Pendidikan Empati dan Toleransi untuk Perdamaian
11 Jul 2011
Hery Sucipto
Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah
SEBAGAI bangsa yang majemuk. Indonesia memerlukan upaya sinergi
menuju penguatan dan kesadaran bersatu dalam perbedaan (ber-Bhinneka
Tunggal Ika) untuk kepentingan dan kemajuan bangsa.
Ikhtiar itu bisa dilakukan dengan mengadakan proses pendidikan sejak
dini dalam lingkungan keluarga serta lingkungan pendidikan formal dan
informal tentang prinsip bersatu dalam perbedaan [unity in diversity)
karena individu dalam masyarakat majemuk haruslah memiliki kesetiaan
ganda (multUaydlilies) terhadap bangsa dan negaranya. Mereka juga tetap
memiliki keterikatan terhadap identitas kelompoknya, tapi dengan tetap
menunjukkan kesetiaan yang lebih besar terhadap bangsa Indonesia.
Refleksi terhadap lemahnya masyarakat kita akan makna keberagaman dan
kemajemukan disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak/ moralitas
serta pendidikan agama yang kurang diberikan dalam bentuk
latihan-latihan pengamalan secara nyata dan menyentuh kehidupan riil
masyarakat kita. Bahkan tidak jarang dunia pendidikan justru
mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat memperuncing ketidakrukunan
kehidupan antarumat beragama.
Menjaga dan melestarikan keberagaman dalam mewujudkan kebersamaan dan
kerukunan hidup sangat efektif dimulai dari lingkungan pendidikan.
Sekolah, dengan demikian, harus menyediakan ruang bagi bertumbuhnya
keberagaman dan kemajemukan.
Oleh karena itu, pengenalan terhadap simbol-simbol keberagaman
antarsuku, kepercayaan, agama, dan budaya perlu dikenalkan terhadap anak
didik sejak dini. Hal itu dimaksudkan untuk mem-berikan pemahaman bahwa
berbeda itu adalah sebuah keniscayaan. Mengenalkan beragam perbedaan
sejak dini merupakan fondasi utama dalam membangun karakter inklusif dan
mengembangkan sikap toleransi.
Lembaga pendidikan sebagai agen perubahan masyarakat harus turut
bertanggung jawab atas lemahnya sikap toleransi dan inklusivisme yang
kembali marak terjadi akhir-akhir ini. Penafsiran yang sempit dan kering
terhadap ajaran agama dianggap sebagai pemicu perilaku fanatisme
golongan.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan segera mengubah
sistem dan proses pengajaran yang bisa mempersempit pemahaman ajaran
agama. Misalnya, siswa nonmuslim dapat ambil bagian dalam acara Idul
Adha, turut serta mempersiapkan daging kurban, yang non-Kristen dapat
ambil peran dalam kegiatan aksi Paskah/Natal, yang non-Buddha dapat
berpartisipasi dalam persiapan VVaisak, dan sebagainya.
Bahkan penting kiranya mengajak anak didik untuk studi banding ke
tempat-tempat ibadah yang berlainan agama, mengenalkan ajaran-ajaran dan
laku ritual mereka.
Sayangnya, pendidikan agama yang dianggap sebagai pilar moral bangsa
ternyata belum banyak memberikan jawaban nyata atas berbagai macam
munculnya konflik SARA yang sering terjadi. Apa yang salah dari
pembelajaran agama selama ini?
Analisis yang dikemukakan
Brenda VVatson dalam bukunya, Education and Belief ([987) sangat
menarik. Menurutnya, ada tiga sebab utama yang menyebabkan gagalnya
pembelajaran agama di sekolah-sekolah. Pertama, proses pendidikan yang
diajarkan guru lebih mengarah kepada proses indoktrinasi
(indoctrina-tion process) sehingga pembelajaran agama diposisikan
sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan. Kedua, lebih
menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif-infor-matif.
Ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut sang guru.
Bila prosespendidikan di sekolah-sekolah kita masih berpegang teguh
pada ketiga hal tersebut, jangan harap pembelajaran agama bisa membumi
dan menjadi tumpuan moral bangsa yang lebih bermartabat. Oleh karena
itu, revitalisasi pembelajaran agama dan moral dalam menumbuhkan sikap
toleransi menjadi kebu-tuhan yang mendesak. Sudah saatnya lembaga
pendidikan kita mengubah sistem dan proses pendidikan menuju pendidikan
yang lebih inklusif bila tidak ingin perilaku kekerasan menjadi
habilbaru generasi bangsa ini.
Jadi, pendidikan toleransi perlu ditanamkan kepada anak-anak sedini
mungkin. Lebih cepat diajarkan berto-leransi, lebih baik bagi
perkembangan jiwa anak-anak. Saat anak mulai bergaul
denganteman-temannya, dia akan mulai merasakan perbedaan, (ika tidak
diajarkan bertoleransi, nantinya dia bisa berkonflik dengan
teman-temannya karena perbedaan.
Banyak orang tua yang hidup dalam komunitas beragam dan memiliki
teman-teman yang memiliki perbedaan asal-usul, jenis kelamin, agama, dan
sebagainya. Meng-ajarkan toleransikepada anak-anak seba i k n y a
dimulai dari sikap orang tua yang menghargai perbedaan itu dengan baik,
yaitu dengan menjadi diri mereka sendiri tanpa sikap yang dibuat-buat.
Anak-anak di masa depandihadapkan dengan era globalisasi yang
mengharuskan mereka berhadapan dengan orang-orang yang memiliki latar
belakang berbeda sehingga pemahaman keragaman merupakan hal penting bagi
masa depan anak-anak.
Apalagi, kelak jarak antarnegara dan benua sudah semakin dekat berkat
kemajuan teknologi. Psikolog anak Gordon Allport berpendapat anak-anak
yang diamatinya lebih cenderung tumbuh toleran jika mereka tinggal di
rumah yang mendukung dan penuh kasih.
Paling tidak, ada empat cara mengajarkan toleransi kepada anak.
Pertama, perkenalkan keragaman. Anda bisa mulai dengan memberi
pengertian bahwa ada beragam suku, agama, dan budaya. Beritahukan kepada
buah hati, meskipun memiliki agama atau suku yang berbeda, manusia
sebenarnya sama dan tidak boleh dibeda-bedakan. Memperkenalkan keragaman
sedini mungkin nantinya bisa memupuk jiwa toleransi buah hati agar
lebih memandang perbedaan yang ada secara lebih bijak.
Kedua, perbedaan bukan untuk menimbulkan kebencian. Ajarkan kepada
buah hati bahwa perbedaan yang ada jangan disikapi dengan kebencian,
karena kebencian akan membuat sedih dan menyakiti hati orang lain.
Cobalah ajak buah hati untuk berandai-andai jika dia dibenci karena
perbedaan, tentu akan merasa sedih. Dengan begitu.dia lebih merasa
empati danbertoleransi dengan apa yang dirasakan orang lain
Ketiga, beri contoh. Jangan h.my.i memberi tahunya lewat kata-kala,
tetapi juga contoh nyata, lika bertemu seseorang menggunakan simbol
agama \.mj; cukup ekstrem atau se-enr.ing yang memiliki warna kulit
berbeda, jangan memandangnya dengan penuh keanehan, apalagi mengatakan
sesuatu bernada kebencian dan ledekan. Ingatlah bahw .1 Ando adalah
contoh bagi buah hati. Bersikaplali seperti biasa dan jika buah hati
bertanya, berikan penjelasan vang bijak.
Keempat, bertoleransi untuk kedamaian. Beritahukan kepada buah hati
bahwa sikap toleransi itu --angat dibutuhkan. Jika tidak ada sikap
toleransi, banyak orang yang akan bermusuhan dan saling membenci.
Katakan juga kepadanya jika hal itu terjadi, dia tidak akan nyaman saat
bersekolah ataupun bermain.
Psikolog anak dari Karuna Center for Peace Building di Leverett,
Massachusetts, Amerika Serikat, Paula Green PhD, mengemukakan sikap
toleransi dan intoleransi dapat dipelajari. Jika orang tua takut akan
perbedaan, anak-anak akan mengikutinya. Pengajaran toleransi adalah
tanggung jawab orang tua, dan hal itu perlu dilakukan secara serius.
Sebagai pendidik dan pencetak generasi berikutnya, orang tua
mempunyai kewajiban untuk berdiri dan berada di garis depan dalam
melawan kefanatikan, rasisme, dan prasangka dalam segala bentuknya.
Membina identitas bangsa melalui pendidikan yang berbasis toleransi
memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai
aspek, dan salah satu yang sangat penting ialah pola pengasuhan orang
tua terhadap anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar