Jubi---Pembayaran emas kawin seringkali diplesetkan dengan membayar dan
memberli perempuan seharga motor tempel atau dalam sebuah lagi
dinyanyikan motor johnson diganti dengan satu buah buldozer. Lepas dari
pro dan kontra sebenarnya emas kawin mengandung nilai-nilai adat yang
tidak bisa dikesampingkan dalam membangun sebuah masyarakat menuju
peradaban yang lebih baik.
Meski jaman sudah berubah dan jaman terus
berkembang tetapi mempertahankan nilai-nilai budaya bagi generasi muda
di Tanah Papua menjadi sebuah keharusan yang selalu ditanamkan sejak
dini.
“ Bagi saya emas kawin bukan soal besar dan jumlah nilai
tapi bagaimana mempertahankan tradisi dan nilai-nilai adat yang selama
ini dianut,”papar Mama Merry Manggara Hindom, mengawali pembicaraan
soal pembayaran emas kawin antar dua keret Boekorsjom dari Kampung
Samber, Kabupaten Biak Numfor dan keret Rumakewi dari Kampung Krudu
Kabupaten Yapen.
Namun demikian Max Boekorsjom wali dari
Keluarga Perempuan yang menerima pembayaran emas kawin dari keret
Rumakewi di Kota Jayapura belum lama ini mengatakan ajang ini jelas
akan menjadi ruang pertemuan antar sesama saudara dalam menopang dan
mendukung kelancaran ritual adat ini.” Kita jarang bertemu dan saat ini
bisa menjadi ajang untuk saling belajar tentang bagaimana meneruskan
tradisi emas kawin ini,” papar Boekorsjom.
Hal yang unik dalam
prosesi pembayaran emas kawin antar keret Boekorsjom dan keret Rumakewi
telah menyepakati dalam mengantar emas kawin tidak diperkenankan
membawa bendera nasional Merah Putih yang selama ini seringkali
dipraktekan dalam prosesi pembayaran emas kawin.
Memang kebiasaan
mengantarkan prosesi emas kawin dengan membawa bendera Merah Putih
atau juga simbol bendera yang lain tidak diketahui sejak kapan berlaku.
Namun yang jelas dalam budaya Papua tradisi membawa bendera memang
belum ada dan baru berkembang sejak masuknya Papua ke dalam bingkai
Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI).
Akhirnya kedua belah
pihak memutuskan bahwa yang akan menjadi simbol prosesi terdepan adalah
lambang Burung Kuning sebagai simbol kekayaan alam di Tanah Papua.
Burung Cenderawasih yang dipasang di tiang utama harus diserahkan
kepada pihak perempuan sebagai tanda pintu rumah keluarga menerima.
Tentunya saudara perempuan dari pengantin yang akan menerima simbol
Burung Kuning dan menyerahkan kepada pihak laki-laki piring (Ben Bepon)
dan uang sebagai tanda awal prosesi pembayaran emas kawin.
Bentuk
emas kawin yang akan dibayar pertama untuk mama dari anak perempuan
yang selama ini melahirkan dan membesarkannya. Atau bisa dikenal dengan
istilah” uang susu.” Selanjutnya emas kawin bagi keluarga besar atau
keret yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga penerima emas
kawin.
Begitulah prosesi yang dijalani oleh dua belas pihak baik
keret Boekorsjom dari pihak perempuan mau pun keret Rumakewi dari pihak
laki-laki. Namun yang jelas apa yang sebenarnya menjadi simbol dan
arti emas kawin bagi orang Papua khususnya dalam Kebudayaan Biak Numfor
terutama Kampung Samber di Kabupaten Biak Numfor.
Harta-harta
emas kawin sejak dulu meliputi piring kuno China(ben bepon),gelang
perak, gelang kulit siput atau kerang(samfar). Emas kawin atau bride
price adalah benda-benda berharga yang diberikan kepada orang tua
mempelai perempuan oleh mempelai pria atau kerabatnya. Atau pengertian
lain menyebutkan bride price artinya benda-benda berharga yang
diberikan oleh pihak mempelai pria kepada orang tua mempelai perempuan
beserta kerabat-kerabatnya. Tujuan dari pelaksanaan pembayaran emas
kawin ini adalah untuk mengikat masing-masing keluarga untuk saling
menghargai dan menolong dalam segala hal.
Faktor-faktor yang
memberikan perbedaan dalam emas kawin adalah besaran dan jumlah
nilainya yang ditentukan masing-masing pihak. Adapun besarnya jumlah
emas kawin biasanya ditentukan oleh status perempuan, latar belakang
keluarga, keperawanan, maupun kecantikan dan saat sekarang ini faktor
pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah emas kawin.
Sejak
jaman Belanda di Biak Numfor, pemerintah telah menetapkan besaran
nilai emas kawin sesuai dengan kesanggupan dan nilai kewajaran.
Misalnya saja mempelai perempuan berasal dari keluarga pendiri kampung
atau manseren mnu dan masih berstatus perawan, maka jumlah yang wajib
diberikan kepada kaum pengantin pria dan kerabatnya sebesar 100 barang
papus dan sejumlah uang tunai.
Sebaliknya jika jika tidak perawan
lagi atau janda dan bukan keluarga terpandang dikenakan nilai sebesar
50 barang papus dan sejumlah uang tunai.
Perbincangan soal emas
kawin sebenarnya sudah menjadi perdebatan para pakar antropolog, Levi
Struss yang dikutip dalam buku Prof Dr Jan Van Baal yang menyatakan
praktek emas kawin menyebabkan seorang perempuan merupakan obyek atau
benda yang ditranfer atau ditransaksi antara para lelaki. Penyamaan
seorang perempuan dengan benda yang dijadikan obyek transaksi antar
kaum pria oleh pakar antorpolog Levi Strauss ini secara tidaklangsung
menempatkan kaum perempuan pada kedudukan yang lebih rendah dari kaum
pria.
Namun demikian bagi Jan Van Baal, pakar antropolog yang
juga mantan Gubernur Nederlands Nieuw Guinea (Provinsi Papua dan Papua
Barat) sebenarnya perlakuan terhadap kaum perempuan sebagai benda
transaksi kaum pria bukan semata-mata karena kehendak kaum pria sendiri
tetapi lebih dari itu kesediaan dari kaum perempuan untuk menjadikan
dirinya obyek transaksi. Jadi bagi Jaan Van Baal prinsip-prinsip
tersebut mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan suatu
masyarakat.
Melalui kerelaan seorang perempuan untuk diperlakukan
sebagai benda yang dipertukarkan merupakan tindakan yang bisa
memungkinkan saudara laki-lakinya memperoleh sejumlah harta yang
dibutuhkan untuk membayar emas kawinnya sendiri. Hal ini semakin
memperat hubungan kekerabatan dengan saudara-saudara laki-laki dan
orang tua perempuan bisa mendapat bantuan dari suami (pihak keluarga
suami) selama perkawinan itu berlangsung.
Jadi emas kawin bisa
menurut antropolog Nelte Hubertina Mansoben-Mampioper dalam Skripsinya
berjudul Kedudukan dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Biak Numfor,
Studi Kasus Kampung Samber Distrik Yendidori Kabupaten Biak Numfor
menyebutkan antara lain,
1. Emas Kawin merupakan alat pengabsahan terhadap suatu perkawinan.
1. Emas Kawin merupakan alat pengabsahan terhadap suatu perkawinan.
2.
Merupakan media yang disatu pihak menuntut sang isteri untuk tetap
setia melayani suami dan memelihara anak-anaknya yang lahir dari
perkawinan tersebut. Dilain pihak menuntut suami untuk memperlakukan
isterinya dengan baik agar emas kawin yang telah dibayar oleh pihaknya
tidak hilang jika terjadi penyelewengan yang mengakibatkan perceraian.
3.
Emas Kawin merupakan alat pengikat antara dua kelompok kekerabatan,
yaitu antara kelompok kekerabatan pihak perempuan dengan kelompok
kekerabatan pihak pria. Biasanya ikatan kekerabatan tersebut diperkuat
melalui upacara-upacara yang melibatkan kedua kelompok. Misalnya upacara
turun tanah (Sababu), upacara pengguntingan rambut (kapaknik); dan
upacara inisiasi, workbor yang dilakukan bagi anak-anak terutama
laki-laki sulung dari suatu perkawinan. Sedangkan bagi anak-anak
perempuan dilakukan juga kapaknik dan upacara inisiasi, insos.
4. Emas kawin, menimbulkan hubungan timbal balik atau resiprokal antara kelompok-kelompok kekerabatan yang berbeda. Biasanya saat mengumpulkan benda emas kawin, semua penduduk warga kampung terlibat. Tidak terbatas pada kelompok klen atau marga tertentu saja. Tradisi Biak Numfor menuntut semua warga di kampung merasa berkewajiban untuk saling membantu sesama warga guna mendukung prosesi ini. Hal ini jelas akan menimbulkan rasa kebersamaan sesama warga kampung termasuk keret atau klen di kampung.
5. Pembagian emas kawin di kampung terutama keret perempuan juga menimbulkan rasa solidaritas antar klen untuk saling membantu dalam pembayaran emas kawin berilutnya bagi warga di kampung.
Terlepas dari definisi atau pun perdebatan para pakar
antropolog soal pembayaran emas kawin di mana peran perempuan dianggap
sebagai obyek. Namun yang jelas kehadiran setiap klen dan kaum kerabat
dalam peristiwa pembayaran emas kawin bisa menumbuhkan rasa solidaritas
dan meningkatkan perasaan solidaritas antar keret di dalam masyarakat
khususnya di Tanah Papua. (DAM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar