Busana Muslim dan Kebudayaan Populer di
Indonesia:
Pengaruh
dan Persepsi
Tugas Studi Lapangan Diajukan untuk
memenuhi persyaratan dalam program ACICIS Studi Lapangan
Oleh: Elizabeth Raleigh
04210530
Malang,
Indonesia
2004
Kata Pengantar
Skripsi ini
merupakan puncak program studi lapangan yang dilakasanakan dalam kerjasama di
antara Universitas Muhammadiyah Malang dan ACICIS (Australian Consortium for In
Country Indonesian Studies). Skripsi ini
meneliti industri busana Muslim di Indonesia.
Untuk bantuan
menulis dan meneliti laporan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih atas
kepada;
Ibu Alphiana
Chandrajani dan Mbak Fauzir di Surabaya
Bapak Jusuf Beeran
di Agung Muslim Shop
Ibu Indrawati dari
Emaku Tata Busana Muslim
Ibu Ninik Sumiati
di Toko Hanna
Bapak Drs. H. A
Habib M.A., Bapak Drs. A. Masmuh Msi dan Dra. Ibu Tri Sulistyaningsih di
Universitas Muhammadiyah
Bapak Tom
'Resident Director' ACICIS
Para Mahasiswi di
Kampus Universitas Muhammadiyah
Bapak Amrih
Widodo, pembimbing saya di Universitas Nasional Australia
Mbak Janelle Marburg, Esther Walcott dan Lisa Johnson, yang selalu memberi ide-ide baru dan
sokongan dari Rumah Hijau Kecil
Pada akhirnya,
penyusun ingin minta maaf untuk kekurangan dan kesalahan dalam tulisan Bahasa
Indonesia dan kemampuan secara teoretis.
Tujuan utama studi lapangan ini untuk mendapat pengalaman sebagai
mahasiswi di Malang
dan menyumbang pengetahuan di dalam bidang ini.
Malang, Desember 2004
Penyusun
Elizabeth Helen Raleigh
04210530
Abstraksi
Sejak kebangkitan Islam di seluruh dunia yang mulai pada tahun
1970’an, busana Muslim menjadi populer di Indonesia.
Pada masa lalu, hubungan di antara agama Islam dan politik Indonesia
kurang begitu harmonis. Pemerintah
mencoba menghambat dukungan agar syariah Islam dilaksanakan di Indonesia. Akibatnya, penduduk Indonesia tidak
suka fanatisme Islam. Oleh karena itu,
perempuan yang berbusana Muslim dianggap sebagai orang fanatik, dan berbusana
Muslim dianggap sebagai perlawanan terhadap negara Indonesia. Tetapi, suasana agama menjadi lebih terbuka
sesudah kebangkitan Islam. Sejak saat
itu semakin banyak perempuan yang berbusana Muslim.
Ternyata berbusana Muslim sudah diterima oleh masyarakat dan sudah
dianggap sebagai hal yang biasa. Busana
Muslim menjadi unsur kebudayaan populer di Indonesia, dan industri busana
Muslim berkembang pesat. Karena
berbusana Muslim menjadi populer di Indonesia, ada orang yang berpendapat
arti-arti agama berpendapat bahwa berbusana Muslim sudah hilang, tetapi
ternyata pendapat ini tidak benar.
Orang-orang ini tidak menyadari bahwa seseorang bisa berbusana Muslim
sambil mendapat kesenangan dari tindakan itu, dan kesenangan tidak harus
memperkecil alasan agama. Kalau meneliti
industri busana, harus memahami semua lapis-lapis industri itu, yaitu produksi,
distribusi, dan konsumsi busana Muslim.
Profil-profil tentang orang yang membuat dan mendistribusikan busana
Muslim - misalnya perancang mode Islam, seorang tailor busana Muslim, dan
pemilik toko busana Muslim - memberi informasi tentang industri busana Muslim
di antara konteks agama, sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Cara mengiklankan busana Muslim, melalui
majalah, televisi dan koran tabloid dengan jelas memberi kesan bahwa perempuan
teladan di Indonesia
adalah perempuan yang berbusana Muslim.
Dari profil-profil itu bisa mendapat gambaran yang lebih dari hanya
sekedar industri busana Muslim saja, tetapi juga bisa menemukan pikiran
perempuan yang berbusana Muslim tentang arti berbusana Muslim, motivasi pribadi
dalam berbusana Muslim, dan apa maksud perempuan teladan di Indonesia. Semua orang-orang yang diwawancarai
menunjukkan bagaimana berbusana menjadi unsur penting identitasnya, dan
bagaimana mereka bisa tetap Muslimah yang taat sambil mendapat kesenangan dari
praktek itu secara populer.
Analisasi
Busana Muslim di Indonesia: Pengaruh dan Persepsi
Daftar
Isi
Kata Pengantar i
Abstraksi ii
BAB I – Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Alasan Pilihan Topik 1
Masalah dan Tujuan Penelitian 1
Metode 2
BAB II - Busana Muslim:
Interpretasi dan Sejarah di Indonesia 4
Definisi Busana Muslim 4
Dasar Jilbab di Al Qur'an 4
Sejarah Busana Muslim 5
Sikap Pemerintah Indonesia terhadap Islam 5
Gerakan Global Islam 6
Popularisasi Busana Islam 8
BAB III - Kebudayaan
Populer di Indonesia 10
Kebudayaan Pop: Oppressi atau Perlawanan? 10
Artikel Sian Powell dan Kebudayaan Populer 11
Ideologi Kebudayaan Massa 12
BAB IV - Busana Muslim:
Produksi 13
APPMI 13
Seorang Perancang Mode Islam: Alphiana Chandrajani 14
LPTB Susan Budihardjo Surabaya 15
Pengalaman Alphiana Chandrajani sebagai orang yang berbusana
Muslim
15
Seorang Tailor Busana Biasa dan Busana Muslim: Ibu Indrawati 17
Analisis 20
BAB V - Busana Muslim:
Distribusi 23
Toko Busana Muslim 23
Agung Muslim Shop 23
Toko Hanna 24
Cara Mengiklankan Busana Muslim 26
Majalah dan Buku-buku 26
Koran 27
Kosmetika 28
Televisi 28
Fashion Show 29
Pengalaman di
'Fashion Show' 29
Analisis 31
BAB VI - Busana Muslim:
Konsumsi 33
Kampus Universitas Muhammadiyah 33
Profil Mahasiswi Yang Berjilbab 37
Ika 37
Nur 38
Responden Ketiga 39
Rina 40
Dwi 40
Pengalaman Pribadi Berjilbab 41
Analisis 42
BAB VII - Busana Muslim
di Masa Depan 45
BAB VIII – Penutup 46
Kesimpulan 46
Daftar Pustaka 48
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak dasawarsa 1970'an, fenomena kebangkitan Islam terjadi di
seluruh dunia. Dampak fenomena ini
terhadap Islam di Indonesia mempengaruhi agama, politik dan keadaan
sosial. Selain perubahan dalam bidang
agama, politik dan sosial, salah satu perubahan yang jelas adalah pemakaian
busana Muslim.
Alasan Pilih Topik
Dulu, sambil berkuliah di Australia, saya mengambil mata
kuliah 'Kebudayaan Populer di Asia Tenggara'.
Dari mata kuliah itu, saya menjadi tertarik pada bagaimana mode dan
agama digabungkan. Maksud pemakaian
jilbab sudah jelas - yaitu, mengapa perempuan Islam berjilbab - tetapi busana
Muslim itu belum diteliti sebagai sebuah komoditi di antara kebudayaan
populer. Karena busana Muslim sudah
menjadi populer di Indonesia, saya ingin mendapat pengertian bagaimana busana
Muslim diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi dan juga dipersepsi oleh
kebanyakan Muslimah di Indonesia.
Masalah dan Tujuan Penelitian
Pemakaian busana Muslim tidak merupakan bagian dari sejarah di
Indonesia. Juga, karena Indonesia
adalah negara tropis, busana Muslim tidak logis - cuaca panas (Brenner
1996:673). Namun demikian, mengapa
busana Muslim menjadi populer di Indonesia?
Mungkin jawaban dari pertanyaan itu terdapat perasaan identitas di Indonesia, dan
bagaimana pendapat wanita Indonesia
berubah untuk menerima pemakaian busana Muslim yang sebenarnya tidak cocok
untuk iklim di Indonesia.
Ada
beberapa tujuan penelitian ini. Yang
terutama mendapat pemahami tentang keadaan industri busana Muslim di
Indonesia. Sebagai unsur kebudayaan
populer Indonesia, penelitian ini memeriksa peran busana Muslim dalam produksi,
distribusi dan konsumsi dan bagaimana identitas orang Indonesia diekspresikan
melalui pemakaian busana ini. Karena
memeriksa industri mode, studi lapangan ini memeriksa unsur berbusana Muslim
yang sering diabaikan oleh masyarakat yaitu unsur kesenangan dari berbusana
Muslim.
Tujuan lain penelitian ini adalah menemukan pengalaman dan
alasan-alasan untuk memakai jilbab. Pada
masa lalu, yang dianggap sebagai kebenaran adalah tujuan orang yang memakai
busana Muslim (khususnya berjilbab) adalah itu sebagai perlawanan terhadap
pemerintah, modernisasi, westernisasi dan sistem patriarkhal di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menilai maksud
pemakaian busana Muslim di Indonesia dan ingin mengatahui apakah pendapat yang
lalu masih benar di antara konteks sosial, politik, agama dan ekonomi.
Informan dari penelitian ini termasuk orang-orang yang berjilbab,
tetapi memakai pakaian dalam gaya
Barat, serta orang yang memakai pakaian dalam gaya Islam.
Kedua kelompok ini mewakili proses popularisasi busana Muslim di
Indonesia. Orang yang diteliti dalam
studi lapangan ini kebanyakan diambil dari masyarakat Malang, dan satu dari kota Surabaya.
Metode
Penelitian ini tentang kebudayaan populer di Indonesia. Busana Muslim adalah komoditi dari kebudayaan
populer itu. Selanjutnya tujuan penelitian ini untuk mencapai pengertian
produksi, distribusi, dan konsumsi busana Muslim. Informasi itu diambil dengan cara menyebarkan
kwesioner, wawancara, dan observasi pribadi.
Orang yang diteliti dari semua unsur industri busana Muslim, misalnya
perancang mode Islam, pemilik toko busana Muslim dan mahasiswi yang memakai
busana Muslim. Ada pendapatan yang diambil dari beberapa
orang yang lain, misalnya orang asing.
Sebelum bab-bab yang tentang produksi, distribusi dan konsumsi, ada
latar belakang tentang sejarah busana Muslim di Indonesia, dan keterangan teori
kebudayaan populer.
Laporan ini ditulis sebagai kumpulan deskripsi, profil-profil orang
yang diwawancarai, dan juga analisis apa yang ditemukan. Walaupun busana Muslim boleh dipakai oleh
kelamin laki-laki serta perempuan, studi ini memeriksa perempuan saja. Profil-profil ditulis karena profil itu bisa
dimanfaatkan untuk mendapat gambaran yang lengkap dari orang tentang
kepercayaannya, nilai-nilai dan peran-perannya.
Selain itu juga bisa mendapat bermacam-macam cerita dari kelompok yang
berbeda kalau melihat berbagai bagian industri mode.
BAB II
BUSANA MUSLIM: INTERPRETASI DAN SEJARAH
DI INDONESIA
Tujuan bab ini untuk mendapatkan pengertian apa tuntunan terhadap
busana Muslim dari Al-Qur'an, dan bagaimana sejarah berbusana Muslim terjadi di
Indonesia. Pada awalnya, berbusana
Muslim tidak dianggap sebagai perilaku yang Islami, tetapi sesudah proses
populerisasi terjadi, busana Muslim itu dianggap oleh masyarakat Indonesia
sebagai biasa saja.
Definisi Busana Muslim
Dasar Jilbab dari Al Qur'an
Ada
beberapa bagian di Al Qur'an yang mewajibkan untuk menutupi aurat.
Dari Surat
Al Ahzab:59
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mu'min: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang(Al-Qur'an:340).
Dari An Nur:31
Katankanlah kepada wanita yang beriman; 'Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya, kecuali yang (biasi) nampak dari padanya. Dan hendakklah mereka menutup kain krudung ke
dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
jangan mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung
(Al-Qur'an:282).
Meskipun ada kata sepakat apa yang dimaksud dengan aurat[1];
ada bermacam-macam interpretasi tentang bagaimana dan kapan aurat
ditutupi. Ada para aktivis Islam di Indonesia yang
percaya bahwa harus menutup badan untuk sholat saja, dan tidak harus sehari-hari
(Brenner 1996:674). Juga, ada orang
Muslim yang menutupi aurat dengan cadar, dan ada yang lain yang memakai jilbab
saja.
Untuk penelitian ini, kata jilbab dan kerudung punya arti yang
sama. Busana Muslim adalah pakaian yang
tidak ketat dan menutupi aurat.
Sejarah Busana Muslim
Sikap Pemerintah Indonesia
terhadap Islam
Sejak Indonesia
merdeka pada tahun 1945, hubungan antara Islam dan negara adalah hubungan yang
sulit. Pemerintah Indonesia
menolak permintaan menjadi negara Islam sejak kemerdekaan. Sekalipun sebagian besar penduduk Indonesia
beragama Islam, agama itu tidak ditetapkan satu-satunya agama yang resmi di Indonesia. Ada
lima agama
resmi di Indonesia,
dan kedudukan agama Islam sederajat dengan agama-agama lain. Pemerintah Orde Baru selalu mendorong
partisipasi Islam dalam masalah sosial, tetapi Islam politik ditindas,
khususnya sumber kekuasaan Islam politik (Brenner 1996:676). Gerakan Darul Islam - gerakan yang berusaha
mendirikan negara Indonesia
sebagai negara Islam, tetapi dibredel pada tahun 1962 - memberi masyarakat Indonesia
dengan perasaan negatif terhadap fundamentalisme di Indonesia (Jenkins 1998).
Oleh karena itu, waktu jilbab menjadi populer pada tahun-tahun
1980'an, berarti dipengaruhi oleh situasi politik di Indonesia (Marcoes-Natsir,
2004). Pada waktu itu, dan
beberapa tahun-tahun seterusnya, masih ada banyak perusahaan dan organisasi
yang melarang pegawai perempuan berjilbab (Powell 2003).
Kalau berdiskusi pemakaian jilbab biasanya didiskusikan di antara
konteks identitas dan politik di Indonesia. Sejak dipakai di Indonesia berjilbab itu menjadi
lambang melawan kepada pemerintah, mengekspresikan pilihan sendiri dan cara
menunjukkan identitas sendiri (Marcoes-Natsir, 2004).
Pada tahun-tahun 1980'an para pemudi di kota mulai berjilbab. Mereka berhenti memakai kebaya (yang
menunjukkan lehernya) dan sarong (yang ketat) dan gaya rambut yang sulit. Reaksi terhadap perilaku ini kebingungan,
kemarahan dan kecurigaan. Para pemudi dianggap sebagai orang fanatik atau fundamentalis
oleh masyarakat, termasuk keluarga dan teman-teman (Geertz). Pemerintah menciptakan aturan supaya busana
Muslim dilarang di kantornya. Pilihan
berjilbab pilihan yang berat. Pada
1980'an seorang murid di Bogor,
Jawa Barat, diberi pilihan ini: memilih berjilbab atau bersekolah, tetapi tidak
bisa melakukan dua-duanya (Marcoes-Natsir, 2004). Seorang Muslimah yang berjilbab dikatakan
dengan marah oleh Bapaknya 'kenapa tidak naik unta juga?'(Geertz).
Gerakan Global Islam
Sebagai akibat gerakan revolusi Islam di negara Iran (yang
mewajibkan perempuan berjilbab), suasana supaya berjilbab menjadi lebih terbuka
di seluruh dunia, termasuk negara Indonesia. Globalisasi Islam terjadi melalui
perkembangan televisi dan media massa. Orang Islam mulai merasa anggota masyarakat
internasional (Brenner 1996:678).
Sebelum itu berbusana Muslim dianggap sebagai hanya untuk Ibu-Ibu taat
yang sudah tua yang tinggal di desa (Geertz).
Kelihatannya lebih banyak orang Indonesia menjadi senang kalau
mengekspresikan sendiri sebagai orang Islam secara berjilbab (Jenkins 1998).
Mengapa terjadi kebangkitan Islam di Indonesia? Sebenarnya, fenomena ini bukan kebangkitan di
Indonesia,
karena dalam sejarah busana Muslim tidak biasa.
Di negara-negara lain ada kebangkitan, misalnya di Timur Tengah, tetapi
di Indonesia
fenomena ini agak baru. Di Indonesia
fenomena ini mungkin terjadi jadi oleh karena keadaan politik dan ekonomi.
AB Shamsul (1997), penulis yang berdiskusi tentang alasan untuk
kebangkitan Islam di Malaysia, memberi tiga alasan untuk proses popularisasi
Islam di Malaysia:
1. Sebagai jawaban kepada
proses modernisasi.
2. Supaya mengekspresikan
perasaan anti-imperialisme.
3. Supaya mempromosikan kembali keagamaan di antara sesuatu yang
berhubungan agama - misalnya gerakan yang mencoba mengislamisasikan
pengetahuan. (Shamsul 1997:211)
Alasan-alasan tersebut juga cocok di antara konteks Indonesia. Sebagaimana di ketahui, keadaan di Indonesia pada
dasawarsa 1980'an dan 1990'an tidak stabil.
Dasawarsa itu merupakan zaman yang ada perubahan yang cepat sebagai
akibat kebijakaan sosial dan ekonomi pemerintah Orde Baru. Presiden Suharto memasukkan negara Indonesia ke
dalam dunia kapitalisme dan konsumerisme.
Alasan-alasan Shamsul nomor satu dan dua adalah kesimpulan tentang
bagaimana masyarakat merasakan terhadap semua perubahan pada saat itu. Hasilnya adalah proses intensifikasi pikiran
terhadap agama Islam - alasan Shamsul ketiga.
Proses ini didorong oleh kebangkitan Islam di dunia, tetapi terutama
oleh kekuasaan-kuasaan di dalam Indonesia. Ada
permunculan kelompok intelektual, seniman dan politikus yang semuanya
dipengaruhi oleh pikiran Islam (Geertz).
Agama Islam menjadi cara supaya tetap bermoral di antara korupsi dan
distribusi uang yang tidak adil yang terjadi pada waktu itu (Brenner
1996:677). Pada tingkat pribadi, agama
Islam memberi sistem kepercayaan moral yang kuat, dan itu disukai oleh
orang-orang yang bingung pada waktu itu (Jenkins 1998).
Pada waktu itu Nasionalisme sebagai kekuasaan yang menyatukan
masyarakat Indonesia
kurang kuat, tetapi Islam menjadi semakin kuat.
Ini dilihat oleh Presiden Suharto dan dia menjadi lebih terbuka kepada
Islam.
Sekitar pada tahun-tahun akhir Orde Baru, ada kecaman kepada
pemerintah Suharto terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, supaya tetap populer dan
terus dianggap sebagai pemimpin yang sah, Presiden Suharto memakai Islam untuk
menguatkan wibawanya. Dia menjadi orang
Islam yang lebih terbuka, dan dia mendorong program untuk membangun Islam dalam
kehidupan masyarakat. Akan tetapi,
Presiden Suharto tidak mendorong Islam sebagai kekuasaan politik - menurut
pendapat dia Islam untuk masyarakat saja, dan tidak untuk pemerintah dan hukum Indonesia
(Jenkins 1998).
Popularisasi Busana Islam
Suharto menjalin hubungan dengan pemimpin Islam, untuk mendapatkan
sokongan mereka bagi kelangsungan rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memberi pembiayaan
kepada pembangunan institusi dan organisasi Islam, misalnya bank-bank, pers
Islam, mesjid, dan lembaga pendidikan.
Keluarga Suharto ingin dianggap sebagai lebih taat, terus mereka naik
haji, dan anak perempuan mulai berjilbab (Marcoes-Natsir,
2004). Mereka sering menghadiri
upacara Islam. Anak perempuan Suharto -
Tutut - mulai berjilbab dalam gaya
yang menarik, dan perempuan-perempuan mencoba mirip gayanya. Ini merupakan permulaan gerakan mode Islam.
Pada awalnya, gaya-gaya dan desain-desain mahal dan akibatnya bisa
dibeli oleh orang kaya saja. Tetapi
desain yang lebih murah dan gaya
yang biasa diciptakan sendiri. Hal ini
berarti bahwa mode Islam menjadi tersedia untuk semua tingkat golongan
masyarakat (Marcoes-Natsir, 2004). Tidak lama lagi jilbab dan kerudung
dimasukkan sebagai pakaian adat.
Sejarah popularisasi busana Muslim dipengaruhi oleh keadaan politik,
sosial, dan ekonomi. Tetapi bagaimana pada saat ini? Busana Muslim sudah dipakai oleh banyak warga
Indonesia,
dan sudah diterima oleh kebanyakan orang Indonesia. Apa peran busana Muslim di antara konteks
kebudayaan populer? Kalau berdiskusi
kebudayaan populer di Indonesia,
harus meneliti teori-teori terhadap kebudayaan populer dulu.
BAB III
KEBUDAYAAN POPULER DI INDONESIA
Dalam bidang busana Muslim ada banyak gaya dan mode. Kalau berjilbab, bisa memakai topi di atas
jilbab, bisa memasukkan plastik supaya melindungi kulit dari sinar matahari,
dan bisa membeli jilbab yang sudah siap dipakai (misalnya kalau ada elastik
dipakai). Pemakaian jilbab ternyata
tidak hanya oleh perempuan Muslim yang taat, tetapi juga oleh yang kurang
taat. Bahkan ada pelacur yang berjilbab
(Powell 2003)! Busana Muslim adalah
komoditi yang dibeli, dijual dan dipakai di seluruh Indonesia, terus busana itu bisa
dianggap sebagai unsur kebudayaan populer.
Kebudayaan pop adalah budaya masyarakat biasa. Biasanya, budaya yang resmi atau 'tinggi'
(misalnya kalau di Jawa, musik gamelan, wayang dan batik) dianggap sebagai
budaya masyarakat. Tetapi, walaupun
budaya ini memang budaya masyarakat, budaya ini tidak bisa dinikmati oleh
setiap orang dari orang kaya sampai orang miskin. Ini untuk bermacam-macam alasan - misalnya
pada masa lalu gamelan hanya dimainkan di dalam kraton. Kebudayaan pop terdiri dari komoditi-komoditi
dan pengalaman yang dapat diterima oleh semua masyarakat karena itu tidak
memerlukan bahan-bahan yang mahal supaya bisa dinikmati. Oleh karena itu budaya pop tidak dianggap
sebagai budaya 'tinggi' tetapi masih dianggap bagian dari budaya.
Kebudayaan Pop: Oppressi atau Perlawanan?
Kebudayaan populer bukan tentang apa yang fungsionil atau yang praktis
- yang tersebut menutupi aurat di negara-negara tropis tidak logis. Budaya pop itu tentang identitas, kesenangan
dan arti-arti (Fiske 1989:1). Kebudayaan
pop juga adalah budaya orang-orang bawahan.
Oleh karena itu, tanda-tanda terhadap hubungan kekuasaan bisa
dilihat. Budaya itu budaya orang-orang
bawahan, sambil ada tanda-tanda perlawanan kepada kekuasaan itu (Fiske
1989:4). Kebudayaan populer adalah
kontradiksi dan perlawanan kepada sistem kekuasaan terus-menerus.
Karena negara Indonesia
adalah negara yang mengikuti ideologi kapitalisme, setiap komoditi mencerminkan
sistem ideologi yang menciptakan komoditi itu.
Gaya
hidup kapitalisme menjadi gaya
hidup yang terutama, dan tidak ada gaya
hidup alternatif yang bisa dinikmati (Fiske 1989:14).
Kalau belajar kebudayaan populer bisa didekati dari tiga segi. Yang pertama, bisa lihat kebudayaan pop
memiliki hubungan dengan sistem kekuasaan, yaitu budaya menjadi biasa dan
hampir dianggap sebagai budaya resmi atau tradisional. Yang kedua, kebudayaan pop bisa dilihat di
dalam keadaan di mana kekuasaan begitu kuat dan terus bisa melawan kekuasaan
itu. Tetapi, kalau begini, kebudayaan
populer menjadi kebudayaan massa,
yaitu cara supaya tindasan masyarakat saja, dan tidak ada unsur
perlawanan. Yang ketiga adalah cara yang
paling pas untuk belajar kebudayaan populer.
Kebudayaan populer terletak di antara sistem kekuasaan, tetapi masih
berusaha melawan sistem itu. Masyarakat
bisa melawan pengaturan sambil menerima ideologi (yaitu kapitalisme) dan oleh
karena itu selalu beradaptasi diri supaya tetap sah.
Artikel Sian Powell dan Kebudayaan Populer
Dalam artikel Sian Powell (2003), dia menulis bahwa karena proses
popularisasi busana Muslim dan proses westernisasi terjadi bersama-sama di
Indonesia, maka mode menjadi unsur berpakaian yang sangat penting, dan pada
saat ini kalau berjilbab dianggap sebagai orang yang bermode. Oleh karena itu, ada banyak perempuan di Indonesia yang
baru berjilbab. Selanjutnya Sian Powell
menjelaskan bahwa jilbab bukan lagi sebagai lambang ibadah, tetapi lambang
orang yang bermode saja. Maksudnya,
kalau berjilbab, menjadi orang yang berpakaian sesuai dengan mode
terakhir. Jilbab tidak punya hubungan
dengan ketaatan beragama lagi, karena siapa saja bisa berjilbab dan sebagian
besar lebih khawatir bagaimana penampilannya kalau berjilbab daripada nilai
ketaatan agamanya.
Ideologi Kebudayaan Massa
Artikel tersebut mencerminkan pendapat yang biasa terhadap
kebudayaan populer. Yaitu, bahwa kalau
ada sesuatu (dalam hal ini, busana Muslim) yang populer, arti agama atau
sejarah sudah hilang. Pendapat ini
dikenal sebagai 'the Ideology of Mass Culture', atau Ideologi Kebudayaan
Massa. Ien Ang (1993), menulis bahwa
kebudayaan populer sering dikritik untuk tidak punya arti-arti dan nilai-nilai
oleh karena unsur produksi massa. Oleh karena itu orang-orang sering malu kalau
mereka menyenangkan bagian kebudayaan populer (karena pendapat bahwa tidak ada
arti dalam kebudayaan populer itu) - sedangkan dalam realitas ada banyak
arti-arti dan nilai-nilai dari praktek itu - misalnya oppressi, perlawanan ataa
kesenangan saja.
BAB IV
BUSANA MUSLIM: PRODUKSI
Supaya bisa mengerti busana di antara konteks kebudayaan populer di Indonesia,
industri produksi busana itu harus diteliti juga. Dalam bab ini adalah profil dua orang
perancang mode Islam, dan seorang tailor busana wanita (yang termasuk busana
Muslim). Sejak busana Muslim menjadi
populer di Indonesia, ada industri busana yang juga menjadi berhasil. Ada
institusi dan asosiasi untuk memberi sokongan dan bantuan kepada perancang
busana Muslim. Salah satu kelompok ini
adalah APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia).
APPMI
Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) adalah salah
satu kelompok perancang mode yang tujuannya untuk mempromosikan industri mode
di Indonesia. Berdiri pada tahun 1993, ada beberapa bagian
organisasi ini, misalnya divisi 'ready to wear' (sudah siap dipakai), ekspor,
busana konvensional dan divisi busana Muslim.
Perancang mode yang menjadi anggota APPMI berada di wilayah Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Lampung, Surabaya,
Semarang dan Bali (APPMI 2004:66).
Setiap tahun APPMI menjalankan pameran mode atau 'fashion show' yang
mempertunjukkan produk perancang mode.
Pameran itu dimaksudkan untuk mempromosikan mode di Indonesia,
termasuk juga untuk mempromosikan busana Muslim.
Ada
beberapa buku-buku yang diterbitkan oleh APPMI bersama Gramedia untuk
mempromosikan industri mode di Indonesia,
misalnya Ragam Gaya Kerudung (APPMI 2004). Tujuan publikasi ini memberikan inspirasi dan
contoh gaya
kerudung dan busana Muslim yang memberi tingkat standardisasi tuntunan mengenai
apa bagian tubuh yang harus ditutupi (APPMI 2004:3).
Berikut, gambaran tentang profil salah satu perancang mode Islam
yang sudah menjadi anggota APPMI dan punya perusahaan yang berhasil di Surabaya dan Jakarta. Dari profil ini bisa dilihat cara untuk
memproduksi busana Muslim dan pendapat-pendapat perancang mode Islam terhadap
keadaan busana Muslim di Indonesia.
Seorang Perancang Mode Islam: Alphiana Chandrajani[2]
Alphiana Chandrajani adalah seorang perancang mode Islam yang
tinggal di Surabaya,
Jawa Timur. Sebagai perancang mode
Islam, Ibu Alphiana diwajibkan menciptakan pakaian yang menutup leher sampai
pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
Lekuk tubuh tidak boleh dilihat.
Ibu Alphiana menggunakan rumahnya sebagai kantornya, dan setiap hari
kecuali hari Minggu, sekitar delapan orang datang ke ruang tamunya dan
garasinya untuk menjahitkan pakaiannya. Ada lima belas orang yang bekerja di
perusahaannya.
Di dalam garasi, ada beberapa bagian bekerja. Ada
bagian untuk orang membuat pola dari halaman surat kabar.
Ada
bagian yang memakai pola ini dari surat
kabar untuk memotong bahan-bahan. Bagian
bahan terus diberi kepada dua orang yang menjahit, yang memakai mesin
jahit. Sesudah pakaian dijahit, ada
orang khusus untuk membuat sulaman dan manik-manik.
Ibu Alphiana menciptakan semua desain pakaian sendiri, tetapi dia
mempunyai dua asisten yang membantu dengan mendesain motif untuk perhiasan
bahan-bahan. Semua bahan-bahan dibeli
dari Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta - tidak ada bahan yang diimpor dari luar
negeri. Desain-desain Alphiana
Chandrajani untuk wanita karir, yang berumur tiga puluh tahun lebih. Harga desain-desain Alphiana Chandrajani
kurang lebih sejuta rupiah.[3]
Perusahaan ini sudah mengirim pakaian ke Singapura dan orang Australia sudah
membeli pakaian Alphiana Chandrajani. Ada boutique kecil di
rumah Ibu Alphiana (yang namanya Az-Zahra Moslem Gallery), dan ada toko di Jakarta juga yang
terletak di Mal Kelapa Gading. Ada keinginan membuka
toko di Yogyakarta juga. 2,5% keuntungan perusaha itu diberi kepada
yang membutuhkan sebagai amal (zakat).
LPTB Susan Budihardjo
Surabaya
Ketika orang bekerja di rumahnya, Ibu Alphiana biasanya mengajar di
LPTD Susan Budihardjo (Lembaga Pendidikan Tata Busana Susan Budihardjo). Lembaga itu untuk orang yang ingin menjadi
perancang mode, dan ada kursus empat bulan pada tingkat dasar dan tingkat mahir
yang mengajar cara membuat pola, jahitan, desain dan desain anatomi.
Pengalaman Alphiana
Chandrajani sebagai orang yang berjilbab
Ibu Alphiana sudah berjilbab sejak tahun 1992, tetapi sebelum itu
dia sudah memakai topi dan pakaian yang menutup tubuh badannya. Di masa lalu, Ibu Alphiana belum tahu mengapa
sebenarnya perempuan harus berjilbab, maka dia tidak pakai jilbab. Tetapi sesudah dia lihat adik suaminya (yang
sudah berjilbab), mengaji Qu'ran dan menghadiri kelompok diskusi dia ingin
berjilbab. Ibu Alphiana tak mengalami
perlakuan yang berbeda dari golongan mode sesudah berjilbab (karena sampai 1992
sudah ada perancang busana Muslim) tetapi dia mengalami perlakuan yang lebih
hormat dari laki-laki. Dia tidak
mengalami perasaan yang negatif dari teman-teman dan keluarganya. Kalau ditanya bagaimana rasanya saat
berjilbab, dia berkata 'legah' dan lebih tenteram dalam hati.
Pendapat Ibu Alphiana terhadap perempuan yang memakai topi tetapi
aurat masih dilihat adalah ini lebih baik daripada kalau tidak memakai topi
juga. Menurut Ibu Alphiana, pilihan
untuk memakai jilbab tergantung pada orang sendiri. Oleh karena itu, kalau seseorang berjilbab,
itu tidak berarti bahwa menjadi lebih taat daripada orang-orang yang tidak
berjilbab. Kalau berjilbab tetapi
berpakaian ketat, mungkin begitu karena orang itu belum tahu banyak tentang
tuntunan Islam.
Ketika Ibu Alphiana mulai berjilbab, dia menjadi tertarik pada aspek
mode busana Muslim. Sebelum waktu itu,
dia menghadiri London School of Fashion (Lembaga Mode London), di negara
Inggris selama dua tahun dan menjadi perancang mode gaun malam. Pada waktu itu, dia memakai rok mini, tetapi
masih pakai kaos modiste (yang menutup lehernya) dan kaus kaki hitam. Sesudah dia menikah dan berjilbab, pada tahun
1995 dia pindah ke Surabaya
dan harus mulai memulai perusahaan lagi.
Karena itu, dia berpikir bagaimana membuka perusahaan busana Muslim?
Menurut Ibu Alphiana, busana Muslim menjadi populer pada tahun
1980'an. Memang pada waktu itu dia
mempunyai teman-teman di SMA yang sudah berjilbab, tetapi dia pikir hanya
berjilbab karena mereka menderita kutu rambut!
Pertumbuhan kepopuleran busana Muslim pesat sejak tahun 1980'an, dan
tidak lama lagi bahwa pemerintah Orde Baru mengubah peraturan terhadap
pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Kalau ditanya mengapa busana Muslim menjadi populer di Indonesia,
Ibu Alphiana percaya bahwa karena sudah ada agak banyak perancang busana
Muslim, ada lebih banyak pilihan dan kreativitas terhadap busana Muslim, tetapi
masih dibatasi oleh kaidah Islam. Juga
ada lebih banyak kesadaraan Islam di Indonesia pada waktu ini. Misalnya, permunculan sekolah Islam
(pesantren) pada tingkat SD, SM dan SMA.
Lembaga pendidikan itu mempunyai reputasi untuk ajaran pada tingkat
tinggi.
Ibu Alphiana setuju bahwa memang ada beberapa perempuan yang
berjilbab untuk alasan mode saja, tetapi hanya kelompok minoritas. Menurut dia, mungkin begitu karena adalah
tren di Indonesia
sekarang untuk menjadi dianggap sebagai lebih beragama, tetapi kalau arti
berjilbab tergantung pada orang sendiri.
Bagaimanapun, di luar batasan tuntunan Islam kalau mengritik orang lain
untuk kegiatannya.
Desain-desain Ibu Alphiana diiklankan melalui keanggotaan
APPMI. Sejak menjadi anggota pada tahun
1999, desain Alphiana Chandrajani dimasukkan ke dalam pameran mode tahunan
APPMI. Karena pameran itu, ada banyak
akses ke media massa,
dan dia menerima permintaan untuk memfoto desain-desainnya untuk majalah dan
koran. Juga, ada promosi desainnya kalau
Ibu Alphiana berpidato di konvensi dan acara-acara yang lain.
Pada masa depan, Ibu Alphiana percaya bahwa mode Islam akan
dipengaruhi oleh tren Eropa. Juga,
negara Indonesia
akan menjadi pusat busana Muslim di Asia Tenggara, karena sudah ada langganan
di negara Malaysia,
Singapura, dan Brunei Darussalam untuk desain busana Muslim Indonesia.
Seorang Tailor Busana Biasa dan Busana Muslim: Ibu Indrawati[4]
Ibu Indrawati sudah menjadi Tailor Busana lima tahun, tetapi baru satu tahun saja
menjadi pemilik toko Emaku Tata Busana Wanita (sebelum itu dia bekerja di
rumahnya). Toko itu tidak punya banyak
pakaian, karena itu toko tailor. Oleh
karena itu ada ruang tamu di depan, yang orang langganan bisa berdiskusi
pesannya sama Ibu Indrawati. Pakaian dijahit
di lantai kedua. Ibu Indrawati bukan
tailor biasa sebelum menjadi tailor busana Muslim juga, dia selalu membuat
dua-duanya. Menurut Ibu Indrawati, ada
sasaran besar untuk busana Muslim.
Banyak orang mau berbusana Muslim - ada demam busana Muslim.
Ibu Indrawati menyebut bahwa busana Muslim bukan bagian dari tradisi
Indonesia,
tetapi memang sudah menjadi populer.
Menurut Indrawati, hal ini karena negara Indonesia sudah menjadi negara
Islam yang penduduknya terbesar di dunia.
Oleh karena itu orang-orang Indonesia sudah menjadi tertarik
pada busana itu dan sudah menerima busana Muslim karena ada begitu banyak orang
yang beragama Islam.
Dibandingkan membuat busana biasa, Ibu Indrawati berpikir membuat
busana Muslim lebih mudah - yaitu tidak ada banyak gaya-gaya yang bisa dipakai
karena semuanya harus menutupi aurat badan.
Oleh karena itu desain-desain busana Muslim agak sama - tidak ada banyak
variasi. Kalau busana biasa, bisa
menunjukkan lekuk badan dan bagian badan seperti kaki dan tangan. Oleh karena itu desain-desain busana biasa
jauh lebih bervariasi, menurut Ibu Indrawati.
Karena desain-desain busana Muslim agak sama, setiap tahun ada
berubahan pola-pola di bordir, atau perhiasan berubah. Tetapi menurut Ibu Indrawati gaya berkerudung adalah bagian busana Muslim
yang paling sering berubah. Dia berpikir
di Indonesia
busana Muslim dalam gaya
Timur Tengah tidak populer, karena kalau dalam gaya Timur Tengah, harus menutupi semua
badannya kecuali mata-mata. Di
Indonesia, mode Islam lebih dinamis dan lunak - boleh memakai topi, boleh
memakai warna-warna yang cemerlang, dan sebagainya.
Ibu Indrawati bukan perancang mode - para langganan biasanya membawa
contoh untuk pesanannya. Tetapi Ibu
Indrawati juga mendapat inspirasi dari majalah-majalah dan orang selebriti
kalau dia tidak diberi contoh dari langganan.
Langganan sering membawa foto dari majalah untuk diduplikasi oleh Ibu
Indrawati. Dia mendapat inspirasi dari
selebriti karena mereka sering di majalah, koran, dan televisi - dan selalu
memakai desain-desain busana Muslim terbaru.
Indrawati suka mendapatkan inspirasi dari majalah karena selalu berubah,
dan punya gaya-gaya yang paling modern dan bermode. Kalau dari orang yang terkenal, Ibu Indrawati
suka Ida Royani dan Inneke Koesherawati.
Ida Royani adalah anggota APPMI (yang tersebut di atas) dan adalah orang
yang berhasil dalam bidang perancang mode Islam. Indrawati suka Inneke Koesherawati juga
karena dia sangat bermode. Inneke
Koesherawati didiskusikan dalam Bab V - Busana Muslim: Distribusi.
Sasaran produk Ibu Indrawati kebanyakan Muslimah, tetapi juga ada
banyak yang mencari busana biasa. Kalau
mau rok malam yang seksi, Ibu Indrawati bisa menciptakan itu. Para
langganan biasanya Ibu-Ibu yang dari kalangan atas, atau sudah berhasil dalam
karirnya. Ibu Indrawati belum
mengiklankan pelayanannya.
Menurut Ibu Indrawati, busana Muslim menjadi populer pada tahun
1980'an, waktu ada orang-orang yang terkenal mulai berbusana Muslim. Orang-orang ingin terlihat cantik dan rapi,
tetapi tidak mau mengorbankan rupanya.
Mereka juga ingin melindungi identitas individu, terus busana Muslim
menjadi lebih kreatif dan individualis.
Menurut Ibu Indrawati alasan-alasan mengapa berjilbab begitu populer di
kampus pada waktu ini terdiri dari alasan tersebut - yaitu ada banyak pilihan
untuk orang yang mau berjilbab tetapi menjadi cantik. Namun, seseorang yang biasanya berjilbab
tidak dari kelas sosial tertentu, karena agama Islam belum kenal kelas
sosial. Mereka harus menunjukkan tingkah
laku yang baik dan beragama dengan taat saja.
Ibu Indrawati berjilbab tetapi belum berbusana Muslim karena dia
merasa belum siap untuk melakukan itu.
Dia masih memakai jeans karena pakaian itu masih praktis untuk
bekerja. Dia baru berjilbab sejak tahun
2000, waktu dia berumur empat puluh satu.
Ibu Indrawati merasa lebih anggun dan dihormati sejak berjilbab. Pada tahun 2000, dia ingin menjadi orang yang
lebih baik. Untuk itu, dia berjilbab.
Menurut Indrawati, pada masa lalu (sekitar tahun-tahun 70'an dan
80'an), orang yang berjilbab dianggap sebagai agak fanatik, dan busana Muslim
dianggap tidak modern. Orang-orang pada
waktu itu berpikir perempuan yang berjilbab tidak cantik, dan tidak sampai pada
akhir dasawarsa 80'an, busana Muslim menjadi lebih bermode.
Kalau orang mau pakai topi saja, atau kalau orang-orang berpakaian
ketat, ini kurang taat, menurut Ibu Indrawati.
Tetapi, orang-orang semacam itu mempunyai alasan pribadi untuk
pakaiannya. Semuanya bagian perjalanan
Islam. Dia berpikir memang ada Istri
pejabat dan beberapa perempuan lain yang berjilbab sebagai symbol Islam semata
- kalau berjilbab harus untuk alasan-alasan yang baik saja.
Perempuan yang berjilbab untuk alasan mode berkedok dari pemakaian
jilbab, menurut Ibu Indrawati. Misalnya,
dia melihat perempuan di toko yang berjilbab tetapi dia beli barang-barang yang
tidak baik untuk orang Islam (misalnya minuman keras, babi). Dia berkedok saja - mungkin dia bukan
Muslimah!
Ibu Indrawati mempunyai banyak jilbab - dia malu menyebutkan
berapa. Tetapi alasannya mengapa
mempunyai begitu banyak, karena dia harus dilihat sebagai orang yang bermode,
rapi dan anggun untuk pekerjaannya.
Analisis
Sekalipun unsur perlawanan tidak kelihatan dalam produksi busana
Muslim, ada beberapa poin yang menarik dari profil-profil di atas. Ibu Indrawati benar bahwa berbusana Muslim
tidak bagian kebudayaan tradisional atau sejarah Indonesia. Pendapatnya mungkin memberi kesan bahwa
perasaan identitas orang Indonesia
sebagai orang Islam muncul sejak kebangkitan Islam dan oleh karena itu, busana
Muslim menjadi cara supaya mengekspresikan perasaan itu. Pendapat Ibu Alphiana juga menarik - yaitu
busana Muslim menjadi lebih populer sesudah pendidikan Islam yang lebih
berkualitas.
Munculnya lembaga-lembaga seperti APPMI sudah mempopulerkan busana
Muslim dalam lingkungan mode di Indonesia, dan gaya mode itu sudah punya derajat yang sama
dengan gaya-gaya mode yang bukan berdasarkan ajaran beragama. Juga, industri memproduksi bukan untuk orang
yang berbusana Muslim saja - sebagian besar pekerja di Alphiana Chandrajani serta
Emaku tidak berjilbab.
Ibu-Ibu Alphiana dan Indrawati adalah contoh perempuan karir yang
berhasil. Ibu Alphiana berbusana Muslim
untuk dia sendiri - tidak dari saranan orang lain. Profil-profil di atas memberi gambaran
lingkungan dan bagaimana produksi busana Muslim dilakukan. Ibu Alphiana dan Ibu Indrawati bisa menerima
bahwa ada orang yang ingin berjilbab sambil berbusana yang ketat, tetapi
dua-duanya mengakui bahwa praktek ini kurang taat. Tetapi, menarik bahwa Ibu Indrawati berpikir
berjilbab sambil berbusana yang ketat terasa kurang taat, dia juga senang bahwa
keadaan mode Islam di Indonesia lebih dinamis daripada di Timur Tengah. Memang di seluruh Asia Tenggara lebih
dinamis, misalnya di Malaysia
ada Muslimah yang berjilbab sambil berpakai kaus tangan pendek (Irfach
2004:51).
Ibu Alphiana menunjukkan toleransi kepada gaya mode yang lain dari mode Islam. Pekerjaannya di LPTB Susan Budihardjo
menunjukkan dia mendorong semua gaya
mode - memang ada pelajar di sana
yang berjilbab tetapi mendesain pakaian yang sangat seksi dan memang tidak
menutupi badan.
Ibu-Ibu tersebut dua-duanya menjadi malu dan tertawa kalau ditanya
berapa jilbab yang mereka punyai.
Tingkah laku menunjukkan bahwa walaupun mereka menciptakan busana Muslim
dalam gaya yang
terbaru dan trendi, mereka masih menganggap sendiri sebagai orang yang tidak
boleh mendapat terlalu banyak kesenangan dari berbusana Muslim. Perasaan mereka mencerminkan ideologi
kebudayaan massa
- yaitu kalau busana Muslim menjadi bermode, bukan merupakan lambang dari
ibadahnya. Tetapi mereka memang orang
yang beragama Islam yang taat.
BAB V
BUSANA MUSLIM: DISTRIBUSI
Supaya bisa mendapat pengertian bagaimana busana Muslim dikonsumsi
oleh masyarakat, harus melihat bagaimana busana Muslim dijual dan diiklankan -
yaitu, bagaimana busana Muslim didistribusikan.
Toko Busana Muslim
Toko-toko busana Muslim adalah tempat-tempat untuk membeli pakaian,
kebutuhan dan perlengkapan Islam.
Berikut ini adalah profil dua macam toko busana Muslim. Pertama, ‘Agung Muslim Shop’ - sebuah toko
yang juga toko perjalanan. Yang kedua,
‘Toko Hanna’, yang terletak di Pasar Besar - pasar yang terbesar di Kota Malang.
Agung Muslim Shop
Bapak Jusuf Beeran adalah pemilik Agung Muslim Shop[5],
sebuah toko yang menjual busana Muslim tetapi juga merupakan agen wisata. Perjalanan yang ditawarkan semua mempunyai
tema Islam, misalnya wisata naik haji dan umroh. Pada awalnya toko itu agen perjalanan saja,
tetapi lima
tahun yang lalu Bapak Jusuf mului menjual busana Muslim juga.
Sembilan puluh persen pakaian-pakain dibeli dari Jakarta, dan pakaian itu dibeli sekali per
dua bulan. Ketika Pak Jusuf ditanya
tentang tren-tren berubah dalam mode busana Muslim, dia berkata bahwa pada
umumnya walaupun gaya
pakaian tetap sama, perhiasan dan motif-motif di pakaian berubah setiap dua
bulan. Menurut Pak Jusuf, mode di Malang dan Surabaya semua mengikuti
tren-tren di Jakarta. Harga baju Muslim di Agung Muslim Shop mulai
dari Rp80.000 sampai Rp200.000.
Agung Muslim Shop menyediakan perlengkapan Muslim untuk Ibu-Ibu,
para mahasiswi, anak-anak sekolah, dan anak-anak kecil. Memang semua kelompok memilih gaya yang berbeda. Pak Jusuf belum pernah mengiklankan
barang-barang di tokonya, semua pelanggan sudah tahu toko itu dari
mulut-kemulut.
Lima
tahun yang lalu Pak Jusuf menjadi sadar bahwa berbusana Muslim populer di
Indonesia. Sebelum itu, dia berpikir
sudah populer di kota-kota besar, tetapi belum di desa-desa dan kota-kota
kecil. Untuk melindungi kesatuan perusahannya,
Pak Jusuf mulai menjual busana Muslim dan bukan busana biasa. Pak Jusuf menjelaskan bahwa dia mempunyai lima anak-anak, dan mau
mewariskan perusahan yang bernuansa Islam tetapi dinamis. Menurut Pak Jusuf, busana Muslim menjadi
populer karena semakin banyak orang Indonesia ingin
dianggap sebagai orang yang baik dan beragama.
Khususnya di antara para mahasiswi, Pak Jusuf percaya bahwa faktor yang
mendorong mereka berjilbab terutama supaya diterima di masyarakat kampus.
Pak Jusuf tidak bisa menggambarkan profil dari seseorang yang
berjilbab karena tidak ada satu macam orang yang berjilbab. Menurut Pak Jusuf, tidak bisa menilai
seseorang dari pakaiannya - ada orang-orang yang tidak baik yang berjilbab, dan
ada orang-orang yang baik dan taat yang tidak berjilbab.
Toko Hanna
Di antara ratusan toko-toko di Pasar Besar, Malang, ada beberapa yang menjual busana
Muslim. Salah satu toko-toko ini adalah
Toko Hanna, yang dipunyai oleh Ibu Ninik Sumiati[6]. Toko Hanna penuh dengan bermacam-macam
kebutuhan Muslim, misalnya baju Muslim, topi, kerudung dan mukena. Toko Hanna dipunyai oleh keluarga Ibu Ninik
sudah tiga puluh delapan tahun, maka walaupun pendidikan Ibu Ninik sampai
Sekolah Dasar saja, dia masih bisa mencari nafkah dari toko itu.
Pakaian di Toko Hanna dibeli dari Malang, Jakarta
dan Surabaya. Pakaian itu dibeli untuk toko itu mungkin
sekitar satu atau dua kali seminggu - tergantung pada kalau ramai atau
tidak. Menurut Ibu, tren-tren tidak
sering berubah, biasanya gaya
busana Muslim tetap sama. Sasaran Toko
Hanna dari semua kelompok sosial, termasuk mahasiswi, dan juga ada orang yang
bukan orang Muslim, karena ada busana biasa yang dijual di toko itu juga
(tetapi kebanyakan produk di Toko Hanna produk Muslim). Ibu Ninik belum mengiklankan pakaiannya,
tetapi dia menegaskan semua pakaiannya sudah dikenal sebagai pakaian yang
bermutu.
Menurut Ibu Ninik busana Muslim sudah menjadi populer tiga sampai
empat tahun, dan ini karena orang Indonesia menjadi tertarik pada
mode sejak pada waktu itu, tetapi masih ingin mengikuti tuntunan Islam. Khususnya di antara para mahasiswi, Ibu Ninik
berpikir pemudi lebih sadar terhadap agama Islam sekarang, dan ingin
membersihkan diri, terus dia menjelaskan mengapa berjilbab begitu populer di
kampus. Menurut Ibu Ninik seseorang yang
berjilbab bukan dari kelas sosial tertentu, tetapi memang dia orang yang taat
dari umur muda, terus mereka sudah tahu tentang agama Islam kalau mulai
berjilbab.
Menurut Ibu Ninik, perempuan yang berjilbab sambil berpakaian yang
ketat kurang baik - kalau mau berjilbab, harus sepenuhnya - yaitu tidak boleh
berjilbab tanpa menutupi lekuk badannya juga.
Kalau belum siap untuk melakukan semua, lebih baik kalau tidak berjilbab
sama sekali. Ibu Ninik belum berjilbab,
karena dia merasa belum siap - belum kuat untuk itu. Dia memakai topi dan busana yang tidak ketat. Menurut dia, ada banyak Istri pejabat yang
berjilbab hanya sebagai simbol Islam semata - mudah-mudahan mereka akan
memperbaiki diri sendiri dan berhenti bertingkah laku seperti itu. Memang kalau ada yang begitu, mungkin ada
perempuan yang berjilbab untuk alasan mode saja, tetapi dia belum pasti.
Menurut Ibu Ninik, industri mode Islam di Indonesia dinamis
dibandingkan negara-negara Islam yang lain karena begitu banyak orang Indonesia orang
Muslim. Kalau ada sasaran konsumen yang
besar, industri menjadi lebih dinamis.
Cara Mengiklankan Busana Muslim
Tujuan iklan busana Muslim dan artikel yang ditulis tentang busana
Muslim adalah menunjukkan bahwa kalau berjilbab, atau berpakaian Islam, tidak
harus mengorbankan kecantikannya.
Beberapa artikel menulis bahwa memang bisa berjilbab dan masih menjadi
cantik.
Majalah dan Buku-buku
Majalah-majalah memberi gambaran tentang kesan perempuan
teladan. Sejak abad ke-18, majalah
memberi campuran nasihat dan hiburan.
Majalah-majalah itu adalah buku yang mengajar bagaimana hidup di antara
kebudayaan patriarkhal (Storey 1993).
Majalah-majalah menciptakan keinginan untuk merasa penyelasaian, tetapi
juga mengakui pekerjaan sehari-hari perempuan (Story 1993). Oleh karena itu, majalah yang mengiklankan
busana Muslim menunjukkan bagaimana menjadi perempuan yang teladan, karena
majalah itu juga ada artikel tentang kesehatan, pekerjaan, dan keluarga. Busana Muslim menjadi lambang perempuan yang
berhasil mencampurkan keluarga, pernikahan, dan pekerjaan (Craik 1994).
Khususnya selama bulan Ramadan majalah-majalah penuh dengan artikel
tentang busana Muslim. Dalam satu
terbitan Muslimah, yang adalah
majalah untuk Muslimah muda, ada beberapa artikel tentang selebriti, pelatihan
dan sebagainya, tetapi semua orang yang difoto berjilbab. Ada
perkumpulan artikel-artikel tentang obesitas, dan salah satu artikel ini
bernama "Gaya Segar Si Cantik" (Yuyun 2004:26-27), yang memberi ide
bagaimana berbusana Muslim supaya mengurangi badan gemuk. Juga ada artikel yang memberi nasihat bagaimana
memelihara rambut yang ditutup oleh jilbab, dan tren baru untuk mukena (Canti
2004:40-41).
Buku-buku tentang berbusana Muslim juga populer. Buku-buku untuk sasaran konsumen yang
bermacam-macam - dari remaja sampai Ibu-Ibu yang sudah tua. Buku-buku itu memberi ide bagaimana trend
terbaru berjilbab, dan menjawab pertanyaan tentang busana Muslim. Tetapi, juga ada buku yang berpendapat kalau
mengikuti tren busana Muslim, praktek itu buruk. Salah satu buku ini, Bahaya Mode
(Khalid 1999) berpendapat bahwa Muslimah tidak boleh mengikuti tren busana
Muslim, karena tujuan busana Muslim supaya perempuan tidak dipandang secara
bernafsu oleh laki-laki, dan kalau kelihatan cantik dan bermode sambil
berbusana Muslim, pasti akan mengundang nafsu.
Oleh karena itu, buku itu memberi nasihat bagaimana berbusana Muslim
dengan aman, dan apa yang buruk tentang majalah-majalah Muslimah dan tren-tren
busana Muslim.
Koran[7]
Koran yang dipakai untuk penelitian ini adalah tabloid yang bernama
‘Aura’ dan ‘Nyata’ - dua koran tabloid khususnya untuk wanita di Indonesia. Karena lebih murah daripada majalah, koran
tabloid bisa memberikan semua kelas sosial nasihat yang sama dengan majalah,
tetapi lebih murah.
Kosmetika
Sunsilk Hijau adalah contoh bahwa industri kecantikan sudah
menyadari bahwa busana Muslim menjadi unsur penting industri mode. Sunsilk Hijau adalah sampo terbaru dari
Sunsilk untuk rambut yang gatal dan berminyak di penghujung hari - yaitu rambut
yang ditutup oleh kerudung. Yang sangat
menarik adalah cara mengiklankan produk ini.
Iklan Sunsilk Hijau dibintangi Inneke Koesherawati - bintang cantik
yang pernah terkenal sebagai aktres yang seksi, tetapi sekarang
berkerudung. Untuk iklan ini, Inneke
berkerudung dan di iklan itu ditulis 'bersih segar berkerudung'[8].
Televisi
Di televisi, beberapa selebriti berbusana Muslim, dan oleh karena
itu, busana Muslim menjadi gaya
yang bermode dan 'trendi'. Misalnya,
pada bulan Ramadan, bintang dari acara AFI (Akademi Fantasi Indosiar –
persaingan nyanyi di televisi) berdiskusi apa maksudnya agama Islam untuk
mereka sendiri, sambil berbusana Muslim.
Mereka dilihat sebagai selebriti yang paling trendi dan modern, dan
pasti menjadi orang teladan dalam bidang tren.
Tri Utami, penyanyi terkenal dan salah satu wasit di acara AFI, adalah
contoh pemakaian busana Muslim yang bemode dan anggun. Inneke Koesherawati, yang sudah disebut di
atas, juga sering di televisi, dan berbusana Muslim yang paling modern.
Fashion Show
Fashion Show (pameran pakaian) adalah cara untuk orang-orang melihat
busana Muslim sambil dipakai oleh peragawati.
Foto-foto yang diambil dari fashion show sering di dalam koran dan
majalah.
Pengalaman di 'Fashion Show'
Sesudah mewawancarai Ibu Alphiana Chandrajani, dia mengajak saya
ikut ke fashion show di Supermal di Surabaya. Itu adalah pameran dari siang sampai malam,
dan tujuan itu untuk menunjukkan mode dari bermacam-macam perancang mode dari Surabaya.
Kami naik mobil ke mal itu, tetapi berhenti sebentar supaya membeli
tabloid Nova, yang ada foto desain
Ibu Alphiana di dalam. Kami datang di
mal itu dan mengikuti Ibu Alphiana, sedang membawa beberapa pakaian, topi dan
kerudung untuk pameran itu. Ketika kami
datang ke belakang panggung, ada banyak peragawati yang masuk dengan cepat,
mencium para perancang, dan mulai melepaskan pakaian sendiri supaya mulai
memakai pakaian dari perancang-perancang, sekalipun ada perancang laki-laki
yang bisa lihat. Hal ini sebenarnya
bertentangan dengan ajaran Islam.
Saya duduk di depan panggung dan membaca tulisan yang ditulis di
atas panggung itu. Ini adalah fashion
show untuk bridal fair (pameran pakaian, undangan, bunga-bunga dll. untuk
pernikahan) di mal itu. Tetapi karena
pakaian Alphiana Chandrajani bukan pakaian pernikahan, ini adalah pameran
pakaian malam, yang bisa dipakai di pernikahan, serta pakaian pernikahan. Desain-desain Alphiana Chandrajani
satu-satunya desain busana Muslim. Semua
desain lain dalam gaya
barat, tetapi desainnya termasuk sebagai bagian yang biasa di dalam pameran
ini.
Ada
musik dari Barat yang terdengar dengan keras.
Musik ini adalah musik tentang hubungan seksual, tetapi karena kata-kata
dalam bahasa Inggris, mungkin penonton tidak bisa mengerti. Ada
banyak lampu-lampu yang berwarna, dan oleh karena itu, ada suasana gembira dan
yang mengandung harapan.
Para penonton
adalah orang dari kelas menengah sampai kelas atas, dan karena ini adalah
pameran pernikahan, ada banyak pasangan yang berpacaran yang meneliti bagaimana
pernikahannya akan dijalankan. Ada banyak Ibu-Ibu juga,
yang punya anak perempuan yang akan menikah, tetapi ada banyak keluarga juga,
dengan anak-anak kecil.
Ketika pertunjukkan mode mulai, lampu-lampu dimatikan, dan asap
muncul dari belakang panggung. Kira-kira
enam peragawati muncul dari asap itu, dipakai dalam pakaian Alphiana
Chandrajani. Mereka cantik, dan berdansa
dan berjalan-jalan di atas panggung supaya para penonton bisa melihat
desain-desain itu[9]. Ada
tukang potret yang di samping panggung, dan mereka berdesakan supaya bisa
mengambil foto yang paling bagus untuk majalah-majalah dan koran-koran.
Sesudah peragawati yang memakai desain-desain Ibu Alphiana
menghabiskan waktunya di panggung, ada kelompok peragawati baru yang mulai
bermain di panggung. Ibu Alphiana datang
dan duduk di samping saya. Ternyata perancang
desain-desain yang sedang di panggung diciptakan oleh salah satu murid Ibu
Alphiana dari LPTB Susan Budiharjo. Yang
menarik adalah desain-desain ini seksi, dan badan peragawati mudah dilihat oleh
para penonton[10].
Ibu Alphiana menjelaskan kepada saya bahwa dia mengajar desain mode
- bukan desain mode Islam. Murid-murid
boleh mengekspresikan kreativitas sendiri tanpa dikritik oleh Ibu
Alphiana. Bahkan waktu saya menonton,
perancang desain-desain tadi memasuki panggung supaya menerima tepukan dari para
penonton, dan ternyata dia memakai jilbab.
Analisis
Dari semua informasi tersebut, bisa dilihat bahwa industri
distribusi busana Muslim adalah industri yang sangat besar. Artikel yang mempertunjukkan bagaimana
memakai jilbab, bagaimana menjahit busana Muslim dan bagaimana tetap cantik
sementara berbusana Muslim sudah banyak.
Artikel-artikel tentang busana Muslim ditawarkan sama dengan artikel
tentang kesehatan, masakan, dan kesantaian dalam satu edisi majalah atau koran
tabloid. Perempuan diberi kebutuhan
supaya menjadi perempuan yang berhasil dan senang. Oleh karena itu, majalah dan koran memberi
kesan bahwa kalau mau menjadi perempuan teladan di Indonesia, bisa. Supaya menjadi perempuan teladan, mengikuti
tren yang ada di artikel tentang busana Muslim, dan membaca artikel-artikel
yang lain. Busana Muslim ditawarkan
sebagai bagian supaya menjadi perempuan teladan di Indonesia.
Tetapi masih ada kesan bahwa busana Muslim tidak baik - yaitu tidak
punya arti-arti karena dipengaruhi oleh industri mode. Pendapat ini mengikuti ideologi kebudayaan massa - dan pendapat itu
diespresikan dalam buku-buku seperti Bahaya Mode. Tetapi, pendapat ini - bahwa mode dan Islam
adalah campuran yang berbahaya - hanya diberikan oleh kelompok minoritas di Indonesia.
Karena busana Muslim tersedia sama busana lain di dalam beberapa
majalah dan koran tabloid di Indonesia,
ini bukti bahwa industri mode Islam bagian biasa industri mode di
Indonesia. Di dalam fashion show, yang
dijelaskan di atas, peragawati mencontoh busana Muslim sama busana biasa -
peragawati yang tidak beragama Islam atau tidak berbusana Muslim sendiri.
Dari contoh Sunsilk Hijau bisa dilihat bahwa industri kosmetika juga
menjadi tertarik pada busana Muslim, karena mereka menjadi sadar bahwa industri
ini sudah bertambah cepat. Perusahaan
itu meneliti bagaimana menciptakan sampo yang khusus untuk orang
berkerudung. Metode mempromosikan sampu
itu pandai. Mereka pakai
peragawati/pemain yang namanya Inneke Koesherawati. Dulu, dia terkenal sebagai pemain yang seksi,
tetapi baru-baru ini dia menentukan berkerudung. Di seluruh iklan Sunsilk Hijau, rambut Inneke
Koesherawati tidak bisa dilihat.
Toko Hanna dan Muslim Agung Shop belum mengiklankan barang-barangnya
- mereka sudah menerima begitu banyak langganan karena busana Muslim sudah
populer. Busana ini diiklankan sering
dari majalah, televisi, koran dan industri kosmetika, jadi cara
mulut-kemulutnya adalah cara yang baik untuk pedagang busana Muslim. Gaya
busana Muslim adalah gaya
yang jarang diubah, menurut pemilik toko tersebut, maka orang sudah tahu apa
yang di dalam toko busana Muslim. Oleh
karena itu, mudah untuk berbelanja busana Muslim.
Yang menarik adalah pendapat para pemilik toko busana Muslim
tersebut yang berpikir busana Muslim sudah menjadi populer dari tiga sampai lima tahun yang
lalu. Mungkin pendapat ini tergantung
pada konteks ekonomi. Menurut seorang
tailor dan perancang mode Islam dari bab sebelum bab ini, busana Muslim menjadi
populer jauh sebelum waktu itu. Tetapi,
yang sudah disebut dalam sejarah busana Muslim di Indonesia, busana Muslim
mulai sebagai busana yang agak mahal, terus hanya kelas ekonomi dan sosial yang
tertinggi bisa beli. Toko-toko seperti
Agung Muslim Shop dan Toko Hanna ternyata juga untuk orang yang kurang kaya. Demikian juga kelas ekonomis dan sosial
menengah dan rendah bisa berbelanja di sana.
BAB VI
BUSANA MUSLIM: KONSUMSI
Sebagai kelompok yang memakai busana Muslim, pendapat-pendapat orang
yang mengonsumsikan busana Muslim penting.
Supaya mengerti mengapa perempuan berbusana Muslim, dan apa pendapatnya
terhadap berbusana Muslim dalam konteks agama, sosial, ekonomi dan politik di
Indonesia, para Mahasiswi di Kampus Universitas Muhammadiyah diteliti.
Kampus Universitas Muhammadiyah
Kebanyakan mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang Kampus Tiga
berjilbab[11]. Muhammadiyah adalah salah satu dari dua
organisasi Islam yang paling populer di Indonesia (yang lain adalah
Nahdlatul Ulama). Walaupun tidak wajib
beragama Islam kalau berkuliah di Universitas Muhammadiyah, tetapi mayoritas
mahasisiwnya adalah Islam.
Untuk penelitian ini, dua puluh mahasiswi yang biasanya berjilbab
diminta mengisi kwesioner tentang busana Muslim. Mahasiswi dipilih dari kampus Muhammadiyah
karena organisasi ini mewakili Islam modern di Indonesia. Mahasiswi antara umur lima belas sampai dua puluh empat tahun
diberi kwesioner karena kelompok ini biasanya kelompok yang paling mengonsumsi
kebudayaan populer di Indonesia. Sebagai mahasiswi, mereka bisa dianggap
sebagai perempuan yang berpendidikan dan dari golongan menengah ke atas.
Di antara semua responden, kebanyakan berjilbab sejak SMP atau SMA
dan hanya dua dari dua puluh berjilbab sejak Sekolah Dasar. Ketika ditanya tentang apakah dirinya sebagai
Muslimah yang taat, sebagian besar menjawab ya, tetapi hampir seperempat
menjawab tidak. Alasan-alasan mereka
bermacam-macam, misalnya beberapa menulis bahwa mereka mencoba memenuhi
perintah-perintah Islam dan menghindari larangan supaya menjadi Muslimah yang
taat. Di sisi lain, ada seorang
responden yang bilang dia bukan Muslimah yang taat karena dia kadang-kadang
keluar rumahnya tanpa jilbab dan dia menyimpang dari perintah Islam.
Mereka berjilbab karena beberapa alasan. Karena mau melindungi sendiri dari hal-hal
yang tidak baik dan pergaulan bebas, agar terlihat anggun dan rapi, karena
kewajiban, karena perintah oleh Tuhan, supaya tidak diganggu oleh laki-laki dan
karena berjilbab nyaman dan aman.
Beberapa responden mengatakan bahwa kondisi mereka lebih baik daripada
sebelum berjilbab, dan bahkan laki-laki lebih menghormati perempuan yang
berjilbab.
Waktu mulai berjilbab, setiap responden didukung oleh keluarganya
untuk keputusannya. Pada umumnya,
teman-teman mendukung putusan ini juga, tetapi ada beberapa responden yang
teman-temanya agak kaget dan heran ketika mulai berjilbab. Ada
teman yang bilang lebih cantik kalau berjilbab, ada yang tertawa kepada
responden yang berjilbab. Juga ada yang
kaget karena sebelumnya perempuan seperti tomboy (gadis kelaki-lakian).
Ketika ditanya, ‘tentang apa fungsi atau makna berjilbab bagi
dirinya’? Ada yang mengatakan ‘untuk menutupi aurat',
tetapi ada beberapa jawaban yang lain.
Sekali lagi, alasan kewajiban ditulis, dan juga supaya tidak diganggu
oleh laki-laki. Salah satu responden
menulis bahwa artinya dalam hati berjilbab untuk dia adalah supaya dia bisa
menjadi dia biasa. Responden lain bilang
berjilbab kewajiban supaya menghindari nafsu, dan yang lain lagi bilang dia
berjilbab karena mempercantik diri.
Ada
beberapa kata-kata yang populer ketika ditanya ‘bagaimana rasanya pada saat
berjilbab?’ Mereka mengatakan, senang, tenang, nyaman dan aman kata-kata yang
paling populer, tetapi damai, enak, bahagia dan 'asyik-asyik aja!' diucapkan
juga. Kata-kata ini dipakai untuk
menggambarkan mengapa jilbab dipakai.
Responden berpikir pada saat berjilbab mereka dihormati oleh laki-laki,
mereka merasa lebih dekat kepada Tuhan, dan kalau berjilbab lebih mudah untuk
mengatur perilaku. Tetapi juga ada
responden yang percaya sebagai orang muda yang berjilbab, ada beberapa
orang-orang tua yang berpikir orang muda berjilbab hanya supaya mengikuti tren.
Kebanyakan responden mempunyai lebih dari lima belas jilbab - bahkan hanya ada satu
yang mempunyai kurang dari lima
jilbab dan ada dua responden yang mempunyai lebih dari tiga puluh lima. Dari semua responden, hanya tiga tidak senang
berbelanja dan mencoba gaya
berjilbab yang baru. Dari responden yang
lain, ide-ide untuk gaya
baru diambil dari majalah atau tabloid (misalnya Nurani, Aura, Nova, Gadis dan Muslimah),
orang terkenal, teman, dari ciptakan sendiri, dan televisi atau toko busana
Muslim. Semua sumber ini ternyata
pilihan yang populer tetapi yang paling populer adalah gaya-gaya dari majalah
dan tabloid.
Faktor-faktor yang mendorong berjilbab kebanyakan faktor pribadi,
keluarga dan teman, lingkungan masyarakat dan supaya memenuhi perintah
Islam. Juga ada responden yang punya
faktor-faktor seperti supaya menjadi lebih anggun dan rapi, dari saranan orang
tua, lingkunan sekolah. Hanya ada satu
responden yang menganggap menjadi lebih dekat kepada Tuhan dan supaya menjadi
orang yang lebih baik sebagai faktor pendorong untuk berjilbab. Ada
satu responden yang berjilbab untuk beberapa alasan, tetapi salah satu alasan
supaya bisa dilihat sebagai perempuan (sebelum berjilbab, pertama kali orang
mengenal dia, mereka pikir dia adalah laki-laki). Setiap responden meyakini berjilbab kewajiban
dari Al-Qur'an.
Hampir setiap reaksi responden terhadap Muslimah yang berjilbab
tetapi pakaiannya ketat adalah reaksi yang negatif. Beberapa menulis bahwa praktek itu tidak baik
karena tuntunan Islam berkata bahwa tidak boleh menunjukkan lekuk badan, tetapi
kalau berpakaian dengan ketat, lekuk badan bisa dilihat. Yang juga ditulis bahwa busana ketat sambil
berjilbab perilaku yang abnormal, dan sama saja memakai topi karena sebenarnya
tidak menutupi aurat kalau bisa melihat lekuknya. Ada
pendapat dari responden bahwa praktek ini bukan tentang agama, tentang tren dan
mode saja. Mereka merendahkan diri kalau
memakai pakaian ketat. Akan tetapi, ada
beberapa responden yang tidak punya pendapat yang begitu negatif terhadap
perempuan yang berjilbab tetapi pakaiannya ketat. Salah satu responden mengucapkan bahwa
terserah orang sendiri kalau mau pakaian ketat tetapi masih kurang baik. Ada
beberapa lagi yang berpikir bahwa perilaku tergantung pada perasaan orang
sendiri - kalau tidak menganggu orang lain tidak apa-apa. Seorang responden percaya bahwa kalau bagian
proses belajar cara dan perjalanan berjilbab, tidak apa-apa.
Setiap responden sangat sadar tentang keadaan agama Islam terhadap
masyarakat Barat (misalnya Amerika
Serikat, Australia
dan negara-negara di Eropa). Walaupun
persepsi terhadap negara-negara Barat berbeda dari yang positif sampai yang
negatif. Ada beberapa responden yang mempercayai
persepsi orang-orang Barat kepada orang Islam yang berjilbab positif - yaitu
mereka menghormati orang Islam, atau mereka lebih nyaman dengan agama Islam
sekarang daripada masa lalu. Kebanyakan
responden berpikir bahwa masyarakat dan pemerintah di negara-negara Barat tidak
menghormati Islam, dan mereka tidak menghormati gaya hidup, HAM (hak-hak asasi manusia),
nilai-nilai dan tujuan Islam. Salah satu
responden mengucapkan negara Perancis sebagai contoh - di sana dilarang memakai jilbab. Beberapa responden lagi menyebut tidak boleh
berjilbab di sekolah-sekolah di negara-negara Barat.
Kebanyakan responden percaya bahwa Westernisasi sudah terjadi di Indonesia. Mereka memberi pergaulan bebas, narkoba,
busana ketat, musik dari Barat jadi populer, gaya berbicara, diskotek dan minuman keras
sebagai contoh-contoh kedatangan Westernisasi di Indonesia.
Sesudah kwesioner ini diambil dari para mahasiswi, lima mahasiswi lagi diwawancarai tentang
pendapat dan pengalaman mereka supaya mendapat pengertian yang lebih dalam dari
seorang yang berbusana Muslim. Yang
berikutnya adalah profil kecil dari responden wawancara itu.
Profil Mahasiswi Yang Berjilbab
Ika
Ika adalah mahasiswi dari fakultas Agribisnis yang berjilbab. Dia dibesarkan dalam lingkungan agama yang
agak taat, karena Ayahnya mengajar di pesantren. Setiap perempuan di keluarganya
berjilbab. Tetapi, Ika menyebut bahwa
keluarganya demokratis dan walaupun dia dan saudara-saudaranya diajar tuntunan
Islam, mereka diperbolehkan memilih gaya
hidupnya sendiri. Ika bukan beranggota
kelompok atau aktivitas politik di kampus, dan kalau ditanya tentang pendapat
terhadap politik di Indonesia
dia percaya bahwa keadaan politik agak baik - yaitu pembangunan cukup baik, dan
rakyat punya lebih banyak hak-hak. Kalau
rakyat tidak senang dengan hal-hal politik, mereka bisa mengekspresikan
perasaannya.
Dulu, Ika menjadi anggota kelompok agama yang bernama Jemaah Mesjid
A.R Fachruddin di mesjid kampus, tetapi dia tidak merasa cocok di dalam kelompok
itu maka keluar kelompok itu dan mulai belajar Islam sendiri. Ika keluar karena dia ingin tahu mengenai
agama Islam tetapi kelompok itu berdiskusi hal-hal tentang struktur organisasi
itu dan hal-hal ini tidak penting untuk Ika.
Ika bangga menjadi Muslimah Indonesia. Menurut pendapat dia Indonesia
bersikap toleran kepada semua agama meskipun beberapa perang agama baru-baru
ini.
Kalau menggambarkan diri, Ika adalah pemberontak. Ika tidak suka disuruh-suruh, dan suka semua
hal-hal yang demokratis. Ika mengidolkan
Ibu Kartini, seorang feminis dilahirkan pada tahun 1879 di antara zaman
penjajahan. Karena Ibu Kartini
dibesarkan pada zaman yang menganggap perempuan sebagai agak rendah, perempuan
disangka belajar di dapur saja. Tetapi
Ibu Kartini mempercaya bahwa perempuan dan laki-laki punya kedudukan yang sama
di antara masyarakat - yaitu perempuan mempunyai cita-cita, kemampuan dan
harapan juga dan bisa menentukan hidupnya.
Ika percaya bahwa ide-ide ini membantu memajukan sikap-sikap terhadap
perempuan pada saat ini di Indonesia.
Ika sudah mempunyai pacar seorang laki-laki satu tahun. Kalau ditanya tentang pendapat pacarnya
terhadap berjilbab, Ika berkata bahwa pacarnya sangat suka dia berjilbab -
bahwa dia lebih cantik kalau berjilbab.
Juga, walaupun dia sudah menghormati perempuan, pacarnya lebih
menghormati perempuan yang berjilbab.
Nur
Nur mahasiswi Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Malang. Walaupun dia diajar tentang agama Islam dari
umur yang sangat muda, ajaran itu tidak berat atau fanatik, dan Ibu hanya
memakai topi yang tidak menutupi aurat daripada berjilbab. Nur baru memakai jilbab sejak enam bulan
sebelum berkuliah. Dia mempunyai kurang
lebih empat puluh jilbab.
Nur tidak bisa berkomentar tetang politik Indonesia karena dia tidak belajar
keadaan itu - dia hanya punya partai favorit.
Dia bukan anggota kelompok-kolompok politik atau agama. Nur memisahkan identitas sebagai orang Indonesia dari
identitas sebagai orang Islam. Menurut
dia, negara dan agama tidak boleh dicampur, tetapi negara Indonesia masih
terlibat dengan agama karena agama bagian gaya
hidup di Indonesia.
Nur berusaha menjadi orang yang jujur dan ketulusan hati. Nur menjaga menjalankan hidup yang beragama,
tetapi dia sadar bahwa dia belum orang yang sempurna. Kalau ditanya menggambarkan perempuan teladan
di Indonesia,
dia menyebut perempuan yang berakhlak - yaitu Ibu, Isteri, dan Ibu rumahtangga
yang baik. Tetapi yang terutama dia
harus menjadi ibu yang taat. Agama harus
mengatur semua peran-peran perempuan Indonesia.
Responden ketiga[12]
Responden ketiga adalah mahasiswi dari jurusan Biologi. Dia dibesarkan di antara keluarga yang tidak
terlalu fanatik, hanya netral saja.
Walaupun ada banyak orang di Jawa Timur yang beranggota Nahdlatul Ulama
atau Muhammadiyah, keluaraga responden ketiga tetap netral di antara hal-hal
agama. Dia berjilbab sejak SD, tetapi
kadang-kadang dia tidak memakai jilbab - hanya berjilbab di sekolah. Responden ketiga mempunyai sekitar sepuluh
jilbab.
Responden ketiga tidak mengerti politik di Indonesia terus
dia tidak mau berkomentar hal-hal itu.
Dia tidak mengikuti aktivitas politik atau beranggota kelompok agama di
kampus.
Kalau ditanya tentang identitas orang-orang Indonesia dan kalau itu
berhubungan Islam, responden ketiga mempercaya bahwa orang Indonesia tidak
mengikuti budaya asing, tetapi setiap orang di Indonesia punya identitas yang
berbeda dan ada banyak identitas-identitas ini yang bukan Muslim.
Responden ketiga tidak berpikir ada sesuatu hal yang unik atau khas
tentang dirinya, tetapi kalau mau menjadi perempuan teladan, harus menjadi
berhasil dalam bidang-bidang keluarga dan karir.
Rina
Rina dibesarkan dalam keluarga yang agak taat. Mereka tidak bisa melakukan apa yang
dilarang, dan harus mengikuti perintah-perintah Islam, tetapi keluarga itu
tidak fanatik. Ibu Rina memakai topi
yang menunjukkan auratnya. Rina mulai
berjilbab sejak masuk universitas dan sedang punya kurang lebih lima belas jilbab.
Pendapat Rina terhadap politik di Indonesia agak negatif. Mereka tidak melayani kebutuhan masyarakat,
hanya keinginan dirinya. Oleh karena itu
ada banyak masalah seperti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Rina bukan beranggota kelompok agama atau
politik.
Kalau menggambarkan dirinya, Rina adalah orang yang ramai dan
ramah. Perempuan teladan di Indonesia bisa
berhubungan dengan baik dengan siapa saja, dan bisa menjadi cocok dengan siapa
saja. Dia penuh perhatian dan
individualis.
Dwi
Semahasiswi ilmu Kommunikasi, Dwi baru berjilbab satu tahun. Pada awalnya dia berjilbab tidak untuk alasan
agama, tetapi untuk menjaga diri dan supaya dianggap lebih rapi dan sopan. Tetapi sesudah belajar agama Islam, dia
semakin banyak ingin berjilbab untuk alasan-alasan agama dan pada saat ini
menganggap berjilbab sebagai wajib. Keluarga
Dwi bukan keluarga yang beragama Islam dengan taat waktu Dwi masih anak, tetapi
masih didasarkan tuntunan Islam. Ibu Dwi
baru berjilbab juga.
Dwi berpikir politik di Indonesia lebih baik daripada masa
lalu. Pada awalnya ada banyak perlawanan
dari para mahasiswa tetapi pemerintah lebih pandai sekarang. Tetapi menurut Dwi masyarakat Indonesia lebih
gelisah dan punya lebih banyak kekuasaan.
Oleh karena itu pemerintah lebih dapat dipertanggung jawabkan daripada
sebelumnya. Dwi tidak mengikuti aktivitas
politik di kampus atau beranggota kelompok agama.
Islam adalah bagian identitas Dwi.
Memang harus, karena Islam adalah cara hidup. Supaya bisa tahu cara di antara hidup harus
memakai Islam - Islam bisa membantu bagaimana tahu diri sendiri. Dwi berpikir dia orang yang fleksibel dan
bukan diktatoris. Dwi sudah tahu
batasannya pribadi dan sosial. Kalau
berdiskusi perempuan teladan, perempuan itu sudah tahu dirinya tapi tetap sifat
feminin. Sebetulnya, orang-orang tidak
membatasi dia, tetapi dia tahu keinginan Tuhan.
Pengalaman Pribadi Berjilbab
Karena saya sedang meneliti tindakan berjilbab, maka saya mencoba
berjilbab supaya bisa merasa perasaan saat jilbab seperti perempuan-perempuan Indonesia. Saya mencoba berjilbab ketika bulan Ramadan
mulai, dan berjilbab menjadi wajib untuk semua perempuan kalau di kampus
Universitas Muhammadiyah Malang, tempat yang saya kuliah.
Kami ke kos teman, yang Ibu kosnya adalah dosen di Muhammadiyah dan
sudah menawarkan meminjamkan jilbab-jilbab, dan membantu memakai jilbab-jilbab
itu. Kami senang memilih warna yang
serasi dengan pakaian kami, dan senang mencoba gaya-gaya berbeda.
Sambil dosen antar kami ke kampus saya merasa tidak nyaman - pasti
orang menjadi terhina dari percobaan saya untuk menjadi cocok di dalam
masyarakat kampus dan menutupi aurat seperti perempuan Islam, tetapi ternyata
perasaan ini jauh lebih berbeda. Karena
berjilbab saya merasa cocok - seperti saya diberi hak untuk datang ke kampus. Sebagai perempuan asing yang biasanya
mendapat banyak perhatian dari laki-laki Indonesia, saya menjadi sadar bahwa
ada penurunan perhatian ini. Orang masih
lihat terus (mungkin lebih banyak daripada yang biasa karena saya orang asing
yang memakai kerudung), tetapi mereka tidak berteriak atau bercanda-canda dan
mereka tidak menertawakan. Bahkan, orang
Indonesia
yang saya ajak bicara dengan menyebut mereka senang sekali bahwa saya berjilbab
sementara di bulan Ramadan. Saya merasa
kalau berjilbab - dan oleh karena itu menjadi kurang 'berbeda' - saya menjadi
lebih cocok dan nyaman di antara para mahasiswa. Dan juga saya merasa lebih nyaman
mengekspresikan diri dan menjadi lebih yakin.
Satu teman Australia
lagi berkomentar perasaan kekuasaan ketika dia berjilbab di kampus. Dia merasa bisa dianggap sebagai perempuan Indonesia,
tetapi ini bermaksud bahwa karena usahanya menjadi cocok, dia minta lebih
hormat dan tidak takut untuk mengekspresikan diri kalau terganggu oleh orang
lain.
Pengalaman ini memberi kepada saya pengertian mengapa ketika
perempuan berjilbab, kebanyakan merasa merdeka dan senang. Ketika berjilbab, saya merasa aman dan yakin,
dan walaupun saya tidak merasa takut kalau tidak berjilbab, saya tidak merasa
seperti anggota masyarakat Indonesia.
Analisis
Dalam bab ini konsumsi busana Muslim dilihat di antara konteks
politik, sosial dan ekonomi. Responden
ditanya tentang pendapatnya politik di Indonesia dan di luar negeri, responden
diobservasi di antara keadaan sosial, dan karena setiap responden sudah menghadiri
universitas, setiap responden dari keadaan ekonomi yang bisa membayar untuk
pendidikan di tingkat yang paling tinggi.
Oleh karena itu mahasiswi yang ditanya tentang pendapat-pendapat
berbusana Muslim bisa dianggap sebagai anggota golongan menengah sampai atas.
Ternyata bisa dilihat ada beraneka macam pendapat-pendapat dan
beberapa alasan yang diberikan oleh mahasiswi tentang topik berjilbab dan
busana Muslim. Dari semua jawaban dan
pendapat-pendapat yang diberikan, tidak ada mahasiswi yang memahami betul
tentang topik politik di Indonesia. Tidak ada responden yang menjadi anggota
kelompok atau aktivitas politik, oleh karena itu mereka berpendapat bahwa
pemakaian busana Muslim tidak perilaku yang melawan politik di Kampus
Muhammadiyah Malang.
Tetapi, ada beberapa alasan untuk membuktikan bahwa mungkin ada
unsur perlawanan di antara berbusana Muslim.
Kata-kata seperti 'nyaman', 'aman' dan 'tenang' sering dipakai supaya
menggambarkan perasaan sedang berjilbab, dan hampir setiap responden bilang
bahwa mereka merasa lebih dihormati oleh laki-laki kalau berjilbab. Sedangkan perempuan tidak berbusana Muslim
sebagai perilaku perlawanan yang terbuka, mungkin mereka merasa lebih yakin dan
aman karena mereka lebih pasti terhadap laki-laki. Responden sering menyebut mereka merasa lebih
cocok di antara konteks kampus kalau berjilbab.
Kalau mereka lebih yakin terhadap laki-laki, perilaku dan perasaan ini
adalah lambang mereka melawan ideologi di Indonesia yang ditempatkan di atas
masyarakat Indonesia. Perasaan ini dibuktikan oleh jawaban dari
para mahasiswi yang diwawancarai. Memang
masih ada mahasiswi - dan oleh karena itu masih ada bagian masyarakat - yang
berpikir perempuan Indonesia yang teladan adalah Ibu rumahtangga, tetapi pada
umumnya responden berkata bahwa perempuan Indonesia pada saat ini bisa menjadi
perempuan karir serta Ibu dan Istri.
Tetapi peran mode masih bagian yang agak besar di antara berbusana
Muslim. Kebanyakan mahasiswi yang diberi
kwesioner senang berbelanja dan mencoba gaya
berjilbab atau berbusana Muslim baru.
Yang menarik adalah beberapa responden mempercaya bahwa tujuan menutupi
aurat supaya tidak diganggu oleh laki-laki, banyak responden mempercayai
perempuan yang berjilbab lebih cantik, rapi dan anggun.
Sebagai mahasiswi yang suka berkonsumsi busana Muslim, apa maksud
busana Muslim bagi mereka? Dari
observasi dan jawaban-jawaban, kebangkitan Islam di Indonesia bisa dilihat
dalam konteks kampus University Muhammadiyah Malang sudah terjadi, dan busana
Muslim sudah menjadi bagian identitas mahasiswi yang berbusana Muslim itu.
Pengalaman pribadi menunjukkan dan membuktikan bagaimana kebudayaan
pop bisa melawan ideologi yang ada di lingkungan. Sebagai perempuan yang belum pernah memakai
jilbab, saya merasa perasaan-perasaan sama dengan mahasiswi yang biasanya
berjilbab, tetapi dari perspektif yang lain.
Saya sadar peran perempuan di Indonesia, sangat berbeda dari
pendapat masyarakat Australia
terhadap para perempuan. Tetapi saya
merasa lebih dihormati kalau berjlbab, oleh karena itu saya merasa lebih yakin
dan pasti.
Kalau menunjuk kepada artikel Sian Powell (yang berpendapat bahwa
berjilbab tidak lambang ibadah lagi karena sudah pakaian yang populer), bisa
dilihat itu tidak benar. Memang setiap
responden berpikir ada perempuan yang berjilbab tetapi berpakaian ketat, tetapi
sebagian besar tidak begitu, dan orang yang begitu belum pasti tentang tuntunan
Islam. Sian Powell memang benar waktu
menulis berjilbab itu sudah praktek yang populer, tetapi dia tidak benar kalau
mempunyai percayaan bahwa kalau sudah populer, tidak bisa tetap lambang ibadah.
Pendapat ini mencerminkan Ideologi Kebudayaan Massa. Memang ada responden yang dipengaruhi oleh
ideologi itu. Kalau ditanya berapa
jilbab yang Anda punyai, kalau lebih dari sepuluh, hampir setiap responden
menjadi malu dan tidak mau memberitahu berapa jilbab-jilbab dia punyai. Pendapat ini membuktikan bahwa ada pendapat
bahwa kalau sebuah komoditi menjadi populer, maksud asli hilang. Tetapi kalau orang merasa begitu, mereka lupa
bahwa kalau mendapat kesenangan dari praktek berjilbab, praktek itu tidak
salah. Sudah ada bukti dari kwesioner
dan wawancara bahwa orang-orang yang berjilbab untuk alasan yang terutama
agama.
BAB VII
BUSANA MUSLIM DI MASA DEPAN
Kalau berbusana Muslim sudah menjadi populer di Indonesia, dan pemakaian
busana itu sudah dianggap sebagai biasa saja, bagaimana industri busana Muslim
di masa depan? Di antara suatu
lingkungan, masih ada kesan bahwa busana Muslim untuk orang-orang tua (Kompas
2003). Ada usaha untuk memodernisasikan
desain-desain busana Muslim, dan menciptakan desain yang lebih muda dan dinamis
(Kompas 2003).
Menurut Ibu Alphiana Chandrajani, busana Muslim akan tetap populer
di Indonesia, dan ada kemungkinan Indonesia akan menjadi pusat untuk
industri mode Islam. Memang Indonesia
mungkin menjadi negara yang penting untuk busana Muslim - busana Muslim di
Indonesia sangat dinamis, dan karena penduduk Indonesia penduduk Islam yang
terbesar di seluruh dunia, ada sasaran yang sudah siap untuk menambahkan
industri mode Islam.
BAB VIII
PENUTUP
Kesimpulan
Skripsi ini meneliti kalangan industri busana Muslim, dan industri
itu sebagai unsur kebudayaan populer di Indonesia. Industri busana Muslim sedang berkembang
dengan baik, dan Indonesia
memang mungkin menjadi pusat busana Muslim di Asia Tenggara. Dari semua responden yang diwawancarai, tidak
ada seorang yang bisa menggambarkan perempuan yang berbusana Muslim. Mereka tidak bisa karena tidak ada orang yang
khas yang berbusana Muslim - setiap orang memilih berbusana Muslim untuk alasan
sendiri yang pribadi. Orang-orang yang
diwawancarai menunjukkan alasan yang luar biasa dan khusus untuk berbusana
Muslim, memang orang-orang yang lebih tua, misalnya pemilik toko busana Muslim
dan perancang mode Islam mengatakan orang-orang boleh berjilbab sambil
berpakaian ketat, karena lebih baik daripada tidak berjilbab sama sekali.
Seperti ada stereotip terhadap kebudayaan Barat di Indonesia
(misalnya pergaulan bebas dan narkoba), memang ada stereotip tentang busana
Muslim yang asal dari negara-negara Barat, dan juga dari dalam Indonesia. Ada
orang yang berpendapat berbusana Muslim tidak tindakan kesenangan. Skripsi ini sudah membuktikan bahwa pendapat
ini salah di Indonesia
- hampir setiap responden senang mengonsumsi busana Muslim, dan mereka merasa lebih
taat kalau berbusana Muslim. Skripsi ini
juga membuktikan bahwa sekalipun busana Muslim sudah menjadi populer di
Indonesia, tetapi masih melindungi arti-arti agama - bukan mode saja. Lingkungan politik dan budaya di Indonesia
memperbolehkan mode Islam menjadi bermode dan dinamis. Keadaan ini begitu oleh karena perasaan tidak
suka Islam dengan fanatik, dan karena proses popularisasi agak baru. Berbusana Muslim di antara konteks politik,
agama, sosial dan ekonomis berubah sejak kebangkitan Islam pada tahun
1980’an. Pada waktu itu konteks politik
dan sosial berarti berbusana Muslim menjadi tindakan perlawanan terhadap
keadaan di Indonesia. Tetapai pada waktu
itu, konteks politik dan sosial menjadi lebih menerima berbusana Muslim. Konteks agama berubah - orang Indonesia ingin
dilihat sebagai lebih taat sekarang.
Konteks ekonomi berubah juga - yaitu pada masa lalu busana Muslim untuk
orang kaya saja, tetapi karena busana Muslim bisa dibeli untuk harga yang murah
di pasar, sampai boutique ekslusip dan mahal, siapa saja bisa berbusana Muslim.
Karena orang-orang yang diobservasi dan diwawancarai di dalam studi
lapangan ini tidak mewakili setiap orang Indonesia, tidak bisa menganggap
kesimpulan dari skripsi ini sebagai benar di seluruh negara Indonesia. Setiap orang mempunyai identitas yang lain,
dan alasan-alasan untuk berbusana Muslim semua berbeda karena setiap orang
punya tingkah laku yang individualis.
Sekalipun orang-orang tidak mengekspresikan keputusannya untuk
berbusana Muslim sebagai tingkah laku perlawanan, mereka bisa mengekspresikan
sendiri sebagai perempuan dengan lebih terbuka, karena busana Muslim memberi
perempuan di Indonesia kemampuan untuk menjadi lebih yakin di antara
masyarakat. Untuk setiap orang,
berbusana Muslim merupakan identitasnya - sebagai orang Islam, orang Indonesia, dan
perempuan teladan. Berbusana Muslim
menjadi secara untuk menemukan diri, dan secara untuk mengekspresikan identitas
sebagai perempuan Islam.
Daftar
Pustaka
2003 “Harmoni Tropis Busana Muslimah APPMI” Kompas
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/09/keluarga/675181.htm
(18
September 2004)
Ang, Ien 1993 "Dallas and the Ideology
of Mass Culture." di dalam During, Simon (Redaksi)
The Cultural Studies Reader Routledge, London
pp403-420
APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia) 2004
Ragam Gaya
Kerudung Gramedia, Jakarta
Brenner, Suzanne 1996 "Reconstructing
Self and Society: Javanese Muslim Women and 'The Veil'" American Ethnologist Volume 23
(pp.673-697)
Canti, 2004 "Aneka Mukena Cantik"
Nova Xtra No. 870A/XVII 28 Oktober p.40-41
Craik, Jennifer 1994 The Face of Fashion
Routledge, London
Departemen Agama RI Al-Qur'an Dan
Terjemahnya CV. Asy Syifa', Semarang
Fiske, John 1989 Understanding Popular
Culture Unwin Hyman, London
Geertz, Clifford
"Traditional Islamic dress" http://faculty.uccb.ns.ca/philosophy/203/fourth%20reading.htm (18 September
2004)
Goodman, Ellen 13 September 2001 “The Hijab’s Heightened
Meaning” The Cincinatti Post http://www.cincypost.com/2001/nov/13/ellen111301.html
(18 September 2004)
Irfach, 2004 "Seminggu di Kuala Lumpur" Muslimah
Edisi 29/III/Desember pp.50-53
Jenkins, David 1998 'Islam's New Bastion' http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/01/11/0046.html
(11 June 2004)
Khalid Bin Abdurrahman Asy - Syayi 1999 Bahaya
Mode Gema Insani Press, Jakarta
Lucente, Gregory L “Gramsci, Antonio” http://www.press.jhu.edu/books/hopkins_guide_to_literary_theory/antonio_gramsci.html
(18
September 2004)
Marcoes-Natsir,
Lies 2004 “Symbol of Defiance
or Symbol of Loyalty?” http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-549/_nr-5/_p-1/i.html (18 September
2004)
Powell, Sian 2003
"No helmet, but scarf compulsory" The
Weekend Australian Magazine April 12-13 p.45
Shamsul, AB 1997
"Identity construction, Nation Formation and Islamic Revivalism in
Malaysia" di dalam Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich (Redaksi) Islam
in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast
Asia Honolulu, University of Hawaii Press pp 207-227
Story, John 1993 An
Introduction to Cultural Theory and Popular Culture Prentice Hall London
Suryakusuma, Julia I
2002 “Indonesian Perceptions of the West” http://www.indopubs.com/perceptions.rtf (18 September 2004)
Yuyun, 2004 "Gaya
Segar untuk Si Chubby" Muslimah,
Edisi 29/III Desember 2004 p. 26-27
[1] Aurat adalah bagian orang yang harus ditutup oleh pakaian kalau
orang Islam. Bagian-bagian itu adalah
rambut, leher, dada, tangan dan kaki.
[5] Lihat Lampiran D
[6] Lihat Lampiran E
[7] Lihat Lampiran F
[8] Lihat Lampiran G
[9] Lihat Lampiran H
[10] Lihat Lampiran H
[11] Lihat Lampiran I
[12] Nama tidak dipakai dari mintaan responden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar