Sistem Kemasyarakatan
Wednesday, 15 June 2011,
Written by Administrator
Di daearah pegunungan, khususnya pada masyarakat dayak yang tidak
begitu terkenal pengaruh luar, orang-orang hidup bersama dirumah besar
yang disebut balai. Dalam satu balai terdapat belasan sampai puluhan
kepala rumah tangga yang anggotanya ada mencapai empat generasi. Untuk
setiap keluarga disediakan ujuk yaitu tempat untuk keperluan pribadi,
misalnya memasak dan sebagainya. Ujuk terletak diseputar sisi balai.
Balai bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal namun juga sebagai
tempat upacara ritual. Tempat upacara ini tereletak di tengah balai.
Dikelilingi oleh ujuk-ujuk.
Rumah tangga besar merupakan kelompok komunal yang menguasai sebagian besar kegiatan ekonomi seperti misalnya pertanian, warisan hak pemakaian. Tanah adalah dengan perantara rumah tangga. Kesatuan ini merupakan kesatuan pertanian dan pembagian makanan sebab meskipun setiap keluarga inti memelihara tanah ladang sendiri, tetapi biasanya ada satu ladang utama yang dikerjakan bersama oleh anggota rumah tangga yang hasilnya juga untuk keperluan bersama. Dengan demikian rumah tangga juga merupakan kesatuan dalam sistem gotong royong petukaran tenaga dalam suatu pertanian. Kegotong-royongan semacam ini juga berlaku dalam penyelenggaraan upacara-upacara penting, setiap keluarga menyumbang makanan, uang dan tenaga untuk kepentingan upacara
Dalam kelompok masyarakat yang hidup berladang di tengah“hutan”, kehidupan komunal merupakan salah satu syarat untuk bertahan hidup. Dengan cara itu mereka mempunyai cukup tenaga untuk secara bergilir bantu-membantu mengerjakan ladang dan menjaga tanaman mereka dari binatang serta burung-burung. Hal yang disebut terakhir ini sangat menentukan berhasil tidaknya panen yang gilirannya juga berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka.
Sistem kekerabatan berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Hubungan seseorang dengan orang luar tampaknya lebih ditentukan oleh pilihan dan kebutuhan orang itu sendiri. Kewargaan tidak statis, karena kewargaan itu terutama tergantung dari kesatuan tempat tinggal. Bila seorang pindah, semua hubungan rumah tangganya berubah pula. Perpindahan tempat tinggal ini dapat terjadi karena beberapa alasan diantaranya karena perkawinan. Setelah kawin, pengantin baru dapat berpindah tempat tinggal baik secara matri lokal, patri lokal maupun neolokal tergantung dari kesepakatan atau persetujuan antara rumah tangga kedua belah pihak calon pengantin.
Dalam perkembangannya, ada rumpun keluarga yang karena sesuatu hal dan atas pertimbangan kapasitas balai kemudian memecah dan membangun balai baru atau rumah baru. Balai atau rumah baru tersebut dapat berdekatan atau berjauhan letaknya.
Secara adat sebuah balai atau sebuah desa dipimpin oleh penghulu (kepala adat). Penghulu bertindak selaku ahli upacara dan hukum adat di desa. Di atas penghulu ada jabatan damang yang kedudukannya memvawahi beberapa penghulu. Selain penghulu dan damang ada orang yang berkedudukan sebagai balian yaitu tokoh yang ahli dalam melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan kaharingan.
Di daerah dataran, orang Banjar, khususnya yang mendiami daerah aliran sungai Negara dan Martapura mengenal ikatan keluarga besar (Extended Family) yang disebut bubuhan. Dahulu bubuhan sangat besar peranannya di dalam memberikan perlindungan ekonomi dan keamanan kepada anggota-anggotanya. Bubuhan sebagai kesatuan sosial sangat kuat ikatannya dan sifat kegotong royongan. Tiap desa mendiami tanah adat yang terdiri dari dua atau tiga bubuhan. Kepala Desa adalah kepala bubuhan. Pada masa kerajaan Banjar loyalitas bubuhan kepada kerajaan besar sekali. Berkaitan dengan asal-usulnya terdapat sejumlah bubuhan dengan status masing-masing seperti bubuhan raja-raja, bubuhan bangsawan, bubuhan ulama, bubuhan pedagang dan bubuhan rakyat.
Ikatan bubuhan pada akhir abad XIX dan awal abad XX menjadi longgar dan retak dan fungsi-fungsinya bergeser hal ini terjadi karena pemerintah kolonial Belanda telah merubah status kepemilikan tanah dan sistem pemerintahan desa. Perubahan ini mulai intensif dilakukan setelah keberadaan kerajaan Banjar dihapuskan oleh Belanda pada tahun 1860.
Saat ini meskipun beberapa unsur sistem kemasyarakatan tradisional masih bertahan namun dari segi pemerintahan semuanya mengikuti sistem pemerintahan propinsi yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.
Rumah tangga besar merupakan kelompok komunal yang menguasai sebagian besar kegiatan ekonomi seperti misalnya pertanian, warisan hak pemakaian. Tanah adalah dengan perantara rumah tangga. Kesatuan ini merupakan kesatuan pertanian dan pembagian makanan sebab meskipun setiap keluarga inti memelihara tanah ladang sendiri, tetapi biasanya ada satu ladang utama yang dikerjakan bersama oleh anggota rumah tangga yang hasilnya juga untuk keperluan bersama. Dengan demikian rumah tangga juga merupakan kesatuan dalam sistem gotong royong petukaran tenaga dalam suatu pertanian. Kegotong-royongan semacam ini juga berlaku dalam penyelenggaraan upacara-upacara penting, setiap keluarga menyumbang makanan, uang dan tenaga untuk kepentingan upacara
Dalam kelompok masyarakat yang hidup berladang di tengah“hutan”, kehidupan komunal merupakan salah satu syarat untuk bertahan hidup. Dengan cara itu mereka mempunyai cukup tenaga untuk secara bergilir bantu-membantu mengerjakan ladang dan menjaga tanaman mereka dari binatang serta burung-burung. Hal yang disebut terakhir ini sangat menentukan berhasil tidaknya panen yang gilirannya juga berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka.
Sistem kekerabatan berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Hubungan seseorang dengan orang luar tampaknya lebih ditentukan oleh pilihan dan kebutuhan orang itu sendiri. Kewargaan tidak statis, karena kewargaan itu terutama tergantung dari kesatuan tempat tinggal. Bila seorang pindah, semua hubungan rumah tangganya berubah pula. Perpindahan tempat tinggal ini dapat terjadi karena beberapa alasan diantaranya karena perkawinan. Setelah kawin, pengantin baru dapat berpindah tempat tinggal baik secara matri lokal, patri lokal maupun neolokal tergantung dari kesepakatan atau persetujuan antara rumah tangga kedua belah pihak calon pengantin.
Dalam perkembangannya, ada rumpun keluarga yang karena sesuatu hal dan atas pertimbangan kapasitas balai kemudian memecah dan membangun balai baru atau rumah baru. Balai atau rumah baru tersebut dapat berdekatan atau berjauhan letaknya.
Secara adat sebuah balai atau sebuah desa dipimpin oleh penghulu (kepala adat). Penghulu bertindak selaku ahli upacara dan hukum adat di desa. Di atas penghulu ada jabatan damang yang kedudukannya memvawahi beberapa penghulu. Selain penghulu dan damang ada orang yang berkedudukan sebagai balian yaitu tokoh yang ahli dalam melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan kaharingan.
Di daerah dataran, orang Banjar, khususnya yang mendiami daerah aliran sungai Negara dan Martapura mengenal ikatan keluarga besar (Extended Family) yang disebut bubuhan. Dahulu bubuhan sangat besar peranannya di dalam memberikan perlindungan ekonomi dan keamanan kepada anggota-anggotanya. Bubuhan sebagai kesatuan sosial sangat kuat ikatannya dan sifat kegotong royongan. Tiap desa mendiami tanah adat yang terdiri dari dua atau tiga bubuhan. Kepala Desa adalah kepala bubuhan. Pada masa kerajaan Banjar loyalitas bubuhan kepada kerajaan besar sekali. Berkaitan dengan asal-usulnya terdapat sejumlah bubuhan dengan status masing-masing seperti bubuhan raja-raja, bubuhan bangsawan, bubuhan ulama, bubuhan pedagang dan bubuhan rakyat.
Ikatan bubuhan pada akhir abad XIX dan awal abad XX menjadi longgar dan retak dan fungsi-fungsinya bergeser hal ini terjadi karena pemerintah kolonial Belanda telah merubah status kepemilikan tanah dan sistem pemerintahan desa. Perubahan ini mulai intensif dilakukan setelah keberadaan kerajaan Banjar dihapuskan oleh Belanda pada tahun 1860.
Saat ini meskipun beberapa unsur sistem kemasyarakatan tradisional masih bertahan namun dari segi pemerintahan semuanya mengikuti sistem pemerintahan propinsi yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar