Suku Dayak Benuaq
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Benuaq/Dayak Benuaq |
---|
Jumlah populasi |
kurang lebih 116.000 |
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan |
Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur; Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Barito Timur, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah: 116.000 |
Bahasa |
Benuaq, Indonesia |
Agama |
Kristen, Kaharingan |
Kelompok etnis terdekat |
Suku Dayak (Rumpun Ot Danum) |
Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Lewangan juga merupakan induk dari suku Tunjung di Kalimantan Timur. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua
dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti
sebuah negara/negeri. pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah
tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata
Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan
dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq
telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang
tinggal di "Benua", lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu.
Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa
dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak
berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu.
Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka
di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi
seperti pendapat para ahli.
- Salah satu versi cerita leluhur mereka adalah Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn. Keduanya mempunyai keturunan Nara Gunaq menjadi orang Benuaq, Sualas Gunaq leluhurnya orang Tonyoy/Tunjung, Puncan Karnaq leluhurnya orang Kutai.
- Orang Benuaq di kawasan hilir Mahakam dan Danau Jempang dan sekitarnya hingga Bongan dan Sungai Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Seniang Bumuy.
- Seniang Jatu dipercaya merupakan leluhur orang Benuaq di kawasan Bentian dan Nyuatan. Dikisahkan bahwa Seniang Jatu diturunkan di Aput Pererawetn, tepi Sungai Barito, sebelah hilir Kota Muara Teweh (Olakng Tiwey). Kedatangan suku (mungkin orang Lewangan, Teboyan, Dusun dan sebagainya) dari Kalimantan Tengah justru berasimilasi dengan Orang Benuaq, dan ini menyebabkan Orang Benuaq mempunyai banyak dialek.
- Sedangkan orang Benuaq di kawasan hulu Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Ningkah Olo. Menurut legenda Ningkah Olo pertama kali turun ke bumi, menginjakkan kakinya di daerah yang disebut dalam Bahasa Benuaq, Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling). Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Sisa Suku Dayak Benuaq di Kota Samarinda, akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benangaq, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Jadi menurut orang Dayak Benuaq justru merekalah yang pertama menjejakkan kaki di Bumi Samarinda jauh sebelum Kerajaan Kutai resmi berdiri di abad 4 M. Selanjutnya sebagian keturunannya berangsung-angsur menuju muara Sungai Mahakam bermukim di Jahitan Layar dan Tepian Batu dan sekitarnya. Sebagian yang menuju muara Mahakam, selanjutnya berlayar/berjalan ke arah selatan (Balikpapan, Paser dan Penajam). Hal ini mungkin bisa menjelaskan hubungan kekerabatan Dayak Benuaq dan Paser. Orang Benuaq di Kecamatan Bongan, Kutai Barat, berbahasa Benuaq berdialeq Paser Bawo. Sebagian lagi menuju pedalaman Sungai Mahakam. Sebagian keturunan yang masih 'tertinggal' di Tenggarong, bermukim di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.
[sunting] Tokoh Dayak Benuaq
- Korrie Layun Rampan, Sastrawan.
- Yurnalis Ngayoh, Wakil Gubernur Kalimantan Timur 1998-2003, 2003-2006, Gubernur Kalimantan Timur 2006-2008
[sunting] Penyebaran Geografis Suku Dayak Benuaq
Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan etnis mayoritas (+/- 60 %). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan, sebagian Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat.
Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya.
Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser
dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser "Putri Petung" dan "Mook
Manor Bulatn" cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir
di dalam "Betukng" atau "Petung" salah satu spesies/jenis bambu.
Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser.
Kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Suku Kutai
Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk
nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang
berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit
sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang
benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei,
padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung
Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq – Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam
terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun – sekarang
didiami etnis Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini
diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang
tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibukota Kutai Barat).
Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang
Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi
lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Cina – Kho dan Thai
artinya tanah yang luas/besar.
Nama Tenggarong (ibukota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq
adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq
berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti
meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran.
Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan
Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di
suatu tempat dipinggir tepian Mahakam,
dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah
sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah
menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu.
Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji(Indonesia)[1] – bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) – ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/manteranya menggunakan bahasa Kutai.
[sunting] Sistem Kepercayaan
Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia secara umum. Bagi orang Dayak
khususnya kepercayaan Dayak Benuaq lebih dari Animisme dan Dinamisme,
tetapi meyakini bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh
dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal.
Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk
tumbuh-tumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh
kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji
akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat,
mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana
mungkin.
Meskipun sepintas kepercayaan orang Dayak Benuaq seperti polytheisme,
tetapi mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan
dikendalikan oleh penguasa tunggal yaitu Letalla. Letalla mendelegasikan
tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para
Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan
Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma.
[sunting] Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq
Terjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak
membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat
Dayak Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, seringkali masyarakat
Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala.
Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk
disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang
melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau
makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada
wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap
perbuatan jahat.
[sunting] Sistem Sosial dan Adat Istiadat
Masyarakat Suku Dayak Benuaq menganut system matrilineal.
Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk
hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai
dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek
moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya
dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq
percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka
mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang
maupun melalui mimpi.
Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa system adatnya telah ada sebelum
negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja,
pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat
menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq.
Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq :
- Adet
- Purus
- Timekng
- Suket
- Terasi
Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat
istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan
di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja
oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan
dari kutukan ini bias berbentuk kematian baik mendadak maupun
perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat
bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki.
[sunting] Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)
Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai
tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah
panjang dapat disebut Lou (Lamin).
Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8
olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat
beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana
rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou.
Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat
menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang
yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan
pengertian ini lou seringkali berkonotasi dengan kampong atau benua.
Berdasarkan ukuran dan system kepemimpinan rumah panjang, masyarakat
adapt Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman
masyarakat sebagai:
- Lou (lamin)
- Puncutn Lou / Puncutn Benua
- Puncutn Kutaq
- Tompokng
- Umaq (Huma / Ladang).
[sunting] Tanaa Adeut (Tanah Ulayat - Tanah Adat)
Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang
adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat
istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang
paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang
Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang
Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq
dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi
dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng
perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak
(Benuaq)lah yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai
dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai
perladangan berpindah.
Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas :
- Urat Batekng
- Simpukng Munan (Lembo)
- Kebon Dukuh
- Ewei Tuweletn
- Lati Rempuuq
- Lati Lajah
Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:
- Bengkar Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
- Bengkaar Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
- Urat Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
- Balikng Batakng (7-10 tahun)
- Kelewako (2-3 tahun)
- Baber (1-2 tahun)
- Umaaq (huma/ladang) 0 – 1 tahun
[sunting] Prosesi Adat Kematian
Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa
memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara
yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).
Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di
dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan
Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat
yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka
hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll.
Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik
dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat
dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh
bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan
sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian :
- Parepm Api
- Kenyauw
- Kwangkai Kewotoq (Kwangkey)
[sunting] Bahasa Benuaq
Bahasa Benuaq termasuk dalam Bahasa Lawangan dengan kode bahasa lbx.[rujukan?]
Dayak Benuaq | Dayak Paser | Indonesia |
---|---|---|
aro/aruh | aroh | itu |
awat | awat | bantu/membantu |
eso | aso | lagi |
balo | balo | rambut |
bayuq | bayu | baru |
bawe | bawe | cewek/perempuan |
belay | belay | rumah |
bejagur | bejagur | berkelahi |
boliq | boli | beli |
boyas | bias | beras |
bolupm | bolum | hidup |
boruk | boruk | kera/beruk |
botikng | boting | kenyang |
oyat | boyat | berat |
butukng | buntung | perut |
bura | bura | putih |
danum | danum | air |
dawetn | daon | daun |
dotuq | dotu | siang |
lola | dola | lidah |
[sunting] Budaya Benuaq
Kain Ulap Doyo
Selain Keseniannya, Suku Dayak Benuaq, terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Ini merupakan satu-satunya kelompok Dayak yang memiliki seni kerajinan kain. Dewasa ini kerajinan Ulap Doyo hanya dijumpai di Kecamatan Jempang.
- Lagu:
- Seni Suara:
- Seni Berpantun:
- Seni Tari:
- Beliatn/Penyembuhan Penyakit:
- Tolak Bala / Hajatan / Selamatan:
- Perkawinan:
- Upacara Adat Kematian:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar