Kategori:Budaya Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halaman dalam kategori "Budaya Sunda"
Kategori ini memiliki 19 halaman, dari total 19.
A
B
G
K
|
K samb.
M
P
R
|
R samb.
S
T
W
|
Agama Djawa Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama Sunda adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan
Cigugur, Kuningan,
Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai
Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang),
agama Sunda Wiwitan,
ajaran Madrais atau
agama Cigugur.
Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari
agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat
Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di
Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat
Baduy di
Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan
Ciparay,
Kabupaten Bandung,
dll. Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para
pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk
agama Buhun
ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun
termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran
Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke
Ternate, dan baru kembali sekitar tahun
1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais — yang biasa juga dipanggil
Kiai Madrais — adalah keturunan dari
Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah
Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai
Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi
Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan
pesantren
sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan
pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang
agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan
sendiri, yaitu Sunda.
[sunting] Ajaran dan ritual
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya
Seren Taun
yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di
Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan
pada
1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran
Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa
bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk
beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (
ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh
Tuhan
kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga
tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah
dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara
ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri
oleh Menteri Perindustrian,
Andung A. Nitimiharja, mantan Presiden RI,
Abdurahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap
Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan
Maulid serta semua
Nabi yang diturunkan ke bumi.
Selain itu karena non muslim Agama Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan
khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.
Di masa pemerintahan
Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu
Islam,
Kristen (Protestan),
Katolik,
Hindu dan
Buddha. Pada akhir
1960-an,
ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais,
banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau
Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun
1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran
Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang
11 Juli 1981 mendirikan
Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu
Gumirat Barna Alam,
untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki
harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara
anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan
lain.
Bajigur
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Minuman yang disajikan panas ini biasa dijual dengan menggunakan
gerobak yang menyertakan
kompor.
Bajigur paling cocok diminum pada saat cuaca dingin dan basah sehabis
hujan. Makanan yang sering dihidangkan bersama bajigur adalah
pisang rebus,
ubi rebus, atau
kacang rebus.
Bancakan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bancakan adalah salah satu permainan anak tradisional
Jawa Barat berjenis petak umpet atau dalam bahasa sunda disebut
Ucing sumput Bahasa Indonesia:
kucing bersembunyi), dengan memakai sebuah batu dan genteng sebanyak
jumlah pemain yang disusun bertumpuk, dan keduanya ditempatkan dalam dua
buah lingkaran berdampingan.
Sebelum permainan dimulai, peserta melakukan pengundian dengan cara
hompimpa atau suit. Yang kalah harus menjadi petugas penjaga atau
kucing (ucing).
Ucing bertugas menyusun genteng secara bertumpuk sebagai
benteng
selagi para pemain bersembunyi, kemudian setelah susunan genteng telah
berdiri secara sempurna, Ucing mulai menjaga susunan genteng agar tidak
dirobohkan sembari mencari para pemain.
Apabila pemain terlihat atau ditemukan,
Ucing harus menyebutkan nama pemain kemudian menginjak batu sembari berteriak
BANCAKAN!
sebagai tanda bahwa persembunyian pemain telah terbongkar dan pemain
diharuskan keluar dari tempat persembunyiannya, sampai semua pemain
ditemukan, kemudian permainan dimulai lagi dengan hompimpa untuk
menentukan
Ucing yang baru.
Pemain selain harus bersembunyi dari
Nu Jadi Ucing, pemain juga diharuskan menyerang benteng
Nu Jadi Ucing, untuk
ditoker sampai
ngalayah
sebagai tanda bahwa benteng telah dirobohkan dan Ucing wajib
mempertanggungjawabkan kekalahannya dengan menjadi ucing lagi dalam
ronde berikutnya sampai
Nu Jadi Ucing sukses dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga.
Apabila Pemain ditemukan dan ternyata baik Nu Jadi Ucing maupun
peserta yang ditemukan sama-sama jauh dari benteng, maka mereka berdua
harus berlomba untuk mencapai benteng dan menuntaskan misi
masing-masing.
Gondang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gondang adalah lagu pada
tutunggulan[1].Ngagondang adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan
[1]. Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati
Dewi Padi,
Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk
padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah
panen usai
[2].Yang melakukan gondang yaitu
wanita yang dianggap
suci atau sudah
tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman
Prabu Siliwangi[1].
Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni
pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta
kasih, dengan
gerak dan
lagu yang
romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan
lesung, kemudian sekelompok pemuda datang
[2]. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan
[2].
Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari
lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya
[2]. Salah seorang
inovator seni pertunjukan ini adalah
Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun
1960-an[2].
Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa
Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang
karya Tatang Kosasih biasa disebut
gondang tidak jangan[2].
Mang Koko dan
Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang
Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi
gerhana, diiringi
gamelan pelog dan
salendro[2].
Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan
tutunggulan dengan alat
alu atau
lesung[2].
Tingtung tutunggulan gondang artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan
alu dan
lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang
polyphonis[2].
Tutunggulan biasa pula dijadikan
tangara (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan
[2].
Referensi
- ^ a b c Danadibrata,R.A.2006.Kamus Basa Sunda.Bandung:Kiblat Kaca 232
- ^ a b c d e f g h i j SENI GONDANG(diakses 31 oktober 2011)
Kabayan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kabayan merupakan tokoh imajinatif dari budaya
Sunda yang juga telah menjadi tokoh imajinatif masyarakat umum di
Indonesia.
Polahnya dianggap lucu, polos,tetapi sekaligus cerdas. Cerita-cerita
lucu mengenai Kabayan di masyarakat Sunda dituturkan turun temurun
secara lisan sejak abad ke-19 sampai sekarang. Seluruh cerita Kabayan
juga menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang terus
berkembang sesuai zaman.
Tokoh Kabayan juga dapat disepadankan dengan tokoh dari Arab, seperti
Abunawas atau
Nasrudin.
[sunting] Karya Sastra dan Film
Kabuyutan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Istilah Kabuyutan dalam agama Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati
(selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan
Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang
mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya.
Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung dua arti. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.
Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat.
Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan
waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci.
Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan,
misalnya goong kabuyutan. Adapun satru kabuyutan alias musuh kabuyutan
berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir.
Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda.
Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang
dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tapi bisa juga berupa
lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan.
Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga
dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutanlah
orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa.
Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.
Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.
Kabuyutan Ciburuy
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gerbang Kabuyutan Ciburuy
Kabuyutan Ciburuy terletak di kaki Gunung Cikuray. Tepatnya di Desa Pamalayan, Kecamatan Cigedug. Jaraknya sekitar 23 kilometer dari Kota Garut. Kita dapat mengunjungi kabuyutan ini dengan menempuh jalan desa dari Cinisti, Kecamatan Bayongbong.
Kabuyutan dalam bahasa Sunda
berarti barang atau tempat kuno yang tidak boleh diperlakukan
sembarangan karena bisa menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Para
ahli sejarah menganggap tempat ini sangat penting dikarenakan di sini
tersimpan berbagai peninggalan sejarah yang masih tetap terpelihara
samapi sekarang. Oleh sebab itu pemerintah menetapkannya sebagai cagar budaya.
Di kabuyutan ini terdapat rumah adat Ciburuy. Rumah ini beratap ijuk dan
berdiri di atas lahan seluas 5.320 meter. Bentuk bangunannya lebih
mirip dengan rumah gadang di Minangkabau, Sumatra Barat.
Bangunan rumah di kabuyutan ini terbagi atas dua bagian. Yang pertama disebut Bumi Patemon atau balai pertemuan sedangkan yang kedua disebut Bumi Padaleman sebagai tempat penyimpanan naskah kuno. [1]
- ^ Suhardiman,Budi&Darpan.2007.Seputar Garut.Garut:Komunitas Srimanganti (Indonesia)
Kacapi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kacapi merupakan alat musik Sunda yang dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan kacapi suling.
Kata kacapi dalam bahasa Sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kacapi.
Rincian unsur nada dalam sebuah kacapi parahu.
Kacapi parahu adalah suatu kotak resonansi yang bagian
bawahnya diberi lubang resonansi untuk memungkinkan suara keluar.
Sisi-sisi jenis kacapi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai
perahu. Di masa lalu, kacapi ini dibuat langsung dari bongkahan kayu
dengan memahatnya.
Kacapi siter merupakan kotak resonansi dengan bidang rata yang
sejajar. Serupa dengan kacapi parahu, lubangnya ditempatkan pada bagian
bawah. Sisi bagian atas dan bawahnya membentuk trapesium.
Untuk kedua jenis kacapi ini, tiap dawai diikatkan pada suatu sekrup
kecil pada sisi kanan atas kotak. Mereka dapat ditala dalam berbagai
sistem: pelog, sorog/madenda, atau salendro.
Saat ini, kotak resonansi kacapi dibuat dengan cara mengelem sisi-sisi enam bidang kayu.
Rincian pawn-bridges pada sebuah kacapi parahu.
Kacapi indung dan kacapi rincik.
Menurut fungsinya dalam mengiringi musik, kacapi dimainkan sebagai:
- Kacapi indung atau kacapi induk
- Kacapi rincik atau kacapi anak
[sunting] Kacapi indung
Kacapi indung memimpin musik dengan cara memberikan intro, bridges, dan interlude, juga menentukan tempo. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi besar dengan 18 atau 20 dawai.
[sunting] Kacapi rincik
Kacapi rincik memperkaya iringan musik dengan cara mengisi
ruang antar nada dengan frekuensi-frekuensi tinggi, khususnya dalam
lagu-lagu yang bermetrum tetap seperti dalam kacapi suling atau Sekar Panambih. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi yang lebih kecil dengan dawai yang jumlahnya sampai 15.
[sunting] Penalaan dan notasi
Kacapi menggunakan notasi degung. Notasi ini merupakan bagian dari sistem heptachordal pelog. Lihat tabel berikut:
Karinding
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Karinding adalah sejenis alat musik/perkusi khas suku Sunda yang terbuat dari kulit kawung (batang pohon aren) dan bambu. Konon alat ini berfungsi sebagai alat untuk mengusir hama dengan suara yang dihasilkannya yang dapat membuat hama padi tidak mendekat karena suaranya membuat takut hama tersebut.
Karinding juga dapat dimainkan secara solo atau grup dan dapat dimainkan bersama alat musik/perkusi lain seperti suling bambu dan angklung.
Kujang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kujang, senjata khas Sunda
Replika kujang pada monumen kota Bogor
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya
kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk
melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kujang dikenal sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi
diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai
kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk
menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?].
Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk
melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti
atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas
tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat
disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi
masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal
ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam
naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di
Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang
mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan
sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati
satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat
(Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang
terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam
beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang
pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan
dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang
sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini
pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
"Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata
sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut,
keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh.
Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau
sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil
apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala
katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan
dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga
jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta.
Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi."
— Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi
masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran
bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan
cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru
kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir
antara abad 9 sampai abad 12.
[sunting] Bagian-bagian Kujang
Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian,
antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah),
eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol
pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan
perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung
tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur
logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda
(996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan
fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang
keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk
berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas
(sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang
disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung
(menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung
kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai
binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak).
Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit
dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai;
Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang
Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang
yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu?
[sunting] Cara-ciri Manusia ada 5
- Welas Asih (Cinta Kasih),
- Tatakrama (Etika Berprilaku),
- Undak Usuk (Etika Berbahasa),
- Budi Daya Budi Basa,
- Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan".
[sunting] Cara-ciri Bangsa ada 5
- Rupa,
- Basa,
- Adat,
- Aksara,
- Kebudayaan
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya.
- Keris and other weapons of Indonesia, Mubirman, Yayasan Pelita Wisata, Jakarta, 1970.
Menak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Menak (Bahasa Sunda, kadang-kadang disebut juga bangsa Menak), adalah suatu istilah yang mengacu kepada kelas sosial atau golongan bangsawan dalam kebudayaan Sunda. Sebagai keturunan penguasa dan keluarga kerajaan tatar Sunda dan Banten, terdapat gelar-gelar yang biasa mereka gunakan, antara lain Raden, Raden Tumenggung, Dipati, Tubagus, dan Ratu.
Beberapa tokoh menak yang terkenal, antara lain:
Paparikan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Paparikan adalah salah satu jenis dari puisi Sunda yang disebut sisindiran
yaitu suatu puisi yang dibangun oleh cangkang yang tidak mengandung
arti, yang diikuti oleh isi yaitu arti sesungguhnya. Hubungan antara
"cangkang" dan arti sesungguhnya ditunjukkan dengan hubungan struktural
suara dan pola. Jika pola suara dari cangkang dan isi sejajar maka
sisindiran ini disebut paparikan. Contoh dari paparikan adalah sebagai
berikut:
- Sok hayang nyaba ka Bandung (Sering saya ingin ke Bandung)
- Hayang nyaho pabrik kina (ingin tahu pabrik kina)
- Sok hayang nanya nu pundung (Sering saya ingin menanyai yang merajuk)
- Hayang nyaho mimitina (ingin tahu apa penyebabnya)
Paparikan ini dalam bahasa Indonesia disebut pantun, harap jangan dibingungkan dengan pantun Sunda yaitu seni bertutur yang diieingi kecapi. | | | |
m
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar