Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya
11Nov2008 Filed under: Epistemology, Paradigm and Perspective, Philosophy Author: Arif
Teori kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan
praktis, memperlancar pembangunan masyarakat, di satu sisi pengetahuan
teoritis tentang kebudayaan dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam
menghadapi serta menilai kebudayaan-kebudayaan yang lain dan pola
perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri.
Pengetahuan yang ada belum menjamin adanya kemampuan
untuk dapat digunakan bagi tujuan-tujuan praktis karena antara toeri dan
praktek terdapat sisi-antara (interface) yang harus diteliti
secara tuntas agar dengan pengetahuan yang diperoleh lebih lanjut dari
penelitian yang dilakukan, konsekuensi dalam penerapan praktis dapat
dikendalikan secara ketat. Dengan demikian akan didapat pemahaman
tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang melandasi
pandangan-pandangan teoritis tentang kebudayaan.
Secara garis besar hal yang dibahas dalam teori
kebudayaan adalah memandang kebudayaan sebagai, (a)Sistem adaptasi
terhadap lingkungan.(b)Sistem tanda.(c) Teks, baik memahami pola-pola
perilaku budaya secara analogis dengan wacana tekstual, maupun mengkaji
hasil proses interpretasi teks sebagai produk kebudayaan.(d) Fenomena
yang mempunyai struktur dan fungsi. (e) Dipandang dari sudut filsafat.
Sebelum lebih lanjut memahami teori kebudayaan ada
baiknya kita meninjau terlebih dahulu wilayah kajian kebudayaan, atau
lebih tepatnya Ilmu Pengetahuan Budaya. Jika menilik pembagian keilmuan
seperti yang diungkapkan oleh Wilhelm Dilthey dan Heinrich Rickert,
mereka membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua bagian, yaitu Naturwissenschaften
(ilmu pengetahuan alam) dimana dalam proses penelitiannya berupaya
untuk menemukan hukum-hukum alam sebagai sumber dari fenomena alam.
Sekali hukum ditemukan, maka ia dianggap berlaku secara universal untuk
fenomena itu dan gejala-gejala yang berkaitan dengan fenomena itu tanpa
kecuali. Dalam Naturwissenschaften ini yang ingin dicari adalah penjelasan (erklären) suatu fenomena dengan menggunakan pendekatan nomotetis.
Hal lain adalah Geisteswissenschaften (ilmu pengetahuan batin)atau oleh Rickert disebut dengan Kulturwissenschaften
(ilmu pengetahuan budaya) dimana dalam tipe pengetahuan ini lebih
menekankan pada upaya mencari tahu apa yang ada dalam diri manusia baik
sebagai mahluk sosial maupun mahuk individu. Terutama yang berkaitan
pada faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berperilaku dan
bertindak menurut pola tertentu. Upaya memperoleh pengetahuan
berlangsung melalui empati dan simpati guna memperoleh pemahaman (verstehen) suatu fenomena dengan menggunakan pendekatan ideografis.
Pada perkembangannya banyak ilmu-ilmu geisteswissenschaften dan kulturwissenschaften menggunakan pendekatan yang digunakan oleh naturwissenschaften
seperti halnya Auguste Comte yang melihat suatu fenomena perkembangan
masyarakat dengan menggunakan pendekatan positivistik. Jika di tilik
tentang konsep kebudayaan, maka dapat dilihat dari dua sisi, yaitu,
pertama, Konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, yang
mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi
pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk
mempertahankan kehidupan masyarakat. Kajian ini lebih menekankan pada
pendangan positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Kedua,
Konsep kebudayaan yang bersifat idelaistis, yang memandang semua
fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal, kajian ini
lebih dipengaruhi oleh penekatan fenomenologi.
Terlepas dari itu semua maka kebudayaan dapat
diartikan sebagai suatu fenomena sosial dan tidak dapat dilepaskan dari
perilaku dan tindakan warga masyarakat yang mendukung atau
menghayatinya. Sebaliknya, keteraturan, pola, atau konfigurasi yang
tampak pada perilaku dan tindakan warga suatu masyarakat tertentu
dibandingkan perilaku dan tindakan warga masyarakat yang lain, tidaklah
dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan.
Mengenai pembagian wilayah keilmuan ini terdapat kerancuan terutama yang berkenaan dengan peristilahan human science dan humanities. Pada masa Yunani dan Romawi, pendidikan yang berkaitan dengan humanities
adalah yang berkaitan dengan pemberian keterampilan dan pengetahuan
yang diperoleh melalui pendidikan agar seseorang mempunyai kemampuan
untuk mengembangkan potensi dirinya tentang kemanusian yang berbudi dan
bijaksana secara sempurna. Adapun mata pelajaran yang diberikan untuk
mencapai hal itu adalah filsafat, kesusastraan, bahasa (reotrika,
gramatika), seni rupa dan sejarah. Maka dari penjelasan ini, humanities atau humaniora lebih mendekati pada ilmu pengetahuan budaya.
Berbicara tentang kebudayaan maka tidak bisa terlapsa
dari peradaban. Berikut ini beberapa dimensi dari peradaban,
diantaranya, pertama, Adanya kehidupan kota yang berada pada tingkat
perkembangan lebih „tinggi“ dibandingkan dengan keadaan perkembangan
didaerah pedesaan. Kedua, Adanya pengendalian oleh masyarakat dari
dorongan-dorongan elementer manusia dibandingkan dengan keadaan tidak
terkendalinya atau pelampiasan dari dorongan-dorongan itu.
Selain menganggap corak kehidupan kota sebagai lebih
maju dan lebih tinggi dibandingkan dengan corak kehidupan di desa, dalam
pengertian peradaban terkandung pula suatu unsur keaktifan yang
menghendaki agar „kemajuan“ itu wajib disebarkan ke masyarakat dengan
tingkat perkembangan yang lebih rendah, yang berada di daerah-daerah
pedesaan yang terbelakang.
Peradaban sebenarnya muncul setelah adanya masa
kolonialisasi dimana ada semangat untuk menyebarkan dan menanamkan
peradaban bangsa kolonial dalam masyarakat jajahannya, sehingga pada
masa itu antara masyarakat yang „beradab“ dan „kurang beradab“ dapat
digeneralisasikan sebagai corak kehidupan barat versus coak kehidupan
bukan barat.Unsur lain yang terkandung dalam makna „peradaban adalah
kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat dikaitkan dengan pengetian civitas.
Implikasinya adalah bahwa penyebaran sistem politik barat dapat
merupakan sarana yang memungkinkan penyebaran unsur-unsur peradaban
lainnya. Corak kehidupan kota atau kehidupan yang beradab pada
hakikatnya berarti tata pergaulan sosial yang sopan dan halus, yang
seakan-akan mengikis dan melicinkan segi-segi kasar.
Dari penjelasan definisi peradaban diatas yang hampir merangkum semua unsur adalah definisi yang diambil dari bahasa Belanda (beschaving)
yang mengatakan bahwa peradaban meliputi tatacara yang memungkinkan
berlangsungnya pergaulan sosial yang lancar dan sesuai dengan
norma-norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat barat.
Dalam mengkaji kebudayaan, unit analisa atau obyek
dari kajiannya dapat dikategorikan kedalam lima jenis data, yaitu, (a)
artifak yang digarap dan diolah dari bahan-bahan dalam linglkungan fisik
dan hayati, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (c)
perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d)
tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa yang dihasilkan oleh pita suara
dan otot-otot dalam rongga mulut dan (e) teks yang terdiri atas
tanda-tanda visual sebagai representasi bunyi bahasa atau perilaku pada
umumnya. Baik artifak, teks, maupun periaku manusia memperlihatkan tata
susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk
memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan
hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau
kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu.
Teori kebudayaan adalah usaha untuk mengonseptualkan
kebermaknaan itu, untuk memahami pertalian antara data dengan manusia
dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Teori kebudayaan adalah
usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan
untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan
kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara
keseimbangannya dengan dunia supranatural.
Keragaman teori kebudayaan dapat ditinjau dari dua
perspektif, yaitu, (a) perspektif perkembangan sejarah yang melihat
bahwa keragaman itu muncul karena aspek-aspek tertentu dari kebudayaan
dianggap belum cukup memperoleh elaborasi. Dan (b) perspekif konseptual
yang melihat bahwa keragaman muncul karena pemecahan permasalahan
konseptual terjadi menurut pandangan yang berbeda-beda. Dalam memahami
kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de
Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting
dalammemahami kebudayaan, yaitu:
-
Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
-
Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi ataukebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
-
Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.
Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif
maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa
kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus
diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa
sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga
masyarakatnya.
Komentar :
Jika kita menilik tentang Teori Kebudayaan maka kita
tidak bisa lepas dari bagaimana Teori Kebudayaan memandang kebudayaan.
Kebudayaan menurut Teori Kebudayaan sebagai, (a)Sistem adaptasi terhadap
lingkungan.(b)Sistem tanda.(c) Teks, baik memahami pola-pola perilaku
budaya secara analogis dengan wacana tekstual, maupun mengkaji hasil
proses interpretasi teks sebagai produk kebudayaan.(d) Fenomena yang
mempunyai struktur dan fungsi. (e) Dipandang dari sudut filsafat.
Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data
yang dapat dikategorikan kedalam lima jenis, yaitu, (a) artifak, (b)
perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (c) perilaku verbal
yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d) tuturan yang terdiri
atas bunyi bahasa dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual.
Semua obyek dari kajian Teori Kebudayaan memperlihatkan tata susunan
atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan
hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan
manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau kolektiva, dan
karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu.
Teori kebudayaan adalah usaha untuk mengonseptualkan
kebermaknaan itu, untuk memahami pertalian antara data dengan manusia
dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Teori kebudayaan adalah
usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan
untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan
kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara
keseimbangannya dengan dunia supranatural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar