|
Sinkronisasi Rencana Program Kegiatan Dinas Dikpora DIY tahun 2013
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
28 Februari 2012 05:02 WIB Oleh : m.tok
Di baca :
40 kali
Index Berita
|
Kepala Dinas Dikpora DIY beserta jajaran Kabid saat membuka sinkronisasi rencana kegiatan Disdikpora DIY tahun 2013
|
Dinas Dikpora DIY- Perencanaan tahunan Dinas Dikpora DIY dilakukan dengan memperhatikan dua kebijakan yang harus dipedomani, yakni : kebijakan yang ditetapkan Pemda Provinsi DIY di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga, serta kebijakan secara nasional yang ditetapkan Pusat. Guna mensinergikan program dan kegiatan yang dilandasi oleh dua kebijakan tersebut, Dinas Dikpora DIY menyelenggarakan kegiatan Sinkronisasi Program/Kegiatan Kabupaten/Kota dengan Provinsi di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga, Selasa s.d. Kamis, 28 Februari s.d. 1 Maret 2012 di Ruang Parang Kusuma Hotel Sahid Raya Yogyakarta.
Kegiatan sinkronisasi ini melibatkan semua Pejabat Eselon di lingkungan Dinas Dikpora Provinsi DIY, UPT Dinas Dikpora DIY, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kanwil Kemenag, DPPKA DIY, dan Bappeda DIY. Kegiatan ini merupakan salah satu wahana penyamaan persepsi dan sinkronisasi program antara Dinas Dikpora DIY, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan semua instansi serta stake holder Dikpora. Dalam kegiatan yang mengusung tema "Pendidikan bermutu, merata dan non diskriminatif" ini, akan dilakukan kegiatan evaluasi program dan kegiatan yang sudah dilalui di tahun 2011, rencana pelaksanaan program kegiatan tahun 2012, serta usul program dan kegiatan tahun 2013.
Dalam sambutan pembukaan kegiatan sinkronisasi, Kepala Dinas Dikpora DIY,
Drs. R. K. Baskara Aji mengharapkan peserta sinkronisasi dapat menitik
beratkan pembahasan pada pengelolaan tema kegiatan yakni Pendidikan yang bermutu, merata dan non diskriminatif. Menurutnya, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu, hal yang paling urgen adalah bagaimana mengoptimalkan sinergitas antar program dan instansi, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.
"Sebagai contoh dalam pelaksanaan dan
pembinaan lomba OOSN, OSSN, FLSSN. Agar bisa berjalan baik, harus ada
sinkronisasi kesatuan pembinaan dari tingkat Kabupaten hingga Provinsi.
Contoh lain juga apa yang terjadi di Balai Pemuda dan Olahraga. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah BPO hanya membina atlet di luar sekolah, atau juga atlet yang masih bersekolah yang berprestasi melalui OOSN. Semua itu butuh koordinasi dan sinkronisasi, supaya optimalisasi prestasi siswa bisa tercapai", tegasnya
Dalam hal pemerataan akses, Kadinas menyampaikan bahwa Disdikpora DIY sudah mempunyai dana dan program yang "bertubi-tubi"
untuk beasiswa. Program-program beasiswa seperti BOSDA dan program
kembali ke sekolah (retrieval), memerlukan sinkronisasi antara sekolah, Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi. Sehingga penyampaian beasiswa dapat merata kepada seluruh siswa di DIY, tidak hanya di Kabupaten/Kota tertentu.
Sementara dalam hal non diskriminatif, Kadisdikpora mengajak peserta kegiatan sinkronisasi untuk memperhatikan pembahasan pada anak yang memiliki kemampuan cerdas istimewa dan bakat Istimewa (CIBI). Menurutnya, anak yang memiliki CIBI bisa dibagi
dalam empat bagian, yakni CIBI bidang olahraga, seni ketrampilan,
sains,dan penelitian. "Kita perlu memikirkan, apakah CIBI kita masukkan
dalam kelas akselerasi, atau kelas reguler akademik yang diselesaikan dalam 2 tahun, lalu ditambah pembekalan tambahan seperti kelas ketrampilan, di tahun yang ketiga", ujarnya.
Di bidang pendidikan non formal, Kadisdikpora mengharapkan bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan pendidikan bagi seluruh warga DIY. Berdasarkan data Dinas Dikpora DIY, 98,18% warga DIY telah melek huruf, sementara versi BPS 93,8% warga DIY yang melek huruf. "Saya harap kita tidak usah tergesa-gesa menyangkal angka BPS itu. Semoga BPS bisa menunjukkan dimana letak daerah yang masih banyak warganya yang buta huruf. Selanjutnya mari kita berkoordinasi dengan Dinas Kabupaten/Kota untuk mencari tempat-tempat itu, kemudian kita bekerjasama dengan berbagai pihak sehingga bisa meningkatkan prosentase melek huruf warga DIY", tukasnya.
Kadisdikpora juga menyinggung mengenai pengembangan program paket sebagai program alternatif serta program home schooling yang saat ini sedang booming. "Saya mohon untuk dipikirkan, bagaimana kita bisa memberikan layanan sebaik-baiknya dalam bentuk regulasi supaya anak-anak yang home schooling bisa mengikuti ujian, baik di paket atau bahkan di sekolah. Sehingga mereka bisa mendapatkan ijazah formal atau ijazah yang setara untuk kebutuhan mereka di masa yang akan datang", tutupnya. (m.tok)
|
|
|
Mewujudkan Pendidikan di DIY yang Non Diskriminatif
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
01 Maret 2012 12:03 WIB Oleh : m.tok
Di baca :
25 kali
Index Berita
|
Prof. DR. Ir. Budi Santosa Wignyosukarto saat menyampaikan materi mengenai pendidikan yang non diskriminatif
|
Dinas Dikpora DIY- Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyelenggaraan pendidikan nasional
harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.
Namun dalam penyelenggaraannya, pendidikan nasional terkadang masih melibatkan unsur diskriminasi di dalamnya. Subyek pendidikan yakni
warga negara Indonesia masih diperlakukan tidak adil karena
karakteristik suku, antar golongan, gender, ras, agama/kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik dan tingkat ekonomi.
Menurut Staf Ahli Gubernur Provinsi DIY, Prof. Dr. Ir. Budi Santosa Wignyosukarto, diskriminasi ini terjadi karena sudut pandang pendidikan yang masih berbeda yang dimiliki oleh para pelaksana pendidikan. Mereka menganggap pendidikan sebagai
tanggung jawab sosial yang harus non diskriminatif dan bertujuan untuk
membangun bangsa. Namun disisi lain, mereka menganggap pendidikan sebagai
komoditas, yang memiliki diferensiasi, konsentrasi, dan segmentasi
tertentu. Hal inilah yang menyebabkan adanya diskriminasi itu.
"Oleh karenanya, untuk mewujudkan pendidikan yang non diskriminatif, utamanya di DIY, kita harus melihat kembali pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional
yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab", tegasnya.
Guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional itu, Prof. Budi mengingatkan kembali akan adanya empat komponen hak atas pendidikan yang telah dirumuskan oleh Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan harus dilaksanakan oleh seluruh bangsa di dunia. Komponen pertama yaitu lembaga pendidikan harus
tersedia dalam jumlah yang cukup, termasuk gedung sekolah, guru yang
terlatih dan bahan ajar. Komponen kedua yakni harus ada akses yang sama
pada semua pendidikan, terutama bagi kelompok yang paling rentan dalam masyarakat. Hal ini termasuk akses fisik dan ekonomi.
Komponen ketiga yang harus diperhatikan adalah pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajaran, harus relevan, sesuai dengan budaya dan berkualitas baik. Komponen yang terakhir, pendidikan harus beradaptasi dengan kebutuhan siswa dan beragam kondisi sosial budaya.
Selain itu, guna mencegah terjadinya diskriminasi dalam pelaksanaan pendidikan di DIY, seluruh pengambil kebijakan, stake holder, serta lembaga pendidikan harus mulai menerapkan konsep interaksi yang baik dalam dunia pendidikan. Konsep interaksi yang baik itu terdiri dari konsep akomodasi, konsep asimilasi, dan konsep akulturasi.
"Konsep
akomodasi yaitu konsep yang menyebabkan setiap kumpulan etnik menyadari
serta menghormati norma dan nilai kumpulan etnik yang lain dan tetap
mempertahankan budaya hidup masing-masing. Konsep asimilasi adalah proses penyatuan kelompok/individu dari berlainan kebudayaan menjadi satu kelompok dengan kebudayaan dan identitas yang sama. Sedang konsep akulturasi yakni suatu proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan dari satu budaya ke budaya yang lain. Dengan menanamkan berbagai konsep interaksi yang baik ini, akan menurunkan tingkat diskriminasi dalam dunia pendidikan di DIY", terangnya. (m.tok)
|
|
|
Optimalisasi Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
01 Maret 2012 03:03 WIB Oleh : m.tok
Di baca :
37 kali
Index Berita
|
DR.
Sumarno, M.A.(kiri), salah satu penyusun Perda No.5/2011, didampingi
Kasi Perencanaan Kependidikan, Ir. H. Edy Wahyudi, M.Pd. (kanan) pada
saat mengisi acara sinkronisasi program kerja Dinas Dikpo
|
Dinas Dikpora DIY- Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya di
DIY tidak terlepas dari modal yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi
oleh DIY. Dari sisi modal, DIY memiliki pengalaman historis sebagai
pusat pendidikan. Berbagai universitas dan lembaga pendidikan yang ada
di DIY merupakan yang tertua di Indonesia, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). DIY juga memiliki modal sebagai pusat kebudayaan, dimana kebudayaan
ini merupakan modal sosial dalam pembangunan pendidikan. Terakhir,
modal yang dimiliki DIY adalah komitmen pemerintah DIY untuk memberikan
layanan terbaik di segala bidang, tidak terkecuali pendidikan.
Sementara
dari sisi tantangan, penyelenggaraan pendidikan di DIY harus menghadapi
perkembangan kehidupan dalam konteks internasional/global. Tantangan
yang lain adalah dinamika perkembangan dunia pendidikan yang mencakup
persaingan dan jaringan kerjasama, serta desentralisasi manajemen
pendidikan yang meliputi akses, mutu dan akuntabilitas pendidikan.
Guna
mengoptimalkan modal yang dimiliki dan menghadapi tantangan yang ada
dalam penyelenggaraan pendidikan, disusunlah Perda No. 5 Tahun 2011
mengenai Pendidikan Berbasis Budaya.
Menurut DR. Sumarno, M.A., salah satu penyusun Perda No. 5 Tahun 2011,
fokus-fokus di dalam Perda No. 5 Tahun 2011 adalah penyelenggaraan
pendidikan bermutu untuk semua yang non diskriminatif, pendidikan
karakter berbasis budaya, relevansi dengan pembangunan daerah dan nasional, pusat unggulan kualitas, serta tata kelola pemerintahan yang baik.
"Sebagai langkah untuk mengoptimalisasi fokus-fokus penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya,
diperlukan sinergi intra/inter sistem birokrasi dan multi/trans
sektoral. Juga perlu dilaksanakan penerapan pendekatan kultural, sebagai
komplementasi pendekatan struktural. Hal lain yang patut diperhatikan
adalah pengembangan berbasis penelitian, serta pendanaan dan pembiayaan
berbasis program pengembangan", jelasnya.
Sinergitas itu ia contohkan dalam mewujudkan salah satu tujuan pendidikan berbasis budaya di DIY yakni sebagai pusat pendidikan berbasis budaya terkemuka
di Asia Tenggara. Di level Pemprov DIY, tujuan itu diwujudkan dengan
pemberian dukungan dan dorongan orientasi kualitas pendidikan dengan
standar internasional. Sementara di level Pemkot/Pemkab, tujuan itu
diwujudkan dengan pemeliharaan, pemantapan, pengimbasan rintisan mutu
dan manajemen pendidikan bertaraf internasional. Dan terakhir di level
satuan pendidikan, tujuan itu diwujudkan dengan pelembagaan hasil
rintisan mutu bertaraf internasional. (m.tok)
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar