Budaya Aceh
Aceh
merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam
budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan
perayaan.
Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu:
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan
terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi
oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang
mereka yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di bawah
protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka berasimilasi dengan
penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat istiadat.
Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian,
kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar
pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak
mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk
obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal
ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk
manusia atau binatang sebagai ragam hias.
Aceh sangat lama terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk
bagi keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah
dilupakan dan benda-benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang
atau hilang.
Link
Suku Aceh
- Suku Aceh dengan bahasa Aceh, yaitu penduduk yang umumnya mendiami wilayah Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen.
- Suku Aneuk Jamee dengan bahasa Aneuk Jamee yang terdengar seperti bahasa Minang, yaitu penduduk dari sebagian wilayah Kabupaten Aceh Selatan, yaitu sebagian Kecamatan Labuhan Haji, Kecamatan Samadua, Kecamatan Tapaktuan dan Kecamatan Kluet Utara, sebagian wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya, yaitu sebagian Kecamatan Susoh dan Kecamatan Manggeng, sebagian kecil wilayah Kabupaten Aceh Barat, yaitu Kecamatan Meureubo, Sebagian Kecil wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam dan Kabupaten Simeulue
- Suku Kluet, yang mendiami sebagian kecil dari Kabupaten Aceh Selatan, yaitu Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah dan Kecamatan Kluet Timur.
- Suku Tamiang dengan bahasa Aceh Tamiang yang hampir seperti bahasa Melayu, yaitu bahasa dari penduduk di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Timur, dan Kota Langsa.
- Suku Gayo, dengan bahasa Gayo dari penduduk Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah (Takengon), dan Kabupaten Bener Meriah.
- Suku Alas, yaitu bahasa Alas dari penduduk Kabupaten Aceh Tenggara.
- Suku Haloban, dari penduduk Kabupaten Aceh Singkil Kepulauan (Pulau Banyak).
- Suku Julu termasuk kelompok suku pak pak boang, yaitu penduduk dari Aceh Singkil daratan dan Kota Subulussalam. Suku pak pak boang berasal dari Sumatra Utara.
- Suku Devayan, yaitu penduduk yang mendiami Pulau Simeulue di Kecamatan Teupah Barat, Teupah Selatan, Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan Salang.
- Suku Sigulai, yaitu penduduk yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara, yaitu kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Alafan, dan juga mendiami sebagian desa di Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam, dan juga Kecamatan Simeulue Tengah.
Sumber
Suku Gayo
Daftar isi[sembunyikan] |
Sejarah
Kata Gayo berasal dari kata : “Pegayon” artinya tempat mata air yang
jernih dimana tempat ikan suci (bersih) dan kepiting. Kebudayaan Gayo
telah ada sejak orang Gayo bermukim diwilayah dataran tinggi Gayo dan
mulai berkembang pada masa Kerajaan Linge
pertama abad X M (abad IV). Meliputi aspek kekerabatan, komunitas
sosial, pemerintahan, pertanian, kesenian dan lain-lain. Adat Istiadat
sebagai unsur kebudayan Gayo menganut prinsip keramat mupakat behu berdedele
(kemuliaan karena mufakat, berani karena bersama), tirus lagu gelngan
gelas, bulet lagu umut, rempak lagu re, susun lagu belo (bersatu teguh),
nyawa sara pelok, ratip sara anguk (konta batin). Dan banyak lagi
kata-kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan kekeluargan serta
keterpaduan.
Etnis Gayo
Suku bangsa Gayo mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering
disebut Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini yang banyak
mendiami di lima kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau kelompok, Gayo laut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang
mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang. Keberadaan masyarakat Gayo
di kabupaten Aceh Tenggara sudah lama dan proses perkawinannya banyak
terjadi antara etnis Gayo dengan etnis lainnya, Kabupaten Gayo Lues pada
awalnya adalah bagian dari Kabupaten Aceh Tenggara, dimana masyarakat
yang mendiami daerah tersebut adalah mayoritas dari suku bangsa Gayo.
Waktu sedemikian keberadaan etnis Gayo ditanah Alas sangat eksis dan
saling bahu-membahu dengan etnis Alas dalam membangun Aceh Tenggara.
Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Gayo mempuyai adat adalah
mengikuti garis keturunan dari orang tua laki-laki, pembagian kelompok
atau marga sama sekali tidak ada di etnis suku Gayo, tapi dalam hal
pemangku adat di kalangan masyarakat Gayo masih kuat seperti pepatah
gayo “ murib I kandung adat sedangkan menasa I kandung hukum (agama
Islam) “.
Seni dalam masyarakat suku Gayo
Pada umumnya ada 3 macam bentuk kesenian Gayo yang menonjol dan sering dipergunakan ditengah masyarakat suku Gayo diantaranya;
Link
Suku Alas
Daftar isi[sembunyikan] |
Sejarah dan Seni Budaya Etnis Alas
Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah
Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana
keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang
dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila
dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas,
pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada
walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis,
sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer
(1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari
Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di
Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING yaitu keturunan dari RAJA LOTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATAE BULAN dari Samosir Tanah Batak, Tatae Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA. Guru Tatae Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tuanya Raja Borbor dan Raja Lontung.
Raja Lontung mempuyai tujuh orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang,
Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang
dikenal dengan siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya
Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak,
Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo, dan SELIAN di Tanah Alas, Keluet
di Aceh Selatan.
Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan
Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu
dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi,
dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim.
Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang
dengan wilayah 5 desa, Asal Muasalnya semua dari Perbesi, Kuala, Tiga
Binanga, Pertumbuken dan Kuta Gerat semuanya di Kecamatan Tiga Binanga.
Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo
ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan
pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai
tiga orang anak yaitu Raja Lelo
(Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja
Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang
ketiga adalah Raje Kaye
yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan
Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan
ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36;
sebayang 1986:17).
Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya
merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk
kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan
nama Malik Ibrahim,
yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs
sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik
Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberinama ALAS dan hingga
tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah
Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.
Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele)
dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh
Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat
istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama,
ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab
itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku
Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir
bagian timur (Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang
budaya matrealistik dari minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas
sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu
yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing
dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya
menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal
sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan
oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas.
Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang
di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke
Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal
kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA
yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali
datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu
yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang dari Pasai.
Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali
dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal
dengan merga Beruh.
Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun
mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan
mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang
bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir
kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu
bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo.
Marga Pale Dese
merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun
tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
Marga-Marga Suku Alas
Menurut buku (Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib
Akbar MSC 2004) adapun marga–marga etnis Alas yaitu : Bangko, Deski,
Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian kemudian hadir lagi marga
Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis,
Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan
marga Terigan.
Adapun kesenian dari etnis suku Alas (Musyawarah Adat Alas dan Gayo, 2003) :
- Pelebat
- Mesekat
- Landok Alun
- Vokal Suku Alas
- Canang Situ
- Canang Buluh
- Genggong
- Oloi-olio
- Keketuk layakh
Kerajinan Suku Alas
Adapun kerajinan tradisional dari etnis alas seperti :
- Nemet (mengayam daun rumbia)
- Mbayu amak (tikar pandan)
- Bordir pakaian adat
- Pande besi (pisau bekhemu)
- dan lain-lain
Makanan Tradisional
Adapun makanan tradisional dari suku alas adalah :
- Manuk labakh. .
- Ikan labakh.
- Puket Megaukh.
- Lepat bekhas.
- Gelame.
- Puket Megaluh
- Buah Khum-khum
- Ikan pacik kule.
- Teukh Mandi
- Puket mekuah.
- Tumpi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar