Kamis, 09 Februari 2012

Memahami Kemajemukan Masyarakat Indonesia

MEMAHAMI KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA
(Perspektif Komunikasi Antarbudaya)
Oleh: Turnomo Rahardjo
Abstract:
In 2010, Indonesia has been an independent country for 65 years. However, as a country, Indonesia still have to deal with various problems which restrains it from reaching the common goals. The main obstacles are ranging from security, social, political, economics to the problems of law enforcement. Another important issue that challanges the unity of the nation is the notion of cultural plurality in Indonesia which is potentially leading to the nation’s disintegration.
Keywords: cultural plurality, conflict, dialogue.

A. Pendahuluan.
     Tahun 2010 merupakan peringatan 102 tahun kebangkitan nasional dan 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Jika merujuk pada usia yang sudah dijalani, seharusnya Indonesia kita sudah lama bangkit dan merdeka dari segala keterpurukan. Namun dalam kenyataannya apakah kebangkitan dan kemerdekaan tersebut sudah tercipta? Pertanyaan ini perlu diajukan dengan melihat kondisi negara kita sekarang ini yang tidak kunjung berubah ke arah yang lebih baik. Masih banyak persoalan besar yang dihadapi dan penyelesaian yang diupayakan tidak kunjung tuntas. Masalah keamanan, sosial, ekonomi, politik, dan hukum saling terkait satu sama lain. Korupsi sudah sedemikian parah dengan berbagai penyimpangan yang tidak saja dilakukan oleh aparat birokrasi, tetapi juga wakil rakyat. Penegakan hukum masih sebatas harapan, kualitas kesehatan masyarakat masih memprihatinkan, dan kemiskinan masih ada dimana-mana. Itulah potret Indonesia kita sekarang ini.
     Persoalan besar lain yang dihadapi bangsa Indonesia adalah pertikaian antarkelompok yang intensitasnya cenderung meningkat belakangan ini. Ketika konflik yang banyak disebut orang sebagai konflik antaretnis dan antaragama (Sambas, Sampit, Sanggauledo, dan Poso) sudah mereda (mudah-mudahan sudah selesai dan bukan latent conflict), sekarang ini muncul benih-benih permusuhan antarkelompok yang baru. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang dimaksudkan sebagai sarana memberi kesempatan kepada warga masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung ternyata tidak lepas dari pertikaian. Ketidakpuasan satu kelompok terhadap kelompok yang lain diekspresikan dalam bentuk penggalangan massa secara kolosal  (mobokrasi) untuk pamer kekuatan dan tidak jarang melakukan tindakan anarkis, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Tuban dan Mojokerto, Provinsi Jawa Timur beberapa waktu yang lalu.
     Lebih dari itu, ketidaksenangan antarkelompok juga dilakukan oleh mahasiswa yang konon merupakan generasi penerus negeri ini. Mereka melakukan tawuran massal untuk mengekspresikan kebencian satu sama lain, seperti yang terjadi di Jakarta dan Makassar. Tawuran massal antarkelompok mahasiswa sudah berulangkali terjadi. Negeri yang sudah merdeka lebih dari setengah abad ini juga masih dihadapkan dengan “perang tradisional” antarkelompok (suku) seperti yang terjadi di Provinsi Papua. Apabila kasuskasus pertikaian tersebut tidak disikapi dengan bijak oleh semua pihak, bukan tidak mungkin konflik tersebut akan bisa menjadi pemantik terjadinya pertikaian antarkelompok yang lebih besar.
     Pelajaran apa yang bisa peroleh dari permusuhan antarkelompok tersebut? Sifat dari konflik tersebu sudah mengarah pada upaya untuk “menghilangkan” satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Sungguh suatu hal yang ironis, ketika kita dalam banyak kesempatan sering membanggakan diri sebagai bangsa yang santun, ramah, dan beradab. Namun dalam kenyataannya, kita justru melakukan tindakan yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.
B. Pembahasan.
     Penulis ingin mengawali diskusi tentang sifat pluralitas masyarakat Indonesia dengan mengutip pernyataan Elie Wiesel, seorang penerima penghargaan Nobel Perdamaian dalam buku yang ditulis oleh William B. Gudykunst dan Young Yun Kim: Communicating With Strangers, An Approach to Intercultural Communication (1997:277). Wiesel mengatakan bahwa kebencian yang ditujukan kepada kelompok politik dan ideologi yang berbeda merupakan persoalan utama yang kita hadapi (hingga sekarang ini – catatan penulis). Kebencian dan konflik telah dan tengah terjadi di berbagai belahan dunia tempat kita hidup.
     Konflik kebangsaan yang terjadi di bekas negara Uni Soviet antara Azerbaijan dengan Armenia; konflik etnis yang terjadi antara warga Serbia, Kroasia dengan Muslim di bekas negara Yugoslavia; konflik antara pengikut neo-Nazi dengan para imigran di Jerman yang mengarah pada tindak kekerasan; konflik antara kelompok Protestan dengan Katholik yang masih berlangsung hingga sekarang di Irlandia Utara serta konflik antara Palestina dengan Israel yang belum berhenti, merupakan realitas yang diungkapkan oleh Wiesel untuk menyebut beberapa konflik antarkelompok yang terjadi hingga saat ini. Belakangan kita juga mengetahui lewat pemberitaan media massa mengenai perang antara Hizbullah dengan Israel di Libanon. Banyak korban manusia yang meninggal dalam perang ini, khususnya anak-anak yang sebenarnya tidak memahami makna dari konflik yang terjadi. Kebencian antarkelompok juga diekspresikan lewat teror bom, seperti yang terjadi di Afghanistan, India, dan Irak, bahkan di negara kita sendiri yang menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan orang lainnya yang sama sekali tidak terkait dengan persoalan politik dan ideologi dari pihak-pihak yang bertikai. Peristiwa aktual tentang pertikaian antaretnis terjadi di Kirgistan, sebuah negara miskin pecahan Uni Soviet di Asia Tengah.
     Di Indonesia, dalam catatan saya, konflik antarkelompok yang menjadikan perbedaan latar belakang budaya sebagai “alat pemantik” sudah lama berlangsung dan beberapa diantara konflik itu dilakukan lewat penyerangan fisik yang sudah mengarah pada tataran prasangka yang paling tinggi, yaitu eksterminasi (extermination). Secara konseptual, tindakan eksterminasi diekspresikan dalam wujud pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu (genocide atau ethnic cleansing). Tentu masih segar dalam ingatan kita “Peristiwa Sanggau Ledo, Sambas dan Sampit” (konflik antara etnis Dayak/Melayu dengan Madura), “Peristiwa Ambon dan Poso” (konflik antaragama) dan “Peristiwa Mei 1998” (konflik politik yang berimbas pada kebencian terhadap warga Tionghoa).
    Pelajaran yang bisa kita peroleh dari pertikaian antarkelompok tersebut adalah bahwa sifat dan kedalaman konflik yang terjadi sudah mengarah pada upaya untuk menghilangkan satu kelompok kultural oleh kelompok kultural yang lain. Tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai sudah tidak lagi memberi penghargaan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ironis, ketika kita dalam banyak kesempatan sering membanggakan diri sebagai bangsa yang santun, ramah dan beradab, namun dalam realitasnya kita justru melakukan tindakan yang menafikan dan jauh dari nilai-nilai tersebut. Konflik antarkelompok yang terjadi di Indonesia, dalam catatan sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo (2004:8) merupakan satu dari banyak persoalan yang dihadapi oleh negara kita. Masalah keamanan, sosial, ekonomi, politik dan moral saling terkait satu sama lain, sehingga sulit untuk mengurai dan mengatasi beragam masalah tersebut. Akibat dari situasi ini, pemerintah seperti tidak memiliki cukup kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada warganya, sedangkan masyarakat sendiri telah kehilangan kekuatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Dalam terminologi ilmu sosial, bila berbagai persoalan yang dihadapi tidak segera diatasi, maka suatu negara akan memasuki situasi yang disebut dengan “darurat kompleks” (complex emergency). Dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki situasi “darurat kompleks” ini, karena persoalan-persoalan yang dihadapi sudah sedemikian perlu mendapat penanganan yang sungguh-sungguh.
     Masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa yang majemuk. Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, sukubangsa (etnis) dan keyakinan agama serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya. Pada satu sisi, kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain keragaman kultural memiliki potensi bagi terjadinya disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas budaya ini seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku bangsa, agama, ras dan antargolongan (SARA), meskipun sebenarnya faktor-faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan politik, ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Uni Soviet dan Yugoslavia bisa menjadi cermin untuk memahami kegagalan suatu negara dalam mengelola perbedaan kultural.
     Secara konseptual, potensi konflik yang besar dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini disebabkan oleh terbelahnya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural mereka. Ting-Toomey (1999:30) menjelaskan identitas kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari individu-individu untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbelah ke dalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural, yaitu menegaskan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultural ini (Rogers & Steinfatt, 1999:97) pada gilirannya akan menentukan mereka ke dalam ingroup atau outgroup. Bagaimana setiap individu berperilaku, sebagian ditentukan oleh apakah mereka termasuk ke dalam kelompok budaya tertentu atau tidak. Dalam sosiologi dikenal istilah crosscutting cleavage, yaitu masyarakat yang terkonsentrasi secara eksklusif berdasarkan identitas kulturalnya. Crosscutting cleavage ini memudahkan terjadinya penggalangan massa ketika terjadi konflik yang melibatkan anggota-anggota dari kelompok kultural yang berbeda. Di negeri ini, kita banyak menemukan permukiman warga berdasarkan identitas kelompok kulturalnya masing-masing, misalnya Pecinan, Kampung Arab, Kampung Bali, Kampung Bugis, dan lain-lain. Pada satu sisi, permukiman yang terpusat secara kultural ini akan menciptakan rasa aman sekaligus nyaman bagi para penghuninya, namun pada sisi yang lain, lingkungan permukiman tersebut akan menjadi kontra produktif ketika dihadapkan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk.
     Dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural atau masyarakat yang terpilah dalam dikotomi ingroup dan outgroup secara kultural, akan relatif sulit dicapai keterpaduan sosial (social cohesion). Sebab, masing-masing kelompok berada pada wilayah pergaulan yang eksklusif, sehingga relatif tidak intensif dalam menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif, yaitu komunikasi yang dimaksudkan untuk mengurangi kesalahpahaman budaya (cultural misunderstanding), tetapi justru cenderung melakukan penghindaran komunikasi (communication avoidance). Keterpaduan sosial yang dimaksud adalah suatu kondisi yang memungkinkan masingmasing kelompok dapat menjalin komunikasi tanpa harus kehilangan identitas kultural mereka. Akibat yang akan muncul dari tidak adanya keterpaduan sosial adalah bahwa usaha untuk membentuk kehendak bersama (common will) sebagai suatu bangsa menjadi persoalan yang rumit dan membutuhkan waktu yang relatif panjang.
     Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1954 mengingatkan pentingnya memahami kemajemukan budaya yang menjadi ciri bangsa Indonesia. “Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu, demikianlah tertulis di lambang negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita ini bhinna, kita ini berbeda-beda …” (dikutip dari Kompas, 4 Maret 2001, hal. 31).
     Pernyataan-pernyataan di atas memberikan suatu gambaran bahwa usaha untuk membangun sebuah bangsa yang majemuk, yaitu kondisi masyarakat yang memberi apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural, ras dan etnis (Speight dalam Deetz, 1993:433) atau pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam  lingkungan yang sama dan memberi manfaat satu sama lain (Rogers & Steinfatt, 1999:238) masih dalam tahapan mencari bentuk. Multikulturalisme, menurut Shuter (dalam Deetz, 1993:433) mempersyaratkan pemeliharaan (preservation) yang tidak dapat dirubah dari setiap budaya, yaitu nilai-nilainya, pandangan-pandangannya (worldviews) dan polapola
komunikasinya.
     Potensi konflik sebagai konsekuensi dari sifat kemajemukan yang menjadi ciri masyarakat Indonesia telah mewujud dalam berbagai bentuk pertikaian SARA, terutama konflik antaretnis yang telah terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, mulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Meskipun telah dinyatakan secara tegas oleh aparat pemerintah sebagai bukan konflik antaretnis, namun pertikaian antara 2 (dua) kelompok warga (Betawi dan Madura) di Cengkareng Jakarta beberapa waktu yang lalu yang dipicu oleh kecelakaan lalu lintas (serempetan mobil), sebenarnya perwujudan nyata dari pertikaian antaretnis.
     Pertikaian SARA yang terjadi di hampir sepanjang jalur negeri ini sebenarnya ingin menegaskan kembali bahwa sifat kemajemukan yang dimiliki masyarakat Indonesia merupakan persoalan yang perlu dikelola dengan serius. Dalam arti, perlu ada penanganan yang sifatnya mendasar, karena pertikaian terbuka (manifest) maupun konflik yang tersembunyi (latent) terjadi silih berganti. Penanganan terhadap konflik SARA yang dilakukan pemerintah selama ini masih sebatas mengurangi ketegangan dengan bertindak sebagai fasilititator atau penengah, misalnya mencari solusi damai dengan mengundang dan mempertemukan pemimpin-pemimpin kelompok yang bertikai. Cara penyelesaian seperti ini tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dari kelompok-kelompok yang bertikai, karena alternatif penyelesaian yang ditawarkan cenderung bersifat formalitas, tanpa melewati sebuah proses dialog yang matang. Perjanjian Malino yang diprakarsai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla pada saat itu menjadi contoh tentang solusi konflik yang cenderung formal.
    Temuan-temuan studi yang berkaitan dengan cara dan kinerja pemerintah dalam menangani konflik SARA selama ini, mengindikasikan bahwa ada tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintah, yaitu bagaimana mengupayakan cara pemecahan terbaik untuk menyelesaikan konflik SARA yang sudah mengakar. Dalam wujud yang lebih konkrit, kebijakan atau langkah-langkah strategis apa yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam mengelola masyarakat Indonesia yang majemuk yang memungkinkan setiap orang dari kelompok kultural yang beragam dapat meminimalkan kesalahpahaman yang selama ini terjadi. Data hasil jajak pendapat yang dilakukan surat kabar Kompas (14 Agustus 2006) menunjukkan bahwa sepertiga (31,5%) dari sebanyak 984 responden di beberapa kota besar di Indonesia tidak memiliki kebanggaan terhadap pemerintah, bahkan hampir separuh dari mereka (44,2%) tidak merasa bangga dengan kinerja lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPD). Dalam hal toleransi terhadap perbedaan etnis, 32,1% responden berpendapat bahwa toleransi tersebut cenderung melemah, demikian halnya dengan 27,7% responden yang menilai rendahnya tenggang rasa terhadap perbedaan agama. Temuan studi ini pada akhirnya memberikan peringatan kepada kita semua bahwa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia sekarang ini justru sedang mengalami penurunan. Salah satu potensi (negatif) dari karakteristik masyarakat yang majemuk, seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah konflik. Pertikaian SARA di Indonesia yang sifatnya sudah mengakar memberikan indikasi bahwa pemahaman masyarakat tentang pluralitas atau kemajemukan budaya masih sangat terbatas. Masyarakat hampir tidak pernah
mendapatkan pengetahuan yang bisa memberikan pencerahan kepada mereka tentang makna pluralitas kultural. Di masa lalu, masyarakat ditabukan untuk membicarakan secara terbuka persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan SARA.
     Menurut sosiolog UGM, Heru Nugroho (2000:145), SARA selalu dijadikan “kambing hitam” sebagai penyebab munculnya permasalahan sosial di tengah masyarakat. Ironisnya, popularitas SARA sebagai sumber gejolak sosial tidak pernah menjadi wacana untuk diperdebatkan secara terbuka apalagi tuntas di tingkatan publik. Justru sebaliknya, perdebatan yang mengarah pada topik SARA terus dibatasi. Sebagai sebuah wacana, SARA telah menempati wilayah yang sangat elitis, SARA hanya mampu ditembus atau dimanipulasi oleh para elite penguasa.
      Akibat dari pelarangan membicarakan SARA sebagai wacana yang terbuka adalah munculnya distorsi pengetahuan. Persoalan SARA tidak pernah dipahami sebagai kenyataan ontologis yang harus dikaji secara rasional, tetapi SARA lebih dilihat sebagai permasalahan yang tidak pernah terjadi secara nyata. Ringkasnya, SARA seharusnya perlu dipahami sebagai wilayah pertikaian yang tanpa henti, baik konflik yang tersembunyi maupun konflik yang terbuka. Konflik SARA yang terjadi di Ambon, Poso, Sanggau Ledo, Sambas, Sampit atau pun berbagai peristiwa kerusuhan sosial yang melibatkan warga Tionghoa sebagai korban menjadi pertanda keterbatasan masyarakat Indonesia dalam memahami makna dari kemajemukan budaya. Identitas kultural dipahami secara sempit dalam wujud kebanggaan etnis atau fanatisme agama oleh masing-masing kelompok. Pemahaman yang relatif terbatas tentang pluralitas kultural ini bisa terjadi karena orang secara individual maupun kelompok sering dengan sangat mudah mengekspresikan kendala-kendala dalam
komunikasi antarbudaya (intercultural inhibitors), yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka ketika orang tersebut terlibat dalam suatu pertikaian dengan orang lain, meskipun faktor-faktor penyebab dari konflik tersebut sebenarnya tidak mempunyai kaitan langsung dengan perbedaan-perbedaan latar belakang kultural.
      Menurut antropolog UI, Parsudi Suparlan (dalam I. Wibowo (ed.), 1999:165), sentimen etnis dapat diaktifkan untuk menciptakan solidaritas sosial ketika menghadapi warga dari etnis lain pada saat terjadinya persaingan. Biasanya persaingan tersebut untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan pengalokasian pendistribusiannya, atau untuk mempertahankan dan memperjuangkan kehormatan etnisnya yang dianggap telah dirusak oleh pihak lawan. Sedangkan antropolog Kathryn Robinson (2000) mengungkapkan, “Kita harus mengerti kekerasan atau teror supaya kita bisa memahami pikiran orang lain, yaitu mengapa mereka benci kepada kita? ….. Karena mereka tidak mengerti”. Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, pernyataan tersebut memberi makna bahwa sebagai bagian dari masyarakat multikultur, kita selama ini tidak atau belum pernah melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif, sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan untuk meminimalkan kesalahpahaman budaya. Interaksi dalam konteks individual maupun kelompok selama ini tidak lebih dari komunikasi yang semu, tidak sungguh-sungguh, sebuah perilaku komunikasi yang dalam cara berpikir jurnalis senior Jakob Oetama (2000) cenderung tidak mencerminkan adanya ketulusan dari kedua belah pihak, yaitu tidak mengatakan apa yang sebenarnya, apa yang hidup dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian, komunikasi hanya sekadar untuk berbasa-basi. Komunikasi tidak menyampaikan pesan yang sebenarnya.
     Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin interaksi dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness, yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal, kategori-kategori yang bersifat rutin dan cara-cara melakukan sesuatu yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1999:46). Artinya, ketika seseorang melakukan kontak antarbudaya dengan “liyan” (stranger), maka individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktivitas komunikasinya seperti automatic pilot yang tidak dilandasi dengan kesadaran dalam berpikir (conscious thinking). Orang tersebut lebih bersikap reaktif daripada proaktif. Konsep lain yang memiliki keterkaitan dengan mindlessness adalah apa yang dikenal dengan emotional vulnerability. Ting-Toomey (1999:vii) mengatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan mengalami emotional vulnerability. Dalam arti, identitas kelompok (seperti misalnya identitas kultural) dan identitas individu (seperti misalnya sifat-sifat kepribadian) akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam mempersepsikan, berpikir dan berperilaku.
     Perilaku komunikasi yang mindless disebabkan oleh ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) yang dialami oleh seseorang. Secara konseptual, ketidakpastian dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memprediksikan atau menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini orang lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, khawatir atau cemas tentang sesuatu yang akan terjadi. Ketidakpastian merupakan pikiran (thought) dan kecemasan merupakan perasaan (feeling). Ketidakpastian dan kecemasan merupakan faktor-faktor penyebab dari kegagalan komunikasi dalam situasi antarkultural (Griffin, 2000:396-397; Dodd, 1998:9; Gudykunst & Kim, 1997:14).
     Ketidakpastian dan kecemasan yang relatif tinggi dari masing-masing individu ketika berusaha melakukan komunikasi antarbudaya pada gilirannya akan menyebabkan munculnya tindakan atau perilaku yang tidak fungsional. Ekspresi dari perilaku yang tidak fungsional tersebut antara lain tidak memiliki kepedulian terhadap eksistensi orang lain, ketidaktulusan dalam berkomunikasi dengan orang lain, melakukan penghindaran komunikasi dan cenderung menciptakan permusuhan dengan orang lain (Dodd, 1998:9).
C. Penutup.
     Bagaimana mereduksi perilaku komunikasi yang tidak memberi apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural? Kesadaran dari setiap individu bahwa ada perbedaanperbedaan sekaligus kesamaan-kesamaan dalam diri masing-masing anggota kelompok kultural merupakan langkah awal untuk meminimalkan perilaku komunikasi yang mindless tersebut. Penghargaan setiap orang terhadap adanya latar belakang kultural yang berbeda inilah yang dipahami sebagai komunikasi antarbudaya yang mindful. Langer (dalam Ruben & Stewart, 1998:3) mengatakan bahwa mindfulness dalam komunikasi antarbudaya akan terjadi ketika seseorang 1) memberi perhatian pada situasi dan konteks, 2) terbuka terhadap informasi baru dan 3) menyadari adanya lebih dari satu perspektif.
      Secara filosofis, usaha untuk menciptakan situasi komunikasi antarbudaya yang mindful dapat dilakukan dengan mencoba memahami pemikiran Martin Buber, seorang filsuf dan teolog Jerman yang dikenal dengan Dialogic Ethics (Bertens, 2002:176; Griffin, 2000:202-203; Lanur dalam Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XIX No. 2, hal. 2-6). Etika Dialogis Buber memfokuskan pada relasi antarindividu. “Awalnya adalah komunikasi. Sebab, komunikasi adalah tempat lahir (cradle) dari kehidupan kita yang sebenarnya”, kata Buber.
     Buber mengkontraskan 2 (dua) tipe relasi: I – It (Aku – Itu) dan I – Thou (Aku – Engkau). Dalam hubungan Aku – Itu, kita memperlakukan orang lain sebagai suatu benda yang digunakan, sebuah obyek yang dimanipulasikan. Karena diciptakan melalui monolog, maka hubungan Aku – Itu tidak mempunyai saling pengertian. Ketidakjujuran adalah sebuah cara untuk memelihara penampakan masing-masing. Sedangkan dalam hubungan Aku – Engkau, kita menghormati orang lain sebagai subyek. Kita memutuskan untuk memperlakukannya sebagai pihak yang berharga, lebih dari sekadar sarana untuk memenuhi tujuan akhir kita. Memperlakukan orang lain sebagai subyek hanya bisa dilakukan melalui dialog. Bagi Buber, dialog adalah sinonim dari komunikasi yang etis (ethical communication). Dialog tidak hanya secara moral merupakan tindakan yang pantas, tetapi juga sebuah cara untuk menemukan sesuatu yang etis dalam hubungan antarmanusia. Dengan demikian, dialog mempersyaratkan pengungkapan diri (selfdisclosure) dan konfirmasi dengan orang lain.
      Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pertikaian SARA yang terjadi di Indonesia merupakan ekspresi konflik yang sudah mengakar. Konflik yang menjadikan perbedaan-perbedaan kultural sebagai pemicu ini cenderung bertahan dalam jangka waktu yang panjang dan sulit untuk dipecahkan, karena isu yang dipertikaikan sangat emosional. Konflik yang terjadi berulangkali antara etnis Dayak/Melayu dengan etnis Madura baik yang berlangsung di Sanggau Ledo, Sambas dan Sampit atau pun kekerasan sosial terhadap warga Tionghoa merupakan contoh nyata yang menunjukkan bahwa kelompokkelompok yang terlibat konflik, karena sifat pertikaiannya yang hampir selalu berulang, akhirnya menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa, mereka dengan sangat emosional melakukan tindakan-tindakan yang sudah tidak lagi memberi penghargaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pemerintah dalam usaha mencari cara penyelesaian terhadap konflik yang dipicu oleh perbedaan identitas kultural ini cenderung sporadis dan tidak memiliki basis kebijakan yang jelas, sehingga solusi yang ditawarkan menjadi tidak efektif, sekadar meredam ketegangan yang sifatnya sementara. Basis kebijakan yang dimaksud adalah bangunan atau model komunikasi yang memungkinkan setiap kelompok kultural (SARA) dapat menjalin komunikasi yang setara (equal) sebagai hasil dari negosiasi identitas kultural diantara kelompok-kelompok tersebut. Dalam konteks Indonesia, terwujudnya model komunikasi antarbudaya tersebut merupakan hal yang strategis, mengingat selama ini belum atau tidak ada model yang secara teoritik dapat menjadi medium bagi komunikasi antarkelompok budaya yang dapat meminimalkan kesalahpahaman budaya.
Kembali pada isu penting dalam tulisan ini: bangunan atau model komunikasi antarbudaya apa yang akan dipakai sebagai basis kebijakan pemerintah mendatang untuk mengelola masyarakat Indonesia yang majemuk ini? Ada 2 (dua) konsep gagasan atau paham yang sudah disinggung, yaitu asimilasi dan integrasi/akomodasi. Asimilasi memberi penekanan pada integrasi antara dua kelompok kultural atau lebih menjadi menjadi satu kesatuan yang homogen. Asimilasi, secara konseptual dapat dipilah ke dalam dua jenis, yaitu asimilasi inkorporasi dan asimilasi amalgamasi. Asimilasi inkorporasi mempersyaratkan kelompok kultural minoritas harus menanggalkan karakteristik kulturalnya, sedangkan asimilasi amalgamasi menegaskan bahwa dua kelompok kultural atau lebih bersatu untuk membentuk kelompok baru. Paham integrasi/akomodasi pada sisi yang lain memberi perhatian pada terciptanya kesetaraan diantara kelompok-kelompok kultural yang ada pada satu wilayah negara tertentu.
      Dalam studi komunikasi antarbudaya dikenal 2 (dua) model komunikasi yang memiliki keterkaitan dengan gagasan asimilasi dan integrasi/akomodasi di atas, yaitu apa yang dikenal dengan dan third-culture building (bangunan budaya ketiga) dan multikulturalisme. Model third-culture building diperkenalkan oleh Casmir (dalam Deetz (ed.), 1993:421). Ia mengawali gagasannya tentang third-culture building dengan berasumsi bahwa transaksi-transaksi antarbudaya dapat mencapai efektivitasnya yang optimal apabila para partisipan berusaha dengan keras untuk mengembangkan third12 culture building, yaitu mengintegrasikan latar belakang kultural kedua belah pihak untuk menghasilkan sebuah pengalaman kultural baru dan berbeda, yaitu pengalaman kultural yang dipadukan. Third-culture building merepresentasikan suatu situasi dimana kedua belah pihak memahami perlunya menciptakan respon-respon penting terhadap lingkungan mereka, sama seperti ketika mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam lingkungan mereka sendiri. Respon-respon itu lebih didasarkan pada nilai-nilai, komunikasi dan sistem organisasi yang dikembangkan bersama daripada didasarkan pada paradigma dominasi-submisi. Ringkasnya, third culture building pada dasarnya adalah usaha untuk berempati kepada pihak lain.
    Model teoritik lain dalam komunikasi antarbudaya adalah multikulturalisme yang secara singkat dapat dipahami sebagai pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural. Multikulturalisme (Suryadinata, 2002) menghargai dan berusaha melindungi keragaman kultural. Secara konseptual, ada perbedaan antara third-culture building dengan multikulturalisme seperti yang tampak pada tabel berikut.

PERBEDAAN ANTARA THIRD-CULTURE BUILDING DENGAN MULTIKULTURALISME

Third-Culture Building Multikulturalisme
1. Tujuannya adalah negosiasi dan kovergensi kultural.
2. Mengedepankan sisi positif dari adaptasi kultural dalam suatu hubungan.
3. Merupakan proses etic, karena menekankan pada kesamaan daripada perbedaan.

 MULTIKULTURALISME
1. Tujuannya adalah mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat dirubah oleh kekuatan relasional maupun eksternal.
2. Berusaha memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya.
3. Merupakan proses emic, karena mempersyaratkan pemeliharaan terhadap keberadaan setiap budaya.

     Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (diversity in unity, berbeda-beda tetapi satu) secara konseptual lebih dekat dengan konsep third-culture building, karena memberi perhatian pada perlunya integrasi antara dua atau lebih kelompok kultural ke dalam sebuah kelompok baru yang disebut sebagai “Indonesia” dan mengedepankan perlunya adaptasi kultural dalam hubungan antarkelompok. Secara sosiologis, pola atau model overlapping cleavage dimana masyarakat dari pelbagai kelompok kultural berbaur sangat diperlukan dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Sebab, dalam masyarakat yang berbaur akan lebih mudah tercipta saling pengertian (mutual understanding). Ketika terjadi konflik, masing-masing kelompok kultural tidak akan melakukan penggalangan massa, karena tidak adanya batas-batas yang jelas antara anggota dari satu kelompok kultural dengan kelompok kultural yang lain. Namun, thirdculture building atau pun overlapping cleavage masih sebatas wacana. “Indonesia” yang dicita-citakan masih dalam proses menuju becoming Indonesia. Menjadi tugas kita bersama untuk saatnya berusaha menciptakan jalinan persaudaraan guna mewujudkan keberagaman dalam satu kesatuan: INDONESIA.

Catatan Penulis: Artikel ini merupakan bagian dari disertasi doktor penulis “Memahami Perbedaan Budaya” dengan tambahan data aktual yang relevan.

DAFTAR PUSTAKA
Casmir, Fred L. “Third-Culture Building: A Paradigm Shift for International and Intercultural Communication”, dalam Stanley A. Deetz (ed.), Communication Year Book/16. New Burry Park, California, SAGE Publications, 1993.
Dodd, Carley H. Dynamics of Interrcultural Comunication (Fifth Edition). McGraw-Hill, New York, 1998.
Griffin, Em. A First Look At Communication Theory (Fourth Edition). McGraw-Hill, New York, 2000.
Gudykunst, William B. “Intercultural Communication Theories”, dalam William B.
Gudykunst, Bella Mody (ed.), Handbook of International and Intercultural Communication (Second Edition), Thousand Oaks, California, SAGE Publications Inc., 2002.
Gudykunst, William B & Young Yun Kim. Communication With Strangers, An Approach to Intercultural Communication (Third Edition), McGraw-Hill, New York, 1997.
Heru Nugroho. Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 2000.
K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer Inggris – Jerman. Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Parsudi Suparlan. “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Sukubangsa”, dalam I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Ruben, Brent D. & Lea P. Stewart. Communication and Human Behavior (Fourth Edition), Needham Heights, MA, Allyn & Bacon A Viacom Company, 1998.
Shuter, Robert. “On Third-Culture Building”, dalam Stanley A. Deetz (ed.), Comunication Year Book/16. Newburry Park, California, SAGE Publications, 1993.
Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Cultures. New York, The Guilford Publications, Inc., 1999.
Artikel:
Alex Lanur. “Hubungan Antar Pribadi”, dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XIX No. 2, 1992/1993.
Imam B. Prasodjo. “Inikah Negeri Darurat Kompleks?”, dalam Jurnal Aksi Sosial, Tahun I Edisi Oktober-Desember 2004.
Jakob Oetama. “Sulitnya Berkomunikasi Dalam Masyarakat yang Tidak Tulus”, dalam Majalah Kebudayaan Basis, No. 05-06, Tahun ke 49, Mei-Juni, 2000.
Kathryn Robinson. “Ketegangan Antar Etnis, Orang Bugis dan Masalah ‘Penjelasan’, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 63 Tahun XXIV, September-Desember, 2000.
Parsudi Suparlan. “Mayarakat Majemuk dan Perawatannya”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 63 Tahun XXIV, September-Desember, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar