Seminar Nasional Hasil Pengkajian Budaya Betawi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada tanggal 14—15 Desember 2010 menyelenggarakan “Seminar Nasional Hasil Pengkajian Budaya Betawi”.
Acara yang dibuka Dekan FIB UI, Dr. Bambang Wibawarta, ini dihadiri
para pengajar, mahasiswa, dan undangan dari kalangan pemerhati serta
pengambil kebijakan kebudayaan Betawi. Dalam seminar ini diresmikan juga
Pusat Kajian Betawi di bawah koordinasi Kepala Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB FIB UI), Dr. Magdalia Alfian.
Dalam sambutannya, Dekan FIB UI
mengatakan bahwa tahun ini FIB UI mendapatkan hibah penelitian dari
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia yang berhubungan dengan kajian budaya
Betawi. Ia memiliki pengharapan yang besar dengan hasil temuan sementara
pengkajian budaya Betawi ini sehingga dapat dijadikan pembelajaran
bagi insan pecinta budaya Betawi dengan kemudahan mengakses, mencari,
dan memahami apa itu kebudayaan Betawi.
Peneliti kajian budaya Betawi FIB UI ini
dibagi ke dalam lima kelompok yang ditugaskan meneliti lima wilayah
kotamadya DKI Jakarta, yaitu kelompok peneliti Jakarta Pusat, Jakarta
Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur. Pada seminar
ini, kelima kelompok mempresentasikan hasil penelitiannya yang kemudian
dibahas Prof. Dr. Muhadjir, Guru Besar FIB UI, dan Yahya Andi Saputra,
perwakilan Lembaga Kebudayaan Betawi.
Dari data dan temuan yang dipaparkan para peneliti, ternyata jumlah sanggar atau organisasi kesenain yang khusus bergerak pada seni budaya Betawi masih simpang-siur. Di satu pihak, data dari suku dinas tiap kotamadya memperlihatkan jumlah yang cukup besar, namun dalam penelusuran tim peneliti, tidak begitu kondisinya. Sebagai contoh, sanggar seni budaya Betawi yang ada di kotamadya Jakarta Utara ada sekitar 427 sanggar, namun tatkala dilakukan pendataan oleh tim peneliti, jumlahnya tidak kurang dari 30 sanggar saja. Kasus seperti ini terjadi di tiap kotamadya. Lantas timbul pertanyaan, sampai sejauh mana Sudin Kebudayaan kotamadya melakukan pembaruan data?
Workshop ini diharapkan akan menghasilkan, antara lain 1) tersusunnya peta budaya Betawi mutakhir; 2) terkumpulnya masukan-masukan dari para pakar budaya Betawi dan para peneliti lapangan; 3) tersusunnya rancangan pengembangan website kebudayaan Betawi; dan 4) terciptanya peta budaya kebudayaan Betawi.
Rangkaian Acara Dies Natalis ke-70 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (FIB UI) ditutup dengan acara “Tayang Bincang
Wanita Betawi Masa Kini” dengan pembicara Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni
dan dr. Hj. Roosyana Hasbullah, M.P.H. yang dipandu oleh Ibnu Wahyudi,
M.A. Acara ini diprakasai oleh Ikatan Wanita Keluarga (IWK) FIB UI dan
dibuka oleh Dekan FIB UI, Dr. Bambang Wibawarta. Kegiatan ini dihadiri
oleh para anggota IWK FIB UI dan anggota IWK di lingkungan UI serta para
staf pengajar FIB UI. Tayang bincang ini berlangsung pada hari Kamis,
16 Desember 2010 di Auditorium Gedung IX FIB UI Depok.
Tampil sebagai pembicara , dua perempuan Betawi yang sukses dalam
bidang pekerjaannya masing-masing, Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, mantan
Walikota Jakarta Pusat, yang kini dipercaya mengemban tugas di Sekda
Provinsi DKI Jakarta sebagai Asisten Pemerintahan, dan dr. Hj. Roosyana
Hasbullah, M.P.H., dokter spesialis kesehatan masyarakat dan staf ahli
komisi IX DPR RI. “Citra perempuan Betawi kini sudah sangat jauh berbeda
dengan perempuan Betawi era 1970-an,” ungkap Sylviana Murni. Mantan
Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah DKI Jakarta ini menjelaskan
panjang lebar bahwa stereotipe perempuan Betawi yang wilayah
kekuasaannya sekitar dapur, sumur, dan kasur yang masih didengungkan
oleh banyak pihak ini, sebenarnya sangat berbau penistaan dan
merendahkan. Pandangan seperti itu sudah tidak pantas dikedepankan saat
ini.
Menurut Sylvi, perempuan Betawi saat ini telah mampu bekerja sejajar
dengan laki-laki. Apapun pekerjaan laki-laki, dapat dikerjakan oleh
perempuan Betawi. Berbagai jabatan dan posisi strategis di berbagai
instansi pemerintah ataupun swasta dipercayakan kepada perempuan Betawi.
Terlebih lagi, perempuan Batawi memiliki kejujuran yang tidak
tertandingi manakala diberikan kepercayaan. “Dijamin, kalau perempuan
diberi tugas dan kepercayaan, tak akan ada korupsi karena kebutuhan
perempuan tidak banyak,” tutur Sylvi.
Bahkan tidak hanya itu, perempuan Betawi, menurut Sylvi, telah mahir dan memahami teknologi canggih. Mereka tak canggung bersentuhan dengan dunia maya. Sylvi yakin, mampu menyelesaikan tugas spektakuler yang diamanahkan kepadanya. Namun, Sylvi pun meyakini, jika perempuan Betawi sejak dahulu sampai kini tetap harus tunduk pada sunnatullah. Ia tetap menjunjung tinggi suami manakala berada di rumah. “Suksesnya karier perempuan Betawi karena di sampingnya ada suami yang mendukung dan mengarahkan perjalanan karier dengan kepercayaan dan kesungguhan,” ungkap Sylvi.
Acara tayang bincang yang dipandu Ibnu Wahyudi ini berjalan cukup meriah dan tak kurang dari 300-an orang, yang kebanyakan perempuan, memadati Auditorium Gedung IX FIB UI. Dekan FIB UI, Dr. Bambang Wibawarta, beserta seluruh jajaran staf dekanat yang diikuti pasangan masing-masing, mengikuti acara dengan antusias.
Dari data dan temuan yang dipaparkan para peneliti, ternyata jumlah sanggar atau organisasi kesenain yang khusus bergerak pada seni budaya Betawi masih simpang-siur. Di satu pihak, data dari suku dinas tiap kotamadya memperlihatkan jumlah yang cukup besar, namun dalam penelusuran tim peneliti, tidak begitu kondisinya. Sebagai contoh, sanggar seni budaya Betawi yang ada di kotamadya Jakarta Utara ada sekitar 427 sanggar, namun tatkala dilakukan pendataan oleh tim peneliti, jumlahnya tidak kurang dari 30 sanggar saja. Kasus seperti ini terjadi di tiap kotamadya. Lantas timbul pertanyaan, sampai sejauh mana Sudin Kebudayaan kotamadya melakukan pembaruan data?
Penghargaan Seniman dan Budayawan Jakarta Selatan Tahun 2011
Pagi
belum lagi beranjak siang, terlihat keramaian di sekitar Perkampungan
Budaya Betawi, Setu Babakan. Rupanya hari itu ada suatu kegiatan yang
diga1gas oleh Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan, yaitu kegiatan
pemberian penghargaan kepada seniman dan budayawan di lingkungan kota
Administrasi Jakarta Selatan. Hal itu sengaja dilakukan untuk menjaga
komunikasi dan tali asih antarseniman yang berdomisili di Jakarta
Selatan. Selain itu, melalui penghargaan ini diharapkan dapat memberikan
semangat tambahan kepada para seniman dan budayawan dalam berkarya.
Pemberian penghargaan ini dilakukan secara selektif dengan tim penilai yang berkompeten di bidangnya. Kredibilitas mereka tidak diragukan lagi sebagai tim penilai. Untuk tahun ini telah terpilih dan tersaring 33 penerima penghargaan, yang terdiri dari pelaku seni, budayawan, pembina dan pemerhati budaya termasuk penggiat seni budaya, baik yang berhubungan langsung dengan seni budaya tradisi (Betawi) maupun seni budaya lainnya. Demikian hal itu dikatakan oleh Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan, Drs. H. Ahmad Sjarofie, Msi.
Dalam kesempatan kali ini, Walikota Jakarta Selatan yang dalam hal ini diwakili oleh SEKKO Jakarta Selatan Bpk. Drs.H.Samsudin Noor, mengatakan pemberian penghargaan ini merupakan penambah tali silaturrahmi antara pemerintah dengan para pelaku seni dan budayawan. Kegiatan ini secara tidak langsung juga akan menambah indah suasana kehidupan masyarakat di Jakarta Selatan yang selama ini sudah dikenal sebagai daerah hijau di Jakarta karena lingkungan alamnya masih terpelihara dibandingkan dengan wilayah lain, ditambah lagi dengan karya-karya indah para seniman dan budayawan, termasuk tambahan aktifitas dari pemerhati dan penggiat kesenian dan budaya yang akan mendapatkan penghargaan.
Sebelum mengakhiri, dalam sambutannya Sekko mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja sama sampai terselenggaranya acara ini, khususnya kepada jajaran Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan. Bagi para penerima penghargaan saat ini, tentu masih ada kesempatan di tahun-tahun mendatang untuk terus berkarya.
Pemberian penghargaan ini dilakukan secara selektif dengan tim penilai yang berkompeten di bidangnya. Kredibilitas mereka tidak diragukan lagi sebagai tim penilai. Untuk tahun ini telah terpilih dan tersaring 33 penerima penghargaan, yang terdiri dari pelaku seni, budayawan, pembina dan pemerhati budaya termasuk penggiat seni budaya, baik yang berhubungan langsung dengan seni budaya tradisi (Betawi) maupun seni budaya lainnya. Demikian hal itu dikatakan oleh Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan, Drs. H. Ahmad Sjarofie, Msi.
Dalam kesempatan kali ini, Walikota Jakarta Selatan yang dalam hal ini diwakili oleh SEKKO Jakarta Selatan Bpk. Drs.H.Samsudin Noor, mengatakan pemberian penghargaan ini merupakan penambah tali silaturrahmi antara pemerintah dengan para pelaku seni dan budayawan. Kegiatan ini secara tidak langsung juga akan menambah indah suasana kehidupan masyarakat di Jakarta Selatan yang selama ini sudah dikenal sebagai daerah hijau di Jakarta karena lingkungan alamnya masih terpelihara dibandingkan dengan wilayah lain, ditambah lagi dengan karya-karya indah para seniman dan budayawan, termasuk tambahan aktifitas dari pemerhati dan penggiat kesenian dan budaya yang akan mendapatkan penghargaan.
Sebelum mengakhiri, dalam sambutannya Sekko mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja sama sampai terselenggaranya acara ini, khususnya kepada jajaran Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan. Bagi para penerima penghargaan saat ini, tentu masih ada kesempatan di tahun-tahun mendatang untuk terus berkarya.
Workshop Pengembangan Data Kebudayaan Betawi
Kegiatan pengembangan kajian Betawi
terus berlanjut di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB UI). Untuk mengawali kegiatan penghimpunan data seni
tradisi Betawi pada tahun 2011, yang didanai oleh Direktorat Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dan Universitas Indonesia dalam
Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi Tema D Batch III Tahun 2011,
diselenggarakan acara “Workshop Pengembangan Data Kebudayaan Betawi” pada 24 Februari 2011 di FIB UI. Workshop terbatas
yang bertujuan mempersiapkan para peneliti FIB UI untuk terjun ke
lapangan menghimpun dan merekam data seni tradisi Betawi ini dihadiri
oleh Sekretaris Fakultas (Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum.), Manajer
Pendidikan (Dr. Untung Yuwono), Manajer Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (Dr. Lily Tjahjandari), wakil-wakil pimpinan tujuh suku
dinas kebudayaan di DKI Jakarta, Depok, dan Tangerang (minus Bekasi dan
Bogor), wakil dari Lembaga Kebudayaan Betawi (Drs. Yahya Andi Saputra
dan Rudy Haryanto), serta para peneliti FIB UI yang tergabung dalam Tim
Peneliti Kebudayaan Betawi yang diketuai oleh Dr. R. Cecep Eka Permana.
Diskusi yang gencar terselenggara dalam
acara ini, antara lain membahas data penelitian seni tradisi,
lokasi-lokasi pusat seni Betawi, tokoh seniman Betawi, dan upaya
pelestarian seni tradisi Betawi yang dilakukan oleh pemerintah melalui
suku-suku dinas kebudayaan. Sebagai fokus perhatian pada tahap kedua
untuk tahun 2011 ini, pada program pemetaan kebudayaan Indonesia akan
diadakan pengembangan rancangan peta kebudayaan Indonesia dengan titik
perhatian tetap pada kebudayaan Betawi. Kegiatan yang perlu dilakukan
untuk pengembangan dari tahap pertama adalah 1) melaksanakan workshop
pengembangan rancangan peta kebudayaan Indonesia; dan 2) peningkatan
sarana dan prasarana teknologi informasi yang akan menjadi infrastruktur
penyebarluasan hasil-hasil pemetaan dan untuk mengolah data lapangan
sehingga dapat tampil dalam jejaring. Data-data budaya yang terhimpun
dari kegiatan lapangan perlu diolah agar siap pakai sebagai bahan
informasi dan rujukan para peneliti dan pemerhati kebudayaan Indonesia,
termasuk sebagai bahan perkuliahan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
UI.
Workshop pengembangan rancangan pemetaan kebudayaan Indonesia ini merupakan aktivitas lanjutan dari workshop tahap pertama (Maret 2010). Arah pengembangan pada workshop tahap
II adalah memantapkan hasil-hasil penghimpunan data dari lapangan untuk
dijadikan bahan pembuatan peta kebudayaan Betawi di wilayah
Jabodetabek.
Tujuan aktivitas ini adalah untuk:
- menindaklanjuti hasil-hasil workshop dan penghimpunan data di lapangan, terutama dalam hal pemetaan kebudayaan Betawi di wilayah Jabodetabek;
- membuat peta kebudayaan Betawi berdasarkan hasil mutakhir kondisi dan persebarannya di wilayah Jabodetabek;
- mendapatkan masukan dari para pakar kebudayaan dan para peneliti lapangan mengenai kondisi mutakhir kebudayaan Betawi;
- merancang knowledge management system yang melatari pengembangan Pangkalan Data Kebudayaan Indonesia yang dikembangkan ke arah penyediaan informasi berbasis jejaring internet.
Lingkup aktivitas workshop pengembangan perencanaan pemetaan kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Betawi di wilayah Jabodetabek sebagai pilot project,
dilandasi oleh hasil penghimpunan data, kajian, dan hasil penghimpunan
para pelaku kesenian Betawi. Ketiga hal itu dimaksudkan sebagai upaya
preservasi dan konservasi budaya. Dalam hal merevitalisasi, berdasarkan
kajian, ditentukan kesenian mana yang perlu direvitalisasi sehingga
dapat “diselamatkan” dan dapat diapresiasi, serta diwariskan kepada
generasi selanjutnya. Dalam aktivitas workshop ini dipaparkan
studi-studi tentang kondisi kekayaan budaya Betawi di wilayah
Jabodetabek yang bersumber dari para penghimpun data dan pakar budaya
Betawi.
Workshop ini diharapkan akan menghasilkan, antara lain 1) tersusunnya peta budaya Betawi mutakhir; 2) terkumpulnya masukan-masukan dari para pakar budaya Betawi dan para peneliti lapangan; 3) tersusunnya rancangan pengembangan website kebudayaan Betawi; dan 4) terciptanya peta budaya kebudayaan Betawi.
Bedah Buku: Potret Budaya Manusia Betawi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (FIB UI) bekerja sama dengan Lembaga Kebudayaan
Betawi (LKB) menyelenggarakan “Bedah Buku” Potret Budaya Manusia Betawi,
karya Ridwan Saidi, pada hari Kamis, 10 Febuari 2011. Pembicara dalam
acara ini, yaitu Dr. Iskandar, Dr. Cecep Eka Permana, dan Maman
Mahayana, M.Hum. Acara yang dibuka oleh Manajer Penelitian FIB UI, Dr.
Lily Tjahyandari, ini dihadiri staf pengajar di lingkungan FIB UI serta
pemerhati kebudayaan Betawi.
Ridwan Saidi menulis buku terbarunya yang akan dirilis awal tahun 2011. Buku yang diberi judul Potret Budaya Manusia Betawi
ini sangat penting bagi mereka yang peduli atau ingin mengetahui
sisik-melik manusia Betawi, dan khususnya bagi orang Betawi. Dalam buku
ini, Ridwan Saidi memulai uraiannya dengan paparan asal muasal manusia
Betawi. Ridwan Saidi menyebutnya Komunitas Betawi Purba, yakni
mukimin awal Nusa Kalapa. Ridwan berpendapat bahwa penelitian arkeologi
tidak dapat menjawab kebenaran asal muasal etnis. Misalnya saja,
penemuan Situs Batu Jaya, Krawang yang oleh arkeolog Hasan Djafar
dianggap sebagai peninggalan Hindu dan Budha, ternyata setelah ditilik
dari bentuk bangunan, lebih menyerupai bangunan kuno di Egypt.
Beberapa suku bangsa mengacu riwayat
asal muasal nenek moyangnya dari folklor. Adapun komunitas Betawi tidak
punya folklor yang berkaitan dengan asal muasalnya. Akan tetapi, ada
tokoh mite yang dianggap sebagai generasi awal Betawi, seperti Ki Benen
yang berasal dari Kampung Utan, Ciputat. Walaupun ada pernyataan bahwa
Ki Benen adalah manusia pertama Betawi, tetapi sulit pembuktiannya.
Tokoh ini hanya dapat merepresentasikan manusia purba Betawi pada zaman
dahulu. Manusia Betawi purba bukanlah termasuk manusia purba yang
berdiam di hutan karena wilayah Betawi purba terdiri dari air. Manusia
Betawi purba adalah manusia air. Mereka gunakan kata bak yang berarti ‘mandi’. Begitu juga topografi Betawi dipenuhi 13 sungai dan anak-anak sungai yang jumlahnya puluhan.
Manusia Betawi purba tidak mementingkan nama, tetapi menggunakannya sebagai fungsi sampai kedatangan orang-orang Polynesia yang diperkirakan 1.000 tahun sebelum Masehi. Sebagai contoh, orang Betawi tidak mengetahui apa nama alat kelaminnya, tetapi mereka paham cara menggunakannya. Misalnya, buah dada dikatakan te te yang sebenarnya berasal dari bahasa Maori yang artinya ‘memberi kesuburan’. Vagina juga berasal dari bahasa Maori. Istilah Betawi untuk coitus intercourse yang tertua adalah belaki. Ini istilah asli, yang kemudian muncul istilah to ie yang berasal dari Maori yang berarti ‘memanjat’.
Kajian luas tentang manusia Betawi purba akan lebih mengasyikkan bila dibaca langsung saat buku ini sudah terbit nanti. Di penutup bab ini, Ridwan Saidi menyatakan kekecewaannya pada penulis sejarah amatiran :”sangat meletihkan menjawab pertanyaan kaum amatiran, apakah orang Betawi itu keturunan Cina?” Orang Betawi tidak punya banyak kesamaan dengan orang Cina, malah yang banyak adalah perbedaan. Karena itu jarang ditemui perkawinan silang anatara Betawi dengan Cina. Juga demikian pada Betawi dan Arab. Bahkan, pada masa lalu banyak ditemui perkawinan Betawi dengan bangsa Eropa, tidak dengan Cina dan Arab.
Manusia Betawi purba tidak mementingkan nama, tetapi menggunakannya sebagai fungsi sampai kedatangan orang-orang Polynesia yang diperkirakan 1.000 tahun sebelum Masehi. Sebagai contoh, orang Betawi tidak mengetahui apa nama alat kelaminnya, tetapi mereka paham cara menggunakannya. Misalnya, buah dada dikatakan te te yang sebenarnya berasal dari bahasa Maori yang artinya ‘memberi kesuburan’. Vagina juga berasal dari bahasa Maori. Istilah Betawi untuk coitus intercourse yang tertua adalah belaki. Ini istilah asli, yang kemudian muncul istilah to ie yang berasal dari Maori yang berarti ‘memanjat’.
Kajian luas tentang manusia Betawi purba akan lebih mengasyikkan bila dibaca langsung saat buku ini sudah terbit nanti. Di penutup bab ini, Ridwan Saidi menyatakan kekecewaannya pada penulis sejarah amatiran :”sangat meletihkan menjawab pertanyaan kaum amatiran, apakah orang Betawi itu keturunan Cina?” Orang Betawi tidak punya banyak kesamaan dengan orang Cina, malah yang banyak adalah perbedaan. Karena itu jarang ditemui perkawinan silang anatara Betawi dengan Cina. Juga demikian pada Betawi dan Arab. Bahkan, pada masa lalu banyak ditemui perkawinan Betawi dengan bangsa Eropa, tidak dengan Cina dan Arab.
Pada bab lain, Ridwan Saidi mengurai dan
memberi banyak informasi tentang manusia Betawi dalam perkembangan
zaman. Dimulai dengan paparan religi Betawi, selain juga menguraikan
kedatangan bangsa Asia Barat di Tanah Betawi. Pengaruh sistem kekuasaan
pada manusia Betawi juga dipaparkan dengan teliti dalam buku ini. Mulai
dari keluarga, rerompogan hingga terbentuknya krajan. Bab lain buku ini
juga memuat humor-humor Betawi yang menjadi bagian dari kehidupan
manusia Betawi, selain memaparkan sejarah etos kerja dan tokoh-tokoh
Betawi dalam perkembangan zaman. Adapun dalam bagian akhir buku ini,
Ridwan Saidi mengurai persepsi hukum masyarakat Betawi yang akan
menambah wawasan kita dalam menilai etnis Betawi.
Tayang Bincang Wanita Betawi Masa Kini
Bahkan tidak hanya itu, perempuan Betawi, menurut Sylvi, telah mahir dan memahami teknologi canggih. Mereka tak canggung bersentuhan dengan dunia maya. Sylvi yakin, mampu menyelesaikan tugas spektakuler yang diamanahkan kepadanya. Namun, Sylvi pun meyakini, jika perempuan Betawi sejak dahulu sampai kini tetap harus tunduk pada sunnatullah. Ia tetap menjunjung tinggi suami manakala berada di rumah. “Suksesnya karier perempuan Betawi karena di sampingnya ada suami yang mendukung dan mengarahkan perjalanan karier dengan kepercayaan dan kesungguhan,” ungkap Sylvi.
Acara tayang bincang yang dipandu Ibnu Wahyudi ini berjalan cukup meriah dan tak kurang dari 300-an orang, yang kebanyakan perempuan, memadati Auditorium Gedung IX FIB UI. Dekan FIB UI, Dr. Bambang Wibawarta, beserta seluruh jajaran staf dekanat yang diikuti pasangan masing-masing, mengikuti acara dengan antusias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar