Sinden Gambang Keromong Klasik Terakhir
Senin, 6 Februari 2012 | 03:05 WIB
Oleh Iwan Santosa/Irwan Julianto
Kesenian
gambang keromong adalah jembatan budaya Betawi, Sunda, dan peranakan
Tionghoa yang berkembang sejak medio abad ke-19. Encim Masnah alias Pang
Tjin Nio adalah satu-satunya sinden lagu-lagu klasik gambang keromong
yang tersisa.
Masnah, peranakan Tionghoa
kelahiran Banten Lama, dekat kelenteng Avalokiteswara, dari pasangan
Tionghoa dan Jawa itu, mulai berkiprah sebagai penyanyi gambang
keromong dan penari cokek pada usia 14 tahun.
”Awalnya, gara-gara
ditinggal mati suami dan anak. Ditinggal orangtua pasti sedih.
Kehilangan suami dan anak bisa hilang akal. Kalau ada yang ngajak nyanyi
atau menari, ya (saya) ngikut,” ujar Masnah saat masih segar dalam film
dokumenter Anak Naga Beranak Naga tahun 2006.
Dalam film itu, ia
menceritakan keterlibatannya menjadi penyanyi dan penari gambang
keromong. Dia juga membintangi film dokumenter lainnya, Dua Perempuan.
Ketika ditemui pekan lalu, Masnah tersengal-sengal saat
berbicara dan telinganya tak lagi tajam mendengar. Dia berkali-kali
menghela napas dan setengah berteriak saat berusaha berbicara. Berjalan
jauh pun ia susah karena kedua kakinya sudah lemah.
Primadona
Pada
masa silam, sebagai primadona gambang keromong, Masnah bebas mengikuti
kelompok mana pun yang mau menanggapnya. Berbeda dengan situasi kini
yang mengharuskan sinden punya kelompok gambang keromong sendiri.
Kini,
seorang sinden bisa bermain dengan kelompok lain, tetapi syaratnya
sedang tidak ada permintaan pentas yang ditangani grup gambang keromong
yang menaunginya. Dulu, pada masa jaya, Masnah menjadi bintang panggung
di pekalangan (acara hajatan), pernikahan, ulang tahun, dan pelbagai
acara masyarakat lainnya.
Bisa menyanyi bersama grup gambang
keromong yang laris ditanggap memang menyenangkan. Sauw Ong Kian,
pemimpin grup Sinar Gemilang, tempat Masnah terakhir kali bergabung,
menceritakan, uang sawer dari pertunjukan dikumpulkan dan bisa memenuhi
kotak gambang.
”Setelah penuh, barulah uang sawer dan penghasilan
dibagi untuk para anggota kelompok gambang keromong,” ujar Ong Kian
yang sejak zaman orangtuanya pun sudah kerap manggung bersama Masnah,
sang primadona.
Kehidupan Masnah menjadi sedikit susah saat
Perang Dunia II dan militer Jepang menyerbu Pulau Jawa pada 1 Maret
1942. Dia bersama beberapa sanak keluarga mengungsi ke Batavia
menumpang perahu dari Banten, dan tiba di Pelabuhan Pasar Ikan.
”Saya
bersama beberapa teman dan kerabat bergabung dengan grup gambang
keromong di Gang Songsi, Jembatan Lima, Jakarta. Saya sempat lama
bergabung dengan gambang keromong Cabe Rawit-Irama Persatuan di daerah
Pecah Kulit (kini Jalan Pangeran Jayakarta),” ujar nenek yang suaranya
lantang jika diminta membawakan lagu-lagu klasik gambang keromong ini.
Penyanyi
kesohor itu melanjutkan, pada masa silam, seorang gadis yang tak bisa
menyanyi tak bisa menjadi anak cokek (penari). Kini, asal bisa menari
dan cantik, seseorang bisa menjadi cokek.
Meski buta huruf dan tak pernah bersekolah, Masnah mengaku
mengenal hitung-hitungan, termasuk soal honornya menyanyi. Dia tidak
mematok berapa harga yang harus dikeluarkan untuk mengundangnya hadir
dalam satu hajatan.
Saat diwawancara Warisan Indonesia
disebutkan, untuk menyanyi tiga lagu, dia dibayar Rp 500.000. Bila
berikut uang sawer, dia bisa membawa pulang Rp 1 juta.
Walau
sakit-sakitan, bulan lalu ia masih diajak menyanyi dua kali di kelenteng
dekat rumahnya, di bilangan Sewan (Rawa Kucing), Tangerang. Ia kini
tinggal di rumah anak angkatnya, Endang Winata alias Ojit, yang
berdinding bata semen tanpa diplester.
Setahun yang lalu, Masnah
menjual rumah warisan dari suami terakhirnya dan kini ditempati Goyong
(60), anak kandung sang suami dari istri pertama. Goyong mewarisi
bakat dari ayah kandungnya yang fasih memainkan alat-alat musik,
membuat peralatan gambang, dan dua jenis rebab khusus untuk gambang
keromong.
Kesetiaan Masnah pada jalur gambang keromong
mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga. Smithsonian Institute dari
Amerika Serikat secara khusus merekam gambang keromong dengan Masnah menyanyikan lagu klasik. Ketika itu Masnah masih menyanyi diiringi suaminya yang terakhir, Oen Oen Hok.
Foto
Masnah muda bersama almarhum suaminya itu terpajang di samping foto
besar suaminya, di atas meja sembahyang. Ada juga sampul CD Music from
the Outskirt of Jakarta-Gambang Kromong yang diproduksi Smithsonian
Folkways tahun 1991.
Ia juga memasang foto suaminya dengan dua
rekannya pemain rebab serta foto Masnah sekitar 20 tahun lalu. Masnah
pun masih mengingat lagu-lagu gambang keromong, seperti Cente Manis
Berdiri, Stambul Rusak, Sereh Wangi, Langkuan, dan Jali Jali.
Manggung di Singapura
Pemerhati budaya peranakan
Tionghoa di Tangerang, David Kwa, berharap ada yang secara khusus
mendokumentasikan dalam bentuk digital rekaman-rekaman lagu Masnah.
”Penyanyi
sekarang tak ada yang punya kemampuan seperti Encim Masnah. Mereka
hanya mengenal lagu-lagu sayur. Lagu dalem atau disebut juga lagu klasik
hanya Encim Masnah yang mengerti,” kata David Kwa yang pernah tampil
bersama Encim Masnah pada acara televisi Kick Andy beberapa tahun silam.
Masnah mengatakan, kalau kondisinya sehat, ia selalu siap
berangkat untuk menyanyi gambang keromong meski penghasilan dari
menyanyi itu tak seberapa dan habis untuk kebutuhan sehari-hari,
terutama biaya berobat.
Walaupun gambang keromong, musik
pemersatu Betawi, Tionghoa, dan Sunda itu, semakin tersisih, Masnah
tetap setia pada dunia yang membesarkannya. Dia bangga pernah manggung
di ”Gedung Durian”, Esplanade, Singapura, 18-21 September 2006,
diiringi grup gambang keromong Sinar Gemilang pimpinan Sauw Ong Kian.
Masnah
tampil anggun di Esplanade. Ia berkebaya dan mengenakan sarung batik
yang disediakan warga Singapura. Itulah puncak pengakuan karier Masnah
yang justru dia peroleh di Singapura.
Memang setahun kemudian,
tepatnya 28 Desember 2007, ia mendapat penghargaan dari Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik atas kesetiaannya melestarikan
lagu-lagu klasik gambang keromong. Ia mendapat uang penghargaan Rp 7,5
juta, yang segera habis digunakan untuk berobat.
Saat Bentara Budaya Jakarta menggelar Pameran Budaya Peranakan Tionghoa, Senin (6/2), Masnah dengan antusias menyatakan siap menyanyi ketika mengetahui gambang keromong pimpinan Sauw Ong Kian akan tampil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar