Rabu, 16 Mei 2012

Saatnya Sekolah Seleksi Orangtua



Saatnya Sekolah Seleksi Orangtua
 
PENDIDIKAN

Saatnya Sekolah Seleksi Orangtua
Oleh : Imam Subkhan | 16-Mei-2012, 10:14:41 WIB
KabarIndonesia - Tidak lama lagi, waktu Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) reguler untuk tahun pelajaran 2012/2013 akan dimulai. Seperti yang sudah-sudah, hajatan tahunan ini selalu menyita perhatian masyarakat, utamanya orangtua yang memiliki kepentingan untuk memasukkan putra-puterinya ke sekolah yang diidam-idamkan. Hampir semua orangtua berharap, anaknya dapat belajar di sekolah-sekolah favorit, baik negeri maupun swasta, yang dinilai memiliki banyak keunggulan dibandingkan sekolah lainnya. Entah itu di bidang akademis, keagamaan, teknologi, seni dan budaya, penanaman karakter, sampai dengan fasilitas belajar yang tersedia. Bahkan orangtua tidak segan-segan untuk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi sang buah hati. Mereka merasa yakin, bahwa ketika anak sudah belajar di sekolah-sekolah unggulan, maka sudah jaminan anaknya akan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai bakat dan potensinya.

Sesungguhnya apa yang diharapkan orangtua dengan segudang ekspektasi dari anak-anaknya adalah hal yang wajar. Tetapi kadangkala, harapan yang setinggi langit itu tidak dibarengi oleh upaya dan peran yang maksimal dari orangtua dalam pendidikan anak. Mereka terlalu menggantungkan kepada pihak sekolah sebagai sang kreator yang mampu membentuk anak menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan berprestasi. Seolah-olah orangtua lupa, bahwa anak sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan rumah, tidak dengan sekolah. Jadi, karakter anak lebih banyak diwarnai oleh keluarga yang selama ini dilihat, didengar dan dirasakan oleh anak.

Saat ini yang terjadi, masih banyak orangtua yang memosisikan anak sebagai obyek yang harus tunduk dan patuh kepada kepada semua aturan, yang kadangkala tidak dibarengi dengan argumentasi yang masuk akal atas aturan tersebut untuk dilakukan. Anak lebih dijadikan simbol kebanggaan dan prestise semata, terutama ketika mereka meraih juara atau prestasi tertentu. Sederhananya, anak hanya menjadi aset untuk dieksploitasi, demi memuaskan ambisi orang-orang dewasa di sekelilingnya.

Pun, begitu pula sebaliknya. Ketika anak tidak bisa mencapai apa yang diharapkan oleh orangtua, maka semua kesalahan dan kegagalan tertumpah pada diri anak. Anak menjadi obyek penderita yang selalu disudutkan dengan klaim segudang kesalahan dan ketidakmampuan. Bukankah kalau mau jujur, anak berperilaku menyimpang karena terdukung oleh lingkungannya, entah di lingkup keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pertanyaannya, sudahkah orangtua memosisikan sebagai figur dan teladan yang seluruh gerak-geriknya senantiasa dilihat, didengar, dan ditiru oleh anak?

Jika dicermati lebih dalam, betapa banyak kasus kenakalan anak atau remaja lebih diakibatkan karena kondisi keluarga yang tidak kondusif dan harmonis. Anak yang seharusnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya, ternyata harus mendapati keduanya selalu dalam keributan dan pertengkaran setiap harinya. Kata-kata kasar, bahkan sampai pada kekerasan fisik menjadi pemandangan yang biasa bagi anak-anak. Jika sudah seperti ini, anak hanya akan menjadi korban. Hak-hak sebagai anak yang selayaknya dinikmati harus terampas oleh keegoisan ayah dan ibu yang telah melahirkannya. Sehingga pendidikan di keluarga yang semestinya menjadi yang pertama dan utama harus tergadaikan.

Maka, sungguh naif ketika ada anak harus sampai teradili di meja hukum, bahkan dipenjarakan hanya karena kesalahan yang tidak seberapa. Anak adalah anak, bukan orang dewasa mini, yang tidak setiap tindakannya didasari oleh logika yang sehat dan benar. Apa yang diperbuat anak lebih banyak meniru orang-orang dewasa di sekitarnya. Jika ditarik ke ranah konsep pendidikan modern, apa yang dilakukan oleh anak selalu “benar”. Lantas siapa yang salah? Yang salah adalah orangtua, guru, dan masyarakat yang tidak mampu mendidik dan memberi keteladanan yang baik. Bahkan seorang ahli menyatakan bahwa anak sesungguhnya memantulkan dan mencerminkan sikap dari orangtua terhadap anak itu. Atau sering dinamakan hal diri sosial (the social self), yaitu anak akan menjadi orang sesuai dengan sikap orangtua terhadap anak itu.

Berdasar pemikiran di atas, berarti bukan hanya anak yang dituntut belajar, tetapi justru orangtualah yang harus belajar untuk menjadi orangtua yang baik dan benar. Dipandang dari sudut mana pun, orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Mau jadi apa anak kelak, semua sangat tergantung dari torehan sang ayah dan ibu sejak lahir hingga dewasanya.

Komitmen dan tanggung jawabMaka, bangunan konsep tentang tanggungjawab pendidikan anak harus digeser padarigmanya. Selama ini yang dipahami masyarakat adalah sekolah menjadi pilar utama dalam pendidikan anak, sedangkan orangtua atau keluarga sekadar sebagai pendukung. Parahnya, ada orangtua yang menganggap bahwa persoalan pendidikan anak hanya sebatas penguasaan akan pelajaran-pelajaran sekolah. Sehingga, peran mereka dirumah hanya membantu menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) anak dan tugas-tutas sekolah lainnya. Jika orangtua kesulitan dalam mendampingi anak belajar, mereka tinggal memanggil guru privat ke rumah untuk mengajari anaknya.

Nah, pandangan seperti itu yang harus dirubah. Orangtua harus memosisikan sebagai pendidik utama, sementara sekolah sekadar membantu untuk lebih mengoptimalkan bakat dan potensi anak. Pendidikan di rumah sebaiknya diarahkan pada penanaman karakter, yang mengacu pada pendidikan agama yang kuat. Nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kesantunan, kemandirian, keuletan, tanggung jawab, kepedulian, dan rasa percaya diri, itulah yang harus sejak dini ditanamkan pada diri anak di lingkungan keluarga.
Ke depan, sudah saatnya peran orangtua di dalam pendidikan anak dapat diformalkan atau dilembagakan, bukan lagi sekadar himbauan atau ajakan. Nah, pihak sekolah lah yang harus memulainya, karena sebagai institusi yang berhubungan langsung dengan orangtua. Langkah awalnya adalah saat penerimaan peserta didik baru. Selain mengadakan tes seleksi untuk anak, pihak sekolah juga menyeleksi orangtua melalui wawancara khusus. Inti dari wawancara pada akhirnya mengerucut pada persetujuan kontrak kerjasama sebagai bentuk komitmen dan tanggungjawab kedua belah pihak dalam pendidikan anak. Selama ini yang terjadi, pihak sekolah melakukan wawancara dengan orangtua hanya membahas berapa besar sumbangan atau pungutan. Selebihnya hanya basa-basi, yaitu ajakan kepada orangtua untuk selalu mendukung pendidikan anak.

Oleh karena itu, dalam kontrak kerjasama tersebut harus ditulis secara rinci butir-butir kesepakatan, antara orangtua dengan pihak sekolah. Sebagai bahan acuan, berikut penulis jabarkan poin-poin kesepakatan atau kerjasama pendidikan antara pihak sekolah dengan orangtua: Pertama, orangtua diminta menyepakati visi, misi dan tujuan pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Dikarenakan setiap institusi pendidikan selalu memiliki visi dan misi yang berbeda-beda sesuai dengan potensi, kultur, lingkungan, dan cita-cita pendirinya. Visi dan misi sekolah ini pada akhirnya akan mengarahkan kepada profil output yang ingin dihasilkan. Sebelum memutuskan memilih sekolah untuk putra-puterinya, orangtua seharusnya memahami secara detail profil sekolah yang dituju, sehingga ke depan tidak terjadi ketidaksinkronan antara keinginan sekolah dengan orangtua. Konsekuensi dari kesepakatan ini adalah orangtua diharapkan mendukung dan berpartisipasi aktif terhadap semua kebijakan dan program-program sekolah, selama itu demi kepentingan pendidikan anak.

Kedua, orangtua diminta menjalin komunikasi secara intensif dengan pihak sekolah melalui berbagai media yang disediakan. Segala permasalahan yang muncul terhadap diri anak, entah itu datangnya dari rumah atau sekolah harus terkomunikasikan dan terpecahkan dengan baik. Media komunikasi tersebut bisa berbentuk forum pertemuan, baik secara kelompok maupun individual, buku catatan kegiatan peserta didik yang setiap harinya diisi oleh guru kelas dan orangtua mengenai kegiatan dan kejadian yang dialami anak selama di sekolah dan di rumah, serta media komunikasi berbasis teknologi informasi lainnya, seperti telepon, short message service (SMS), blackberry messenger (BBM), atau pemanfaatan situs jejaring sosial di internet. Dalam kesepakatan ini, intinya kedua belah pihak harus mau jujur dan terbuka mengenai perkembangan anak, sehingga penanganannya dapat lebih optimal. Sejak awal masuk, orangtua harus jujur mengenai kondisi anak, seperti perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, termasuk jika ada gangguan psikologis dan kebiasaan-kebiasaan anak lainnya.

Ketiga, orangtua diminta menciptakan suasana yang kondusif untuk pembelajaran anak di rumah. Mereka harus menyadari, bahwa segala perkataan, sikap, dan tingkah laku selalu diperhatikan dan dicontoh oleh anak, terlebih anak usia prasekolah dan sekolah dasar. Oleh karena itu, semua program dan pembiasaan yang positif di sekolah harus didukung dan dilanjutkan di rumah. Mulai dari orangtua, kakek, nenek, saudara, sopir, pembantu atau satpam yang tinggal di rumah tersebut harus memiliki visi yang sama dalam pendidikan anak.

Dan yang keempat, berupa sanksi-sanksi yang diberikan jika orangtua tidak melakukan peran sesuai yang disepakati. Sanksi di sini bahkan sampai dengan ketika sekolah harus mengeluarkan anak, untuk kasus-kasus tertentu. Dan yang menjadi pertimbangan utama dalam mengeluarkan siswa adalah seberapa kuat komitmen dan tanggung jawab yang diberikan orangtua dalam proses pendidikan anak. Bukan semata-mata dari jenis dan besar kesalahan yang dilakukan oleh anak. Sekali lagi, ketika seorang murid melakukan penyimpangan tidak serta-merta divonis bersalah sebagaimana orang dewasa. Karena mereka melakukannya, bisa jadi karena belum tahu, meniru, atau sekadar coba-coba, dari apa yang dilihat dan didengarnya. Jadi, orang-orang dewasa di sekitarnyalah yang musti bertanggungjawab. (Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian umum Solopos)

Penulis:
Imam Subkhan
Pelaksana Humas Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus Solo


Blog: http://www.pewarta.kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com//
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar