RANCANGAN NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KEKAYAAN NEGARA ATAS BUDAYA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KEKAYAAN NEGARA ATAS BUDAYA
Daftar isi[sembunyikan] |
I. PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
1.1.1 Pokok pikiran
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki
keberagaman terbanyak di dunia. Keberagaman tersebut berupa bahasa,
budaya, hukum adat, kearifan tradisional, agama hingga ras. Namun
sayangnya keberagaman yang terjadi di Indonesia dapat memicu konflik
sehingga dapat memecah persatuan nasional jika tidak dicarikan
penyelesaian akar masalah. Untuk itu diperlukan perekat yang dapat
mempersatukan rakyat Indonesia. Di masa lampau, Sumpah Pemuda menjadi
alat yang dapat menyatukan keberagaman di Indonesia. Dari Sumpah Pemuda
itulah kita dikenalkan dengan bagaimana memandang bangsa, bahasa dan
tanah air Indonesia. Namun dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia
perlu adanya perekat baru yang bukan sekedar doktrin semata dan
memandang kembali bangsa Indonesia sebagai sebuah negara tanpa
menghilangkan keberagaman bangsa. Kondisi kekinian Indonesia berada
ditengah globalisasi yang mengikis kesadaran generasi muda akan warisan
tradisi budaya Indonesia sehingga diperlukan sebuah solusi untuk
mengenalkan kembali warisan tradisi budaya Indonesia. Beranjak dari
latar belakang inilah Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya disusun.
Keragaman Budaya Indonesia sebagai alat pemersatu
Budaya merupakan hasil dari kebiasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang ada pada suatu kelompok umat manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Oleh karena itu setiap daerah memiliki budaya yang unik dan berbeda dengan daerah lainnya. Keunikan budaya yang beragam telah menjadikan budaya sebagai sebuah identitas yang dimiliki suatu kelompok manusia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki keberagaman terbanyak di dunia. Namun hal tersebut dapat menjadi sumber konflik dan memecah persatuan nasional sehingga menimbulkan disintegrasi negara jika tidak dicarikan penyelesaian akar masalah. Kasus Dayak-Madura, Poso, Papua, Aceh dan beberapa daerah lainnya adalah sebuah konflik yang disulut karena adanya keberagaman di Indonesia. Kasus-kasus tersebut akan menjadi sumber disintegrasi Negara dan hal tersebut sudah seharusnya menjadi evaluasi bagi bangsa Indonesia untuk mencari kembali alat pemersatu baru bangsa.
Budaya merupakan hasil dari kebiasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang ada pada suatu kelompok umat manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Oleh karena itu setiap daerah memiliki budaya yang unik dan berbeda dengan daerah lainnya. Keunikan budaya yang beragam telah menjadikan budaya sebagai sebuah identitas yang dimiliki suatu kelompok manusia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki keberagaman terbanyak di dunia. Namun hal tersebut dapat menjadi sumber konflik dan memecah persatuan nasional sehingga menimbulkan disintegrasi negara jika tidak dicarikan penyelesaian akar masalah. Kasus Dayak-Madura, Poso, Papua, Aceh dan beberapa daerah lainnya adalah sebuah konflik yang disulut karena adanya keberagaman di Indonesia. Kasus-kasus tersebut akan menjadi sumber disintegrasi Negara dan hal tersebut sudah seharusnya menjadi evaluasi bagi bangsa Indonesia untuk mencari kembali alat pemersatu baru bangsa.
Gagasan kebudayaan nasional Indonesia sebagai Identitas dan
kesadaran Nasional sudah dicetuskan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928.
Kebudayaan Nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan daerah di
seluruh Indonesia yang selaras dengan norma-norma berbangsa dan
bernegara. Namun doktrin pemersatu bangsa lewat Sumpah Pemuda mungkin
saat ini sudah bukan lagi menjadi alat pemersatu yang relevan dalam
menjawab keberagaman bangsa Indonesia karena tingkat pendidikan pada
masyarakat yang sudah berbeda dengan masa lalu. Oleh karena itu sudah
seharusnya kita mencari alat pemersatu lain yang tidak sekedar menjadi
doktrin semata, namun ada alasan yang nyata kenapa kita dapat bersatu.
Keragaman budaya di Indonesia seharusnya dapat menjadi pemersatu
bangsa jika kita tidak hanya melihat dari perbedaan saja melainkan
kesamaan yang terdapat di setiap budaya, baik dari segi arsitektural,
tarian, motif pakaian, lagu, dan beberapa ekspresi budaya lainnya.
Kesamaan tersebut timbul dari proses akulturasi dan asimilasi budaya
yang sudah terjalin ribuan tahun yang lalu melalui perpindahan penduduk,
sebelum Indonesia terbentuk, selain kesamaan asal usul bangsa
Indonesia. Untuk menemukan kesamaan yang terdapat di dalam budaya daerah
di Indonesia dapat dilakukan dengan pengumpulan data-data ekspresi
budaya tradisional terlebih dahulu yang berupa motif kain, seni tari,
musik tradisional, cerita rakyat, arstiektur tradisional, makanan
tradisional dan lain-lain. Pengumpulan data-data ekspresi budaya
tradisional juga dapat mengenalkan budaya daerah lain sehingga
menimbulkan rasa kepemilikan budaya tradisional.
Meningkatnya arus informasi teknologi telah menjadikan dunia
dalam satu tatanan baru yang prosesnya dinamakan globalisasi.
Globalisasi yang memiliki tujuan terciptanya masyarakat dunia tanpa
batas-batas negara berusaha menghilangkan peranan negara dalam
menjalankan tugasnya untuk menyejahterakan warga negaranya. Perdagangan
bebas, liberalisasi, privatisasi dan gencarnya arus informasi merupakan
bagian dari Globalisasi yang tidak dapat kita hindari lagi. Globalisasi
selain memiliki dampak perekonomian terhadap Indonesia juga dapat
menghegemoni budaya karena arus informasi yang meningkat. Dan kondisi
kekinian budaya Indonesia berada pada kondisi dimana terjadi penetrasi
budaya global karena pengaruh globalisasi sehingga mengikis kesadaran
generasi muda akan warisan tradisi budaya Indonesia selain mengikis
devisa negara. Dan hal tersebut menjadi tantangan kedepan bangsa
Indonesia guna melestarikan kebudayaan tradisional. Untuk itu diperlukan
sebuah inisiatif untuk menyelamatkan kebudayaan tradisional sebagai
warisan budaya sehingga Indonesia memiliki identitas bangsa dan dapat
menyelamatkan ekspresi budaya tradisional agar tidak diklaim oleh pihak
asing.
Keberagaman Indonesia sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi kreatif
Kondisi sistem perekonomian dunia saat ini tidak lagi mendasarkan kepada kekuatan kuantitas suatu produk melainkan bagaimana produk tersebut dapat berinovasi dan menciptakan nilai-nilai baru. Penggunaan motif batik yang dilakukan oleh Adidas menjadi salah satu bukti dari adanya inovasi yang dilakukan dalam dunia bisnis. Sebenarnya, ekonomi kreatif sendiri sudah didengungkan oleh para pakar ekonomi di Indonesia dan ajakan presiden SBY dalam acara pembukaan Pekan Produk Nasional Indonesia (PPNI) 2007 di Jakarta untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Namun sangat disayangkan jika para penggagas ekonomi kreatif belum memandang ekspresi kebudayaan nasional sebagai faktor pendorong kreativitas produksi.
Kondisi sistem perekonomian dunia saat ini tidak lagi mendasarkan kepada kekuatan kuantitas suatu produk melainkan bagaimana produk tersebut dapat berinovasi dan menciptakan nilai-nilai baru. Penggunaan motif batik yang dilakukan oleh Adidas menjadi salah satu bukti dari adanya inovasi yang dilakukan dalam dunia bisnis. Sebenarnya, ekonomi kreatif sendiri sudah didengungkan oleh para pakar ekonomi di Indonesia dan ajakan presiden SBY dalam acara pembukaan Pekan Produk Nasional Indonesia (PPNI) 2007 di Jakarta untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Namun sangat disayangkan jika para penggagas ekonomi kreatif belum memandang ekspresi kebudayaan nasional sebagai faktor pendorong kreativitas produksi.
Ekonomi kreatif yang dicetuskan oleh J.A Schumpeter merupakan
ekonomi yang berlandaskan kepada innovation dan creative destruction
sebagai faktor penting dalam memahami berjalannya sistem ekonomi
kapitalisme. Innovation menurut Schumpeter adalah menciptakan kombinasi
baru yang dihasilkan dari barang yang telah ada untuk tujuan komersil.
Sementara creative destruction merupakan penghancuran nilai ekonomi
barang lama dengan barang baru secara creative. Lalu bagaimana kaitannya
dengan Indonesia?. Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan ekspresi
dapat memanfaatkan ekspresi kebudayaan tradisional sebagai pemicu
ekonomi kreatif. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan
kekayaan ekspresi budaya tradisional yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Pertama, sebagai cara untuk melestarikan warisan budaya
tradisional sehingga jika diproduksi secara komersil dapat mengenalkan
kembali budaya tradisional yang sempat menghilang di masyarakat. Kedua,
sebagai pemicu laju inovasi dalam perekonomian Indonesia karena masih
banyaknya ekspresi-ekspresi budaya tradisional milik Indonesia yang
belum didayagunakan. Ketiga, dapat menciptakan budaya tradisional baru
yang dimiliki Indonesia karena inovasi-inovasi yang akan dilakukan.
Keempat, jika diatur dalam hukum yang jelas dan tegas, dalam hal ini
melalui RUU Hak Kekayaan Negara Atas Budaya, dapat menghasilkan devisa
negara dari perusahaan-perusahaan multinasional dan negara lain yang
memakai motif atau ekspresi budaya tradisional Indonesia sebagai bagian
dari komoditas inovasi.
Perlindungan Hukum terhadap ekspresi budaya tradisional
Ide kepemilikan pribadi pertama kali dicetuskan oleh John Locke, seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang menggagas ide liberalisme. Ide ini dilatarbelakangi oleh sejarah Negara-negara Eropa dengan kekuasaan monarki yang sangat dominan. Dalam hal tersebut, warga sipil tidak memiliki hak untuk barang-barang yang dimilikinya. Raja dapat dengan mudah mengambil apa saja milik warga. Dan kemudian lahirlah ide tentang kepemilikan pribadi (property theory) sebagai bagian dari sebuah upaya untuk mengusulkan adanya pembatasan kekuasaan raja. Konsep kepemilikan pribadi inilah yang mengilhami pemikir lainnya yang melahirkan hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights).
Ide kepemilikan pribadi pertama kali dicetuskan oleh John Locke, seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang menggagas ide liberalisme. Ide ini dilatarbelakangi oleh sejarah Negara-negara Eropa dengan kekuasaan monarki yang sangat dominan. Dalam hal tersebut, warga sipil tidak memiliki hak untuk barang-barang yang dimilikinya. Raja dapat dengan mudah mengambil apa saja milik warga. Dan kemudian lahirlah ide tentang kepemilikan pribadi (property theory) sebagai bagian dari sebuah upaya untuk mengusulkan adanya pembatasan kekuasaan raja. Konsep kepemilikan pribadi inilah yang mengilhami pemikir lainnya yang melahirkan hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights).
Teori kepemilikan John Locke menyebutkan seseorang boleh memiliki
atau mengklaim sesuatu sebagai miliknya jika ia telah bekerja dan
mengolahnya. Misalnya seseorang dapat mengklaim tanah yang sedang ia
garap sebagai miliknya. Atau seseorang dapat mengklaim bahwa pohon
mangga itu miliknya jika ia telah merawatnya, walaupun orang tersebut
bukan yang menanamnya. Contoh pertama adalah faktor Labour, dan yang
kedua adalah faktor mixing methapor. Kedua faktor inilah yang
menjadikan sah suatu kepemilikan barang.
Prinsip tersebut ternyata cocok untuk barang-barang yang terlihat,
misalnya tanah, pohon, rumah dsb. Namun bagaimana jika barang tersebut
tidak terlihat, misalnya pengetahuan atau gagasan. Jika seseorang
memiliki kue, lalu kue tersebut dibagi atau diberikan semuanya kepada
orang lain. Maka orang pertama tidak lagi memiliki kue atau berkurang.
Namun jika ada seseorang yang memiliki pengetahuan tradisional lalu
memberikan pengetahuannya kepada orang lain, apakah pengetahuan tersebut
berkurang?.
Ternyata konsep kepemilikan pribadi tidak sepenuhnya dapat
dijalankan pada benda-benda tak terlihat. Lalu bagaimana dengan budaya
tradisional yang berbasiskan pada budaya berbagi dan erat kaitannya
dengan kegiatan-kegiatan ritual dari masyarakat tertentu dan diwariskan
secara turun temurun? Hal ini menjadi sebuah dilema yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia terutama penggiat budaya. Disatu pihak, adanya
perlindungan hukum atas kekayaan ekspresi budaya tradisional sangat
diperlukan guna melindungi eksploitasi komersil dan klaim ekspresi
budaya tradisional oleh negara lain atau pihak lain melalui paten atau
hak cipta. Sementara disisi lain mengalami kesulitan mengenai posisi dan
definisi ekspresi budaya tradisional di mata hukum internasional.
Kesulitan ini dikarenakan perbedaan mendasar mengenai cara pandang
kepemilikan yang terdapat pada konvensi internasional dan masyarakat
pemilik budaya.
Perlindungan ekspresi budaya tradisional, saat ini sedang dirumuskan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization)
dan beberapa pasal yang sedang diatur terdapat mengenai definisi
ekspresi budaya tradisional, pengaturan penggunaan, dan kepemilikan
ekspresi budaya tradisional. Perumusan pasal-pasal tersebut akan membuat
negara-negara anggota meratifikasi perundang-undangan dalam negeri agar
sesuai dengan perjanjian tersebut. Namun beberapa pasal dalam Draft
perjanjian tersebut menimbulkan permasalahan baru, dilihat dari
kepemilikan dan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional,
sehingga akan terjadi konflik antar daerah atau komunitas pemilik
ekspresi budaya tradisional. Untuk itu, Rancangan Undang-Undang yang
diajukan berusaha mengembalikan kepemilikan dan pengaturan penggunaan
ekspresi budaya tradisional kepada pemerintah melalui sebuah lembaga.
1.1.2 Daftar peraturan perundang-undangan nasional yang terkait
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Rancangan Naskah Akademik RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas
Budaya ini disusun sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran
yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan RUU Perlindungan
Kekayaan Negara Atas Budaya.
1.2.2 Manfaat
- Memberikan pemahaman kepada pemerintah, DPR dan masyarakat akan pentingnya perlindungan ekspresi budaya tradisional.
- Dilihat dari sektor ekonomi, dapat meningkatkan perekonomian Indonesia dengan meningkatkan produktivitas.
- Menjaga identitas bangsa Indonesia melalui perlindungan ekspresi budaya tradisional
- Memberikan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional dengan jelas karena memiliki definisi dan batasan-batasan terhadap pihak yang akan menggunakan ekspresi budaya tradisional.
1.3 Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam menyusun Naskah Akademik RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya meliputi:
- Studi Pustaka, termasuk melakukan kajian pada Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan budaya.
- Melakukan konsultasi pakar untuk memperkaya dengan mengadakan serangkaian diskusi untuk memperoleh masukan dan tanggapan guna dari berbagai pemangku kepentingan guna memperkaya materi yang akan disusun untuk menyempurnakan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya.
1.4 Sistematika Naskah Akademik
Naskah Akademik ini disusun dengan sistematika, sebagai berikut:
I. Bab Pendahuluan, yang berisi latar belakang perlunya Indonesia
mengesahkan Rancangan Undang-Undang ini, dengan cakupan (a) Pokok-pokok
pikiran, (b) tujuan dan manfaat dipersiapkannya Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya, (c)
metode pendekatan; dan (d) Sistematika Naskah Akademik
II. Bab Kajian Hukum mengenai perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan budaya, mencakup peraturan terkait yang ada di
Indonesia, serta peraturan perundang-undangan dan kesepakatan
internasional yang telah diterima dan disepakati di Indonesia, seperti
International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.
III. Bab Ruang Lingkup Naskah Akademik, yang mencakup: (a)
Ketentuan Umum yang memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang
dipakai dalam Naskah Akademik; (b) Materi yang memuat penjelasan
mengenai RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas budaya.
Bab Kesimpulan dan Saran menjabarkan rangkuman pokok isi
Rancangan Naskah Akademik, saran untuk menyempurnakan dan memperkaya
materi Rancangan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya guna melindungi kekayaan
ekspresi budaya tradisional.
II. KAJIAN HUKUM
Peraturan Perundang-undangan Nasional yang terkait
Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia”
Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia”
Mengingat budaya merupakan salah satu hak umat manusia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya, maka diperlukan sebuah peraturan yang
setingkat undang-undang untuk melindungi ekspresi budaya tradisional
dari eksploitasi komersil dan pencurian.
Pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”
Pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”
Ekspresi budaya tradisional merupakan sebuah bentuk identitas
budaya dan didalamnya terdapat hak masyarakat tradisional, untuk itu
perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional perlu dilakukan guna
menghormati dan melindungi hak masyarakat tradisional.
Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal ini menyatakan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah beradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya”
Pasal ini menyatakan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah beradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya”
Dalam pasal ini, selain memajukan kebudayaan nasional Indonesia,
maka negara menjamin kebebasan masyarakat untuk terus mengembangkan
kebudayaan tanpa memerlukan batasan jika akan menyelenggarakan pagelaran
kebudayaan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-undang ini selain mengatur perlindungan kekayaan intelektual juga menjelaskan posisi negara dalam kepemilikian budaya ekspresi budaya tradisional melalui pasal 10 ayat 2, yaitu : “Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”
Undang-undang ini selain mengatur perlindungan kekayaan intelektual juga menjelaskan posisi negara dalam kepemilikian budaya ekspresi budaya tradisional melalui pasal 10 ayat 2, yaitu : “Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”
Namun dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tentang
definisi ekspresi budaya tradisional beserta batasan-batasannya dan
pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional, baik komersil maupun
non komersil
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Pasal 23 ayat 2 dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa: “Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia”
Pasal 23 ayat 2 dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa: “Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia”
Dalam pasal ini, pemerintah menjamin perlindungan nilai budaya
asli masyarakat namun tidak disertai pengaturan dan definisi yang jelas
budaya asli masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Undang-undang ini menetapkan diberlakukannya Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diselenggarakan pada tahun 16 Desember 1966 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Undang-undang ini menetapkan diberlakukannya Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diselenggarakan pada tahun 16 Desember 1966 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kesepakatan Internasional
International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 16 Desember 1966 telah menghasilkan 31 pasal mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) juga menjabarkan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat dalam pasal 15.
International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 16 Desember 1966 telah menghasilkan 31 pasal mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) juga menjabarkan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat dalam pasal 15.
Revised Draft Provisions For The Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore
WIPO (World Intellectual Property Organization) telah membuat sebuah draft yang berisi pasal-pasal tentang perlindungan ekspresi budaya tradisional. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan tentang definisi ekspresi budaya tradisional beserta batasan-batasan dan bentuk-bentuk yang dapat dilindungi, kepemilikan ekspresi budaya tradisional, bentuk-bentuk penggunaan yang harus mendapatkan izin dari komunitas pemilik ekspresi budaya tersebut, serta sanksi dan pengecualian.
WIPO (World Intellectual Property Organization) telah membuat sebuah draft yang berisi pasal-pasal tentang perlindungan ekspresi budaya tradisional. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan tentang definisi ekspresi budaya tradisional beserta batasan-batasan dan bentuk-bentuk yang dapat dilindungi, kepemilikan ekspresi budaya tradisional, bentuk-bentuk penggunaan yang harus mendapatkan izin dari komunitas pemilik ekspresi budaya tersebut, serta sanksi dan pengecualian.
Namun kepemilikan budaya tradisional yang dimiliki oleh komunitas
budaya akan menimbulkan konflik daerah karena terjadi perebutan
kepemilikna ekspresi budaya tradisional. Sehingga seharusnya kepemilikan
budaya tradisional dikembalikan kepada negara lewat sebuah lembaga yang
mewakili negara dalam pengaturan ekspresi budaya tradisional.
III. RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK
Ketentuan Umum
Memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang terdapat dalam Rancangan Naskah Akademik
Ekspresi Budaya Tradisional:
Sebuah ekspresi yang dihasilkan dari manifestasi budaya yang telah dikembangkan secara turun temurun baik berbentuk maupun tidak, dapat berupa tarian, musik, simbol, motif pakaian, dan lain sebagainya.
Sebuah ekspresi yang dihasilkan dari manifestasi budaya yang telah dikembangkan secara turun temurun baik berbentuk maupun tidak, dapat berupa tarian, musik, simbol, motif pakaian, dan lain sebagainya.
Ekonomi Kreatif:
Ekonomi kreatif yang dicetuskan oleh J.A Schumpeter merupakan ekonomi yang berlandaskan kepada innovation dan creative destruction sebagai faktor penting dalam memahami berjalannya sistem ekonomi kapitalisme. Innovation menurut Schumpeter adalah menciptakan kombinasi baru yang dihasilkan dari barang yang telah ada untuk tujuan komersil. Sementara creative destruction merupakan penghancuran nilai ekonomi barang lama dengan barang baru secara kreatif.
Ekonomi kreatif yang dicetuskan oleh J.A Schumpeter merupakan ekonomi yang berlandaskan kepada innovation dan creative destruction sebagai faktor penting dalam memahami berjalannya sistem ekonomi kapitalisme. Innovation menurut Schumpeter adalah menciptakan kombinasi baru yang dihasilkan dari barang yang telah ada untuk tujuan komersil. Sementara creative destruction merupakan penghancuran nilai ekonomi barang lama dengan barang baru secara kreatif.
International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR):
Kovenan yang dihasilkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 16 Desember 1966 yang membahas mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Kovenan yang dihasilkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 16 Desember 1966 yang membahas mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Konvensi Berne:
Konvensi Bern pertama kali diselenggarakan pada tahun 1886, 3 tahun setelah Konvensi Paris diselenggarakan di Paris. Konvensi ini mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya untuk melindungi karya-karya pencipta yang berasal dari negara-negara yang menandatanganinya seolah-olah menjadi warga negaranya sendiri. Sebelum adanya perjanjian tersebut, setiap negara hanya dapat melindungi karya-karya penciptanya berasal dari negara asalnya. Selain itu, konvensi Bern juga mengharuskan negara-negara yang menandatanganinya agar memiliki undang-undang Hak Cipta yang sesuai dengan tolak ukur minimum yang telah disepakati. Penggabungan Konvensi Paris yang mengatur Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri, dan Konvensi Bern yang mengatur Perlindungan Karya Seni dan Sastra melahirkan BIRPI (Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété Intellectuelle), yang merupakan cikal bakal dari WIPO (World Intellectual Property Organization).
Konvensi Bern pertama kali diselenggarakan pada tahun 1886, 3 tahun setelah Konvensi Paris diselenggarakan di Paris. Konvensi ini mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya untuk melindungi karya-karya pencipta yang berasal dari negara-negara yang menandatanganinya seolah-olah menjadi warga negaranya sendiri. Sebelum adanya perjanjian tersebut, setiap negara hanya dapat melindungi karya-karya penciptanya berasal dari negara asalnya. Selain itu, konvensi Bern juga mengharuskan negara-negara yang menandatanganinya agar memiliki undang-undang Hak Cipta yang sesuai dengan tolak ukur minimum yang telah disepakati. Penggabungan Konvensi Paris yang mengatur Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri, dan Konvensi Bern yang mengatur Perlindungan Karya Seni dan Sastra melahirkan BIRPI (Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété Intellectuelle), yang merupakan cikal bakal dari WIPO (World Intellectual Property Organization).
WIPO (World Intellectual Property Organization):
merupakan sebuah lembaga dibawah naungan PBB yang mengatur tentang Kekayaan Intelektual dan kepemilikan industri. Indonesia dan anggota WIPO telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Cipta (WIPO Copyright Treaty) ini pada 20 Desember 1996. Pengesahan ini dinyatakan Indonesia lewat Keppres No. 19 Tahun 1997.
merupakan sebuah lembaga dibawah naungan PBB yang mengatur tentang Kekayaan Intelektual dan kepemilikan industri. Indonesia dan anggota WIPO telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Cipta (WIPO Copyright Treaty) ini pada 20 Desember 1996. Pengesahan ini dinyatakan Indonesia lewat Keppres No. 19 Tahun 1997.
Materi
Perlindungan budaya melalui hukum sebenarnya telah tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal 10, namun Undang-Undang tersebut hanya sebatas pada definisi dan tidak dijelaskan lebih mendetail pengaturan dan sanksi. UU Hak Cipta pertama di Indonesia disahkan tahun 1982 (UU No.6) kemudian diubah tahun 1987 (UU. No.7), diubah lagi tahun 1997 (UU No. 12) dan yang terakhir, yang kini berlaku, adalah tahun 2002 (UU No.19). Undang-undang yang berlaku saat ini, UU No.19 tahun 2002, belum mampu memberikan solusi perlindungan ekspresi budaya tradisional. Hal ini terlihat dari hanya 1 pasal yang mengatur perlindungan ekspresi budaya tradisional (folklore), yakni Pasal 10, dan tidak dijelaskan secara terinci mengenai bagaimana penggunaan ekspresi budaya tradisional secara komersil, baik oleh warga negara Indonesia maupun warga asing.
Perlindungan budaya melalui hukum sebenarnya telah tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal 10, namun Undang-Undang tersebut hanya sebatas pada definisi dan tidak dijelaskan lebih mendetail pengaturan dan sanksi. UU Hak Cipta pertama di Indonesia disahkan tahun 1982 (UU No.6) kemudian diubah tahun 1987 (UU. No.7), diubah lagi tahun 1997 (UU No. 12) dan yang terakhir, yang kini berlaku, adalah tahun 2002 (UU No.19). Undang-undang yang berlaku saat ini, UU No.19 tahun 2002, belum mampu memberikan solusi perlindungan ekspresi budaya tradisional. Hal ini terlihat dari hanya 1 pasal yang mengatur perlindungan ekspresi budaya tradisional (folklore), yakni Pasal 10, dan tidak dijelaskan secara terinci mengenai bagaimana penggunaan ekspresi budaya tradisional secara komersil, baik oleh warga negara Indonesia maupun warga asing.
Kekayaan ekspresi budaya Indonesia dapat dijadikan sebagai sumber
inovasi dalam menjalankan roda perekonomian negara. Namun kekayaan
ekspresi budaya tradisional harus dilindungi oleh pemerintah, dalam hal
ini sebagai pemegang kedaulatan negara, melalui Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya. RUU tersebut secara tegas akan
mengatur ekspresi budaya tradisional sebagai kekayaan negara atas
budaya yang harus dilindungi dan jika akan digunakan secara komersil
diharuskan membayar sejumlah uang kepada negara, sebagai pemegang
lisensi. Undang undang tersebut juga dapat memberikan devisa negara
karena akan diperlakukan sama dengan Kekayaan Intelektual dengan
membayar lisensi jika ingin diproduksi secara komersil. Dengan
diterapkannya undang-undang tersebut dan mendapatkan pengakuan dari
negara lain maka budaya tradisional diharapkan dapat dilestarikan dan
dilindungi dari pihak-pihak lain yang akan mengambil dan mengeksploitasi
budaya tersebut sehingga dapat melestarikan identitas bangsa Indonesia.
Dalam RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya yang kami
ajukan, terdapat pasal yang mengatur definisi ekspresi budaya
tradisional (Pasal 1 dan 2), penggunaan ekspresi budaya tradisional baik
oleh pihak asing maupun domestik (Pasal 3, 4, dan 5), serta pendirian
sebuah lembaga yang mewakili negara dan memiliki wewenang (Pasal 6, 7,
dan 8):
- Mendokumentasikan Kekayaan Negara Atas Budaya
- Memberikan Lisensi Kekayaan Negara Atas Budaya kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi
- Melakukan analisa ilmiah terhadap inovasi ataupun penemuan artefak budaya nasional dengan perangkat analisis tertentu
Dan RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya dapat mejawab
keraguan akan perlunya UU yang dapat melindungi ekspresi budaya
tradisional karena dengan jelas mendefinisikan ekspresi budaya
tradisional dan menjembatani perbedaan konsep kepemilikan intelektual
dan kepemilikan pada ekspresi budaya tradisional, yang dalam hal ini
akan dimiliki oleh negara lewat sebuah lembaga. Selain itu, penggunaan
ekspresi budaya tradisional oleh warga negara Indonesia untuk
penelitian, pendidikan, dan pertunjukan yang tidak komersil dapat
menggunakan langsung tanpa persetujuan lembaga tersebut sehingga budaya
indonesia dapat terus berkembang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Rangkuman pokok isi naskah akademik
Keberagaman budaya di Indonesia seharusnya dapat dijadikan sebuah alat untuk menyatukan elemen-elemen bangsa Indonesia dengan lebih mengedapankan persamaan-persamaan ekspresi budaya tradisional yang berkembang karena proses akulturasi dan asimilasi budaya selama ribuan tahun. Keberagaman budaya tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai sumber inovasi dalam meningkatkan produktivitas sehingga memacu perekonomian Indonesia.
Keberagaman budaya di Indonesia seharusnya dapat dijadikan sebuah alat untuk menyatukan elemen-elemen bangsa Indonesia dengan lebih mengedapankan persamaan-persamaan ekspresi budaya tradisional yang berkembang karena proses akulturasi dan asimilasi budaya selama ribuan tahun. Keberagaman budaya tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai sumber inovasi dalam meningkatkan produktivitas sehingga memacu perekonomian Indonesia.
Perangkat hukum yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta belum mencukupi kebutuhan masyarakat
akan perlunya perlindungan ekspresi budaya tradisional. Perlindungan
tersebut diajukan sebagai langkah antisipasi eksploitasi dan pencurian
ekspresi budaya tradisional yang semakin menguat melalui paten dan klaim
dari pihak asing. Namun perlindungan hukum tersebut seharusnya tidak
membatasi ruang gerak bagi komunitas yang mengembangkan budaya dengan
mengizinkan penggunaan non komersil ekspresi budaya tradisional.
Kepemilikan ekspresi budaya tradisional diberikan kepada negara
lewat sebuah lembaga yang mengatur dan membina komunitas budaya guna
menghindari konflik yang terjadi karena ekspresi budaya tradisional di
Indonesia seringkali tidak dimiliki oleh satu kelompok saja. Selain itu,
kepemilikan negara terhadap ekspresi budaya tradisional juga dapat
menghindari eksploitasi pihak asing terhadap daerah-daerah jika
kepemilikan ekspresi budaya tradisional dikembalikan kepada daerah.
Bentuk pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan
Menilik cakupan pengaturan dan bobot kepentingan materi yang dicakup, pengaturannya harus berbentuk peraturan induk, yaitu Undang-undang, yang kemudian menjadi peraturan-peraturan pelaksanaan.
Menilik cakupan pengaturan dan bobot kepentingan materi yang dicakup, pengaturannya harus berbentuk peraturan induk, yaitu Undang-undang, yang kemudian menjadi peraturan-peraturan pelaksanaan.
Saran
- Perlunya kajian dan diskusi lebih lanjut guna memperkaya materi sehingga menyempurnakan Rancangan Naskah Akademik.
- Penyusunan Naskah Akademik perlu mendapatkan prioritas tinggi, karena permasalahan yang mendesak dan sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu selanjutnya menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya.
Kepustakaan
- Daftar Pustaka
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
- Revised Draft Provisions For The Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights
Tidak ada komentar:
Posting Komentar