Rukon dalam Budaya Aceh
RUKON merupakan budaya Islami yang sudah
mengakar dalam masyarakat Aceh. Dalam acara meurukon biasanya
diperdebatkan dua atau tiga kafilah (kelompok). Satu kafilah biasanya
berjumlah enam sampai sepuluh orang. Mereka dipimpin oleh seorang syeh.
Materi yang diperdebatkan, serta jawaban yang diberikan akan dinilai
oleh para hakim yang disebut Syeh Kuna yang biasanya berjumlah tiga
sampai lima orang. Materi yang diperdebatkan dalam rukon semuanya soal
agama.
Perdebatan dalam rukon sangat alot. Untuk menghindari salah tafsir
dari rukon, acara ini tidak disebut sebagai pertandingan atau adu
argumen soal agama. Tapi disebut sebagai acara meutrang-trang agama,
saling menjelaskan soal pemahaman agama.
Acara meurukon biasanya diadakan di sebuah rangkang (balai), makanya
disebut juga sebagai ajang debat ala tengku rangkang. Namun sering juga
diadakan di meunasah (surau). Kafilah yang akan berdebat duduk bersila
di atas balai. Antara kafilah yang satu dengan lainnya duduk terpisah.
Permulaan rukon diawali dengan khutbah rukon. Syeh setiap kafillah
menyampaikan mukaddimah, memperkenalkan kafilahnya kepada penonton.
Ciri khas rukon adalah, materi yang diperdebatkan semuanya berkaitan
dengan hukum Islam. Mengajukan dan menjawab pertanyaan disampaikan dalam
syair yang spontanitas. Hal inilah yang jadi daya tarik rukon. Di
kampung-kampung Aceh, saat pergelaran rukon, masyarakat
berbondong-bondong untuk megikutinya. Karena ada pengetahuan agama yang
diajarkan melalui perdebatan para kafillah. Malah ada ibu-ibu yang ikut
membawakan ayunan untuk menidurkana naknya di tempat pergerakan rukon.
Kemampuan syeh setiap kafillah membangkit radat (irama) mampu membuat
penonton betah sampai pergelaran rukon usai. Suasana rukon terasa
sangat hidup ketika suara syeh setiap kafilah melengking me
membangkitkan berbagai irama syari religi. Syair mengajukan dan menjawab
pertanyaan yang kemudian diikuti oleh para anggota kafilah.
Setelah khutbah rukon, syeh kuna mengajukan beberapa pertanyaan
pembuka kepada setiaf kafilah secara bergiliran. Syeh kuna akan melilai
tinkat kebenaran dan rincian jawaban masing-masing kafilah. Babak
selanjutnya syeh kuna tidak lagi mengajukan pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya akan diajukan sau kafilah ke kafilah
lain, syeh kuna hanya menilai, pertanyaan dan jawaban yang diberikan.
Saat saling melemparkan pertanyaan dan menjawab itulah penonton mendapat
kupasan ilmu agama.
Kafilah yang mendapat pertanyaan, dengan dikomandoi syeh akan
menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian kafilah penanya akan merespon
apakah jawaban yang diberikan benar atau tidak. Adakalanya antara
penanya dan penjawab merasa sama-sama benar. Untuk mencari mana
kebenaran yang sesungguhnya, maka pertanyaan itu dilemparkan secara
bersama kepada syeh kuna untuk meluruskannya. Meminta penilaian syeh
kuna juga dilakukan melalui syair. Salah satu syair itu adalah:
Teungku meunan kamoë meunoë
Masaalah nyoë bek temeudakwa
Wahé e tungku kamoë hana meutuôh
Pulang u teungku syeh kuna.
Masaalah nyoë bek temeudakwa
Wahé e tungku kamoë hana meutuôh
Pulang u teungku syeh kuna.
Selanjutnya, Syeh Kuna akan meluruskan jawaban, dengan berbagai
dalil. Karena itulah acara meurukon disebut juga sebagai ajang bedah
kitab keislaman. Kemampuan setiap kafilah dalam mengajukan dan menjawab
pertanyaan sanat bergantung pada banyaknya referensi kitab yang mereka
baca. Malah, satu pertanyaan sering dikupas sampai berjam-jam. Untuk
mengupas tata letak akasara dalam kalimah bismillah saja kadang
membutuhkan waktu semalam suntuk.
Kita berharap pemerintah memberdayakan kembali acara meutrang-trang agama
ini. Karena melestarikan rukon berarti melestarikan tiga hal sekaligus,
yakni rukon itu sendiri sebagai budaya yang religius, metode
pendidikan—kuliah umum—bagi masyarakat melalui rukon, serta syair-syair
religius yang terkandung dalam rukon itu sendiri.[]
Oleh Iskandar Norman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar