Struktur Sosial
- Rakyat
- Bahasa
- Agama
- Pemerintah Daerah
- Kebudayaan
- Music Tradisional
- Lagu-lagu Tradisional
- Tarian Tradisional
- Pernikahan Adat
- Kesenian & Kerajinan Tangan
- Makanan & Minuman
- Artikel dan Cerita
Bahasa
Bahasa Daerah Sulawesi Utara
Telah berabad-abad
puluhan kelompok-kelompok yang terkait bergabung menjadi empat kelompok
suku yang berdiam di Sulawesi Utara. Nama keempat kelompok etnik
tersebut sejajar dengan nama daerah provinsi, antara lain yaitu: Bolaang
Mongondow, Gorontalo, Sangihe Talaud and Minahasa. Meskipun "Bahasa
Indonesia" lisan sebagai Bahasa Nasional, dalam prakteknya orang
suku-suku yang menghuni daerah ini masih mengenal dan mengidentikkan
kelompok lokal dan sub kelompok, yang sebagian besar dibedakan oleh
bahasa atau logat sesuai dengan latar belakang mereka sebagai berikut :
A. Kelompok Bahasa Bolaang Mongondow :
- Mongondow
- Lolak
- Bintauna
- Boroko/Bolangitang
- Bolango
- Bantik Mongondow
B. Kelompok Bahasa Gorontalo :
- Gorontalo
- Suwawa (bone)
- Atinggola
C. Kelompok Bahasa Sangihe Talaud :
- Talaud (Talaur)
- Sanger Besar
- Siau
D. Kelompok Bahasa Minahasa :
- Tombulu
- Tonsea
- Toulour
- Tountemboan
- Tounsawang
- Pasan Ratahan
- Ponosakan Belang
- Bantik Minahasa
Baca juga: Tulisan Minahasa
Perhatian!
Kamus Melayu Manado - Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia - Melayu Manado
akan beredar pertengahan Desember 2004, sebelum Natal.
Kamus Melayu Manado - Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia - Melayu Manado
akan beredar pertengahan Desember 2004, sebelum Natal.
Tulisan Minahasa
|
Kata "Minahasa" artinya "konfederasi" atau juga "negara yang dibentuk melalui gabungan beberapa daerah". Minahasa merupakan grup etnis yang hidup di Sulawesi Timur Laut dan terdiri dari 8 suku.
Berlawanan
dengan grup-grup etnis yang lain di Sulawesi, yang beragama Muslim,
orang Minahasa beragama Kristen. Walaupun jumlah sangat sedikit yang
buta huruf, orang Minahasa disebut "tolfuros", yang berarti "setengah-liar" atau "kejam". Mereka bicara berdasarkan bahasa malayu,
tetapi bentuk mereka, secara fysik, lain dibanding dengan suku-suku
bangsa lainnya di pulau itu; menurut beberapa sumber mereka mempunyai
sifat yang khas Jepang. Menurut cerita itu mereka masuk dari bagian
utara ke pulau ini.
Sangat
sedikit diketahui tentang sistem tulis Minahasa. Hanya dua halaman
dapat dipublikasi (gambar atas) dari manuscript Minahasa.
Sumber: http://www.proel.org/
Pernikahan Adat Minahasa
Mempelai Wanita Manado |
Proses
Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah
mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika
proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak
lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum
perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi
di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena
tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan
saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho"
karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam
pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara
perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari
memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai
mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu).
Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama
dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian
dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan
upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan
acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian
Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Bacoho (Mandi Adat)
Setelah
mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci
rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti
shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan
dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.
Tradisi
: Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis
atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air
lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak
kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya
sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar)
atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai
pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit
perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus
berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu
dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.
Simbolisasi
: Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain
berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong
tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan
kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.
Lumele’ (Mandi Adat):
Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna
putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai
gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara
simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu
sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum
pernah digunakan sebelumnya.
Upacara Perkawinan
Mempelai Manado |
Upacara
perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin
pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah
pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak
pengantin wanita.
Hal ini mempengaruhi prosesi
perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita
lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena
resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria
maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan
memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang
dilaksanakan secara Mapalus
dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa
Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang
mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara
kebaktian dan makan malam.
Orang Minahasa di
kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama
dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup
masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat
perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan
yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara,
Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pertama
: Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita.
Lalu dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin
pria mengetok pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari
kamarnya, diadakan jamuan makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke
Gereja.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Apabila
pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat
perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat
melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam
berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal
keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan
ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.
Prosesi upacara
adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan
kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara
salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa
bebas yang dimulai dengan Polineis.
Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan
Pernikahan di Tondano |
Penelitian
prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan
Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di
Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan
Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof
Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara
Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower).
Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis
Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang
jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian
disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian
dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara
Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang
megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar,
simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar,
Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan
ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang
masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan
pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon
diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat
dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa
daerah.
Bahasa upacara adat perkawinan yang
digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang
termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan
adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran
sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini
disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di
Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin
prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa
upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang,
Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.
Makanan dan Minuman Khas Minahasa
Makanan
Dahulu
orang selalu berpikir dua kali sebelum melangkahkan kaki menuju rumah
makan Manado. Pertama, khawatir kalau salah pilih karena nama masakan
yang tidak akrab, dan kedua takut kepedasan.
Maklumlah
masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup hingga
hidangan utamanya. Hampir semuanya memakai cabai rawit atau biasa
dipanggil rica anjing.
Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai cabai rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer.
Tapi kini rasa takut untuk makan di resto Manado lambat laun telah hilang. Bahkan kini sebaliknya, hidangan Minahasa banyak dicari para penggemar ”goyang lidah”.
Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai cabai rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer.
Tapi kini rasa takut untuk makan di resto Manado lambat laun telah hilang. Bahkan kini sebaliknya, hidangan Minahasa banyak dicari para penggemar ”goyang lidah”.
Di pedesaan makanan dimasak diatas tungku api © Jennifer Munger |
Sekarang
banyak orang mulai lebih mengetahui bahwa makanan ini sebetulnya sehat
dan halal karena kebanyakan resto Manado tidak menjual daging anjing dan
babi. Strategi ini didasarkan pada pemikiran, bahwa kalau hidangan yang
disediakan halal, maka segmen pasarnya pasti lebih besar.
Selain itu, hidangan Manado pada umumnya sangat menggiurkan karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk, daun sereh, daun bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan, cabai, jeruk limo, lemon cui, jahe dan lainnya.
Umumnya orang Minahasa memasak secara tradisional sejak dulu. Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai bahan-bahan penyedap sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Bahkan jika ditambahkan bumbu penyedap, rasa dan aromanya berbeda.
Selain itu, hidangan Manado pada umumnya sangat menggiurkan karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk, daun sereh, daun bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan, cabai, jeruk limo, lemon cui, jahe dan lainnya.
Umumnya orang Minahasa memasak secara tradisional sejak dulu. Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai bahan-bahan penyedap sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Bahkan jika ditambahkan bumbu penyedap, rasa dan aromanya berbeda.
Minuman
Saguer dan Cap Tikus
Kumpul saguer dari pohon © Remco Fortgens |
Cap
Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang
dihasilkan melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari
mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi
rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada kualitas
penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula
kadar alkoholnya.
Saguer sejak keluar dari mayang
pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut kalangan petani, kadar
alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan
peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang
pohon enau.
Untuk mendapatkan saguer yang manis
bagaikan gula, bambu penampungan yang digantungkan pada bagian mayang
tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya yang terbuat
dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin
manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin
tinggi kualitasnya.
Kadar alkohol pada Cap Tikus
tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih
menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya
disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan.
Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.
Cap
Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada
catatan pasti kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya
Minahasa. Namun, setiap warga Minahasa ketika berbicara tentang Cap
Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu mulai dikenal sejak nenek moyang
mereka.
Menyuling Cap Tikus secara traditional © Remco Fortgens |
Yang
pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di
kalangan petani Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke
kebun atau memulai pekerjaannya, minum satu seloki (gelas ukuran kecil,
sekali teguk) Cap Tikus. Minuman ini, menurut Pendeta Dr. Richard AD
Siwu, dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Tomohon (Ukit) dikenal
oleh setiap orang Minahasa sebagai minuman penghangat tubuh dan
pendorong semangat untuk bekerja.
Sadar betul bahwa
Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi, sudah sejak dulu orang-orang
tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap
Tikus. Sejak dulu pula dikenal pameo menyangkut Cap Tikus, minum satu
seloki Cap Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk
penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka.
Pak
tani minum Cap Tikus karena memang dengan satu seloki semangat kerja
bertambah. Karena itu, minum satu seloki Cap Tikus diartikan menambah
darah, dan semangat kerja.
Tanda awas langsung
diucapkan setelah menenggak satu seloki, sebab jika menambah lagi satu
seloki bisa berakibat masuk penjara. Artinya, dengan dua seloki orang
bakal mudah terpancing bertindak berlebihan, karena kandungan alkohol
yang masuk ke tubuhnya membuat orang mudah tersinggung dan rentan
berbuat kriminal.
Jenis minuman ini diproduksi
rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela hutan pohon
enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-disebut
pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih
yang rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima
persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya
juga menjual saguer. Bahkan, sebagian orang desa sebelum makan lebih
dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan banyak.
Sisa
saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi
minuman Cap Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa
laboratorium, naik menjadi sekitar 40 persen. Makin bagus sistem
penyulingannya, dan semakin lama disimpan, kadar alkohol Cap Tikus
semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus yang baik akan
mengeluarkan nyala api biru ketika disulut korek api.
Mengapa
dinamai Cap Tikus? Tidak diperoleh jawaban yang pasti. Ada dugaan, nama
itu dipakai karena pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan,
tempat tikus hutan bermain hidup.
Jika di masa lalu,
khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong semangat
kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah
berubah menjadi tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman
tempat pelampiasan nafsu serta menjadi sarana mabuk-mabukan yang
kemudian menjadi sumber malapetaka.
Selain bisa
diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah
pabrik anggur di Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus
masuk ke kota dan bahkan di antarpulaukan secara gelap.
Arti Kata Kawanua
(Cerita Taranak dan Walak Minahasa)Map of the Minahasa 1873 |
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua
dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah
pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu
tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan
pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka
pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua
diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa,
negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa
Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua
- yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang
Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan
Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok
Taranak, masing-masing:
- Makarua Siouw
- Makatelu Pitu
- Telu Pasiowan
Karena
sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada
abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut.
Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan
dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari:
- Tountumaratas
- Tountewu
- Toumbuluk
Dengan
bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi
Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu
asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu
yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu
istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama
walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak
Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni:
- Tounsea and
- Toundano.
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
- Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
- Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
- Tondano Touliang,
- Tondano Toulimambot and
- Kakas-Remboken
Watu Pinawetengan 1890 |
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.
Pakasa’an
Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18
Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor",
wilayah Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua,
sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.
Masyarakat
Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu
Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan
Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:
- Ro’ong atau negeri,
- Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)
Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:
- Ro’ong atau negeri
- Taranak atau penduduk
Ro’ong itu sendiri memiliki unsur:
- Wale, artinya rumah dan
- Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua
dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti
hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh
Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan
pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua
lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an
(kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang
mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut.
Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar,
Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua.
Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah,
artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan
(kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong,
satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu
"Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale Mal’lesok
ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru,
bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri.
Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki
sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau
walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou
Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis "A’asaren
ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang
Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di
Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua"
selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano,
Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh
masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas
bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan
mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar,
Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.
(ditampilkan disini sebab yg asli sudah tidak ada)
Baca Juga: Masyarakat Minahasa Kuno
Arti I Yayat U Santi
Lambang Minahasa |
Seruan
orang Minahasa sejak dahulu kala ini menjadi perhatian masakini karena
lambang Minahasa sekarang banyak terdapat tulisan tersebut. Lalu apa
arti dan makna ungkapan ini ?
Terjemahan harafiahnya adalah:
Angkatlah Dan Acung-Acungkanlah Pedang (Mu) Itu
Angkatlah Dan Acung-Acungkanlah Pedang (Mu) Itu
Ungkapan ini diseru-serukan khususnya oleh para waranei,
anggota kabasaran, penari tari pedang dalam menghadapi tantangan yang
dianggap musuh. Ini merupakan suatu komando, perintah tetapi juga untuk
membangkitkan gairah, semangat sekaligus untuk mengusir kecemasan,
kekuatiran dan ketakutan ketika menghadapi tantangan (musuh).
Ungkapan
ini diseru-serukan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal mengajak
mereka untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa
yang dihasilkan dari perundingan bersama kepada anak-cucu-cecenya. Ia
mengandung juga seruan supaya hendaklah kamu gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur.
Tarian Kabasaran | tarian kabasaran |
Cara
menyerukan bagi para waranei ialah dengan suara yang nyaring, tegas
betul-betul seperti komando, sambil mengangkat dan mengacung-acungkan
salah satu tangan dengan kepalan jari-jarinya. Lalu seruan ini disahuti
dengan sorakan oleh rekan-rekan waranei atau oleh hadirin dengan jawaban
atau sambutan : Uhuuy!! atau Tentu itu!! yang artinya : Setuju, demikianlah halnya!.
Apabila
kita menggunakan ungkapan dan seruan ini untuk masakini, maka maknanya
ialah : Supaya kita melengkapi diri kita dengan segala kearifan, hikmat,
ketrampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecetakan (= wisdom,
managerial skill and technical know-how).
Itulah
santi kita masakini yang harus diacung-acungkan menghadapi segala
tantangan yang mengancam kehidupan kita baik fisik maupun non-fisik,
dengan segala kebulatan tekad sesudah dimusyawarahkan bersama. Tantangan
ini adalah kemiskinan, kemalasan, kebodohan, kelaparan, ketidakadilan,
ancaman penjajahan, dan segala sesuatu yang dapat menjadi musuh
kehidupan.
Dalam bahasa Alkitab ungkapan ini juga
bermakna sebagai pengejawantahan kuasa-kuasa maut. Dan karena kuasa maut
itu telah ditaklukan oleh Allah sendiri karena membangkitkan PuteraNya
Yesus Kristus dari kematian, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak
berjuang demi kemenangan kehidupan.
Jadi seruan I Yayat U Santi! dan sambutan sorakan Uhuuy! atau Tentu itu! bermakna : Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita.
Dikutip dari buku : Injil dan Kebudayaan di Tanah Minahasa
Poco-Poco, Tebe-Tebe & Sajojo
Poco-poco |
Tiga tari pergaulan Indonesia naik papan : Poco-poco, Tebe-tebe dan
Sajojo. Boleh disejajarkan tari pergaulan impor Salsa, Jive, dan Cha Cha
Cha. Siapa memasyarakatkan tiga tari daerah itu? “Dibawa oleh
anggota-anggota ABRI sekembali dari Indonesia Timur” kata Ibu Harimawan,
guru ballroom.
Poco-poco, Tebe-tebe dan Sajojo, populer sejak 1990-an.
Mulanya di kalangan militer yang pernah tugas di Timor, Maluku dan
Irian. “Mereka belajar tari khas itu di waktu senggangnya. Lalu sepulang
ke Jawa, jadilah Poco-poco dan sebagainya memasyarakat” papar Jery,
pengajar tari pergaulan dan ballroom di AAU, Kodim dan Polda Yogya.
Ita Dedy, pengajar sekaligus pemilik sekolah dansa di
Yogyakarta, mendengar versi lain. “Ada yang bilang, tarian itu milik
ABRI. Tapi ada juga yang mengatakan milik orang-orang aerobik. Saya
mengajar Poco-poco hanya berdasar permintaan. Sebab Poco-poco dan
semacamnya, di sini hanya materi pelengkap. Sebagai selingan. Gerakan
Poco-poco itu tidak rumit” kata Ita Dedy.
Lomba Poco-poco |
Pada perkembangannya, Poco-poco lebih dan makin populer. Banyak
organisasi atau instansi yang secara intern mengadakan latihan rutin.
“Dan karena sering dilombakan, banyak pihak lalu merasa wajib mengadakan latihan rutin” tambah Jery.
Tebe-tebe —mungkin benar— lebih dulu populer. Tahun
1975, prajurit-prajurit kita mulai dikirim ke Timor Timur. Tahun 90-an
tari pergaulan itu mulai dipopulerkan di Jawa.
Sajojo? Tari khas Irian ini populer tahun 97-98. Baru kemudian, Poco-poco ngetop setahun lalu.
“Poco-poco
itu asal Maluku. Khususnya Ambon.Sementara Tebe-tebe dari Timor. Sajojo
dari Irian. Tentu, ketiga tarian itu punya kekhasan sendiri-sendiri
sesuai dengan asal mereka. Sebenarnya, itu kan tarian rakyat?” kata
Jery.
Ketiga-tiganya berkarakter riang. Ciri poco-poco,
step-nya patah-patah dengan arah berganti-ganti. Hitungannya 1-2-3-4.
Tebe-tebe hampir sama, dan awal gerakannya dari kaki kanan. “Tapi, masih
patah-patah Poco-poco” jelas Jery.
Sajojo di Ancol |
Sajojo, khas gerakannya loncat-bongkok-loncat-bongkok, dan dimulai dari kaki kiri.
Musik iringan? Poco-poco dan Tebe-tebe pakai lagu asli
dari daerah mereka. Sementara Sajojo, biasanya dengan irama Cha Cha Cha
Ambon medly yang sudah banyak dijual di toko-toko kaset. “Kalau
Poco-poco dan Tebe-tebe memang seharusnya pakai lagu asli daerahnya.
Bisa pakai kaset atau diiringi secara live” papar Jery.
Selain dipopulerkan oleh kalangan militer, tiga tari
pergaulan itu juga jadi materi pelengkap di sanggar-sanggar bugar.
Disisipkan di tengah latihan aerobik, dengan gerakan yang bisa lebih
dinamis. Karena musik pengiringnya lebih rampak.
Poco-poco di Monas |
Di kalangan militer, dalam latihan tari pergaulan mereka, menurut Jery
harus baku. Karena sering diadakan lomba antar-angkatan. “Sepintas
tampak begitu-begitu saja. Tapi segampang dan sesederhana apa pun, kalau
dilakukan secara seragam, serempak, akan kelihatan bagus” kata Jerry.
Menurutnya, gerakan poco-poco dan tebe-tebe sudah
dibakukan formatnya dan menjadi kegiatan resmi instansi. Ya militer, ya
instansi nonmiliter. Dalam Poco-poco versi Jery, ada 20 materi yang
dibagi dalam tiga format. “Satu sampai enam format baku, tujuh sampai 13
saya ambil dari versi Berthy Tilarso, 14-20 hasil kreasi saya sendiri”
Dalam lomba, format baku dari nomer satu hingga enam
harus dilakukan. “Bagian itulah yang utama dinilai. Maka di kalangan
militer, format baku ini harus serius disampaikan dan dipelajari” papar
Jery.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar