Pendidikan dan Etos Budaya |
Rabu, 22 February 2012 00:00 |
Achmad Fauzi
Aktivis Multikulturalisme, Alumnus UII, Yogyakarta
GEGAP
gempita persaingan global mendorong lembaga pendidikan menciptakan
konsep penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional. Namun, saat
bersamaan di wilayah lokal bangsa sedang dirundung problema gegar
budaya.
Anarkisme
ormas, konflik suku, dan rendahnya penghargaan terhadap budaya lain
meletus tak terkendali dan menghancurkan pilar kearifan lokal serta
keadaban asli Indonesia. Kondisi ini menuntut kontribusi kebudayaan
dalam pendidikan supaya sekolah tak hanya mengunggulkan kemampuan
akademik, tapi juga mampu mencetak manusia Indonesia berbudaya.
Pertanyaan konseptualnya, adakah ruang penghargaan budaya lokal dalam
pendidikan yang notabene membentuk identitas dan jati diri bangsa?
Pada
tahun 2012, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengupayakan
sejumlah agenda penting sebagai tonggak memajukan kebudayaan Indonesia.
Salah satu di antaranya membangun pangkalan kebudayaan untuk menjaga
keunikan etnis dan budaya. Pangkalan kebudayaan diperlukan untuk
membangkitkan kembali budaya dasar Indonesia yang ramah dan toleran
serta menghindari penyeragaman dan penjajahan budaya. Lantas bagaimana
menyikapi penyelenggaraan pendidikan yang mengabaikan kearifan lokal?
Akar Budaya
Di
tengah dunia tanpa batas dan perkembangan tekhnologi yang semakin pesat,
perhatian pendidikan terhadap kebudayaan kerap terabaikan. Anak muda,
misalnya, mulai kesulitan untuk mengenali akar budayanya sendiri, karena
laju gempuran budaya asing bergerak lebih cepat mendahului kelabilan
masa pencarian identitas.
Realitas
ini sangat berpengaruh bagi tatanan kehidupan dan pembentukan
kebudayaan secara keseluruhan. Contoh konkret, dalam keseharian anak
muda merasa lebih percaya diri berkomunikasi apabila menyelipkan bahasa
Inggris sebagai penghias pembicaraan, sedangkan bahasa Indonesia
dianggap subordinat.
Betapa
pentingnya peran institusi pendidikan mengajarkan tata cara
mendefinisikan diri di dalam keragaman budaya. Terlebih, Indonesia
terdiri atas banyak suku, agama, dan budaya yang berbeda. Romo Y.B.
Mangunwijaya memaknai nilai budaya sebagai perangkat dasar yang
mengangkat manusia Indonesia sebagai bangsa yang utuh.
Pemaknaan
filosofi pendidikan itu semestinya diejawantahkan dengan meretas
pembelajaran kebudayaan lokal di sekolah-sekolah, sehingga dapat
memantik tumbuh kembangnya nilai-nilai kearifan lokal seperti
teposeliro, toleransi, dan multikulturalisme. Tanpa terjebak embel-embel
"internasional", peserta didik memiliki wawasan internasional dengan
tetap berpijak pada filosofi budaya bangsa.
Proses
penguatan akar budaya bangsa melalui institusi pendidikan penting
dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, masyarakat bisa menyadari
bahwa jati diri bangsa yang ramah dan toleran merupakan realitas sejarah
yang harus dipelihara. Sehingga, pelanggengan ideologi kekerasan dan
stigma peyoratif terhadap kebudayaan lain dipahami sebagai bentuk
pengingkaran atas jati diri bangsa.
Etos
budaya dalam pendidikan itu nantinya mampu mendongkrak kesetiaan kepada
negara dan bangsa. Karena itu, pendesiminasian wawasan kebangsaan
melalui budaya pendidikan dapat dijadikan alternatif untuk mengkaji
pola-pola konflik serta sebab-musababnya.
Pengenalan Tradisi
Kedua,
memacu animo anak-anak muda untuk lebih menaruh perhatian terhadap
kebudayaan. Di beberapa kota, seperti Surabaya dan kota besar lainnya,
ada beberapa institusi pendidikan yang sejak lama memasukkan pengenalan
budaya sebagai agenda pembelajaran. Jangan heran jika di Surabaya ada
murid asing pandai menabuh gamelan, menari reog, dan bermain ketoprak
bersama siswa Indonesia.
Ini
adalah fakta menggembirakan, betapa secercah harapan muncul di
sekolah-sekolah biasa tanpa embel-embel internasional. Kepedulian sektor
pendidikan di tengah rendahnya penghargaan terhadap budaya tentu
menjadi elan vital bagi keutuhan bangsa dan pertaruhan martabat
Indonesia di mata bangsa lain.
Selama
ini sebagian sekolah masih menempatkan pengenalan budaya lokal sebagai
kegiatan ekstrakurikuler yang tidak wajib dipenuhi, kecuali pembelajaran
bahasa daerah, semisal bahasa suroboyoan dan sebagainya. Wajar
saja kalau lembaga pendidikan kita banyak menghasilkan keluaran
pendidikan yang tidak mengenal budaya asli Indonesia. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena bangsa kita akan kehilangan jati diri.
Pengenalan
tradisi budaya melalui ranah pendidikan memerlukan kesungguhan dari
berbagai komponen, mulai dari pemerintah, masyarakat, orang tua dan guru
selaku pengajar. Justru dengan mengenal budaya dan tradisi, kita bisa
berdialog dengan modernitas. Kita dapat mengambil ruh dari tradisi dan
nilai-nilainya itu serta mengekspresikannya sesuai kebutuhan zaman. n
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar