Pesindhen
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pesindhén, atau sindhén (dari Bahasa Jawa) adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Pesindén yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang.
Pesinden juga sering disebut sinden, menurut Ki Mujoko Joko Raharjo berasal dari kata "pasindhian" yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana "wara" berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan "anggana" berarti sendiri. Pada zaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang. Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama di beberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk di belakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang Kendhang.
Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu
pengrawit dalam pergelaran tersebut. Tetapi seiring perkembangan zaman,
terutama di era Ki Narto Sabdho
yang melakukan berbagai pengembangan, Sindén dialihkan tempatnya
menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang membelakangi
simpingan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.
Di era modern sekarang ini Sindén mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyi campursari,
bahkan sindén tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu
tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan
menarik. Sindén tidak jarang menjadi "pepasren"
(penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindénnya
cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati
pertunjukan wayang. Perkembangan wayang saat ini bahkan Sindén tidak
hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sindén
laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya sindén ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu sindén laki-laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.
Raden Tjetje Somantri
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Raden Tjetje Somantri adalah saeorang pelopor tari kreasi Jawa
Baratyang juga merupakan salah seorang yang mendirikan Badan Kebudayaan
Djawa Barat (BKDKB) dan Badan Kebudayaan Indonesia (BKI).
R. Tjetje Somantri yang juga pengajar tari Sunda mulai melihat
wilayah tari kreasi pada tahun 1946 dengan menciptakan Tari Dewi.
Kemudian beberapa tari kreasi lain yang diciptakannya antara lain:
Anjasmara I dan II (1946), Puragabaya (1947), Kendit Birayung (1947),
Dewi Serang dan Sulintang (1948). Kemudian dari mulai tahun 1949, R
Tjetje Somantri lebih banyak menciptakan tari kreasi untuk ditarikan
oleh gadis-gadis, antara lain: Komala Gilang Kusumah, Ratu Graeni
(1949), Topeng Koncaran, Srigati, Golek Purwokertoan (1950), Rineka Sari
(1951), Kukupu (1952), Sekar Putri (1952-1954), Tari Merak (1955), Golek Rineka (1957), Nusantara, Anjasmara III dan Renggarini (1958).
R. Tjetje Somantri lahir di Bandung
pada tahun 1891 dari ibu Nyi Raden Siti Munigar, gadis ningrat asal
Bandung, serta ayahnya bernama Raden Somantri. Pendidikan yang
dilaluinya adalah HIS dan MULO di Bandung. Pernah meneruskan ke MOSVIA
tetapi tidak sampai tamat. Belajar tari tayub pertama kali di Kabupaten
Purwakarta pada tahun 1911, dari R. Gandakusumah (Aom Doyot). Juga
belajar tari wayang dari Aom Menin, Camat Buahbatu di Bandung.
R. Tjetje Somantri sebagai pelopor tari kreasi Sunda tidak bekerja
sendiri, ia bekerja sama dengan Tb. Umay Martakusumah yang banyak
memberikan saran tentang busana / kostum yang di kenakan dalam kreasi
tarinya, kemudian dibantu oleh Bapak Kayat sebagai penata gending serta
R. Barnas Prawiradiningrat turut membantu dalam pemikiran tentang pola
lantai pada tari-tari kreasi yang sifatnya rampak.
Dalam menciptakan tari kreasi, R. Tjetje Somantri terus menggali hal
yang dianggap baru. Hal ini terbukti dengan disempurnakannya tari
Renggarini menjadi tari Kandagan (1960). Setahun setelah itu
diciptakannya lagi tari kreasi yang diberi nama tari Pancasari,
Srenggana (1961) dan pada tahun 1962 diciptakan tari kreasi Panji
Nayadirana, serta kreasi tarinya yang terakhir adalah tari Patih
Ronggana (1963).
Tari Kreasi identik dengan R. Tjetje Somantri, maka tak heran jika beberapa penari Sunda
terkemuka kebanyakan pernah belajar kepadanya, di antaranya Tb. Maktal,
Enoch Atmadibrata, Irawati Durban, Indrawati Lukman, R. Ahmad Basah, R.
Nani Suwarni, Ani Satriyah, Tb. Atet, R. Dida Hasanudin, R. Tien Sri
Kartini, Kustilah, Herlina, Imas Sonianingsih, R. Yuyun Kusumahdinata.
Beberapa tari kreasi ciptaan R. Tjetje Somantri hingga kini masih
diajarkan di beberapa sanggar tari, perguruan tinggi seni dan sekolah
kesenian, antara lain: Tari Sekar Putri, Tari Anjasmara, Tari Sulintang,
Tari Kandagan, Tari Merak, Tari Kupu-kupu, Tari Ratu Graeni, dan Tari
Koncaran. Sedangkan tari-tarian yang paling sering ditampilkan dalam
pertunjukan-pertunjukan adalah Tari Merak, Tari Kandagan, Tari
Sulintang, Tari Topeng Koncaran, dan Tari Kupu-kupu. Sementara itu,
murid-muridnyanya pun hampir semua telah menjadi pencipta tari kreasi
yang cukup diperhitungkan dalam kehidupan tari Sunda.
[sunting] Sumber
- Tari Kreasi (diakses tanggal 9 November 2011)
Reog (Sunda)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Reog di Jawa Barat adalah sebutan untuk suatu bentuk kesenian Sunda.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Sejarah
Di Indonesia, reog jenis ini diperkenalkan secara nasional oleh Kelompok Reog BKAK, sebuah kelompok dari Polri (dahulu: Angkatan Kepolisian). Para pemainnya adalah Mang Udi, Mang Diman, Mang Hari dan Mang Dudung.
Atau sekitar tahun 1967 muncul perkumpulan Reog Wanita dengan tokohnya
Pak Emen dan Ibu Anah dan kemungkinan di daerah lainyapun bermunculan
seni reog hanya tidak tercatat secara jelas.
[sunting] Karakteristik
Kesenian reog menggunakan dogdog (gendang)
yang ditabuh, diiringi oleh gerak tari yang lucu dan lawak oleh para
pemainnya. Biasanya disampaikan dengan pesan-pesan sosial dan keagamaan.
Kesenian reog dimainkan oleh empat orang, yaitu seorang dalang yang
mengendalikan permainan, wakilnya dan ditambah oleh dua orang lagi
sebagai pembantu. Dalang memainkan dogdog berukuran 20 cm yang disebut
dogdog Tilingtingtit. Wakilnya memegang dogdog yang berukuran 25 cm yang disebut Panempas, pemain ketiga menggunakan dogdog ukuran 30-35 cm yang disebut Bangbrang dan pemain keempat memegang dogdog ukuran 45 cm yang disebut Badublag.
Lama permainannya berkisar antara satu sampai satu setengah jam.
Untuk lagu-lagunya ada pula penabuh waditra dengan perlengkapan misalnya
dua buah saron, gendang, rebab, goong, gambang dll. yang berfungsi
sebagai pengiring lagu-lagunya sebagai selingan atau pelengkap.
Reog yang sekarang memang beda dengan reog zaman dahulu, sedikit
sudah dikembangkan terlihat dari jumlah personel dan alat musik yang
dipakai. Alat musik yang di pakai pada Reog adalah Reog atau ada yang
nyebut dogdog atau ogel yang terdiri dari Dalang, Wakil, Beungbreung,
Gudubrag, dan Kecrek (markis), alat musik pengiring Reog biasanya
kendang, goong, torompet dan kacapi. Pada Reog hasil pengembangan
biasanya di tambah alat musik keyboard dan gitar.
[sunting] Situasi saat ini
Seni reog ini disenangi oleh masyarakat terutama masyarakat di
pedesaan dan sebagian kecil masyarakat perkotaan karena mengandung unsur
hiburan dan daya tarik irama gendang. Namun sekarang ini pemain dan
kelompok organisasinya semakin sulit untuk dijumpai. Kalaupun ada mereka
itu biasanya dari kelompok generasi tua. Pertunjukannyapun sudah
semakin jarang karena tidak ada atau sangat kurangnya permintaan untuk
tampil.
Walaupun sudah mulai tersisihkan, masih banyak warga masyarakat yang
mengharapkan agar media masa seperti; TVRI, dan Stasiun Televisi swasta
menayangkan jenis-jenis kesenian seperti reog ini. Terakhir ini
Pemerintah Kota Bandung mengadakan festival Reog se Kota Bandung yang
diikuti sekitar 32 grup dan ini menandakan masih adanya kesenian Reog di
lingkungan masyarakat Sunda khususnya di Kota Bandung. Tentu di daerah
lainyapun pasti ada hanya saja karena tidak adanya yang mengkoordinir
atau tidak adanya pertemuan semacam festival menimbulkan mereka tidak
muncul atau mereka hanya bermain di lingkungan sekitarnya.
Saung Angklung Udjo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Saung Angklung Udjo (SAU) adalah suatu tempat workshop kebudayaan, yang merupakan tempat pertunjukan, pusat kerajinan tangan dari bambu, dan workshop instrumen musik dari bambu. Selain itu, SAU mempunyai tujuan sebagai laboratorium kependidikan dan pusat belajar untuk memelihara kebudayaan Sunda dan khususnya angklung.
Didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena
dan istrinya Uum Sumiati, dengan maksud untuk melestarikan dan
memelihara seni dan kebudayaan tradisional Sunda. Berlokasi di Jln.
Padasuka 118, Bandung Timur Jawa Barat Indonesia.
Dengan suasana tempat yang segar udaranya dan dikelilingi oleh pohon-pohon bambu, dari kerajinan bambu dan interior bambu sampai alat musik bambu.
Disamping pertunjukan rutin setiap sore, Saung Angklung Udjo telah
berkali-kali mengadakan pertunjukan khusus yang dilakukan pada pagi atau
siang hari. Pertunjukkan tersebut tidak terbatas diadakan di lokasi
Saung Angklung Udjo saja, tetapi berbagai undangan tampil di berbagai
tempat baik di dalam maupun di luar negeri, pada bulan Agustus tahun 2000 di Sasana Budaya Ganesha ITB, Bandung, Saung Angklung Udjo mengadakan konser kolaborasi dengan penyanyi cilik yang dijuluki Shirley Temple-nya Indonesia, yaitu Sherina.
Saung Angklung Udjo tidak terbatas pada hanya menjual seni pertunjukan saja, berbagai produk alat musik bambu tradisional (angklung, arumba, calung dan lainnya) dibuat dan dijual kepada para pembeli.
Seren Taun
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda
yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak
di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat
agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari
beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda
yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
- Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
- Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi
- Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
- Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
- Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Etimologi
Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun
yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang
lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks
kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana
untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian
yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka
akan meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan
hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun
untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. [1] Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat, leuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung
digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain
putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit
itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang.
Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.
[sunting] Sejarah
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri,
dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat
Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara,
yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu.
Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan
kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu
(Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai
simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan
Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang
bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran
dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali
atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut
upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.[2]
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan
berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup
lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya
berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36
tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat
Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor.
Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya
membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.[3]
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap
tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda,
sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal,
kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana
layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi
mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan
tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan
Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda
memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang,
ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren
taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana
manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di
kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan
memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
[sunting] Ritual Upacara
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam
dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi
penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini
kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare
(induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah
kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya diawali dengan mengambil air
suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya air yang
diambil berasal dari tujuh mata air yang kemudian disatukan dalam satu
wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan membawa berkah. Air ini
dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa
berkah. Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut
mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu
memberi berkah yang berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual
penyembelihan kerbau yang dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang
tidak mampu dan makan tumpeng bersama. Malamnya diisi dengan
pertunjukan wayang golek.[3]
Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni tari buyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cigugur.
Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan itu dikukuhkan pula
melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian oleh
tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia.
Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari Ngajayak, yaitu
penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk
kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya
terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh
masyarakat, maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk
padi. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Asri).
Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan
kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak
tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni
dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak silat,
nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling
rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.
[sunting] Referensi
Terbang buhun
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Terbang buhun merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang tersebar di beberapa tempat di Jawa Barat, dengan beberapa sebutan, seperti Terbang Gede, Terbang Gebes, Terbang Ageung, dll. Pada masa lalu, seni terbang digunakan sebagai media dakwah Islam, melalui pupujian
(puji-pujian) yang dilantunkan sepanjang pertunjukan berlangsung.
Terbang buhun dianggap pula memiliki kekuatan-kekuatan spiritual dan
mistis, karena itu seringkali dipakai pula di dalam upacara ngaruwat, misalnya ngaruwat anak, ngaruwat rumah, dll. Dalam upacara ruwatan biasa diadakan acara ngahurip
dengan menebarkan air suci serta membuat sesajen dan sambung layang,
yakni rangkaian hasil bumi yang disusun tiga lingkaran yang biasanya
dibuat sepasang.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Perkembangan
Terbang buhun dikenal juga sebagai Terbang Pusaka, khususnya
di Tanjungkerta yang dipimpin oleh Adis Mukaya (sekarang dilanjutkan
oleh putranya, Sutisna). Seiring dengan perkembangan zaman, terbang
buhun telah mencoba melakukan upaya-upaya penyesuaian terhadap
permintaan masyarakat sekitar, apalagi setelah mendapat bantuan tenaga
dari STSI Bandung
di dalam mengemas kembali. Dewasa ini Terbang Buhun sudah mampu tampil
lebih dinamis, dengan lagu-lagu yang dipilih, lengkap dengan Upacara
ngahuripnya serta tak ketinggalan sambung layangnya.
Pertunjukan terbang buhun di Jawa barat pada umumnya tak jauh
berbeda, baik dalam upacara Ngaruwat maupun pertunjukan dalam hajatan
biasa. Sebagai contoh struktur pertunjukan terbang buhun, misalnya pada
saat pertunjukan Ngaruwat Rumah, adalah sebagai berikut: Pertama,
diadakan Ijab Kabul oleh saehu; Tatalu dengan lagu-lagu pupujian yang
dilantunkan oleh Reuahan, sambil saehu mempersilahkan penari maju ke
depan arena pertunjukan dengan diiringi lagu Engko, dilanjutkan dengan lagu Bangun, Kembang Kacang, Lailahaillah, Malong, Siuh, dan Benjang; kedua acara ruwatannya yang dipimpin oleh Saehu dengan membacakan mantra-mantra sambil membakar kemenyan serta menyiramkan Cai Hurip ke seluruh penjuru rumah; musik terbang buhun ditabuh dengan irama naik, dengan lagu Eling Allah, Riring-riring, Kikis Kelir, Nyai Lais Koncrang, Meungpeung Hurip, Keupat Eundang;
Ketiga, pertunjukan ditutup dengan pembacaan doa, sementara para pemain
meletakkan alat musik terbangnya dan duduk khidmat membentuk setengah
lingkaran sambil menengadahkan kedua tangannya.
[sunting] Perlengkapan
Alat-alat musik terbang buhun antara lain: terbang kempring, terbang
ageung, terbang gebrung, terbang talingtik, terbang goong, dan kendang.
Sementara lagu-lagu pupujian yang dilantunkan, seperti Bismilah,
Yahmadun Kayumbilah, Robun Allah dan Kembang Gadung.
[sunting] Pemaknaan
Makna dibalik Terbang buhun adalah makna konotatif yang tersembunyi,
di antaranya: a) Makna spiritual, makna yang terkandung dalam
pertunjukan Terbang Buhun terutama dalam pertunjukan Upacara Ngaruwat
atau Upacara Ngahurip. Khusunya dalam makna-makna dibalik berbagai
tanaman hasil bumi yang terdapat dalam Sambung Layang; b) Makna
teatrikal, Sambung Layang yang ukurannya besar dan tinggi apalagi
sepasang, membuat daya tarik tersendiri bagi penonton.
[sunting] Sumber rujukan
- Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
Wayang golek
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan. Pertunjukan ini mulai dipopulerkan di Tanah Jawa oleh Sunan Kudus.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Wayang
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering
menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari
pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat,
selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan
dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak
(cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang
wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai
pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan
antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.
[sunting] Perkembangan
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang
golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang
bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Sejak 1920-an,
selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas
sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas
dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah
lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal
ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon
carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang
terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah
Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu,
dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra,
suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3)
Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7)
Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu
membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat
(sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang
(seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang
putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6)
Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit
putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang
putra), dan sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat,
yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian
dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika
ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan,
pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang
golek.
[sunting] Rujukan
- Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
Budaya Sunda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seperti pada kebudayaan sunda, kebudayaan sunda termasuk kebudayaan tertua.kebudayaan sunda yang ideal kemudian sering dikaitkan sebagai kebbudayaan raja – raja sunda. Ada beberapa waTka dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup.Etos dan watak Sunda itu adalah cageur,bageur,singer dan pinter. Kebudayaan sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perludilestarikan. Hampir semua masyarakat sunda beragama Islam namun ada beberapa yang bukan beragama islam, walaupun berebeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk alam semesta.
Kebudayaan sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan – kebudayaan lain. Secaraumum masyarakat Jawa Barat atau Tatar sunda , sering dikenal dengan masyarakat religius.Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “ silih asih, silih asah dan silih asuh, saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling malindungi.Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan,rendah hati terhadap sesama, kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih kecil.Pada kebudayaan sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda melakukan gotong royong untuk mempertahankannya.
Budaya sunda memiliki banyak kesenian , diantaranya adalah kesenian sisngaan, tarian khas sunda, wayang golek,permainan anak kecil yang khas,alat musik sunda yang bisanya digunakan pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas sunda yang menampilkan 2 – 4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari sisingaan sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acra khitanan.
Wayang golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita perwayangan. Wayang diamainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang di mainkan.
Jaipongan adalah pengembangan dan akar dari tarian klasik .
Tarian Ketuk Tilu , sesuai dengan namanya Tarian ketuk tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang disebut ketuk sejumlah 3 buah.
Alat musik khas sunda yaitu, angklung , rampak kendang, suling,kecapi,gong,calung. Angklung adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu , yang unik , enak didengar angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia.
Rampak kendang adalah salah satu instrumen musik tradisional yang di mainkan bersamma – sama instrumen lainnya. Advertisement
Tidak ada komentar:
Posting Komentar