Kategori:Budaya Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halaman dalam kategori "Budaya Sunda"
Kategori ini memiliki 19 halaman, dari total 19.
ABGK |
K samb.MPR |
R samb.STW |
Agama Djawa Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama Sunda adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung,
dll. Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para
pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun
ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun
termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren
sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan
pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang
agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan
sendiri, yaitu Sunda.
[sunting] Ajaran dan ritual
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun
yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di
Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan
pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa
bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk
beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan
kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga
tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah
dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara
ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri
oleh Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.
Selain itu karena non muslim Agama Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.
[sunting] Masa depan
Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an,
ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais,
banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau
Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam,
untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki
harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara
anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan
lain.
Bajigur
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bajigur adalah minuman hangat khas masyarakat Sunda dari daerah Jawa Barat, Indonesia. Bahan utamanya adalah gula aren, dan santan. Untuk menambah kenikmatan dicampurkan pula sedikit jahe, garam dan bubuk vanili.
Minuman yang disajikan panas ini biasa dijual dengan menggunakan gerobak yang menyertakan kompor.
Bajigur paling cocok diminum pada saat cuaca dingin dan basah sehabis
hujan. Makanan yang sering dihidangkan bersama bajigur adalah pisang rebus, ubi rebus, atau kacang rebus.
[sunting] Serbaneka
Di wilayah berbahasa Jawa, bajigur merupakan eufemisme (penghalusan) dari kata umpatan "bajingan".
Bancakan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bancakan adalah salah satu permainan anak tradisional Jawa Barat berjenis petak umpet atau dalam bahasa sunda disebut Ucing sumput Bahasa Indonesia:
kucing bersembunyi), dengan memakai sebuah batu dan genteng sebanyak
jumlah pemain yang disusun bertumpuk, dan keduanya ditempatkan dalam dua
buah lingkaran berdampingan.
Apabila pemain terlihat atau ditemukan, Ucing harus menyebutkan nama pemain kemudian menginjak batu sembari berteriak BANCAKAN! sebagai tanda bahwa persembunyian pemain telah terbongkar dan pemain diharuskan keluar dari tempat persembunyiannya, sampai semua pemain ditemukan, kemudian permainan dimulai lagi dengan hompimpa untuk menentukan Ucing yang baru.
Apabila Pemain ditemukan dan ternyata baik Nu Jadi Ucing maupun peserta yang ditemukan sama-sama jauh dari benteng, maka mereka berdua harus berlomba untuk mencapai benteng dan menuntaskan misi masing-masing.
Gondang adalah lagu pada tutunggulan[1].Ngagondang adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan[1]. Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai[2].Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi[1].
Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni
pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta
kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang[2]. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan[2].
Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya[2]. Salah seorang inovator seni pertunjukan ini adalah Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun 1960-an[2]. Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang karya Tatang Kosasih biasa disebut gondang tidak jangan[2]. Mang Koko dan Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi gerhana, diiringi gamelan pelog dan salendro[2].
Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan tutunggulan dengan alat alu atau lesung[2]. Tingtung tutunggulan gondang artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan alu dan lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang polyphonis[2].
Tutunggulan biasa pula dijadikan tangara (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan[2].
Kabayan merupakan tokoh imajinatif dari budaya Sunda yang juga telah menjadi tokoh imajinatif masyarakat umum di Indonesia.
Polahnya dianggap lucu, polos,tetapi sekaligus cerdas. Cerita-cerita
lucu mengenai Kabayan di masyarakat Sunda dituturkan turun temurun
secara lisan sejak abad ke-19 sampai sekarang. Seluruh cerita Kabayan
juga menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang terus
berkembang sesuai zaman.
Tokoh Kabayan juga dapat disepadankan dengan tokoh dari Arab, seperti Abunawas atau Nasrudin.
[sunting] Permainan
Sebelum permainan dimulai, peserta melakukan pengundian dengan cara hompimpa atau suit. Yang kalah harus menjadi petugas penjaga atau kucing (ucing).[sunting] Ucing
Ucing bertugas menyusun genteng secara bertumpuk sebagai benteng selagi para pemain bersembunyi, kemudian setelah susunan genteng telah berdiri secara sempurna, Ucing mulai menjaga susunan genteng agar tidak dirobohkan sembari mencari para pemain.Apabila pemain terlihat atau ditemukan, Ucing harus menyebutkan nama pemain kemudian menginjak batu sembari berteriak BANCAKAN! sebagai tanda bahwa persembunyian pemain telah terbongkar dan pemain diharuskan keluar dari tempat persembunyiannya, sampai semua pemain ditemukan, kemudian permainan dimulai lagi dengan hompimpa untuk menentukan Ucing yang baru.
[sunting] Pemain
Pemain selain harus bersembunyi dari Nu Jadi Ucing, pemain juga diharuskan menyerang benteng Nu Jadi Ucing, untuk ditoker sampai ngalayah sebagai tanda bahwa benteng telah dirobohkan dan Ucing wajib mempertanggungjawabkan kekalahannya dengan menjadi ucing lagi dalam ronde berikutnya sampai Nu Jadi Ucing sukses dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga.Apabila Pemain ditemukan dan ternyata baik Nu Jadi Ucing maupun peserta yang ditemukan sama-sama jauh dari benteng, maka mereka berdua harus berlomba untuk mencapai benteng dan menuntaskan misi masing-masing.
Gondang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya[2]. Salah seorang inovator seni pertunjukan ini adalah Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun 1960-an[2]. Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang karya Tatang Kosasih biasa disebut gondang tidak jangan[2]. Mang Koko dan Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi gerhana, diiringi gamelan pelog dan salendro[2].
Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan tutunggulan dengan alat alu atau lesung[2]. Tingtung tutunggulan gondang artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan alu dan lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang polyphonis[2].
Tutunggulan biasa pula dijadikan tangara (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan[2].
Referensi
Kabayan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tokoh Kabayan juga dapat disepadankan dengan tokoh dari Arab, seperti Abunawas atau Nasrudin.
[sunting] Karya Sastra dan Film
[sunting] Buku
- Si Kabayan, Utuy Tatang Sontani (1959)
- Si Kabayan Manusia Lucu, Achdiat Karta Mihardja (1997)
- Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang, Achdiat Karta Mihardja
- Si Kabayan dan beberapa dongeng Sunda lainnya, Ayip Rosidi (1985)
- Si Kabayan jadi Wartawan, Muhtar Ibnu Thalab (2005)
- Si Kabayan jadi Dukun, Moh. Ambri
- Kabayan Bikin Ulah (2002, komik kompilasi)
[sunting] Film
- Si Kabayan (1975)
- Si Kabayan Saba Kota (1989)
- Si Kabayan dan Gadis Kota (1989)
- Si Kabayan dan Anak Jin (1991)
- Si Kabayan Saba Metropolitan (1992)
- Si Kabayan Cari Jodoh (1994)
- Si Kabayan: Bukan Impian (2000)
- Kabayan Jadi Milyuner (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar