Unsur Islam dalam Seni dan Budaya Aceh
Kesenian Aceh pada dasarnya mempunyai ciri yang amat nyata, ya
itu Islam didalamnya. Hal ini disebabkan karena pengaruh Islam yang
sangat besar dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama dalam kehidupan
masyarakat Aceh masa lampau.
Dalam masyarakat Aceh masa kini ajaran Islam itu tetap dipandang
sebagai nilai yang esensial dan masih sangat besar pengaruhnya sekalipun
disamping itu pengaruh dari budaya modern mulai besar pula. Dengan kata
lain telah terjadi pergeseran. Malah dalam beberapa nilai konflik
nilai-nilai dalam masyarakat Aceh sekalipun nilai-nilai Islam masih
tetap dominan.
Mari kita lihat sekilas sejarah mengenai beberapa budaya dan seni
Aceh diantara sekian banyak budaya dan seni kebanggaan masyarakat Aceh.
Seudati.
Seudati merupakan perpaduan antara seni tari, seni suara, seni
sastra, karena selain dari menari, para pelaku juga sekaligus meyakinkan
kisah-kisah yang tersusun secara bersajak dan dilagukan dengan berbagai
lagu, pada permulaan sejarahnya, seudati itu berfungsi sebagai tari
pahlawan yang dilaksanakan untuk melepaskan pasukan tentara yang akan
berangkat ke medan juang dalam peperangan melawan musuh,- menyambut
pasukan tentara yang pulang dari medan perang, lebih kalau pasukan itu
pulang dengan membawa kemenangan, media dakwah, karena dalam kisah yang
diucapkan bersajak itu, dapat diselipkan berbagai ajaran yang perlu
didakwahkan.
Akan tetapi kemudian oleh karena kesenian tersebut sangat digemari
oleh rakyat, maka diadakan juga pada waktu-waktu yang lain, bahkan
dikampung-kampung. Akhirnya fungsi berubah menjadi hiburan rakyat dan
dipertandingkan dengan pemungutan bayaran. Mula-mula tidak semalam
suntuk, akan tetapi waktu pertandingan terjadi berbalas kisah, karena
masing-masing tidak mau kalah, maka akhirnya sampai pagi hari,
mataharilah yang memisahkan kedua belah pihak, akibatnya semua orang
yang menikmati hiburan tersebut terpaksa tidur semalam suntuk, tidak
sempat mencari rizki untuk belanja rumah tangga, disamping itu juga lama
kelamaan timbul efek samping lainnya, yaitu terjadi perzinaan dan
pencurian dikampung-kampung yang bersangkutan dan yang berdekatan, oleh
karena itulah ulama Aceh membencinya, malah mengharamkannya, judi
haramnya itu, bukan haram zaty, artinya bukan haram seudati
atau keseniannya, melainkan haram karena akibat sampingan yang merusak
masyarakat, kalau hal ini dapat dihindarkan tidak masalah.
Para pelaku seudati terdiri dari delapan orang penari ditambah satu
atau anak seudati yang bagus suaranya, oleh karena para seudati terdiri
dari delapan orang maka dinamakan saman berasal dari bahasa Arab yang
berarti delapan, dan oleh karena dalam permainan itu diceritakan
bermacam-macam terutama sewaktu pertandingan, maka dinamakan ratooh.
Pakaian para penari terdiri dari baju kaos lengan panjang celana
panjang berwarna hitam atau putih yang agak genting pada bagian lutut
dan kain sarung sutera berlipat dua dililit dipinggang, kemudian disisi
plah sebilah rencong, lambang pahlawan Aceh dihulunya diikat denga kain
kuning atau hijau, dikepalanya di ikat daster sutera yang dalam bahasa
Aceh disebut “tangkulok sutera”
Oleh karena seudati sangat digemari oleh segenap masyarakat Aceh,
maka dalam konferensi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang
berlangsung di kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tahun 1964
dibicarakan juga hukumnya, untuk keperluan itu maka dibentuklah sebuah
tim penelaah yang terdiri dari tokoh-tokoh yang bertugas dijawatan agama
keresidenan Aceh, akan tetapi karena situasi belum mengizinkan karena
masih berlangsungnya perlawanan fisik melawan Belanda yang ingin kembali
menjajah Indonesia lagi, tambah pula ada antara anggota tim itu
meninggal dunia, maka tim tersebut tidak dapat menyelesaikan tugasnya.
Namun dalam rapat-rapat telah terdapat titik terang, asal saja dalam
pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang negatif.
Laweut
Perkataan laweut berasal dari perkataan “seulaweut” (seulaweut dalam
bahasa Indonesia) ini juga merupakan antara seni tari, seni suara dan
seni sastra. Tari ini lebih mirip dengan tari seudati, hanya pelakunya
terdiri dari gadis-gadis, oleh karena itu juga dinamakan dengan nama
“seudati inong” (Seudati Perempuan) tarin seudati ini berasal dari Aceh
Pidie.
Unsur Islam dalam seni rupa.
Seni rupa juga berkembang di Aceh, akan tetapi perkembangannya
sekarang tidak menonjol sebagaimana keadaan pada masa lampau, seni rupa
yang berkembang di Aceh adalah seni arsitektur, seni ukir, dan seni
dalam membuat sulaman, anyaman, keramik, kopiah meukutop dan rencong,
seni pahat dan seni lukis tidak berkembang pada masa lampau, dari
keduanya hanya seni lukis yang mulai berkembang sekarang, sebab tidak
berkembangnya seni pahat dan seni lukis pada masa lampau di Aceh juga
karena ajaran Islam.
Setelah datangnya agama Islam maka pengaruh hindu yang ada di Aceh
dihilangkan, maka dilarang membuat patung atau gambar mahluk yang
bernyawa, baik manusia maupun hewan, larangan tersebut berdasarkan
hadist ya itu: “ siapa yang melukis atau menggambar sebuah gambar, maka
dia akan disiksa tuhan sampai dia bisa memberinya bernyawa, tapi
selamanya tidak mungkin memberikan lukisan atau patung itu bernyawa”
(Saleh Kasim, 1986).
Seni arsitektur
Tercermin dari rumoh Aceh yang sekarang masih ada sisa-sisanya,
bentuk dari rumah tradisional Aceh ini memanjang dari arah timur ke
barat yang maksudnya dibuat demikian adalah untuk memudahkan menentukan
arah kiblat. Dibagian sebelah barat maupun sebelah timur sejajar dengan
kuda-kuda dan letaknya agak keluar, terdapat tolak angin (tulak angen) yang sepenuhnya berisi ukiran-ukiran yang merupakan kaligrafi yang berasal dari ayat-ayat al-Quran.
Demikian pula pada pintu rumah yang disebut juga Pinto Aceh
serta pada kisi-kisi dan bingkai jendela terdapat juga ukiran-ukiran
yang bermotif alam (misalnya bunga) dan kaligrafi huruf Arab. Selain
daripada itu, dalam mendirikan rumah Aceh tradisional didirikan upacara
yang bersifat religius, seperti halnya mengadakan peusijuek, yang
hal itu sebenarnya merupakan sisa-sisa kebudayaan sebelum Islam datang,
yaitu animisme dan dinamisme yang berbau magis, namun dalam upacara itu
telah dimasukkan ajaran Islam, misalnya membacakan doa secara Islam
bila acara mendirikan rumah itu selesai, disamping hal-hal tersebut
diatas masih dapat juga ditelusuri unsur-unsur Islam yang terdapat dalam
arsitektur Rumoh Aceh ( Rumah Aceh), misalnya dari struktur
ruangan-ruangan yang terdapat dalam rumah itu yang ada kaitan dengan
peranan-peranan daripada penghuninya. Jadi unsur Islam dalam seni
arsitektur Aceh sangat jelas.
Anyaman
Anyaman berkembang di Aceh sampai dengan sekarang, akan tetapi yang
masih maju di daerah-daerah pedalaman, akan tetapi didaerah perkotan
anyaman tersebut sudah minim, anyaman tersebut dibuat dari daun lontar
dan pandan dalam bahasa Aceh dinamakan sikee, anyaman yang
biasa dibuat adalah tikar, diantaranya adalah tikar sembahyang dan tikar
orang mati, tikar sembahyang khusus dibuat untuk maksud itu (tikar
sajadah) dan disamping itu bentuk juga memperlihatkan unsur Islam.
Bagian depan menyerupai kubah mesjid, dan bagian pinggirnya
menyerupai gigi buaya sebanyak lima buah yang melambangkan bahwa seorang
yang sedang bersembahyang tidak boleh melakukan kegiatan lain (
misalnya berbicara) akan tetapi harus kusyuk seakan-akan orang itu
(hatinya) berbicara dengan tuhan.
Rencong
Timbul Rencong di Aceh juga karena pengaruh Islam. Banyak
simbol-simbol pada rencong yang memperlihatkan unsur Islam didalamnya.
Didalam buku RENCONG karangan T. Syamsyuddin dan M. Nur Abas ( 1981:5)
dijelaskan arti dari simbol pada rencong sebagai berikut:
- Gagang Rencong yang melekuk kemudian melebar pada bagian sikunya berupakan aksara arab BA
- Bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN
- Bentuk-bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi pada gagangnya merupakan aksara MIM
- Lajur-lajur besi pada pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara LAM
- Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas dan bagian bawah sedikit melekuk ke atas merupakan aksara HA.
Rangkaian dari dari aksara BA, MIM, LAM, dan HA itu mewujudkan kata,
dengan demikian jelas bahwa rencong merupakan perwujudan dari ayat
al-quran yang dalam bentuk alat yang tajam dijadikan sebagai alat perang
guna mempertahankan agama Islam dari rong-rongan orang yang anti Islam.
Unsur Islam juga dapat ditelusuri dari cara membuatnya . untuk
membuat sebuah rencong adakalanya dilakukan dengan cara ilmu ghaib yaitu
dengan mengurutkan besi atau logam bahan rencong dengan jari tangan
dengan membaca mantra-mantra dari ayat al-quran sehingga ia benar-benar
ampuh sebagai senjata.
Inilah sekilas tentang seni dan budaya Aceh yang penuh dengan
nilai-nilai religius dan heroik, selama ini banyak daripada generasi
Aceh yang tidak mengenal akan budaya nenek moyang mereka, mereka lebih
mengenal akan budaya-budaya asing (budaya barat) yang sama sekali tidak
cocok dengan kultur kita masyarakat Aceh ini merupaka sebuah dilema
bagi kelestarian budaya yang sangat kita cintai ini, padahal seharusnya
kita harus bangga dengan budaya kita itu yang berbeda dengan
budaya-budaya lain yang ada di dunia ini.
Semua pihak harus bangkit dan bersatu menyelamatkan budaya kita,
semua kita harus mempunyai rasa memiliki dan rasa mencintai terhadapa
budaya yang kita miliki, setiap bangsa yang lupa akan budayanya maka
bangsa tersebut akan kehilangan jati diri. Mari kita bangkitkan kembali
rasa cinta terhadap budaya kita kepada segenap generasi kita sejak dini
sebelum semuanya terlambat.
Oleh Eka Januar Ketua Komunitas Budaya Negeri Kota Lhokseumawe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar