Kategori:Mitologi Bali
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halaman dalam kategori "Mitologi Bali"
Kategori ini memiliki 17 halaman, dari total 17.
AB
[sunting] Barong di kebudayaan populer
[sunting] Referensi
|
B samb.CKLN |
RST |
Batara Gura
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Batara Gura adalah seorang tokoh dalam mitologi Bali.
Ia adalah seorang dewa yang menimbuni lautan dengan tanah untuk
menciptakan pulau-pulau dan daratan. Dengan usahanya itu ia justru
membuat Naga Padoha
marah. Ini adalah seekor ular raksasa yang lebih menyukai air. Akhirnya
timbullah peperangan antara keduanya, yang dimenangkan oleh Batara
Gura. Selain itu dikatakan juga bahwa ia adalah reinkarnasi dari dewa Siwa.
Batara Kala (mitologi Bali)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Batara Kala adalah seorang dewa dalam mitologi tradisional Bali. Ia menguasai dunia bawah tanah beserta Setesuyara. Ia juga dinamakan sebagai pencipta bumi dan cahaya.
Bedawang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Patung Rahwana yang sedang mengendarai Bedawang di Grobogan Bali
Bedawang atau Bedawang Nala adalah seekor penyu raksasa dalam mitologi Bali yang membawa seluruh dunia di punggungnya. Dalam mitologi kreasi dunia, ia merupakan perubahan dari Antaboga. Ia bersama dua ular naga mendukung dunia manusia. Jikalau ia bergerak maka akan terjadilah gempa dan letusan gunung berapi di atas bumi.
[sunting] Etimologi
- Bedawang berarti air mendidih
- Nala berarti api
- Bidawang (bahasa Banjar) berarti penyu sungai
Bulan Pejeng
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bulan Pejeng adalah sebuah genderang (nekara) perunggu yang dipercayai orang Bali memiliki kekuatan supranatural. Nekara ini terletak di pura penataran sasih di desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar di pulau Bali.
Genderang ini dianggap suci dan diceritakan bahwa genderang ini tidak
dibuat oleh manusia melainkan jatuh dari langit. Nekara ini diperkirakan
dipergunakan dahulunya dalam upacara meminta hujan.
[sunting] Legenda
Banyak legenda tentang nekara ini, salah satunya adalah bahwa nekara
ini dahulu merupakan roda dari kereta langit yang menyebarkan sinar
terang, sehingga dahulu malam hari selalu terang benderang. Legenda lain
mengatakan bahwa nekara ini adalah perhiasan telinga dari Dewi Ratih (Dewi Bulan dalam mitologi Bali).
Menurut penuturan kuno diceritakan juga bahwa dahulu kala ada 13
bulan di atas bumi. Pada suatu hari salah satu bulan ini jatuh ke atas
bumi dan tersangkut di ranting pohon. Sinar yang dipancarkan bulan ini
sangatlah terang sehingga tidak ada pencuri yang berani mencuri di malam
hari. Namun pada suatu ketika para pencuri itu berunding dan mereka
bersepakat untuk memadamkan bulan itu, salah satu dari mereka memanjat
pohon itu dan dengan air kecilnya ia berusaha memadamkan bulan tersebut
yang diliputi lidah-lidah api. Seketika juga bulan itu meledak dan salah
satu pecahan bulan itu menjadi nekara bulan Pejeng tersebut. Kerusakan
yang ada di balik nekara itu diceritakan berasal dari ledakan itu.
Calon Arang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Kisah
Diceritakan bahwa Calon Arang adalah seorang janda penguasa ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Ia mempunyai seorang puteri bernama Ratna Manggali,
yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena
orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang dihadapi puterinya,
Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan menculik
seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk
dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda desa tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu Baradah
untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang
muridnya bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya
menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh
malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada
suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya
kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang mengetahui bahwa bukunya telah
dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu Baradah.
Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan,
desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
[sunting] Perkembangan kisah
Cerita ini dapat dibagi dalam beberapa babak:
[sunting] Prolog
Pada mulanya suasana di wilayah Kerajaan Daha (Kadiri) sangat tentram. Raja di Daha bernama Airlangga.
Di sana hidup seorang janda, yang bernama Calon Arang, yang mempunyai
anak yang cantik, yang bernama Ratna Manggali. Mereka berdua tinggal di
desa Girah, di wilayah Kerajaan Daha.
[sunting] Awal Permasalahan
Meskipun cantik, banyak pria di kerajaan tersebut yang tidak mau
meminangnya. Ini disebabkan oleh ulah ibunya yang senang menenung. Hal
ini menyebabkan kemarahan Calon Arang. Oleh sebab itulah dia membacakan
mantra tulah, sehingga muncul mala-petaka dahsyat melanda desa Girah,
dan pada akhirnya melanda Daha. Tulah tersebut menyebabkan banyak
penduduk daerah tersebut sakit dan mati. Oleh karena tulah tersebut
melanda Daha, maka Raja Airlangga marah dan berusaha melawan. Namun
kekuatan Raja tidak dapat menandingi kesaktian Calon Arang, sehingga
Raja memerintahkan Empu Baradah untuk melawan Calon Arang.
[sunting] Siasat Empu Baradah
Untuk mengalahkan Calon Arang, Empu Baradah mengambil siasat. Dia
memerintahkan muridnya, Bahula, untuk meminang Ratna Manggali. Setelah
menjadi menantu Calon Arang, maka Bahula mendapatkan kemudahan untuk
mengambil buku mantra Calon Arang dan diberikan kepada Empu Baradah.
[sunting] Epilog
Setelah bukunya didapatkan oleh Bahula, Calon Arang pun ditaklukkan oleh Empu Baradah.
[sunting] Analisis
Seringkali di dalam dunia cerita ini hanya disoroti tentang kekejaman
dan kejahatan Calon Arang. Dia digambarkan sebagai nenek sihir yang
mempunyai wajah yang seram. Namun dewasa ini muncul analisis-analisis
yang lebih berpihak kepada Calon Arang. Dia adalah korban masyarakat
patriarkal pada zamannya. Cerita Calon Arang merupakan sebuah gambaran
sekaligus kritik terhadap diskriminasi kaum wanita.
[sunting] Media lainnya
Pada tahun 1985, sutradara Indonesia, Sisworo Gautama Putra mensutradarai film "Ratu Sakti Calon Arang". Film ini dibintangi oleh Suzanna dan Barry Prima.
[sunting] Pranala luar
Kala Rau
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kala Rau adalah setan dalam mitologi Bali. Setan ini hanya terbentuk dari sebuah kepala tanpa badan. Pada suatu ketika ia hendak minum air dari Tirta Amertha (air kehidupan abadi), walau sesungguhnya air ini hanya diperuntukkan bagi para dewa-dewi. Dewi Ratih yang mengetahui hal itu memberitahukannya kepada dewa Wisnu, yang kemudian melemparkan cakramnya
dan memenggal kepala setan itu. Tetapi pada waktu itu juga kepala itu
hingga di bagian leher telah menyentuh Tirta Amertha, sehingga dapat
hidup abadi. Kepala itu kemudian hendak membalas dendam kepada dewi
Ratih dan mengejarnya di kahyangan. Terkadang dewi Ratih tertangkap dan menurut mitos ini terjadilah gerhana bulan.
Leak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Untuk Leák (film 1981), lihat: Leák (film 1981).
- Untuk Leák (Film 2007) lihat: Leák .
Patung Rangda, Ratu para Leak.
Dalam mitologi Bali, Leak adalah penyihir jahat. Le artinya penyihir dan ak artinya jahat. Leak hanya bisa dilihat di malam hari oleh para dukun pemburu leak. Di siang hari ia tampak seperti manusia biasa, sedangkan pada malam hari ia berada di kuburan
untuk mencari organ-organ dalam tubuh manusia yang digunakannya untuk
membuat ramuan sihir. Ramuan sihir itu dapat mengubah bentuk leak
menjadi seekor harimau, kera, babi atau menjadi seperti Rangda. Bila perlu ia juga dapat mengambil organ dari orang hidup.
[sunting] Kepercayaan
Diceritakan juga bahwa Leak dapat berupa kepala
manusia dengan organ-organ yang masih menggantung di kepala tersebut.
Leak dikatakan dapat terbang untuk mencari wanita hamil, untuk kemudian
menghisap darah bayi yang masih di kandungan. Ada tiga leak yang terkenal. Dua di antaranya perempuan dan satu laki-laki.
Menurut kepercayaan orang Bali, Leak adalah manusia biasa yang mempraktekkan sihir jahat dan membutuhkan darah embrio agar dapat hidup. Dikatakan juga bahwa Leak dapat mengubah diri menjadi babi atau bola api, sedangkan bentuk Leak yang sesungguhnya memiliki lidah yang panjang dan gigi yang tajam. Beberapa orang mengatakan bahwa sihir Leak hanya berfungsi di pulau Bali, sehingga Leak hanya ditemukan di Bali.
Apabila seseorang menusuk leher Leak dari bawah ke arah kepala pada
saat kepalanya terpisah dari tubuhnya, maka Leak tidak dapat bersatu
kembali dengan tubuhnya. Jika kepala tersebut terpisah pada jangka waktu
tertentu, maka Leak akan mati.
Topeng leak dengan gigi yang tajam dan lidah yang panjang juga kadang-kadang digunakan sebagai hiasan rumah.
Naga Padoha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Naga Padoha adalah seekor ular mitologis. Naga Padoha muncul dalam mitologi Bali dan mitologi Batak. Ular ini biasa digambarkan dalam pertempuran dengan Batara Guru (atau Batara Gura) sebagai simbol pertarungan antara kejahatan dan kebaikan.
[sunting] Mitologi Batak
Dalam mitologi Batak dikisahkan bahwa Naga Padoha (atau disebut juga Siraja Padoha) adalah salah seorang putra dari Debata Mangala Bulan dengan Siboru Anggarana. Mangala Bulan juga mempunyai seorang putra yang lain bernama Siraja Odap-odap dan dua putri bernama Siniang Naga dan Leang Nagarusta. Naga Padoha diberi kuasa atas Banua Toru bersama pasangannya Siboru Sorbajati untuk memperingatkan manusia yang tidak mematuhi hukum-hukum yang dititahkan oleh Mula Jadi.
Ketika Siboru Deakparujar yang tidak mau dijodohkan dengan Siraja Odap-odap dan memilih untuk mengerjakan tenunan ulos-nya di Banua Tonga,
Naga Padoha selalu mengganggunya, sehingga tanah tempat Siboru
Deakparujar berpijak runtuh. Hal itu dilakukan berulang-ulang sebagai
hukuman karena Siboru Deakparujar tidak mematuhi hukum yang telah
ditetapkan oleh Mula Jadi,
yaitu untuk menikahi Siraja Odap-odap. Merasa kesal akhirnya Siboru
Deakparujar berhasil menipu Naga Padoha dan memasungnya sehingga tidak
bisa mengganggunya lagi.
Rangda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rangda dalam tari Barong
Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali.
Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan
anak kecil serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong, yang merupakan simbol kekuatan baik.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Etimologi
Menurut etimologinya, kata Rangda yang dikenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda.[1] Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa yaitu:
Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu dan kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda.
Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang
kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat
wujud Rangda yang 'aeng' (seram) dan menakutkan serta identik dengan
orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa). Hal ini terutama kita dapatkan
dalam pertunjukan-pertunjukan cerita rakyat. Dengan kata lain, ada
kesan rasa takut, tersinggung dan malu bila dikatakan bisa neluh
nerangjana (ngeleak). Sesungguhnya pengertian di atas lebih banyak
diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur Rangda.
Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.
[sunting] Mitos Rangda
Diceritakan bahwa kemungkinan besar Rangda berasal dari ratu Mahendradatta yang hidup di pulau Jawa pada abad yang ke-11. Ia diasingkan oleh raja Dharmodayana
karena dituduh melakukan perbuatan sihir terhadap permaisuri kedua raja
tersebut. Menurut legenda ia membalas dendam dengan membunuh setengah
kerajaan tersebut, yang kemudian menjadi miliknya serta milik putra
Dharmodayana, Erlangga. Kemudian ia digantikan oleh seseorang yang bijak. Nama Rangda berarti juga janda.
Rangda sangatlah penting bagi mitologi Bali. Pertempurannya melawan Barong atau melawan Erlangga
sering ditampilkan dalam sendratari. Sendratari ini sangatlah populer
dan merupakan warisan penting dalam tradisi Bali. Rangda digambarkan
sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta
memiliki kuku-kuku panjang, lidah yang menjulur panjang, dan payudara
yang panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki taring-taring yang
panjang dan tajam.
[sunting] Jenis-jenis Rangda
Mengidentifikasi jenis-jenis Rangda yang berkembang di Bali amat
sulit. Hal ini mengingat wujud Rangda pada umumnya adalah sama. Memang
dalam cerita Calonarang ada wujud Rangda yang lain seperti Rarung,
Celuluk namun itu adalah antek-antek dari Si Calonarang dan kedudukannya
lebih banyak dalam cerita-cerita bukan disakralkan. Untuk membedakan
wujud Rangda adalah dengan melihat bentuk mukanya (prerai), yaitu :
- Nyinga
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai singa dan sedikit menonjol
ke depan (munju). Sifat dari Rangda ini adalah galak dan buas.
- Nyeleme
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai wajah manusia dan sedikit
melebar (lumbeng). Bentuk Rangda seperti ini, menunjukkan sifat yang
berwibawa dan angker.
- Raksasa
Apabila bentuk muka Rangda ini menyerupai wujud raksasa seperti yang
umum kita lihat Rangda pada umumnya. Biasanya Rangda ini menyeramkan.
[sunting] Referensi
- ^ L. Mardiwarsito, 1986:463.
Ratih
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dewi Ratih adalah seorang dewi bulan dalam kebudayaan Hindu Jawa dan mitologi Bali. Dikatakan juga bahwa ia adalah dewi kecantikan. Mitos terkenal mengennai dewi Ratih adalah tentang gerhana bulan. Pada saat gerhana, dewi Ratih yang berlari di kahyangan tertangkap oleh Kala Rau. Ia dikejar karena ialah yang memberi tahu dewa Wisnu bahwa Kala Rau hendak minum dari Tirta Amertha (Air kehidupan abadi).
Setesuyara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Setesuyara adalah seorang dewi dalam mitologi Bali[1][2]. Ia dikatakan tinggal dan menguasai dunia bawah tanah bersama dengan Batara Kala.
[sunting] Rujukan
- ^ C. Scott Littleton; Marshall Cavendish Corporation (1 Januari 2005). Gods, goddesses, and mythology. Marshall Cavendish. hlm. 1324–. ISBN 9780761475590. Diakses pada 2 Januari 2011.
- ^ Miguel Covarrubias (1 Mei 1986). Island of Bali. KPI. hlm. 7–. ISBN 9780710301345. Diakses pada 2 Januari 2011.
Sri
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Atribut dan legenda
Ia dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan. Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi:
bahan makanan pokok masyarakat Indonesia; maka ia mengatur kehidupan,
kekayaan, dan kemakmuran. Berkahnya terutama panen padi yang berlimpah
dan dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti Majapahit dan Pajajaran.
Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan,
bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi
kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang
sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan
ular sawah.
[sunting] Mitos dewi padi
Upacara untuk Dewi Sri (mapag Sri) pada saat panen di Karang Tengah, Tuntang, Semarang (sekitar 1910)
Kebanyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos
asal mula terciptanya tanaman padi, bahan pangan utama di kawasan ini.
Berikut ini adalah salah satu kisah mengenai Dewi Sri sebagai dewi padi
berdasarkan "Wawacan Sulanjana":[1] [2]
Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru
yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap
dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk
membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah
ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya.
Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat
cemas. Betapa tidak, ia samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk
bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat
dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia
meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah
yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan
tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa
Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.
Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib
tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai
permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang
yang indah. Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu
dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar beliau
memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja
membangun istana.
Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun
berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu
dengan seekor burung gagak
yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan kemana ia hendak pergi.
Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab
pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia
amat tersinggung dan marah.
Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan
kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera
bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak
tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar
Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan
menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang
selamat, utuh dan tidak pecah.
Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan.
Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan
tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru
memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas.
Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun
menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah
seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi
perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya.
Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu.
Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang
cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus
tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang
memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi.
Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi
khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu.
Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci.
Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika
dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka
para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan
Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan
rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada
jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci.
Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan
dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera
mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan
dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi
dibawa turun ke bumi dan dikuburkan ditempat yang jauh dan tersembunyi.
Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata
pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian
dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka
tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia.
- Dari kepalanya muncul pohon kelapa.
- Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur.
- Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum
- Dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis.
- Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis.
- Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.
- Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.
Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya,
sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua
tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak
saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai
sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah
memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi
manusia. Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuna,
Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan
terpenting bagi masyarakat agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat
dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan
Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana
(Sadhana atau Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan,
atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau
kedua-duanya.
Di beberapa versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah
sedangkan Sadhana dengan burung sriti (walet). Ular sawah dikaitkan
dengan sang dewi dan cenderung dihormati, mungkin karena kearifan lokal
dan kesadaran ekologi purba yang memahami bahwa ular sawah memangsa
tikus yang menjadi hama tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti
di India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular sedok pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.
[sunting] Penggambaran
Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik,
ramping tapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan
alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak
kecantikan, kewanitaan, dan kesuburannya.
Kebudayaan adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan
Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan.
Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang
anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah Ramayana.
Pasangannya, Sedhana juga digambarkan dengan rupa bagus seperti Rama. Patung loro blonyo (berarti: "dua lapik atau dasar") yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan, juga diibaratkan sebagai pasangan Dewi Sri dan Sedhana.
[sunting] Ritual dan adat
Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa,
Sunda, dan Bali . Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai
dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia.
Meskipun kini orang Indonesia kebanyakan adalah muslim atau beragama hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme.
Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan
tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung
bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Masyarakat tradisional Jawa, terutama pengamal ajaran Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri yang disebut Pasrean
(tempat Dewi Sri) agar mendapatkan kemakmuran. Tempat khusus ini
dihiasi dengan ukiran ular dan patung loro blonyo, kadang-kadang lengkap
dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit
kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk
persembahan bagi Dewi Sri. Patung loro blonyo dianggap sebagai
perwujudan Sri dan Sedhana, atau Kamaratih dan Kamajaya, semuanya merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri.
Pada masyarakat petani di pedesaan Jawa, ada tradisi yang melarang
mengganggu dan mengusir ular yang masuk ke dalam rumah. Malah ular itu
diberikan persembahan dan dihormati hingga ular itu pergi dengan
sendirinya, tradisi ini menganggap ular adalah pertanda baik bahwa panen
mendatang akan berhasil melimpah. Pada upacara slametan menanam padi
juga melibatkan dukun yang mengelilingi desa dengan keris berkekuatan gaib untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam.
Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Misalnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya.
Tradisi ini ditelusuri sudah dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda
purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam
serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini masyarakat Sunda
menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin.
Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri agar sudi
turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan
sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.[3]
Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani
atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan.
Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Sri Pohaci yang berjiwa halus dan
lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit
atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen,
yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan
lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.
Masyarakat petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil di sawah
untuk memuliakan Dewi Sri. Kuil kecil ini sering kali diberi sesajen
sebagai persembahan agar Dewi Sri sudi melindungi sawah mereka dan
mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem
kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Sri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi, Dewi,
dan Shri (gabungan sifat sakti dewi Hindu). Di Bali Dewi ini dianggap
sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta
kemakmuran dan pelindung keluarga.
[sunting] Bahasa
Dalam bahasa Indonesia istilah Sri juga digunakan sebagai kata
sandang untuk menyebut orang yang dihormati, misalnya: Sri Baduga
Maharaja, Sri Paduka Raja, Sri Ratu, Sri Paus, Sri Krishna, Sri Rama dan lain sebagainya.
[sunting] Referensi
Taksaka
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dalam mitologi Hindu, Taksaka (Sanskerta: तक्षक; Takṣaka) adalah salah satu naga, putera dari Dewi Kadru dan Kashyapa. Ia tinggal di Nagaloka bersama saudara-saudaranya yang lain, yaitu Basuki, Antaboga, dan lain-lain. Dalam Mahabharata, Naga Taksaka adalah naga yang membunuh Raja Parikesit.
Naga Taksaka juga muncul dalam mitologi Bali, selayaknya pengaruh mitologi Hindu dari India. dalam mitologi Bali, Taksaka adalah ular yang tinggal di kahyangan. Tidak semua ular ini mempunyai perilaku yang jahat.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Kelahiran
Dikisahkan dalam cerita Adiparwa bahwa Dewi Kadru yang tidak memiliki anak meminta Resi Kasyapa
agar menganugerahinya dengan seribu orang anak. Lalu Bagawan Kasyapa
memberikan seribu butir telur agar dirawat Dewi Kadru. Kelak dari
telur-telur tersebut lahirlah putera-putera Dewi Kadru. Setelah lima
ratus tahun berlalu, telur-telur tersebut menetas. Dari dalamnya
keluarlah para naga. Naga yang terkenal adalah Basuki, Ananta, dan Taksaka.
[sunting] Wafatnya Maharaja Parikesit
Dalam kitab Mahabharata diceritakan bahwa saat Maharaja Parikesit dari Hastinapura pergi berburu, ia kehilangan jejak buruannya dan masuk ke sebuah kediaman brahmana/pertapaan. Ia bertanya kepada seorang pertapa bernama Samiti
yang sedang duduk bermeditasi karena hanya pertapa tersebut yang ia
temui. Pertapa tersebut diam membisu saat Parikesit bertanya. Karena
marah, sang raja mengambil bangkai ular dengan panahnya dan
mengalungkannya di leher Samiti.
Putra Samiti, yaitu Sang Srenggi, merasa marah atas perbuatan tersebut.
Atas penjelasan Sang Kresa yang mengetahui kejadian yang telah terjadi,
Sang Srenggi mengutuk Raja Parikesit agar beliau mati digigit ular
tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Samiti kecewa pada anaknya yang
telah mengutuk Raja Parikesit. Akhirnya ia pergi menemui raja tentang
perihal kutukan tersebut, namun Raja Parikesit malu dan lebih memilih
melindungi diri dari kutukan. Kemudian Sang Srenggi mengutus Naga
Taksaka untuk membunuh Sang Raja.
Pada hari yang ketujuh, naga Taksaka pergi ke Hastinapura. Di sana Sang Raja dilindungi dan dijaga oleh para brahmana, prajurit, dan ahli mengobati bisa. Agar mampu menjangkau Sang Raja, Naga Taksaka mengubah wujudnya menjadi ulat dan masuk dalam buah jambu.
Lalu ia menyuruh naga yang lain untuk menyamar menjadi brahmana dan
menghaturkan jambu tersebut. Pada saat Sang Raja menerima buah jambu
dari brahmana yang menyamar tersebut, Naga Taksaka kembali ke wujud
semula dan mengigit Raja Parikesit. Karena gigitan Sang Naga yang sakti, Raja Parikesit terbakar sampai menjadi abu.
[sunting] Upacara pengorbanan ular
Putera Raja Parikesit adalah Raja Janamejaya. Ia diangkat menjadi raja pada usia muda. Saat Sang Utangka
datang menghadap Sang Raja, ia menjelaskan penyebab kematian ayah Sang
Raja, yaitu digigit Naga Taksaka. Untuk membalas dendam, Sang Raja
mengadakan Sarpahoma atau upacara pengorbanan ular. Ia mengundang para brahmana
untuk mendukung upacara tersebut. Namun firasat para brahmana
mengatakan bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang
brahmana.
Saat upacara berlangsung, api dinyalakan. Beberapa saat kemudian,
ribuan ular dengan berbagai bentuk melayang, seolah-olah ditarik menuju
lokasi upacara dan sampai di sana mereka ditelan api upacara yang
berkobar. Banyak ular yang masuk ke dalam api membuat api semakin
berkobar disebabkan oleh lemak ular-ular tersebut. Taksaka yang berada di Nagaloka merasa cemas lalu mengutus Sang Astika untuk memohon agar Raja Janamejaya
membatalkan upacaranya. Sang Astika bersedia melakukannya lalu turun ke
bumi. Naga Taksaka lalu mencari perlindungan kepada Dewa Indra.
Badannya sudah ditarik oleh mantra-mantra suci agar lenyap dalam api
pengorbanan, sehingga ia memegang ujung pakaian Dewa Indra erat-erat.
Namun mantra diperhebat sehingga tubuh Dewa Indra bergoyang, dan ia
takut jangan-jangan ikut masuk ke tungku pengorbanan. Akhirnya Dewa
Indra melepaskan Naga Taksaka.
Sementara itu Sang Astika turun ke bumi dengan pakaian brahmana dan menghadap Raja Janamejaya. Sang Astika datang dengan takzim dan memuji keagungan Sang Raja. Raja Janamejaya
terkesan dengan sikap Sang Astika dan menyanyakan apa yang
dikehendakinya. Sang Astika lalu menjelaskan dampak buruk
penyelenggaraan upacara tersebut dan memohon agar Sang Raja segera
menghentikannya. Atas ketulusan Sang Astika, Sang Raja mengabulkan
permohonan tersebut. Naga Taksaka hampir ditelan api pengorbanan Sang
Raja, namun nyawanya tertolong berkat mantra Sang Astika. Upacara pengorbanan pun dibatalkan dan Naga Taksaka kembali ke Nagaloka.
v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar