Tanjidor Kian Tergerus Zaman |
Written by Desy Naik Sapi |
Minggu, 12 Desember 2010 20:15 |
Alunan tanjidor kini dihadapkan pada suara jaman yang sedang berubah. Semakin tak terlihat dan lirih mengiringi jalannya waktu.
Apa
yang melekat dalam benak kita ketika menyebut kesenian Betawi? Baik
dulu sampai sekarang tak jauh dari ondel-ondel, pantun, dan tanjidor.
Kesenian musik yang disebut terakhir ini kadung dikenal sebagai simbol
representasi Betawi.
Sekarang,
dapatkah tanjidor ditemui dengan mudah? Hanya bila ada pameran budaya,
upacara pernikahan ala Betawi atau penyambutan tamu penting. Tergesernya budaya-budaya lokal memang konsekuensi dari perubahan jaman.
Tanjidor
Tiga Saudara, salah satu kelompok tanjidor di daerah Srengseng Sawah,
Jakarta Timur, sedang gigih berusaha menggaungkan tanjidor ditengah
arus deras modernisasi. Berdiri sejak 1973, grup ini selalu membuka
penampilannya dengan lantunan irama mars. Setelah itu barulah mereka
melatunkan tembang-tembang yang cukup terkenal seperti "Jali-Jali" dan
"Kicir-Kicir".
Saat
alunan tanjidor memecah kesunyian kampung, para pemain sesungguhnya
tengah khawatir. Perlahan kesenian ini makin terpinggirkan dan tak lagi
dilirik orang. Sebagai perbandingan, pada 1970-an, grup ini hampir
tampil setiap hari karena banyaknya warga yang meminta.
Kala
itu, mereka bisa menyandarkan hidup dari bermain tanjidor. Kini dalam
sebulan rata-rata mereka hanya tampil dua kali, kecuali jika ada acara
tertentu semisal perayaan tahun baru.
“Biasanya abis tahun baru banyak job-nya, minimal lima kali. Kalau bulan-bulan ini lagi sepi,” tutur Minan, salah satu anggota Tanjidor Tiga Saudara.
Minan
adalah sosok dari sedikit generasi muda yang tertarik tanjidor. Lelaki
berusia 28 tahun ini menjadi pemain tanjidor karena ingin melanjutkan
cita-cita ayahnya, mempertahankan kesenian ini. Sekarang Minan mulai
belajar mengurus grup Tanjidor Tiga Saudara.
“Dia
yang nyari order, ngumpulin pemain, nyiapin peralatan dan kostum dan
hal lainnya,” ujar Sait, ayah dari Minan yang juga anggota Grup Tanjidor
Tiga Saudara.
Penghasilan
yang mereka dapat dari tanjidor tergolong sedikit. Untuk satu kali
main mereka mendapat bayaran berkisar 3-5 juta. “Itu juga dibagi ke
anggota-anggota sebanyak 9-15 orang dan belum termasuk ongkos untuk
transportasi,” tandas Minan. Belum lagi biaya perawatan alat-alat
tanjidor yang tidak murah.
Kondisi
ini jelas membuat mereka tak bisa lagi mengandalkan nafkah dari
bermain tanjidor saja. Beberapa di antara mereka terpaksa membanting
tulang sebagai kuli bangunan, tukang ojek, hingga membuka bengkel.
Terpinggirkannya kesenian tanjidor ini diiyakan Sahrul, warga Cimanggis,
Depok. Pemuda 22 tahun yang turut menyaksikan tanjidor ini mengaku
kurang mengetahui tanjidor. “Sejauh ini saya kurang begitu tahu, kalau
gambang kromong lebih populer,” ujarnya.
Di
Jakarta keberadaan grup tanjidor yang masih eksis bisa dihitung dengan
jari. “Untuk saat ini yang terdaftar tinggal empat. Kalau di Jakarta
paling yang eksis tinggal dua. Jakarta Selatan ada satu, satu lagi di
Jakarta Timur pimpinan Marta Nyaat, sebagian di Tangerang,” papar H.
Yoyo Muchtar, mantan ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) yang juga
pembina Badan Pemberdayaan Betawi.
Saat
ditanya tentang antusiasme masyarakat, ia mengakui bahwa masyarakat
masih antusias melihat tanjidor tetapi dengan pandangan aneh.
“Kebanyakan orang heran. Heran dan bingung, mau main gak bisa. Bagaimana
caranya membuat masyarakat suka tapi dia punya faktor kesulitan yang
sangat banyak kemudian mau belajar ragu-ragu,” tambah Yoyo.
Ditemui
di lokasi pembukaan MTQ ke-7 tingkat Kota Depok, Kelurahan Duren
Seribu, Sawangan, Mawardi, Lurah Gandul, Jakarta Timur, berpendapat daya
tarik tanjidor sudah berkurang. Sekarang justru daya tariknya adalah
ondel-ondel, karena ondel-ondel terlihat lucu. Tanjidor hanya berperan
sebagai pengiring agar tidak terlalu vakum.
Tanjidor
menghadapi tantangan yang semakin berat. Kesenian itu semakin berjarak
dengan pendengarnya yang hidup di masa yang berbeda. Serbuan
hiburan-hiburan alternatif, terutama dangdut, lebih mendapat tempat di
hati masyarakat, apalagi generasi muda. Berbagai acara yang ditujukan
untuk kaum muda selalu menampilkan band, cheerleaders, dan modern dance. Tak pernah sekalipun menampilkan tanjidor. Tanjidor dianggap tidak sesuai dengan selera anak muda sekarang.
Penyebab
tanjidor tidak bisa melesat seperti jenis kesenian Betawi lainnya
karena fungsi ekonomi tanjidor lemah. Sangat tergantung saweran dari
penonton atau pengiring acara sunatan, kawinan dan sebagainya. Banyak
orang tua melarang anaknya menjadi seniman tanjidor karena tidak
menjanjikan.
“Padahal
itu (tanjidor –red) terdapat pembinaan norma budaya yang gak ada di
sekolahan. Itu pembinaan norma budaya yang datang dari diri kita sendiri
ingin berbagi sesuatu bukan mata pencaharian, tapi ketika itu menjadi
mata pencaharian itu bukan permasalahan,” jelas Yoyo.
Pemain
tanjidor sudah jarang karena sulitnya regenerasi. Selain banyak yang
telah meninggal, pemainnya pun sudah uzur. Rumitnya memainkan alat
tanjidor menyebabkan sulitnya mencari bibit baru. Mau tak mau seniman
tanjidor memang harus berbakat di bidang musik modern.
Grup
Tanjidor Tiga Saudara hanya membina empat orang anak muda, berusia
antara 17 hingga 18 tahun. Sait sangat menyayangkan hal ini. “Anak muda
memang ga ada pikirannya untuk sayang, anak kita sendiri aja nggak
apalagi anak orang,” keluh Sait.
Sait
sendiri menekuni tanjidor sejak kanak-kanak. Belajar memainkannya
bertahap. “Saya dari SD udah belajar, ikut kakak saya latihan, terus pas
kakak saya meninggal, saya yang gantiin,” kenangnya.
Pengajaran
dimulai dari memainkan alat musik ringan sampai alat musik tiup. Sait
cukup lama mempelajari alat tanjidor. “5 tahun lebih, baru saya belajar
niup, bisa niup baru bisa pindah ke tenor, tenor udah bisa baru
belison, terakhir clarinet, ” papar Sait.
Kesulitan
mempelajari alat musik sebagai faktor susahnya regenerasi seharusnya
menjadi perhatian Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI. Hal ini yang
tidak dirasakan para seniman tanjidor.
“Belajarnya susah, yang belajar kebanyakan nggak mau. Kalau dari dinas sama sekali nggak ada pelatihan,” tandas Minan.
Ia
juga menjelaskan, selama ini mereka mendapat bantuan alat musik saja,
namun dalam hal pembinaan sangat kurang. Hal ini dibenarkan oleh Yoyo
yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Sub Bidang Pengembangan Potensi
Budaya di LKB.
“Perkembangan
musik betawi khususnya tanjidor itu memang dirasakan dari sisi
pembinaan itu sangat-sangat kurang, kemudian generasi penerusnya pun
regenerasinya sangat kurang,” tutur Yoyo.
Kepala
Suku Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, Taufik Syamsul Bakri
menanggapi bahwa masalah sulitnya regenerasi bukan terletak pada respon
masyarakat dan generasi yang kurang, tapi soal waktu.
“Sebenarnya
bukannya kurang mereka, cuma waktunya yang mungkin belum sempat ada.
Sebagai contoh keroncong, keroncong itu bisa dilestarikan bila di anak
muda bisa eksis terhadap kebudayaan tersebut,” ucap Taufik.
Seperti yang dikatakan Taufik, pemerintah mengaku sering menggelar pentas-pentas seni yang diakui sebagai bentuk dukungan perkembangan kesenian.
Tetap,
peran pemerintah dibutuhkan untuk membina atau memberi ruang untuk
berkembangnya kesenian lokal seperti tanjidor. Efektif tidaknya upaya
itu, yang pasti tanjidor telah memudar kepopulerannya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar