Kebudayaan tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus menerus berganti-gantinya alam dan zaman. (Dewantara; 1994)
Kebudayaan atau culture adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Kebudayaan sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah adab (keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya:
• Hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan.
• Angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan.
• Kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah (Dewantara; 1994).
Kebudayaan adalah aspek yang sangat penting bagi suatu bangsa. Mengapa? Karena Kebudayaan juga merupakan jati diri dari bangsa itu sendiri. Bagaimana kebudayaan Indonesia sebenarnya berkembang dari jaman dahulu hingga sekarang? Berikut ini akan penulis kutipkan mengenai sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dari tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Situasi Akar Budaya Kita”.
Nenek moyang kita adalah bagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari layar sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan.
Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan itu adalah orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton, yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.
Nenek moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni ornamentik pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan tenun Indonesia dan Balkan umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian. Jaap Kunst, seorang ahli musik, juga ahli musik Indonesia mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan Dongson menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa dibanding budaya Cina.
Nenek moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman perunggu dan zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam penggalian situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan bersama-sama. Hulu pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk hulu pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di Kauskasus.
Tetapi, sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok manusia lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir, kurang lebih 15.000 tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan bahwa sebagian besar Nusantara bagian barat menyatu dengan daratan Asia Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang kini laut Jawa. Ketika es berakhir, permukaan laut naik kembali, dan terbentuklah gugusan pulau-pulau seperti yang kita kenal kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada perkembangan manusia Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang kurang lebih 1000 tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip tua Hebrew dari masa akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah menyebut perdagangan kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai timur Afrika.
Dalam melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke Madagaskar dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat pulau itu. Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa Madagaskar dan bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini berlayar jauh ke pedalaman pasifik, menetap di berbagai kepulauan, dan mereka paling ke timur mencapai Easter Island, pulau terjauh ke timur dari Nusantara.
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah. Jelas pula bahwa kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek moyang kita telah memberi pula sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di seberang Samudera Hindia, serta menciptakan berbagai budaya di Madagaskar, dan di kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik.
Tantangan kita sebagai Rakyat Indonesia
Mengingat dari sejarah kebudayaan kita ini sebagai pewaris langsung dari mereka, apakah kita harus merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya?Seharusnya TIDAK! Kita harus berani memeriksa diri secara cermat, kita harus berani keluar dari zona nyaman kita, kita harus banyak belajar dan mengaplikasikan apa yang kita pelajari tersebut. Apa kekurangan-kekurangan kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk berbuat yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?
Apa yang dapat dilakukan oleh bangsa ini?
Apa yang dapat saya lakukan sebagai salah satu warganegara bangsa ini?
Sebelum menjawab pertanyaan – pertanyaan di atas, coba kita telaah terlebih dahulu bagaimana kebudayaan barat yang mulai masuk dan berkembang di negara kita.
Kebudayaan Barat Di Indonesia
Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan menggerogoti Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:
  1. Kebudayaan Teknologi Modern
    Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
  2. Kebudayaan Modern Tiruan
    Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
    Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
  3. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
    Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, Spanyol, Jerman, Belanda bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
    Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992
Dalam pemaparan tentang akar budaya di atas tadi telah kita ketahui bahwa nenek moyang kita adalah nenek moyang yang tangguh dan bangsa ini telah mampu melakukan akulturasi secara positif sehingga kita bisa mengintegrasikan kebudayaan luar untuk meningkatkan budaya sendiri. Namun kita harus melihat secara riil bagaimanakah keadaan budaya kita hari ini.
Sajiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986 menyampaikan tentang persoalan kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mengeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.
Menurut beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building (Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
Mochtar Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986, menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan oleh ciri:
  1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.
  2. Kemunafikan.
  3. Lemahnya kreativitas.
  4. Etos kerja brengsek.
  5. Neo-Feodalisme.
  6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).
Komunitas Global Sebagai Sarana untuk Integrasi Budaya Luar
Komunitas global tentunya mempunyai peran yang sangat penting dalam proses memperkenalkan budaya asing kepada negara lain. Komunitas yang pastinya terdiri dari orang – orang atau mahasiswa yang berasal dari berbagai Negara di segala penjuru dunia ini akan sangat bermanfaat untuk memberikan opini / ide – ide untuk bertukar informasi mengenai budaya yang berkembang di Negara mereka masing.
Budaya barat nampaknya mendapatkan penilaian yang negatif dari bangsa kita, dan juga dalam kenyataan nya, banyak diantara kita yang justru “terjebak” dalam budaya barat tersebut. Sebagai contoh adalah adanya budaya untuk tidur bersama (kumpul kebo) sebelum mengikat janji pernikahan. Tentu saja ini adalah budaya yang sangat tidak baik. Namun, di balik budaya barat yang negative tersebut ada banyak budaya mereka yang posititf dan patut kita contoh.
Lalu kalau seperti itu, apa peran komunitas global pada kita?
Warganegara yang berasal dari Negara-negara maju tentunya banyak memiliki karakter-karakter dan juga budaya yang sangat bermanfaat untuk dapat kita lihat dan contoh seperti budaya mereka untuk menghargai waktu, datang tepat waktu apabila ada janji dengan seseorang. Saya merasa bangsa kita ini perlu belajar banyak dalam hal disiplin. Dan kalau masalah disiplin kita dapat belajar banyak dari kebudayaan bangsa Jepang. Orang jepang sangat disiplin dalam waktu dan berbagai hal. Mereka sangat tidak suka untuk terlambat apabila ada janji atau kegiatan lainnya.
Apabila kita lihat dari tulisan Mochtar Lubis yang mengatakan ada 6 kondisi budaya kita yang terjadi saat ini, 4 di antaranya adalah Kemunafikan, Lemahnya kreativitas, Etos kerja brengsek, Budaya malu telah sirna. Dari 4 kondisi ini mungkin kita dapat belajar banyak dari budaya beberapa Negara maju melalui komunitas global ini. Tentunya dalam komunitas itu kita dapat memperhatikan bagaimana warganegara dari Negara-negara lain dalam menjalankan hari-hari nya dan tentunya kita dapat langsung bertukar pikiran untuk mengatasi hal ini.
Mungkin kita dapat belajar dari bangsa A mengenai tingginya kreativitas mereka dalam menciptakan suatu produk atau karya seni atau apa pun itu. Kita juga dapat belajar dari bangsa B bagaimana etos kerja mereka sangat baik sehingga menghasilkan ekonomi Negara mereka semakin maju dan berkembang. Kemudian kita dapat belajar dari bangsa C, D, atau E mengenai budaya-budaya lain yang tentunya positif dan dapat berguna untuk membangun bangsa ini.
Pastinya akan lebih banyak lagi hal-hal yang dapat dipelajari apabila kita berada dalam komunitas global, akan banyak pengetahuan baru yang kita dapat. Pola pikir dan cara pandang dalam menghadapi masalah juga akan berbeda untuk setiap bangsa dalam menyikapinya. Dan apabila kita dapat mengintegrasikan kebudayaan luar yang positif ke kebudayaan bangsa kita, tentunya saya yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang lebih maju dan berkembang dari pada sebelumnya.
Oleh karena itu, apabila saya mendapat kesempatan untuk berada di komunitas global, saya akan melakukan seperti yang saya tuliskan di atas dan tentunya saya juga bermimpi bila sudah masuk di komunitas itu saya akan mengobservasi dan menggali dalam-dalam ide-ide mereka serta kebudayaan mereka yang positif dan menuangkan nya dalam bentuk tulisan agar dapat dilihat dan dibaca oleh banyak orang terutama bangsa Indonesia. Dan harapan saya bangsa ini dapat berkaca dari kebudayaan-kebudayaan luar yang positif guna memperbaiki kebudayaan bangsa yang kurang baik, sehingga pada akhirnya ini semua adalah untuk kemajuan bangsa kita bersama.
Referensi:
  • Bakker, JWM. 1999. ”Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar”. Penerbit Kanisius; Yogyakarta.
  • Dewantara, Ki Hajar. 1994. ”Kebudayaan”. Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa; Yogyakarta.
  • Sarjono. Agus R (Editor). 1999. ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita”. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta. Suseno, Franz Magnis. 1992. ”Filsafat Kebudayaan Politik”. Penerbit Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.