Kebudayaan dan Peradaban Aceh
SELAMA ini, seni dan budaya salah dipahami di Aceh. Begitu kita sebut
seni budaya, alam pikiran orang langsung terbayang tarian ranup
lampuan, tari seudati, pertunjukan rapai atau tari saman. Kesalahan
pemahaman tersebut terjadi karena saat pemerintah menggelar acara seni
menyebutnya pertunjukan ‘seni budaya’ dan tidak ada dari penyelenggara
itu yang menjelaskan arti budaya, seni, kebudayaan atau peradaban.
Kekeliruan pemahaman tersebut harus kita perbaiki bersama. Budaya
adalah cara hidup sebuah bangsa atau kelompok masyarakat yang diwariskan
turun temurun. Budaya menyangkut semua hal, seperti agama, cara mencari
nafkah, cara berkomunisasi dan semacamnya.
Belum majunya gerakan kebudayaan di Aceh karena beberapa faktor, di
antaranya kesalah pahaman tadi, yang mengakibatkan tidak adanya
budayawan sejati di Aceh. Belum ada seorang pun yang pantas disebut
budayawan di Aceh, namun secara spesifik ada beberapa orang yang bisa
disebut seniman, penulis, pelukis dan semacamnya.
Aceh perlu tokoh penggerak dan pembangun budaya di zaman ini,
kebudayaan dan peradaban adalah kunci dari nilai masa depan untuk aceh
masa kini. Jika ada orang yang berani menghadirkan dirinya sebagai
penggerak dan pembangun kebudayaan dan peradaban di zaman ini, maka ia
harus melawan paradigma kuno tentang seni budaya dan harus sedikit
radikal.
Adanya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), Pekan Melayu Raya (PMR) dan
sederetan expo dan perhelatan seni budaya lainnya menjadi acuan nilai
tentang kepedulian tersebut. Namun sampai kini, baik PKA, expo, PMR
belum menunjukkan sebuah even yang berkualitas. Belum ada stansarisasi
pertunjukan di Aceh.
Selama ini, sebuah even yang dilaksanakan dengan dana miliaran masih
dikemas dengan format seratus juta, itulah yang terjadi pada PKA, PMR
dan ekspo-ekspo di Aceh yang mencerminkan pengelolanya belum
professional atau sengaja dikemas asal-asalan untuk keuntungan beberapa
orang.
Pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten kota, seharusnya memilih
orang yang ahli dan mencintai seni budaya untuk mengelola hal yang
terkait kebudayaan dan seni, bukan para pencari swaka ekonomi dengan
menjual nama budaya, kalau mau berbisnis, silakan terjun ke dunia bisnis
profesional jangan menjual kebudayaan. Budaya dan peradaban saling
terkait seperti mata uang logam, yang satu tidak berguna tanpa ada yang
lain.
Di Aceh, pengubah peradaban dan budaya yang pertama kali adalah
Sultan Aceh pertama, Ali Mughayat Syah. Dalam dunia sastra ada Hamzah
Fanshuri, yang mengubah arah sastra dunia sastra Aceh dan membentuk
format seni sastra Melayu.
Sultan Iskandar Muda juga telah mengubah budaya dan peradaban dengan
membawa pasukan menaklukkan negeri-negeri di Sumatra dan semenanjung
Melayu. Dalam dunia kemiliteran, Lakseumana Keumalahayati adalah tokoh
pembaharu pengubah peradaban Aceh.
Di Aceh modern, Hasan Tiro pengubah peradaban dalam dunia pemikiran
nasionalisme dan politik. Dalam kebudayaan dan seni secara luas, belum
ada pembaharu di Aceh moderen. Ini disayangkan bagi sebuah kumpulan
orang yang punya perasaan etnisentrik tinggi seperti Aceh. Peradaban
Aceh dalam dunia politik telah diubah oleh Hasan Tiro, sementara di
bidang budaya belum ada yang melakukannya.
Di bidang pendidikan juga belum terlihat siapaun yang jadi pembaharu,
yang bermimpi perbaikan ke arahnya ada, namun semua masih konvensional.
Bahkan, jatidiri sistem budaya pendidikan Aceh seperti dayah-dayah kini
ada yang sudah dibaur dengan sistem jadi-jadian perguruan tinggi, bukan
malah menyempurnakan sistem yang telah ada atau membuat sistem baru
secara total.
Masalah lain dalam pendidikan di Aceh, banyak mata pelajaran atau
fakultas yang dimunculkan tidak berfungsi membangun peradaban karena
semuanya didoktrin berpikir agar menjadi hamba pemerintahan setelah
lulus yakni menjadi pegawai negeri yang tidak kreatif.
Dalam bidang seni, peradaban Aceh masa silam masih berpengaruh dan
jadi acuan kemajuan dunia Melayu seperti dilakukan oleh Hamzah Fanshuri
dengan cara menyusun seni katanya dalam syair-syair. Hasil peradaban
Aceh masa silam dalam musik dapat kita lihat dari rapai sekarang.
Dalam seni tutur kini masih tersisa rukon, dan sebagainya, namun itu
tidak mengubah peradaban bidang seni di negeri lain, artinya peradaban
Aceh masa silam memang kuat, tapi tidak sekuat peradaban bangsa lain
seperti di barat yang kini mempengaruhi peradaban dunia, termasuk di
Aceh.
Dalam seni tulis, di zaman moderen belum ada yang bisa dibanggakan
dari seni Aceh, walau ada beberapa buku tulisan orang Aceh, tidak
ditulis dalam bahasa Aceh dan tidak membangkitkan semangat Aceh untuk
maju. Dalam seni lukis ada muncul beberapa nama, walau belum bisa
mencatat kekhasan sebagai pembawa perubahan dalam dunia penuh warna
tersebut.
Kesalahan pemerintah Aceh dalam mengurus seni budaya dan peradaban,
yakni menganggap seni budaya adah pertunjukan seni seperti tarian dan
rapai saja. Kesalahan lain adalah dengan menguasai dana kesenian oleh
sanggar pendopo, baik di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Ini
mengakibatkan kediktatoran dalam mengurus seni kebudayaan.
Kesalahan lain pemerintah dalam mengurus seni dan budaya adalah
mempromosikan seni Aceh keluar, padahal sampai di sana negara tersebut
menempatkan utusan kita di tempat tidak layak dan tidak ada penonton,
serta tidak menguatkan potensi yang ada di daerah-daerah karena penangan
hal seni budaya di pemerintahan bukan ahlinya dan bukan pencinta seni
budaya. Ini berkesan memanfaatkan atau menjual nama seni dan budaya
untuk jalan-jalan ke luar negeri karena kepentingan kelompok dan
keluarga penjabat saja. Solusi untuk memajukan seni dan budaya serta
peradaban di Aceh adalah dengan mengadakan kongres seni budaya dan
peradaban Aceh.[]
Oleh Thayeb Loh Angen, Inisiator Lembaga Budaya Saman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar