjukkan dari
jasa-jasanya kepada pemerintah Hindia Belanda. (Geheim Besluit van den 8 Maart 1853 No. La. L.).
Dengan demikian, pemilihan Pangeran Arya Gandakusuma sebagai pengganti
Mangkunagara III dapat dipandang sebagai suatu keputusan politik yang
tepat. Ia pantas untuk menduduki pucuk pemerintahan praja Mangkunagaran.
Agar
tidak menimbulkan gejolak di kalangan istana Mangkunagaran, maka sesuai
dengan skenario pemerintah Hindia Belanda, dua bulan setelah diangkat
sebagai Pangeran Arya Prangwadana, ia menikah dengan Raden Ajeng Denok,
putri sulung Mangkunagara III dengan garwa padmi yang berasal
dari Suryamijayan. Dengan perkawinan ini diharapkan legalitas
pengangkatannya semakin diakui karena ia telah menjadi menantu
Mangkunagara III (“Commissoriaal beteffrende de planen tot
huwelijksvereneging van Pangeran Adipati Mangkoenegoro” dan Serat Babad ing Mangkoenagaran,
M.N. 1785: 151). Kemungkinan bagi pengangkatannya sebagai pemimpin
praja Mangkunagaran semakin terbuka, mengingat Mangkunagara III tidak
memiliki keturunan laki-laki dari garwa padmi. Kedudukannya
sebagai pemimpin praja Mangkunagaran semakin kuat setelah ia dinobatkan
sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV, Kolonel
Komandan Legiun Mangkunagaran pada 16 September 1857, berdasarkan surat
keputusan tanggal 16 Agustus 1857 dalam usia 46 tahun (PVRS 1857, ANRI, Serat Babad ing Mangkoenagaran: 155, dan Besluit 6 April 1860, ANRI).
Sebelum
menjadi pemimpin praja Mangkunagaran, tampaknya Mangkunagara IV telah
mencapai kematangan dalam berbagai bidang. Cita-citanya dapat diketahui
dari pandangan dan perilakunya. Ia sangat mencita-citakan terwujudnya
kelestarian dan peningkatan kejayaan praja Mangkunagaran seperti
tertuang dalam karya-karyanya. Hal ini disebabkan oleh karena ia sangat
menghormati para leluhurnya yang telah berjuang merintis, mendirikan,
menegakkan, dan membangun praja Mangkunagaran. Oleh karena itu, setelah
ia menduduki pucuk pemerintahan praja Mangkunagaran, sebagai seorang
negarawan, ia kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan
kebijakan-kebijakan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, dan
budaya. Ia menerapkan sistem pemerintahan, perekonomian, dan
keprajuritan moderen bagi keprajaannya.
Dalam bidang pemerintahan ia melakukan penataan birokrasi pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen di luar kasantanan dan legiun, yang disebut dengan kawadanan. Tiap-tiap kawadanan memiliki tugas yang berlainan dan dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut wadana (Tataning Pagaweyan…,
Reksa Wilapa M.N. IV No. 13). Dalam bidang perekonomian, dengan
memperbaiki sistem administrasi, pertanian, dan irigasi serta mendirikan
perusahaan, ia berhasil memperkuat perekonomian Mangkunagaran untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (Pringgodigdo, 1950). Dalam bidang
keprajuritan, ia memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
kemajuan Legiun Mangkunagaran. Hal ini dibuktikan dengan usahanya dalam
melakukan penataan Legiun Mangkunagaran yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas para prajuritnya. Untuk mencapai tujuan itu,
secara periodik ia melakukan evaluasi
terhadap perkembangannya, meliputi kedisiplinan, ketrampilan, dan
penampilannya. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa pada masa
pemerintahannya, Legiun Mangkunagaran mengalami perkembangan yang cukup
pesat dalam hal olah keprajuritan, sarana, dan prasarana kemiliteran
(Puguh, 2001).
Satu
hal yang tidak kalah pentingnya dari kemajuan dalam bidang
pemerintahan, perekonomian, dan keprajuritan adalah kemajuan dalam
bidang kebudayaan. Ia telah membawa perubahan dan perkembangan baru
dalam kehidupan kebudayaan di Mangkunagaran. Pendek kata, dalam masa
pemerintahannya selama 28 tahun, ia telah mengantarkan Mangkunagaran
pada zaman keemasan.
3. Pemikiran tentang Keprajuritan
3.1 Pemikiran Teknis Keprajuritan
3.1.1 Kriteria Pemilihan Prajurit
Dari
perjalanan karier dan perhatiannya yang besar dalam memajukan Legiun
Mangkunagaran, tampak bahwa Mangkunagara IV sangat memperhatikan tentang
keamanan dan ketahanan praja Mangkunagaran. Mengingat prajurit
merupakan suatu profesi yang bertanggung jawab dalam keamanan dan
ketahanan sebuah praja (kerajaan, negara), maka profesi ini tidak dapat
disandang oleh sembarang orang. Oleh karena itu, menurut Mangkunagara
IV, pemilihan prajurit harus dilakukan secara selektif dengan menerapkan
kriteria tertentu yang merupakan peraturan negara. Adapun
pelaksanaannya diserahkan kepada senapati (panglima perang) yang antara lain bertugas untuk mencari orang yang dapat dijadikan sebagai prajurit (“Wirawiyata”, Pupuh Pangkur bait ke-1: 26). Hal ini tidak lain karena dalam bidang keprajuritan senapati merupakan orang pertama di bawah raja, walaupun pangkatnya di bawah patih
(Soeratman, 1989: 7). Mengapa Mangkunagara IV begitu menekankan
pentingnya melakukan pemilihan prajurit secara selektif? Karena menurut Serat Panitisastra
seorang raja berkewajiban mengawasi tingkah laku prajurit dengan cermat
(Sudewa, 58). Dengan kata lain, pemilihan prajurit secara selektif itu
merupakan bagian awal dari pengawasan yang dilakukan oleh seorang raja.
Sehubungan
dengan itu, Mangkunagara IV menjadikan aspek badaniah dan perangai
fisik sebagai bahan pertimbangan dalam memilih prajurit. Persoalan ini
tampaknya telah menjadi kecenderungan umum dalam serat-serat piwulang. Dalam beberapa karangan antara lain Serat Rama dan Serat Wara Isjwara,
disebutkan bahwa keseimbangan badaniah dan perangai fisik merupakan
unsur penting dalam pemilihan pegawai. Ini merupakan salah satu sebab
mengapa ngelmu firasat (pengetahuan untuk menentukan watak berdasarkan firasat) senantiasa penting bagi orang Jawa (Moertono, 1985: 59).
Seperti disebutkan dalam Serat Wirawiyata (Pupuh Pangkur bait ke-2 dan 3: 27), ada tujuh hal yang perlu diperhatikan dalam memilih prajurit agar berhasil membentuk prajurit yang utama (mrih utama adegireng prajurit), yaitu:
· Naluri (Asal-usul)
Dalam memilih prajurit harus diperhatikan asal-usulnya. Secara genealogi ia tidak berasal dari kalangan sudra. Sudra adalah kasta terendah dalam agama Hindu. Menurut penulis, pengertian kata “sudra”
di sini adalah orang yang bermartabat rendah dan berperilaku nista.
Dengan demikian, menurut Mangkunagara IV orang yang dapat menjadi
prajurit adalah orang yang bermartabat dan berperilaku utama. Apabila
orang yang menjadi prajurit tidak bermartabat dan berperilaku utama,
maka dikhawatirkan ia tidak akan dapat menjadi prajurit yang baik.
· Bumi Kelairan (Tanah Kelahiran)
Calon
prajurit adalah orang yang lahir di negara tempat seseorang akan
mengabdi. Orang yang bertanah kelahiran di luar praja (negara) tidak
dapat dipilih menjadi prajurit. Hal ini didasari oleh pertimbangan
logis, bahwa prajurit harus setia kepada tanah airnya. Orang yang
bertanah air di luar tempat ia mengabdi sebagai prajurit, kurang
memiliki kecintaan terhadap bangsa dan negaranya, sehingga kesetiaan
kepada bangsa dan negaranya pun juga patut dipertanyakan.
· Tanpa cacad dhiri (Tidak Cacat)
Dalam
memilih prajurit harus diperhatikan keadaan fisik dan rohaninya. Orang
yang cacat baik secara fisik maupun mental, tidak dapat dipilih menjadi
prajurit. Apabila dibandingkan dengan orang normal, pada orang cacat
terdapat kekurangan yang dapat menghambat seseorang dalam menjalankan
tugas dan kewajiban keprajuritannya.
· Otot-balungira (Bentuk Tubuh)
Bentuk
tubuh seseorang juga menjadi pertimbangan untuk menjadi prajurit. Oleh
karena profesi prajurit memerlukan tenaga yang banyak, maka orang
berperawakan kekar dan kuat yang dapat dipilih menjadi prajurit.
· Tanpa Penyakit (Kesehatan)
Kesehatan
merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi prajurit. Tugas dan
kewajiban prajurit hanya dapat dilakukan oleh sesorang yang memiliki
kesehatan tubuh yang baik. Dengan demikian, hanya orang sehat yang dapat
diterima menjadi prajurit. Sebaliknya, orang yang berpenyakit tidak
dapat dipilih menjadi prajurit, karena gangguan kesehatan akan
menghambat pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
· Sawang-suwung (Penampilan)
Dalam
pandangan masyarakat Jawa, prajurit digambarkan sebagai sosok yang
gagah berani. Oleh karena itu, dalam memilih prajurit juga perlu
diperhatikan penampilannya. Orang yang berpenampilan tegap dan gagah
dapat dipilih menjadi prajurit, sebaliknya orang yang lemah gemulai
kurang cocok untuk menjadi prajurit.
· Pakareman (Kebiasaan atau Kegemaran)
Kebiasaan atau kegemaran juga menjadi kriteria dalam pemilihan prajurit. Orang yang memiliki kebiasaan merusak dirinya sendiri (pakareman kang mlarati raganipun) dan merugikan orang lain (wateke wantaleng kardi)
tidak dapat diterima menjadi prajurit. Dalam masyarakat Jawa beberapa
kebiasaan yang dapat merusak diri sendiri dan merugikan orang lain,
seperti disebutkan dalam Serat Wulang Reh (Darusuprapto, 1985: 56) dikenal dengan istilah ma lima (lima M), yaitu madat (mengonsumsi candu), madon (bermain wanita), minum (minum minuman keras), main (berjudi), dan maling (mencuri).
Apabila
ketujuh persyaratan itu telah terpenuhi, seseorang baru dapat diangkat
menjadi prajurit yang mendapatkan kepercayaan dari negara dalam hal
pertahanan dan keamanan negara. Lima di antara tujuh persyaratan itu
oleh Mangkunagara IV ditetapkan sebagai peraturan untuk menjadi prajurit
Legiun Mangkunagaran pada tahun 1880 (Arsip Reksa Wilapa Mangkunagaran
Surakarta M.N. IV No. 78).
Oleh karena prajurit merupakan abdi dalem
yang harus selalu siap dalam menjalankan tugas dan kewajiban, maka
Mangkunagara IV memandang perlu bahwa orang-orang yang diterima menjadi
prajurit, sebelumnya harus diperkenalkan dengan tugas dan kewajiban
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dengan demikian, ada ketepatan
penempatan setiap personal dalam bidang tugasnya, sehingga setelah
diangkat menjadi prajurit, ia dapat menjalankan tugas dan kewajibannya
dengan baik untuk kepentingan negara.
Sehubungan
dengan hal itu, Mangkunagara IV mengadakan pemilahan tugas sesuai
dengan kondisi dan potensi dari masing-masing prajurit. Pemilahan itu
didasarkan pada kecocokan antara bentuk tubuh prajurit dengan peralatan
atau persenjataan yang digunakan, seperti terungkap dalam petikan tembang Pangkur bait ke empat berikut ini.
Kawuse pamilihira,
Pamintane mring wong sawiji-wiji,
Pinantes cecekelanipun,
Rujuke lan sarira,
Pangulahe warastra ywa kongsi rikuh,…
( “Wirawiyata”: 27)
|
Terjemahan:Setelah pemilihan (prajurit),Perlakuan terhadap tiap-tiap orang,
Disesuaikan pegangannya (senjata),
Disesuaikan dengan tubuhnya,
Penggunaan panah (senjata) jangan sampai canggung,…
|
Menurut
Mangkunagara IV, orang yang memiliki tinggi badan sedang atau yang
berbadan pendek kecil biasanya terampil, cekatan, tangkas, dan sigap. Ia
juga mampu mengatasi segala persoalan dan situasi karena memiliki watak
nora kewran sabarang pakewuh dan aluwes tur mitayani. Dengan ciri-ciri perwatakan seperti itu, ia cocok untuk memegang senjata.
Orang yang badannya semampai (lencir) kebanyakan kurang lincah, sebaiknya dipersenjatai dengan tombak (lawung) karena jangkauan tangannya panjang. Orang yang berciri-ciri tubuh demikian juga dapat melompati selokan rintangan (jagang), pandai memasang tangga, dan mampu memanjat benteng baluwarti.
Orang yang berperawakan gagah agak pendek (sadhepah),
tulang ototnya tampak menonjol lebih cocok diserahi tanggung jawab
untuk mengurus meriam. Hal ini disebabkan oleh karena prajurit yang
memiliki bentuk tubuh sadhepah, memiliki watak sanggup menggantikan (wateke kelar nggenteni). Ia
dianggap lebih dapat mengarahkan meriam pada sasaran, dan apabila
meriam terjerembab di dalam lumpur, ia akan dapat mengusungnya, serta
apabila kuda penarik meriamnya lumpuh, ia akan mampu menggantikannya.
Orang yang berperawakan tinggi perkasa (kang luhur sembada)
cocok untuk menjadi prajurit berkuda (kavaleri). Hal ini dilandasi oleh
sebuah pemikiran bahwa orang yang berperangai demikian akan lebih mudah
menunggang dan mengendalikan kuda (agampang panitihipun dan klar nembadani kuda)
daripada orang yang bertubuh pendek. Selain itu, ia akan memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam menggunakan senjata pedang apabila
berhadapan dengan musuh yang juga menunggang kuda.
Orang yang berperawakan serba baik dan berkemampuan serba bisa (mandraguna) dapat ditugasi di berbagai bidang (mragong sajuru margi), karena memiliki banyak akal (tan kewran ing pangreka). Ia dapat membuat tenda-tenda peristirahatan (kuwu-kuwu), benteng pertahanan, dan jembatan. Selain itu, ia biasanya juga memiliki ketrampilan memanjat dan berenang (“Wirawiyata”, Pupuh Pangkur bait ke- 5-9: 28-29).
Pemilahan
prajurit tersebut menunjukkan adanya kesamaan dengan pembagian
kesatuan-kesatuan dalam korps militer Legiun Mangkunagaran yang dibagi
menjadi tiga kesatuan, yaitu infantri, kavaleri, dan artileri (Aukes,
1935: 252).
Dari
uraian di atas tampak bahwa Mangkunagara IV menguasai
persoalan-persoalan teknis keprajuritan. Pemikirannya tentang kriteria
calon prajurit dan pemilahan bidang-bidang keahliannya merupakan
refleksi dari pengalamannya selama mengabdi di Legiun Mangkunagaran yang
kemudian dituangkan dalam serat piwulang.
3.1.2 Profesionalisme Prajurit
Sebagai
pemimpin praja yang telah memiliki pengalaman dalam bidang kemiliteran,
Mangkunagara IV menekankan pentingnya profesionalisme seorang prajurit.
Menurutnya, untuk membentuk prajurit yang profesional harus dimulai
dari proses seleksi penerimaan prajurit. Artinya, seleksi harus
dilakukan secara benar dan hanya orang yang memenuhi syarat saja yang
dapat diterima menjadi prajurit ( “Wirawiyata” Pupuh Pangkur
bait ke- 2 dan 3: 27). Dengan seleksi yang benar, maka akan didapatkan
calon-calon prajurit pilihan yang tentunya akan dapat dibentuk menjadi
prajurit yang profesional. Oleh karena itu, Mangkunagara IV menegaskan
kepada rakyat Mangkunagaran, bahwa barang siapa yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai prajurit tidak usah menjadi prajurit, karena akan
merugikan negara dan memalukan raja (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom
bait ke- 24: 18). Penegasan Mangkunagara IV ini perlu dipahami dalam
kerangka untuk mendapatkan prajurit yang profesional dalam korps
keprajuritan yang dimilikinya.
Calon-calon
prajurit yang telah lulus seleksi itu kemudian harus diperkenalkan
dengan bidang tugasnya masing-masing sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Sejak saat itu, pada mereka harus diterapkan peraturan dan
disiplin yang berlaku pada militer, sehingga pada saat dilantik dan
diambil sumpahnya di hadapan para pembesar negara, prajurit telah
memiliki kemantaapan hati untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan cermat dan hati-hati (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke-2 dan 3: 8). Tanpa adanya hal itu, keinginan untuk membentuk prajurit yang profesional tidak akan terwujud.
Untuk
membentuk prajurit yang profesional, Mangkunagara IV menekankan
pentingnya prajurit memiliki kedisiplinan yang tinggi, kesetiaan dan
kepatuhan pada peraturan, serta kesediaan untuk menjaga kehormatan dan
nama baik diri sendiri dan leluhurnya. Sikap-sikap itu harus ditanamkan
dalam diri mereka sedini mungkin.
Mengingat
bertempur di medan perang merupakan tugas utama prajurit, maka ia harus
menguasai aturan kemiliteran, memiliki ketrampilan keprajuritan yang
baik dan mentalitas keprajuritan yang tangguh. Untuk itu, menurut
Mangkunagara IV, prajurit harus belajar teori dan praktik, mengetahui
tata tertib dan etiket militer, serta melakukan latihan fisik dan mental
keprajuritan. Semua itu perlu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan
profesionalisme prajurit yang tentunya akan sangat menunjang tugas dan
kewajiban yang diembannya, seperti diungkapkan dalam kutipan berikut
ini.
Dene jejere wandanta,
Ing mengko dadi prajurit,
Maju baris lawan jaga,
Teori les lan sepeksi,
Iku dudu pakarti,
Ajar-ajar jenengipun,
Wus dadi wajibira,
Prajurit dipungeladhi,
Papadane santri ingajar sembahyang.
|
Terjemahan:
Ini sebuah gambaran,
Jika nanti menjadi prajurit,
Berbaris dan berjaga,
Teori dan inspeksi,
Itu bukan keutamaan,
Belajar namanya,
Sudah menjadi kewajibanmu,
Prajurit (harus) dilatih,
Seperti santri diajar sembahyang.
|
Sinung kukum sawatara,
Yen nglirwaken marang wajib,
Iku wus lakune praja,
Jejege kalawan ngadil,
Sanadyan liyan janmi,
Duk neng yayah renanipun,
Yen luput rinengonan,
Utawa den jemalani,
Dadi iku wineruhken tata krama.
(“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 21 dan 22: 17).
|
Diberi hukuman sementara,
Kalau melalaikan kewajiban,
Itu sudah menjadi peraturan negara,
Untuk menegakkan keadilan,
Walaupun orang lain,
Pada anak cucunya,
Apabila bersalah diperingatkan,
Atau diberi hukuman,
Jadi ditunjukkan tentang tata krama.
|
Selain
itu, prajurit juga harus menguasai pengetahuan tentang taktik dan
strategi perang. Untuk meningkatkannya, seperti disebutkan dalam Serat Laksitaraja, prajurit perlu diberi pelajaran dan pelatihan yang memfokuskan pada seluk-beluk peperangan (ginulang wadining aprang) (Serat Laksitaraja,
bait ke-25). Ia harus mengetahui tentang hukum yang berlaku di
lingkungan profesinya dan dalam peperangan. Prajurit yang berhasil
menumpas para perusuh layak diberi penghargaan sesuai dengan
pengabdiannya, sebaliknya bagi prajurit yang melakukan makar berontak,
melanggar disiplin, desersi layak diberi hukuman yang setimpal dengan
pelanggarannya. Apabila melakukan kesalahan yang berat dapat diberi
hukuman yang berat termasuk hukuman mati (Serat Laksitaraja, bait ke- 26).
Dalam
kaitannya dengan peningkatan mental keprajuritan, Mangkunagara IV
menegaskan bahwa prajurit dilarang bersikap sombong, tidak dewasa,
merasa penting dan diperlukan oleh negara, seperti tampak pada kutipan
di bawah ini.
……………………
Amung sira pribadi,
Kang duwurken piangkuh,
Mung lagi bisa aba,
Anggepmu butuhken nagri,
Ywa kabanjur duwe cipta kang mangkana.
(“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke-24: 18).
|
Terjemahan:
……………………
Hanya Anda pribadi,
Yang tinggi hati,
Hanya bisa aba-aba,
Merasa dibutuhkan negara,
Jangan memiliki anggapan yang demikian.
|
3.1.3 Unsur-unsur Pendukung Prajurit
Mangkunagara
IV berpendirian bahwa pasukan dapat dikatakan kuat apabila ada
keterpaduan antara prajurit, perlengkapan, dan pendukungnya. Di samping
memiliki ketrampilan dan kemampuan keprajuritan yang memadai, prajurit
harus memiliki perlengkapan dan sarana pendukung yang memadai pula
(Bratasiswara, 1998: 50). Bertitik tolak dari pemikiran itu, maka perlu
diadakan pemilahan bidang-bidang pendukung keprajuritan yang memiliki
tugas pokok, yaitu mengadakan, memelihara, dan meningkatkan sarana dan
prasarana yang diperlukan oleh pasukan, seperti pakaian, persenjataan,
dan lain-lain.
Menurut Mangkunagara IV, unsur-unsur pendukung yang perlu dipersiapkan dalam bidang keprajuritan adalah: gerji (penjahit pakaian) dan puntu (pemintal benang) yang bertugas menyiapkan tempat-tempat senjata; tukang samak yang bertugas menyiapkan barang-barang yang dibuat dari kulit; sayang (pembuat barang dari tembaga) dan tukang marakas bertugas menyiapkan berbagai perlengkapan prajurit; mranggi (pembuat keris) dan kemasan (pembuat barang dari emas) tugasnya menyiapkan senjata untuk bertempur; pandhe (tukang besi) dan undhagi (tukang kayu) bersama mranggi dan kemasan menyiapkan perbekalan pertempuran.
Sebagai bukti dari adanya pembagian unsur-unsur pendukung keprajuritan terdapat dalam tembang berikut ini.
Yogyane malih ngumpulna,
Para tukang kang kanggo mring prajurit,
Greji lawan tukang puntu,
Karya busana wastra,
Tukang nyamak menjait pakaryanipun,
Parabot kang bangsa carma, tukang tapel lawan nyingi.
|
Terjemahan:
Sebaiknya juga mengumpulkan,
Para tukang yang berguna bagi prajurit,
Greji dan tukang puntu,
Membuat pakaian dan tempat (senjata),
Tukang samak pekerjaannya menjahit,
Perlengkapan yang dibuat dari kulit,
Tukang tapel dan nyingi.
|
Sayang lan tukang marakas,
Miranteni bekakasing prajurit,
Pandhe miwah tukang kayu,
Mranggi lawan kemasan,
Ingkang karya gagamanireng prang pupuh,
Sadaya dipunsamapta
Rehning rumekseng prajurit
(“Wirawiyata”, Pupuh Pangkur bait ke- 10-11: 29-30).
|
Sayang dan tukang marakas,
Melengkapi peralatan prajurit,
Pandhe dan tukang kayu,
Mranggi dan kemasan,
Yang membuat persenjataan perang,
Semua dipersiapkan,
Karena melayani prajurit.
|
Dari
kutipan itu tampak bahwa Mangkunagara IV memanfaatkan kelompok-kelompok
pekerja yang ditugaskan untuk membuat barang-barang tertentu atau
perlengkapan-perlengkapan lain yang diperlukan kraton untuk mendukung
bidang keprajuritan.
Perlu ditambahkan, Mangkunagara IV pada bagian akhir dari Serat Wirawiyata juga menyatakan tentang pentingnya adanya cadangan perbekalan (andhungan)
yang mencukupi. Mengingat bahwa tugas menjaga ketahanan negara harus
dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan bahaya yang mengancam suatu
negara tidak dapat diperkirakan sebelumnya (tan wruh sangkaning bilahi), maka prajurit harus dilengkapi dengan perbekalan yang memadai, yaitu paling sedikit dua kali lipat (tikel kalih)
dari keperluan biasa atau keadaan normal. Cadangan yang dimaksudkan
adalah persenjataan, obat-obatan, mesiu, dan sebagainya, seperti
tertuang dalam cuplikan tembang Pangkur bait ke-12 di bawah ini.
Liya kang wus kanggweng wadya,
Aja sepi andhungan tikel kalih,
Gagaman saprantinipun,
Tuwin busana wastra,
Obat mimis kang cukup den anggo nglurug,
Awit rumeksa ing praja,
Tan wruh sangkaning bilahi
(“Wirawiyata”: 30).
|
Terjemahan:
Hal lain yang diperlukan oleh pasukan,
Jangan dilupakan perlengkapan berlipat dua,
Persenjataan dan perlengkapannya,
Beserta tempat senjata,
Mesiu yang cukup untuk menyerang,
Karena menjaga pertahanan keamanan negara,
Kedatangan musuh tidak dapat diketahui.
|
Perlengkapan
dan sarana pendukung prajurit seperti yang telah disebutkan di atas
perlu dipersiapkan dengan baik, karena kesiapannya akan memberikan
ketenangan bagi prajurit. Hal ini ditegaskan juga oleh Mangkunagara IV
dalam Serat Laksitaraja, tembang Kinanthi bait ke-25 yang berbunyi:
Sawelas samektanipun,
Ngunggar manahing prajurit,
Boga busana warastra,
Samepta tan nguciwani,
Ginulang wadining aprang,
Mrih daya rumekseng nagri.
|
Terjemahan:
Kesebelas yang perlu dilakukan,
Memberikan ketenangan hati prajurit,
Makanan, pakaian, persenjataan,
Dipersiapkan agar tidak mengecewakan,
Dilatih seluk-beluk perang,
Agar mampu menjaga negara.
|
Dari cuplikan tembang di atas tampak bahwa perlengkapan keprajuritan yang meliputi logistik (boga), pakaian (busana) dan persenjataan (warastra)
harus dipersiapkan sebaik mungkin. Logistik yang meliputi makanan,
minuman, dan obat-obatan perlu dipersiapkan dalam jumlah, mutu, dan
ketepatan dalam penyajiannya. Pakaian perlu diupayakan kesiapan,
kerapian, dan keterawatannya, sehingga dapat dipergunakan sewaktu-waktu
apabila diperlukan. Begitu halnya dengan persenjataan yang perlu
dipersiapkan dan dirawat dengan baik pula. Kesemuanya itu perlu
dilakukan semata-mata untuk memberikan kemantapan bagi prajurit dalam
menjaga pertahanan dan keamanan negara.
Dari
uraian di atas tampak bahwa dalam pemikiran Mangkunagara IV terkandung
sebuah pemikiran tentang organisasi kemiliteran moderen. Hal ini dapat
dipahami karena ia banyak bergaul dengan orang-orang Eropa dan telah
memiliki pengalaman militer bertahun-tahun di Legiun Mangkunagaran yang nota bene merupakan sebuah korps keprajuritan Jawa yang diorganisasi secara moderen.
3.2 Pemikiran Etis Keprajuritan
3.2.1 Kesetiaan kepada Raja, Negara, dan Janji Prajurit
Kesetiaan
prajurit ditunjukkan dari darma bakti, pengabdian, dan pengorbanannya
kepada negara. Oleh karena itu, Mangkunagara IV menandaskan bahwa
prajurit harus senantiasa mengedepankan darma baktinya terlebih dahulu
tanpa perlu tergesa-gesa untuk meraih pangkat dan kedudukan. Seseorang
yang ingin mencapai pangkat dan kedudukan tertentu harus telah
menunjukkan darma baktinya kepada negara (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 8:10).
Konsep tentang kesetiaan dan pengabdian prajurit terdapat dalam Serat Tripama.
Dalam karya itu, Mangkunagara IV menampilkan teladan sikap keprajuritan
tiga tokoh wayang dalam wiracarita Arjunasasrabahu, Ramayana, dan
Mahabarata, yaitu Suwanda (Sumantri), Kumbakarna, dan Suryaputra (Karna
Basusena) (“Tripama”, 1934: 3-6).
.Sumantri
adalah putra seorang resi dari Padepokan Jatisarana yang bernama
Suwandagni. Seluruh hidupnya didarmabaktikan untuk kepentingan bangsa
dan negaranya, karena ia adalah senapati yang bertugas membentengi
negara dari berbagai ancaman. Ia adalah pembela keadilan
dan pembasmi keangkaramurkaan. Tindak tanduknya penuh dengan
keteladanan. Pendiriannya kuat, dedikasi dan loyalitasnya tinggi.
Berdasarkan sifat-sifat itu ia rela berkorban demi pengabdian kepada
rajanya, gugur sebagai pahlawan melawan Rahwana.
Bagi
Sumantri hasrat agar disenangi raja adalah motif pokok dari semua
perbuatannya yang bersifat kepahlawanan. Baginya tidak ada tugas yang
berat untuk kesenangan raja. Ia rela mengorbankan hidupnya dengan
berperang untuk kepentingan raja. Sumantri berperang karena tugas
kesatria adalah berperang. Ia gugur sebagai pahlawan adalah untuk
mengabdi kepada raja.
Dalam
contoh yang kedua, Mangkunagara IV menampilkan kepahlawanan Kumbakarna.
Kumbakarna berjuang tanpa pamrih, bukan untuk kepentingan derajat dan
kedudukan. Dia berjuang semata-mata karena kecintaan kepada tanah
airnya. Ia berperang tidak untuk menang, tetapi merupakan pengabdian
yang terakhir bagi nusa dan bangsanya. Pakaiannya yang berwarna putih
pada saat berperang melambangkan tekadnya yang suci bahwa ia rela mati
demi negaranya.
Kumbakarna
juga berjuang, karena berjuang adalah tugasnya. Ia tahu bahwa
perjuangannya akan sia-sia, karena Rama sebagai titisan Wisnu akan
menang. Kumbakarna berperang demi perang itu sendiri. Ia berjuang tidak
untuk mengabdi kepada raja karena ia menyalahkan perbuatan rajanya,
bahkan mencelanya karena akan mengorbankan kebahagiaan rakyat dan
negaranya untuk memenuhi keserakahannya. Namun Kumbakarna memilih mati
sebagai pahlawan, karena ia tidak mau melihat bencana yang menimpa tanah
airnya. Ia mengorbankan hidupnya demi negaranya. Dalam kasus
Kumbakarna, perang yang dibenarkan untuk dapat dikatakan gugur sebagai
pahlawan adalah berperang demi negaranya.
Karna
Basusena adalah putera Dewi Kunti dengan Dewa Surya, yang kemudian
diasuh dan dibesarkan oleh Adirata dan Nanda di Kerajaan Hastinapura.
Oleh karena kecakapanan dan kemampuannya dalam berolah senjata, ia
diangkat sebagai saudara dan diberi kedudukan yang terhormat oleh
Duryudana. Ia adalah seorang senapati (panglima perang) yang
berperang membela Hastinapura yang telah memberikan kemuliaan, kekayaan,
dan kehormatan kepada dirinya. Bagi Karna Basusena, kewajiban prajurit
sejati adalah bertempur di medan laga. Ia menyadari bahwa tidak akan
menang berperang melawan saudaranya, Arjuna, namun tekadnya yang bulat
bahwa melalui Baratayuda angkara murka di muka bumi akan lenyap, dan
dengan peperangan itu dia akan dapat menjalankan darma dan karmanya.
Karna
Basusena sama juga dengan dua tokoh sebelumnya yang harus berjuang
karena dirinya seorang pejuang dan merupakan kewajibannya. Oleh karena
ia tahu bahwa harus berperang melawan saudaranya sendiri, maka tangis
ibunya agar tidak berbuat demikian tidak dapat mencegah dia untuk
berperang. Berperang adalah kewajibannya sebagai kesatria. Karna
Basusena adalah seorang raja, maka ia berperang bukan untuk mengabdi
kepada raja. Ia juga tidak berperang demi negaranya. Ia gugur bukan
karena ia berbakti kepada raja dan tanah airnya, melainkan gugur demi
janji atau sumpah yang telah diucapkannya untuk membalas budi kepada
orang yang telah memberikan kemulian kepadanya.
Walaupun
ketiga tokoh pewayangan tersebut berbeda dalam status, peranan dan
lingkungan sosial serta kedudukan kenegaraannya, Sumantri di bawah raja
yang arif bijaksana Harjunasasrabahu, Kumbakarna di bawah Rahwana raja
angkara murka lambang kejahatan, dan Karna Basusena di bawah Duryudana
raja yang licik dan serakah, namun ketiganya mempunyai persamaan yaitu
masing-masing rela mengorbankan jiwa dan raganya yang dilandasi dengan
jiwa kewiraan untuk memayu hayuning bawana (menciptakan kedamaian dunia).
Mangkunagara
IV menyadari bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki kelemahan
masing-masing yang menurut pandangan umum masyarakat Jawa harus
dihindari. Sumantri yang berani menantang rajanya. Kumbakarna yang
berwujud raksasa yang tentunya wataknya diwarnai oleh sifat-sifat amarah, aluamah, dan supiah
yang merupakan sifat kurang baik bagi seseorang. Karna Basusena yang
berani menentang ibunya dan sampai hati menghadapi adiknya di medan
peperangan adalah satu sikap angkuh dan sombong di hadapan masyarakat
Jawa. Namun seperti diketahui, bahwa sifat baik dan buruk itu merupakan
sesuatu yang melekat pada diri setiap orang yang tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi manusia dalam kehidupannya. Apalagi kelemahan-kelemahan
ketiga tokoh tadi telah ditebus dengan darma baktinya, yaitu nuhoni trah utama pada diri Sumantri, nuhoni kesatriyane hing tekad labuh negari pada Kumbakarna, dan ciptanira harsa males sih
pada Karna Basusena, sehingga ketiganya pantas dijadikan sebagai
teladan suatu sikap keprajuritan (Moeljoto dan Saparinah, 1992).
Mangkunagara
IV memandang sosok prajurit sejati terdapat dalam gabungan dari ketiga
tokoh pewayangan itu. Tokoh Sumantri merupakan sosok prajurit yang
berbakti dan sangat loyal kepada rajanya. Kumbakarna adalah sosok
prajurit yang rela berkorban demi kelestarian dan keutuhan bangsa dan
negaranya. Karna Basusena adalah profil prajurit yang setia akan
janjinya, yang rela berkorban demi seseorang yang telah memberikan
kedudukan kepadanya (Boedihardjo, 1935). Ia menekankan perlunya
sifat-sifat seperti itulah yang harus dimiliki seorang prajurit.
Walaupun demikian, ia juga memberikan toleransi setidaknya prajurit
dapat mencontoh salah satu tokoh pewayangan itu.
3.2.2 Etika dalam Peperangan
Berperang
adalah tugas prajurit yang sebenarnya. Walaupun demikian, menurut
Mangkunagara IV, dalam berperang prajurit harus ingat pada harapan raja
yang telah memberikan kemuliaan kepadanya. Oleh karena itu, pada diri
prajurit harus tertanam suatu tekad untuk membalas budi kepada negara
(“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 28: 20).
Agar
dapat mencapai tujuan untuk membalas budi pada negara, di medan perang
prajurit harus mempertebal keteguhan hati dan tidak takut bahaya, serta
mematuhi sepenuhnya perintah senapati yang memiliki wewenang untuk
mengatur siasat peperangan. Ia tidak boleh memiliki kehendak tanpa
sepengetahuan senapati dan bertindak sendiri-sendiri di luar perintah senapati
hanya semata-mata mengandalkan keberanian, karena hal itu mengakibatkan
kekacauan barisan dan merusak strategi yang telah ditetapkan. Kekacauan
barisan dan strategi yang rusak akan membawa akibat yang fatal dalam
sebuah peperangan, yaitu kekalahan. (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom
bait ke-29 dan 30: 20). Kekalahan yang disebabkan oleh kecerobohan
prajurit karena tidak memperhatikan perintah merupakan kesalahan besar.
Dengan kekalahannya itu, prajurit telah gagal untuk dapat membalas budi
kepada negara yang telah memberikan kemuliaan.
Dalam
bertempur di medan perang, prajurit harus memiliki tekad yang bulat,
kemantapan hati, tanpa adanya perasaan bimbang dan ragu pada dirinya. Ia
tidak diperkenankan untuk memikirkan tentang kematian, karena hal itu
bukan wewenangnya, tetapi merupakan wewenang Tuhan semata. Kematian
dapat terjadi di mana-mana sesuai dengan takdir. Oleh karena itu, ia
harus percaya bahwa kalau belum takdir ajalnya, ia akan selamat walaupun
dihujani peluru. Sebaliknya, walaupun prajurit melarikan diri, ia akan
mati juga kalau takdir telah menentukan. Walaupun demikian, prajurit
tidak diperkenankan untuk menuruti kemauannya sendiri. Ia harus tetap
mematuhi perintah senapati dan dalam batinnya harus ada sikap
menyerahkan diri kepada Tuhan. Mangkunagara IV menilai
bahwa gugur di medan perang lebih utama daripada mati di rumah. Gugur di
peperangan akan mengharumkan nama prajurit dan menjadi amal dari
keturunannya. Dalam hal ini, Mangkunagara IV memberikan contoh kepada
prajurit tentang sikap kepahlawanan tokoh pewayangan Abimanyu yang gugur
di medan perang membela Pandawa, dan keturunannya di kemudian hari
menjadi raja di Hastinapura (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 34-36: 22 dan 23).
Berkaitan dengan etika dalam peperangan, Mangkunagara IV membagi perilaku prajurit ke dalam tiga kategori, yaitu nistha (rendah), madya (tengah), utama
(utama). Dalam sebuah peperangan, jika ada musuh menyerah dengan
meletakkan senjata hendaklah ditawan. Ia tidak boleh menganiaya musuh
dengan sewenang-wenang apalagi membunuhnya. Apabila dilakukan, hal itu
merupakan tindakan nista yang dapat menjatuhkan martabat prajurit dan
juga tidak mustahil menjadi penyebab kekalahan perang. Selain itu,
prajurit dikatakan nista apabila dalam suatu peperangan dengan
persenjataan yang telah disiapkan, kekuatan di antara pihak yang
bertikai seimbang, dan tidak ada korban, ia mundur dari medan peperangan
karena ketakutan. Hal itu merupakan perbuatan nista karena telah
membuat tiga kesalahan besar. Pertama, bersalah kepada raja karena
ingkar janji. Kedua, merendahkan martabat negara yang telah memberikan
kemuliaan. Ketiga, berdosa kepada Tuhan (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 37, 39, dan 40: 24-25).
Prajurit dikatakan berperilaku dalam kategori madya, apabila
dalam sebuah peperangan ia terdesak oleh musuh dengan kekuatan yang
seimbang, ia mundur dengan penuh kewaspadaan untuk mengatur siasat.
Apabila musuh menyerang ia segera melakukan serangan balik dan
melumpuhkannya (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 41 dan 42:
25-26). Sementara itu, prajurit dikatakan utama apabila walaupun
diserang musuh ia tetap tegar dan senantiasa meningkatkan kewaspadaan,
mencermati medan peperangan untuk mencari celah-celah kelemahan musuh,
serta merencanakan strategi penyerangan balasan untuk mencapai
kemenangan (“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 42: 26).
Sehubungan
dengan hal itu, Mangkunagara IV mengingatkan agar prajurit tetap
waspada dalam peperangan walaupun dalam posisi terjepit oleh musuh. Ia
juga harus ingat tentang perbuatan-perbuatan nista dalam peperangan,
seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
Mangkana priyangganira,
Yen kaselut ing ajurit,
Aja gugup den prayitna,
Ing tekad dipunpatitis,
Awit wong murweng jurit,
Ana papangkatipun,
Nistha madya utama,
Yen kober dipunengeti,
Kanisthane wong kaselut neng ranangga.
(“Wirawiyata”, Pupuh Sinom bait ke- 38: 24)
|
Terjemahan:
Demikianlah para prajurit
Kalau terjepit dalam peperangan,
Jangan gugup waspadalah,
Di dalam tekad harus diperhatikan,
Karena orang berperang,
Ada tingkatannya,
Nista madya utama,
Kalau sempat harap diingat,
Kenistaan orang yang terdesak dalam peperangan.
|
4. Simpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Mangkunagara IV
tentang keprajuritan menekankan pada kedudukan dan tugas prajurit, yang
terbagi dalam dua kategori, yaitu yang bersifat teknis dan etis.
Pemikiran itu tidak dapat dipisahkan dari realitas bahwa pada waktu itu
Mangkunagara IV sedang melakukan pembangunan di bidang keprajuritan
dengan melakukan penataan Legiun Mangkunagaran. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa pemikiran itu bertujuan untuk melakukan pembinaan
mental prajurit yang senantiasa diperhatikan oleh Mangkunagara IV, yang
sekaligus juga merupakan landasan etis bagi kebijakannya dalam melakukan
penataan bidang keprajuritan Hal ini mudah dipahami karena Mangkunagaran merupakan satu-satunya istana yang masih memelihara tradisi militer dari bangsawan Jawa, meskipun di bawah kekuasaan Belanda.
Pembinaan mental prajurit dengan menggunakan serat piwulang yang berbentuk tembang
ini dimaksudkan agar mudah dihapalkan dan dipahami maknanya. Dengan
demikian, prajurit diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya
dengan baik. Pembinaan semacam ini merupakan pembinaan yang sifatnya
tidak langsung yang berbeda dengan instruksi dan komando.
DAFTAR PUSTAKA
Manuskrip
Algemeen Verslag van de Residentie Soerakarta (AVRS) over het jaar 1853. Arsip Surakarta No. 132, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Besluit 6 April 1860, Algemeen Secretarie Reel No. 66 Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
“Commissoriaal beteffrende de planen tot huwelijksvereneging van Pangeran Adipati Mangkoenegoro”, dalam Inventaris van het Archief van F.N. Nieuwenhuyzen (1819-1892) over de jaren 1835-1870. ANRI (Microfilm) Kode 46, Serie 31 no. 31.
Geheim Besluit van den 8 Maart 1853 No. La. L.. M.N. IV No. 12 dan 93 Reksa Wilapa Mangkunagaran Surakarta.
Politiek Verslag van de Residentie Soerakarta (PVRS) over het jaar 1857. Arsip Karesidenan Surakarta No. 113.
Serat Laksitaraja No. A 192, Reksa Pustaka Mangkunagaran Surakarta.
Tataning Pagaweyan kang tumrap marang para Abdi Dalem sajroning Kutha Mangkunagaran. Reksa Wilapa Mangkunagaran Surakarta M.N. IV No. 13.
Undhang-undhang bab Wong kang Anggayuh Dadi Narapraja.M.N. IV No. 78 Reksa Wilapa Mangkunagaran Surakarta.
Buku dan Artikel
Ardani, Moh.. 1995. Al Qur’an dan Sufisme Mangkunagara IV: Studi Serat-serat Piwulang. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Aukes, H.F.. 1935. Het Legioen van Mangkoe Nagoro. Bandung: A.C. Nix & Co..
Boedihardjo. 1935. “Kritische Beschouwing van de Tripama”, dalam Djawa 15.
Brakel-Papenhuyzen, Clara. 1991. Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya. Terjemahan Mursabyo. Jakarta: ILDEP-RUL.
Bratasiswara,
Harmanto. 1998. “Paparan Ringkas Piwulang Budi Luhur Karya KGPAA.
Mangkunagoro IV”. Kerjasama Kantor Reksa Pustaka Pura Mangkunagaran
Surakarta dengan The World Bank Jakarta.
Brinton, Crane. 1985. “Sejarah Intelektual”, dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo, ed.. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Dalijana, Moh.. 1939. Het Staatsrecht van het Mangkoenagarase Rijk. Soerakarta: Mangkoenagaran.
Darusuprapto. 1985. Serat Wulang Reh. Surabaya: Citra Jaya.
“Kangdjeng
Goesti Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara I-VII hing Soerakarta
Hadiningrat”. Reksa Pustaka Mangkunagaran Surakarta M.N. 78.
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara ingkang kaping IV. 1936. Solo: Sadhu.
Kartodirdjo, Sartono, dkk.. 1976. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kartodirdjo, Sartono, dkk.. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. 1999. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moeljoto
dan Saparinah, Endang Siti. 1992. “Ajaran Mangkunegara IV dalam
Tinjauan Filsafati”. Makalah Sarasehan 125 Tahun Reksa Pustaka
Mangkunagaran Surakarta.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Terjemahan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pigeaud, Th.. 1927. “Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara IV als Dichter”, dalam Djawa 7.
“Punika
Pemutan Lalampahanipun Raden Mas Hario Gondokoesoemo, Putra ing
Ngadiwidjajan ing Sapisan, saking Garwa Padmi angka 7 saking
Pambadjengipun, ingkang Wekasan Djumeneng kangjeng Gusti Pangeran
Hadipati Hario Mangkoenagoro ingkang kaping IV”. Reksa Pustaka
Mangkunegaran Surakarta M.N. 386.
Pringgadigda. 1939 Dhoemadhos saha Ngrembakanipoen Pradja Mangkoenagaran. Mangkoenagaran.
“Prins Mangkoe Negoro”, dalam De Locomotief 2 September 1881.
Puguh,
Dhanang Respati. 2001. “Legiun Mangkunagaran 1853-1881: Potret
Keprajuritan Jawa pada Masa Pemerintahan Mangkunagara IV”, dalam Kajian Sastra No. 4 Tahun XXV.
Sastrohadikusumo, Koosinah Soerjono. 1993. “Serat Wedhatama: Suatu Kajian Pemikiran Filsafat”. Disertasi Universitas Indonesia.
Sejarah Kanthi.
1981. Transliterasi dan alih bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo dan
Sudibjo Z. Hadisutjipto. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Serat Babad ing Mangkoenagaran. Reksa Pustaka Mangkunagaran Surakarta M.N. 1785. Transliterasi Naskah P.B. E. 30 MSB/S 123 Panti Budaya Yogyakarta.
Serat Sujarah Dalem Mangkunagaran. 1922. Surakarta: Swastika Pasar Pon.
Simuh. 1983. “Mistik Islam Kejawen dalam Serat Wedhatama”. Makalah Diskusi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soebardi. 1974. “Mangku Nagara IV: Mistik Islam dalam Karya-karyanya”, dalam Budaja Djaja No. 71.
Soedarsono. 2000. Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Tarawang.
Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Taman Siswa.
Sudewa, Alexander. 1991. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi, dan Transformasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
“Titimangsa Wigati ing Sejarah Mangkunegaran”. Reksa Pustaka Mangkunagaran Surakarta M.N. 144.
“Tripama”, dalam Serat-serat Anggitan Dalem Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV, Jilid 4. 1934. Surakarta: Java Instituut.
“Wedhatama”, dalam Serat-serat Anggitan Dalem Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV, Jilid 3. 1953. Jakarta: Kolff.
“Wirawiyata”, dalam Serat-serat Anggitan Dalem Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV, Jilid 3. 1953. Jakarta: Kolff.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar