Sejarah dan Budaya Aceh
Budaya Aceh amat dipengaruhi oleh Agama
Islam. Ajaran Islam telah menjadi sendi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bagi orang Aceh. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh adalah
keluarga luas, garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yang
memperhitungkan garis keturunan dari ayah dan ibu. Perkawinan sering
dilakukan antara sesama kerabat, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu,
sehingga di perkampungan Aceh tidak jarang ditemui hubungan kekerabatan
yang begitu besar dan luas.
Masih besarnya penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan disebabkan oleh beberapa aspek, yaitu: kemiskinan struktural, konflik yang berkepanjangan, krisis ekonomi, musibah bencana gempa bumi dan tsunami, serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.
Pada tahun 2006, berdasarkan hasil SPAN, jumlah penduduk Aceh adalah 4.031.589 jiwa. Jumlah penduduk miskin adalah 1.927.099 juta jiwa atau 49,85 persen dari jumlah penduduk.
Masih besarnya penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan disebabkan oleh beberapa aspek, yaitu: kemiskinan struktural, konflik yang berkepanjangan, krisis ekonomi, musibah bencana gempa bumi dan tsunami, serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.
Pada tahun 2006, berdasarkan hasil SPAN, jumlah penduduk Aceh adalah 4.031.589 jiwa. Jumlah penduduk miskin adalah 1.927.099 juta jiwa atau 49,85 persen dari jumlah penduduk.
Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan tidak saja semata-mata dilihat
dari kemampuannya untuk meningkatkan pendapatan, tetapi juga upaya-upaya
lain untuk memenuhi kebutuhan dasar. Upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan dilakukan dengan melihat aspek yang sifatnya multi dimensi.
Dengan demikian, diharap angka penduduk miskin akan terus berkurang
secara bertahap 5 - 7 persen per tahun, sehingga diperkirakan angka
penduduk miskin di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tinggal berkisar 13
% pada tahun 2012.
Upaya penanggulangan kemiskinan difokuskan pada: Pertama, perluasan
akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, infrastruktur
dasar, dan kesempatan memperoleh pekerjaan dan berusaha. Kedua, upaya
penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang bersifat pemberdayaan
(antara lain pelatihan keterampilan, penyediaan modal). Upaya
pemberdayaan masyarakat miskin menjadi penting karena akan menempatkan
mereka bukan hanya sebagai obyek melainkan juga subyek berbagai upaya
penanggulangan kemiskinan. Untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat
miskin, diperlukan berbagai upaya pemberdayaan agar masyarakat miskin
lebih berkesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selain itu diperlukan upaya pemberdayaan agar masyarakat miskin dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi sehingga mengubah pandangan terhadap masyarakat miskin dari beban (liabilities) menjadi potensi (assets). Berbagai proses pemenuhan kebutuhan dasar dan pemberdayaan tersebut di atas perlu didukung oleh perbaikan sistem bantuan dan jaminan sosial serta kebijakan ekonomi yang memihak pada kaum dhuafa (pro-poor) termasuk tata kelola pemerintahan yang baik.
Selain itu diperlukan upaya pemberdayaan agar masyarakat miskin dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi sehingga mengubah pandangan terhadap masyarakat miskin dari beban (liabilities) menjadi potensi (assets). Berbagai proses pemenuhan kebutuhan dasar dan pemberdayaan tersebut di atas perlu didukung oleh perbaikan sistem bantuan dan jaminan sosial serta kebijakan ekonomi yang memihak pada kaum dhuafa (pro-poor) termasuk tata kelola pemerintahan yang baik.
Berikut ini beberapa masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat
miskin. Pertama, rendahnya pendapatan yang mengakibatkan rendahnya
kemampuan daya beli dan kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi yang
layak. Kedua, terbatasnya akses terhadap kebutuhan dasar (sandang,
pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar).
Selama ini kelompok masyarakat miskin dihadapkan pada masalah
rendahnya subsidi pendidikan, yang merupakan salah satu penyebabkan
tingginya angka putus sekolah. Putus sekolah juga disebabkan oleh tidak
terfokusnya tujuan sekolah yang dapat menyediakan kesempatan kerja,
seperti SMK. Hal ini lain adalah karena alasan anak harus membantu orang
tua mencari nafkah. Kelompok masyarakat miskin juga dihadapkan pada
mahalnya biaya pengobatan dan perawatan, jauhnya tempat pelayanan
kesehatan, dan rendahnya jaminan kesehatan. Ketiga, masih minimnya
penanganan dibidang kesejahteraan sosial, baik ditingkat perorangan,
keluarga maupun kelompok masyarakat. Perlindungan sosial bagi masyarakat
miskin, khususnya fakir miskin dan PMKS, diperlukan agar mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri dan dapat mengakses sistem
pelayanan sosial dasar, penyandang cacat, anak terlantar, anak korban
penyalahgunaan NAPZA, gelandangan dan wanita rawan sosial ekonomi.
Kelima, belum adanya rasa aman terhadap masyarakat yang tertimpa
bencana, serta terjaminnya ketersediaan bantuan dan relokasi korban
dalam situasi darurat sehingga dapat mengurangi penderitaan masyarakat
yang terkena bencana.
Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan disamping itu juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang sangat rendah, tanpa sistem kontrak atau tidak adanya kepastian perlindungan hukum terhadap pekerja informal tersebut.
Kantong-kantong kemiskinan pada umumnya terdapat pada zona pesisir dan desa-desa terpencil dengan sumber mata pencaharian sebagai nelayan dan petani tradisional dengan upah dan pendapatan yang relatif kecil. Oleh karena itu perlu paradigma baru dalam memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai potensi yang dapat dikembangkan dalam proses percepatan pembangunan serta mengurangi ketimpangan pembangunan. Potensi tersebut adalah pemanfaatan pengembangan kawasan-kawasan secara optimal sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth center) melalui pembentukan pengelompokan pemukiman baru sebagai daerah pertumbuhan ekonomi dan pengembangan perluasan kesempatan berusaha.
Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan disamping itu juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang sangat rendah, tanpa sistem kontrak atau tidak adanya kepastian perlindungan hukum terhadap pekerja informal tersebut.
Kantong-kantong kemiskinan pada umumnya terdapat pada zona pesisir dan desa-desa terpencil dengan sumber mata pencaharian sebagai nelayan dan petani tradisional dengan upah dan pendapatan yang relatif kecil. Oleh karena itu perlu paradigma baru dalam memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai potensi yang dapat dikembangkan dalam proses percepatan pembangunan serta mengurangi ketimpangan pembangunan. Potensi tersebut adalah pemanfaatan pengembangan kawasan-kawasan secara optimal sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth center) melalui pembentukan pengelompokan pemukiman baru sebagai daerah pertumbuhan ekonomi dan pengembangan perluasan kesempatan berusaha.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NAD
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan sosial masyarakat pascakonflik
dan bencana alam 26 Desember 2004 mengalami penurunan. Permasalahan
kesejahteraan sosial sesuai data terakhir dapat dilihat jumlah fakir
miskin 474.518 KK, anak terlantar 15.482 jiwa, anak jalanan 590 jiwa,
anak nakal 1.832 jiwa, anak korban tindak kekerasan 5.909 jiwa, lanjut
usia terlantar 13.649 jiwa, penyandang cacat 23.421 jiwa, wanita rawan
sosial ekonomi 42.707 jiwa, korban penyalahgunaan napza 1.487 jiwa,
gelandangan pengemis 1.884 jiwa, eks. penyakit kronis 4.289 jiwa,
komunitas adat terpencil 1.315 KK, eks narapidana 1.156 jiwa, korban
bencana 19.379 KK, tuna susila 320 jiwa, anak yatim piatu 67.632 jiwa,
keluarga berumah tidak layak huni 236.461 KK, masyarakat yang tinggal
daerah rawan bencana 23.848 KK, keluarga pahlawan nasional perintis
kemerdekaan 3.987 jiwa (sumber data: Dinas Sosial Provinsi NAD).
Disamping itu juga terdapat permasalahan korban konflik, demikian juga menurunnya kemampuan organisasi sosial masyarakat dalam melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial di dalam masyarakat.
Disamping itu juga terdapat permasalahan korban konflik, demikian juga menurunnya kemampuan organisasi sosial masyarakat dalam melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial di dalam masyarakat.
Dari sudut pandang budaya, pada umumnya semua jenis kebudayaan Aceh
sangat terikat dan terkait dengan nilai-nilai Agama Islam. Meskipun
demikian, terdapat beberapa bagian di kalangan masyarakat yang masih
terpengaruh oleh kebiasaan sebelum datangnya Agama Islam. Hal ini nampak
dalam adat istiadat masyarakat Aceh hari-hari, misalnya: kenduri tolak
bala, kenduri laot, kenduri blang, kenduri glee, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, melalui Qanun Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh (MAA),
Pemerintah Provinsi NAD menggali kembali, memelihara, melestarikan,
serta mengembangkan adat dan budaya Aceh sesuai dengan kebijakan
pemerintah tentang pelaksanaan Syariat Islam. Disamping itu, untuk
meningkatkan dan mengembangkan kebudayaan Aceh di masa yang akan datang,
diperlukan penggalian kembali khazanah budaya Aceh yang positif sesuai
dengan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar