Siri na Pesse’ dalam Kekerabatan Masyarakat Bugis Makassar
sumber postingan: www.daengrusle.net
Takunjunga’ bangung turu’, nakugunciri’ gulingku, kualleangnga tallanga natoalia.
(Layarku telah kukembangkan. Kemudiku telah kupasang. Kupilih tenggelam daripada melangkah surut)
- Syair Sinrilik Makassar
Tidak ada yang lebih berharga dari sebuah kehormatan. Sejak manusia
diturunkan ke bumi, maka berulangkali kita membaca bahwa penegakan
kehormatan terkadang menjadi asbab munculnya banyak kronik-kronik yang
berlintasan di lini masa sejarah manusia. Perang dan penguasaan adalah
salah satu kancah yang distimulus oleh penegakan kehormatan ini.
Glory, Gospel dan Gold yang menjadi semboyan penaklukan
bangsa eropa terhadap benua asia dan amerika juga dilandasi oleh
semangat menancapkan kehormatan sebagai manusia yang unggul. Demikian
juga bagaimana Hitler dan partai Nazi nya meluluh lantakkan Eropa dan
sebagian Asia dan Afrika hanya demi didorong oleh prasangka keunggulan
ras yang notabene juga adalah sebuah representasi penegakan kehormatan
primordial. Hal yang sama juga dikenal dalam kultur Jepang: semangat bushido.
Demikian juga dalam budaya Bugis Makassar (juga Mandar, Toraja dan
Luwu dan semua derivasi sub-kultur yang terdapat di dalamnya),
kehormatan yang kemudian tertuang dalam system social bernama Siri na Pesse
juga mengemuka sebagai dasar pijakan perihidup manusia Bugis Makassar.
Kehormatan diri menjadi filosofi dasar bagaimana manusia Bugis Makassar
menjalani hidupnya.
Tanpa kehormatan, tanpa siri na pesse ini, mereka menganggap
tak layak hidup sebagai manusia. Hidup tanpa kehormatan bak hidup
laiknya binatang, bahkan mereka berprinsip bahwa lebih baik mati
berkalang tanah, daripada hidup dengan kehormatan tercabik-cabik. Siri’mi Narituo, narekko degage siri’na sirupaini olok-koloe (karena malu kita hidup, kalau tak ada malu maka tak ada beda dengan binatang).
Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:
Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Yang kedua adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup
yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu
prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi
Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis
“Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).
Sistem kekerabatan dalam budaya Bugis Makassar boleh dianggap sebagai
muasal munculnya tradisi siri na pesse ini. Terbiasa dididik dalam
system komunal, baik dari sisi lingkungan tempat tinggal maupun semangat
persaudaraan, membuat kekerabatan menjadi bagian vital dalam system
social mereka. Apapun yang terjadi dalam lingkungan kekerabatan, wajib
kiranya dilindungi oleh semua anggota kerabat, terlebih kalau hal
tersebut menyangkut kehormatan, siri na pesse. Disintegrasi
antara anggota keluarga sedapat mungkin dihindari, kalaupun terjadi
harus secepatnya diselesaikan. Meski demikian perseteruan antar kerabat
keluarga yang dilatari oleh persoalan siri na pesse sangat sulit bisa
dihindari dan jamak terlihat terutama karena makin kompleksnya persoalan
hidup yang dihadapi kini.
Dalam masyarakat Bugis Makassar, kekerabatan juga sinonim dengan
kehormatan. Membaur menjadi anggota dari suatu rumpun kekerabatan yang
terhormat adalah suatu kebanggaan, makanya sering terjadi pernikahan
antar keluarga yang ongkos sosialnya sangat tinggi dalam bentuk uang
panaik. Selain biaya teknis pesta pernikahan yang perlu ditanggung oleh
keluarga calon mempelai lelaki, juga uang panaik merupakan representasi
dari biaya asimilasi menjadi anggota keluarga dari rumpun kerabatan
calon mempelai perempuan. Ini bisa diartikan bahwa pembauran ke rumpun
kerabat yang terhormat dapat menaikkan derajat kehormatan keluarga
lelaki.
Terkadang persoalan siri na pesse ini menjadi pemicu terjadinya
benturan antara rumpun kekerabatan, terutama kalau yang merasa dirinya
berasal dari kerabat yang lebih terhormat diperlakukan kurang sopan oleh
orang lain yang dianggap kurang terhormat. Semisal dari cara berbicara,
cara menempatkan diri dan sebagainya. Meskipun hal ini sangat
primordial dan cenderung subyektif, namun masih sering terjadi di
lingkungan modern. Jangan berharap seorang Bugis Makassar dari kalangan
biasa bisa bercakap bebas dengan bahasa awam dengan seorang karaeng atau
andi dalam suatu pertemuan formal.
Karenanya, persoalan menaikkan derajat kehormatan suatu keluarga
menjadi hal yang penting sekali. Salah satu cara yang paling sering
ditempuh adalah melalui jalur pernikahan. Kalau ada keluarga dari
kalangan yang lebih terhormat yang bersedia dengan senang hati
menikahkan anggota keluarganya dengan keluarga lain tentu bisa menaikkan
derajat siri keluarga tersebut. Namun terkadang, penolakan internal
sering terjadi dikarenakan persoalan derajat kehormatan keluarga yang
lebih tinggi ini.
Cara yang lain menaikkan derajat kekerabatan yang juga sudah banyak
dilakoni adalah melalui pendidikan dan usaha. Makin tinggi pendidikan
seseorang, maka dianggap bisa menaikkan derajat kehormatan keluarga nya.
Juga berlaku untuk ukuran kekayaan dan kedermawanan, karena di beberapa
hal, masyarakat Bugis Makassar masih cenderung senang dengan penampakan
kekayaan, meskipun tak jarang dicibir sebagai representasi kesombongan.
Namun ini semua demi menaikkan siri na pesse dari rumpun kekerabatan
tersebut.
Diatas semua hal diatas, ada siri na pesse merupakan hal sakral yang
tetap menjadi filosofi hidup manusia Bugis Makassar. Bukan persoalan
kehormatan yang buta atas semua system nilai, tapi siri na pesse yang
dilandadi oleh kebenaran dan kejujuran. Kita mengenal dalam kultur Bugis
mengenai adanya prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus,
pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya
Siri’ na Pesse. Kalau empat demikian sudah dipenuhi oleh seseorang maka
bisa dikatakan bahwa ia adalah manusia atau keluarga yang terhormat.
sebagian dari bahan tulisan ini diambil dari tulisan Adamry Muis di link ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar