Rumah Adat Batak
Kebanyakan rumah tradisional
yang ada di Nusantara kita ini tidak hanya sekedar sebagai tempat
tinggal tapi juga sebagai media atau simbolisasi perwujutan dari
filosofi atau adat budaya yang berlaku pada daerah atau suku-suku yang
ada di bumi Indonesia ini.
Kita sebagai bangsa yang besar sudah
sewajarnya bangga akan kekayaan budaya kita dan sewajarnya pula kita
sebagai penerus bangsa melestarikannya dan selalu mengabadikannya untuk
anak cucu kita nanti, dan mengenalkan kepada mereka identitas kita
sebagai negara yang besar.
Kali ini kita membahas rumah adat suku Batak di Sumatera Utara.
Rumah Adat Batak mengandung filosofi pedoman hidup suku Batak.
Rumah Adat Batak mengandung filosofi pedoman hidup suku Batak.
Dalam kesempatan ini kita
akan mengupas nilai flosofi, makna dan sejarah dari rumah adat Batak
tersebut sebagai bentuk cagar budaya, yang kita harapkan dapat menjadi
sarana pelestarian budaya, agar kelak para generasi penerus kita tidak
kehilangan identitas bangsa kita tercinta ini.
Perkampungan suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar (kampung), yaitu suatu tata ruang lingkungan dengan komunitas yang utuh dan kuat solidaritasnya. Desa atau kampung pada suku batak disebut lumban/ huta. di setiap masing-masing desa / kampung dilengkapi 2 pintu gerbang (bahal) pada sisi bagian utara dan selatan. Sekeliling kampung dipagar batu setinggi 2 m, yang disebut parik.
Di setiap sudut pagar berdiri menara penjagaan yang berfungsi untuk
mengintai musuh atau bertahan. Pada sejarah masa lalu, di suku Batak
sering sekali peperangan antar kampung.
Oleh
karena itu kenapa kampung suku Batak berpagar keliling dan ada menara
penjaganya seperti benteng, Huta masih dapat disaksikan di Kabupaten
Tapanuli Utara di desa-desa Tomok, Ambarita, Silaen, dan Lumban Nabolon
Parbagasan. Desa-desa tersebut merupakan daya tarik wisata budaya yang
banyak dikunjungi wisatawan.
Makna dan Simbolisme
Pola bentuk penataan pada lumban/ huta terdiri dari beberapa rumah / ruma dan sopo didalamnya. Posisi rumah dan sopo tersebut saling berhadapan dan mengacu pada poros sisi utara selatan. Sopo merupakan lumbung, sebagi tempat penyimpanan bahan pangan seperti padi, jagung atau hasil kebun lainnya. filosofi yang terkandung bawasannya masyarakat Batak sangat menghargai arti dalam kehidupan, pangan dan papan merupakan penopang dan sumber kehidupan bagi mereka dan mensyukurinya dengan penggunaan yang bijaksana.
Pola bentuk penataan pada lumban/ huta terdiri dari beberapa rumah / ruma dan sopo didalamnya. Posisi rumah dan sopo tersebut saling berhadapan dan mengacu pada poros sisi utara selatan. Sopo merupakan lumbung, sebagi tempat penyimpanan bahan pangan seperti padi, jagung atau hasil kebun lainnya. filosofi yang terkandung bawasannya masyarakat Batak sangat menghargai arti dalam kehidupan, pangan dan papan merupakan penopang dan sumber kehidupan bagi mereka dan mensyukurinya dengan penggunaan yang bijaksana.
Arsitektur Tradisional Batak Toba
Ditilik dari bentuk lumban/ huta seperti sebuah benteng dari pada sebuah desa pada umumnya, bisa kita liat dari sejarah karakter atau sifat mayarakat nenek moyang suku batak terdahulu, suka berperang antar desa sesama suku batak itu sendiri tetapi beda kampung.
Pada penataan bangunan didalam huta keberadaan sopo sangatlah penting dan dihargai, letaknya selalu berhadapan dengan ruma. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba adalah argraris, bertani atau bercocok tanam. Posisi ruma dan sopo yang tertata secara linear.
Ditilik dari bentuk lumban/ huta seperti sebuah benteng dari pada sebuah desa pada umumnya, bisa kita liat dari sejarah karakter atau sifat mayarakat nenek moyang suku batak terdahulu, suka berperang antar desa sesama suku batak itu sendiri tetapi beda kampung.
Pada penataan bangunan didalam huta keberadaan sopo sangatlah penting dan dihargai, letaknya selalu berhadapan dengan ruma. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba adalah argraris, bertani atau bercocok tanam. Posisi ruma dan sopo yang tertata secara linear.
Kajian Perangkaan
Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang terbagi atas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap rumah.
Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang terbagi atas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap rumah.
Arsitektur Batak Toba terdiri atas ruma dan
sopo (lumbung) yang saling berhadapan. Ruma dan sopo dipisahkan oleh
pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Ada
beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya.
Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu
atau Jabu Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut
Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut Ruma
Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu Parbale-balean.
Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi hak
anak bungsu.
Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum mendirikan rumah, masyarakat Batak lebih dulu mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, proses pengumpulan ini biasa disebut dalam bahasa Batak Toba “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.
Sebelum mendirikan rumah, masyarakat Batak lebih dulu mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, proses pengumpulan ini biasa disebut dalam bahasa Batak Toba “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.
Dalam proses mangarade tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk kerja sama tanpa pamrih antar penduduk sekampung.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande”
untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai
pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang
dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan
kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok
oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling
nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara
nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut
dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang
dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat)
adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting untuk
kita perhatikan dalam membangun rumah adat batak ini adalah pondasi.
Ada makna filosofi masyarakat Batak yang terkandung dan tersirat di
dalam pembangunan pondasi rumah mereka, bahwasannya tanpa letak pondasi
yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. falsafah yang tersirat
“hot di ojahanna” masyarakat Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi
empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk
keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan”
yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan / kompak dalam memikul beban berat.
Pandingdingan dipersatukan
dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat
pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna”
dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan
landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri
dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut,
dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni
rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang
harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka
bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar
ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan
penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai
“sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan
sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus
menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk
dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh
sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan
ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya
pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan
pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam
kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na
Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa
Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas
yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap
kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan
pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan
kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang
mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti
kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.
“Ombis-ombis” terletak
disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan.
Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank.
Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang
terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian
orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan
manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan
kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama
manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.
Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Untuk menjaga kebersihan
rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak
ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti
debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena
itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan”
yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau
perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun
ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut
dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah
ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang
Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat
pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di
sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yang
disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya
dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar
disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang
tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na
bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah
dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk menyisip
atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian” digunakan
tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan
baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan”
yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi
raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah
mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah
dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan rumah dan
menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu
kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga
dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat aus
menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian
bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering
dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai
dengan “Tangga rege-rege”.
Gorga
Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.
Disebelah depan rumah dihiasi dengan oramen dalam bentuk ukiran yang disebut dengan “gorga” dan terdiri dari beberapa jenis yaitu gorga sampur borna, gorga sipalang dan gorga sidomdom di robean.
Gorga itu dihiasi (dicat)
dengan tlga warna yaitu wama merah (narara), putih (nabontar) dan hitam
(nabirong). Warna merah melambangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan
yang berbuah kebijaksanaan. Warna putih melambangkan ketulusan dan
kejujuran yang berbuah kesucian. Wama hitam melambangkan kerajaan dan
kewibawaan yang berbuah kepemimpinan.
Sebelum orang Batak mengenal
cat seperti sekarang, untuk mewarnai gorga mereka memakai “batu hula”
untuk warna merah, untuk warna putih digunakan “tano buro” (sejenis
tanah liat tapi berwana putih), dan untuk warna hitam didapat dengan
mengambil minyak buah jarak yang dibakar sampai gosong. Sedangkan untuk
perekatnya digunakan air taji dari jenis beras yang bernama Beras Siputo.
Disamping gorga, rumah Batak
juga dilengkapi dengan ukiran lain yang dikenal sebagai “singa-singa”,
suatu lambang yang mengartikan bahwa penghuni rumah harus sanggup
mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai rnanusia berbudaya.
Singa-singa berasal dari gambaran “sihapor” (belalang) yang diukir
menjadi bentuk patung dan ditempatkan di sebelah depan rumah tersebut.
Belalang tersebut ada dua jenis yaitu sihapor lunjung untuk singa-singa
Ruma dan sihapor gurdong untuk rumah Sopo.
Hal ini dikukuhkan dalam bentuk filsafat yang mengatakan “Metmet pe sihapor lunjung di jujung do uluna”
yang artinya bahwa meskipun kondisi dan status sosial pemilik rumah
tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan mampu untuk menjaga
integritas dan citra nama baiknya.
Perabot Penting
Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah “ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.
Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah “ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.
Di sebelah bagian atas kiri
dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan dibuat “pangumbari”
yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang diperlukan
sehari-hari seperti kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang
disuarakannya adalah “Ni buat silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.
Untuk menyimpan
barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal
biasanya disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit
(mata uang sebagai alat penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi
hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam
sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis
tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan,
tombuk lada, tutu pege dan lain sebagainya.
Karena orang Batak mempunyai
karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala penghuni rumah
meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada
acara yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini
disebut dengan “ungkap hombung” yang disaksikan oleh pihak hula-hula.
Untuk keluarga dengan
tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-barang yang
disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya
saja ukurannya lebih kecil dan tidak semewah hombung.
Sebagai tungku memasak
biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut “dalihan”.
Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak
menjadi dua, sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.
Banyak julukan yang
ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang kesudiannya untuk
menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak so balunon”
yang berarti bahwa “amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk
bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut
digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.
“Partataring so ra mintop”
menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu mempunyai bara api
tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit dan
siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.
“Parsangkalan so mahiang”
menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal mungkin untuk
memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang
biasanya dari daging ternak.
Untuk itu semua maka orang
Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk dapat hidup
sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang
memadai, sehingga disebut “Parrambuan so ra marsik”.
Tikar yang disebut “amak”
adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi untuk alas tidur
dan sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada
falsafah yang mengatakan “Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum marbere”.
Jenis lain dari tikar adalah
rere yang khusus untuk digunakan sebagai alas tempat duduk sehari-hari
dan bila sudah usang maka digunakan menjadi “pangarerean” sebagai dasar
dari membentuk “luhutan” yaitu kumpulan padi yang baru disabit dan
dibentuk bundar. Tentang hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Sala
mandasor sega luhutan” di mana pengertiannya adalah bahwa jika salah
dalam perencanaan maka akibatnya tujuan dapat menjadi terbengkalai.
sumber : http://tanobatak.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar