Kategori:Bahasa Bali
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wikimedia Commons memiliki kategori mengenai Bahasa Bali |
Halaman dalam kategori "Bahasa Bali"
Kategori ini hanya memiliki satu halaman berikut.Aksara Bali
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aksara Bali | |
---|---|
Informasi | |
Jenis aksara | Abugida |
Bahasa | Bali, Sasak |
Periode | sekitar abad ke-10 hingga sekarang |
Arah penulisan | Kiri ke kanan |
Silsilah |
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
|
Aksara kerabat | Batak Baybayin Buhid Hanunó'o Jawa Lontara Sunda Kuno Rejang Tagbanwa |
Baris Unicode | U+1B00–U+1B7F |
ISO 15924 | Bali, 360 |
Nama Unicode | Balinese |
Perhatian: Halaman ini mungkin memuat simbol-simbol fonetis IPA menggunakan Unicode. |
Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal (aksara suara). Huruf konsonan (aksara wianjana) berjumlah 33 karakter. Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.
Meski ada aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan aksara wianjana Bali. Misalnya, aksara dirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca seperti aksara hresua (pengucapan pendek).
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Warga aksara
Osthya | Dantya | Murdhanya | Talawya | Kanthya |
---|---|---|---|---|
- Kanthya. Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara. Yang termasuk warga kanthya adalah konsonan langit-langit belakang/guttural dan celah suara (glotal). Huruf konsonan yang termasuk warga kanthya terdiri dari: Ka (k), Ga (g), Ga gora (gh), Nga (ng). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga kanthya adalah A.
- Talawya. Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit mulut. Yang termasuk warga talawya adalah konsonan langit-langit/palatal. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Ca (c), Ca laca (ch), Ja (j), Ja jera (jh), Nya (ny), Sa saga (sy). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah I.
- Murdhanya. Warga murdhanya adalah kelompok fonem yang berasal dari tarikan lidah ke belakang menyentuh langit-langit. Beberapa di antaranya termasuk konsonan rongga-gigi. Yang termasuk warga murdhanya adalah konsonan tarik-belakang/retrofleks dan rongga-gigi/alveolar. Huruf konsonan yang termasuk warga murdhanya terdiri dari: Ta latik (ṭ), Da madu (ḍ), Na rambat (ṇ), Sa sapa (ṣ), Ra (r). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga murdhanya adalah Ra repa (Ṛ).
- Dantya. Warga dantya adalah kelompok fonem yang berasal dari sentuhan lidah dengan gigi. Beberapa di antaranya termasuk konsonan rongga-gigi. Yang termasuk warga dantya adalah konsonan gigi/dental dan rongga-gigi/alveolar. Huruf konsonan yang termasuk warga dantya terdiri dari: Ta (t), Ta tawa (th), Da (d), Da madu (dh), Na (n), Sa danti (s),[2] La (l). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga dantya adalah La lenga (Ḷ).
- Osthya. Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir atas dan bawah. Yang termasuk warga oshtya adalah konsonan dwibibir/labial. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Pa (p), Pa kapal (ph), Ba (b), Ba kembang (bh), Ma (m), Wa (w). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah U.
[sunting] Aksara suara (vokal)
Aksara suara disebut pula huruf vokal/huruf hidup dalam aksara Bali. Fungsi aksara suara sama seperti fungsi huruf vokal dalam huruf Latin. Jika suatu aksara wianjana (konsonan) diberi salah satu pangangge (tanda diakritik) aksara suara, maka cara baca aksara wianjana tersebut juga berubah, sesuai dengan fungsi pangangge yang melekati aksara wianjana tersebut. Berikut ini adalah aksara suara dalam aksara Bali:Warga aksara | Aksara suara hresua (huruf vokal pendek) |
Nama | Aksara suara dirgha (huruf vokal panjang) |
||||
Aksara Bali | Huruf Latin | Alfabet Fonetis Internasional | Aksara Bali | Huruf Latin | Alfabet Fonetis Internasional | ||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Kantya (tenggorokan) |
|
A | [a] | A kara |
|
Ā | [ɑː] |
Talawya (langit-langit lembut) |
|
I | [i] | I kara |
|
Ī | [iː] |
Murdhanya (langit-langit keras) |
|
Ṛ | [ɹ̩] | Ra repa |
|
Ṝ | [ɹ̩ː] |
Dantya (gigi) |
|
Ḷ | [l̩] | La lenga |
|
Ḹ | [l̩ː] |
Osthya (bibir) |
|
U | [u] | U kara |
|
Ū | [uː] |
Kanthya-talawya (tenggorokan & langit-langit lembut) |
|
E | [e]; [ɛ] | E kara (E) Airsanya (Ai) |
|
E; Ai | [e]; [aːi] |
Kanthya-osthya (tenggorokan & bibir) |
|
O | [o]; [ɔ] | O kara |
|
O; Au | [o]; [aːu] |
[sunting] Aksara wianjana (konsonan)
Aksara wianjana disebut pula konsonan atau huruf mati dalam aksara Bali. Meskipun penulisannya tanpa huruf vokal, setiap aksara dibaca seolah-olah dibubuhi huruf vokal /a/ atau /ə/[3] karena merupakan suatu abugida.Aksara ardhasuara adalah semivokal. Kata ardhasuara (dari bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti "setengah suara" atau semivokal. Dengan kata lain, aksara ardhasuara tidak sepenuhnya huruf konsonan, tidak pula huruf vokal. Yang termasuk kelompok aksara ardhasuara adalah Ya, Ra, La, Wa. Gantungan-nya termasuk pangangge aksara (kecuali gantungan La), yaitu nania (gantungan Ya); suku kembung (gantungan Wa); dan guwung atau cakra (gantungan Ra).
Warga aksara | Pancawalimukha | Ardhasuara (semivokal) |
Usma(sibilan) | Wisarga (frikatif) |
||||
Tajam (bersuara) |
Lembut (nirsuara) |
Anunasika (sengau) |
||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Alpaprana | Mahaprana | Alpaprana | Mahaprana | |||||
Kanthya (tenggorokan) |
Ka |
Ka mahaprana |
Ga |
Ga gora |
Nga |
Ha |
||
Talawya (langit-langit lembut) |
Ca |
Ca laca |
Ja |
Ja jera |
Nya |
Ya |
Sa saga |
|
Murdhanya (langit-langit keras) |
Ta latik |
Ta latik[4] |
Da madu m.[5] |
Da madu m.[6] |
Na rambat |
Ra |
Sa sapa |
|
Dantya (gigi) |
Ta |
Ta tawa |
Da |
Da madu |
Na |
La |
Sa danti |
|
Osthya (bibir) |
Ba |
Ba kembang |
Pa |
Pa kapal |
Ma |
Wa |
[sunting] Pangangge
Pangangge (lafal: /pəŋaŋge/) atau dalam bahasa Jawa disebut sandhangan, adalah lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu aksara wianjana maupun aksara suara dan memengaruhi cara membaca dan menulis aksara Bali. Ada berbagai jenis pangangge, antara lain pangangge suara, pangangge tengenan (lafal: /t̪əŋənan/), dan pangangge aksara.[sunting] Pangangge suara
Bila suatu aksara wianjana (konsonan) dibubuhi pangangge aksara suara (vokal), maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf Na dibubuhi ulu dibaca Ni; Ka dibubuhi suku dibaca Ku; Ca dibubuhi taling dibaca Cé. Untuk huruf Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak. Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.Warga aksara | Aksara Bali | Huruf Latin | Alfabet Fonetis Internasional | Letak penulisan | Nama | |
---|---|---|---|---|---|---|
Kanthya (tenggorokan) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
e; ě | [ə] | di atas huruf | pepet |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
ā | [aː] | di belakang huruf | tedung | |
Talawya (langit-langit lembut) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
i | [i] | di atas huruf | ulu |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
ī | [iː] | di atas huruf | ulu sari | |
Murdhanya (langit-langit keras) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
re; ṛ | [rə] | di bawah huruf | guwung macelek |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
ṝ | [rəː] | kombinasi di belakang dan bawah huruf | guwung macelek matedung | |
Dantya (gigi) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
le; ḷ | [lə] | kombinasi di atas dan bawah huruf | gantungan La mapepet |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
ḹ | [ləː] | kombinasi di atas, bawah, dan belakang huruf | gantungan La mapepet lan matedung | |
Osthya (bibir) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
u | [u] | di bawah huruf | suku |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
ū | [uː] | di bawah huruf | suku ilut | |
Kanthya-talawya (tenggorokan & langit-langit lembut) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
e; é | [e]; [ɛ] | di depan huruf | taling |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
e; ai | [e]; [aːi] | di depan huruf | taling detya | |
Kanthya-osthya (tenggorokan & bibir) |
Suara hresua (vokal pendek) |
|
o | [o]; [ɔ] | mengapit huruf | taling tedung |
Suara dirgha (vokal panjang) |
|
o; au | [o]; [aːu] | mengapit huruf | taling detya matedung |
[sunting] Pangangge tengenan
Pangangge tengenan (kecuali adeg-adeg) merupakan aksara wianjana yang bunyi vokal /a/-nya tidak ada. Pangangge tengenan terdiri dari: bisah, cecek, surang, dan adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara Dewanagari, tanda bisah berfungsi sama seperti tanda wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.Simbol | Alfabet Fonetis Internasional |
Letak penulisan | Nama |
---|---|---|---|
|
[h] | di belakang huruf | bisah |
|
[r] | di atas huruf | surang |
|
[ŋ] | di atas huruf | cecek |
|
- | di belakang huruf | adeg-adeg |
[sunting] Pangangge aksara
Pangangge aksara letaknya di bawah aksara wianjana. Pangangge aksara (kecuali La) merupakan gantungan aksara ardhasuara. Pangangge aksara terdiri dari:Simbol | Alfabet Fonetis Internasional |
Nama |
---|---|---|
|
[r] | guwung/cakra |
|
[w] | suku kembung |
|
[j] | nania |
[sunting] Gantungan
Karena adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar aksara wianjana bisa "mati" (tanpa vokal) di tengah kalimat dipakailah gantungan. Gantungan membuat aksara wianjana yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan dengan huruf "a", misalnya aksara Na dibaca /n/; huruf Ka dibaca /k/, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada vokal /a/ pada aksara wianjana seperti semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki gantungan tersendiri. Untuk "mematikan" suatu aksara dengan menggunakan gantungan, aksara yang hendak dimatikan harus dilekatkan dengan gantungan. Misalnya jika menulis kata "Nda", huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf Na dilekatkan dengan gantungan Da. Karena huruf Na dilekati oleh gantungan Da, maka Na diucapkan /n/.Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama, namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu huruf yang sama disebut tumpuk telu (tiga tumpukan). Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[7]
[sunting] Pasang pageh
Dalam lontar, kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak ditemukan berbagai aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa. Penulisan aksara seperti itu disebut pasang pageh, karena cara penulisannya memang demikian, tidak dapat diubah lagi.[8] Aksara-aksara tersebut juga memiliki nama, misalnya Na rambat, Ta latik, Ga gora, Ba kembang, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap aksara harus diucapkan dengan intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara tersebut. Namun kini ucapan-ucapan untuk setiap aksara tidak seperti dulu.[9] Aksara mahaprana (hembusan besar) diucapkan sama seperti aksara alpaprana (hembusan kecil). Aksara dirgha (suara panjang) diucapkan sama seperti aksara hrasua (suara pendek). Aksara usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak dihiraukan lagi dalam membaca, namun dalam penulisan, pasang pageh harus tetap diperhatikan.Pasang pageh berguna untuk membedakan suatu homonim. Misalnya:
Aksara Bali | Aksara Latin (IAST) |
Arti |
---|---|---|
|
asta | adalah |
|
astha | tulang |
|
aṣṭa | delapan |
|
pada | tanah, bumi |
|
pāda | kaki |
|
padha | sama-sama |
[sunting] Aksara maduita
Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya orang Bali menyerap kata-kata dari bahasa Sanskerta dan Kawi untuk menambah kosakata. Contoh penggunaan aksara maduita:Aksara Bali | Aksara Latin (IAST) |
Arti |
---|---|---|
|
Buddha | Yang telah sadar |
Yuddha | perang | |
|
Bhinna | beda |
[sunting] Angka
Aksara Bali | Aksara Latin | Nama (dalam bhs. Bali) | Aksara Bali | Aksara Latin | Nama (dalam bhs. Bali) | |
---|---|---|---|---|---|---|
|
0 | Bindu/Windu |
|
5 | Lima | |
|
1 | Siki/Besik |
|
6 | Nem | |
|
2 | Kalih/Dua |
|
7 | Pitu | |
|
3 | Tiga/Telu |
|
8 | Kutus | |
|
4 | Papat |
|
9 | Sanga/Sia |
Di bawah ini contoh penulisan tanggal dengan menggunakan angka Bali (tanggal: 1 Juli 1982; lokasi: Bali):
Aksara Bali | Transliterasi dengan Huruf Latin |
---|---|
|
Bali, 1 Juli 1982. |
Pada contoh penulisan di atas, angka diapit oleh tanda carik untuk membedakannya dengan huruf.
[sunting] Tanda baca dan aksara khusus
Ada beberapa aksara khusus dalam aksara Bali. Beberapa di antaranya merupakan tanda baca, dan yang lainnya merupakan simbol istimewa karena dianggap keramat. Beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut:Simbol | Nama | Keterangan |
---|---|---|
|
Carik atau Carik Siki. | Ditulis pada akhir kata di tengah kalimat. Fungsinya sama dengan koma dalam huruf Latin. Dipakai juga untuk mengapit aksara anceng. |
|
Carik Kalih atau Carik Pareren. | Ditulis pada akhir kalimat. Fungsinya sama dengan titik dalam huruf Latin. |
|
Carik pamungkah. | Dipakai pada akhir kata. Fungsinya sama dengan tanda titik dua pada huruf Latin. |
Pasalinan. | Dipakai pada akhir penulisan karangan, surat dan sebagainya. Pada geguritan bermakna sebagai tanda pergantian tembang. | |
|
Panten atau Panti. | Dipakai pada permulaan suatu karangan, surat dan sebagainya. |
|
Pamada. | Dipakai pada awal penulisan. Tujuannya sama dengan pengucapan awighnamastu, yaitu berharap supaya apa yang dikerjakan dapat berhasil tanpa rintangan. |
|
Ongkara. | Simbol suci umat Hindu. Simbol ini dibaca "Ong" atau "Om". |
[sunting] Font Aksara Bali
Font Aksara Bali untuk komputer pertama kali dibuat adalah Bali Simbar. Font ini dibuat oleh I Made Suatjana dengan memanfaatkan alokasi dari kodifikasi ASCII untuk dikamuflasekan ke dalam bentuk karakter Aksara Bali. [10]. Namun, font ini memiliki kelemahan yaitu hanya terbatas dalam keperluan pengetikan menggunakan templat untuk Microsoft Word.Sejak tahun 2006, Aksara Bali telah masuk ke dalam standar Unicode dan memiliki kodifikasi U+1B00–U+1B7F. Dengan adanya standar Unicode ini, karakter-karakter Aksara Bali bisa digunakan untuk berbagai keperluan yang lebih luas seperti penulisan halaman internet, surat elektronik, blog, dsb. Namun karena implementasi yang sangat rumit, penggunaan Unicode dari Aksara Bali masih terbatas dalam sistem operasi Linux dan keluarganya saja. Sistem operasi BlankOn Linux merupakan distribusi Linux pertama yang menyediakan font dan sistem input untuk Aksara Bali semenjak versi 6.0 (Ombilin). [11]
[sunting] Catatan kaki
- ^ Surada, hal. 6-7.
- ^ Susungguhnya Sa termasuk konsonan alveolar, namun secara tradisional dimasukkan ke dalam konsonan dental.
- ^ Dibaca /ə/ bila tertulis di akhir kata/pada suku kata terakhir.
- ^ Disamakan saja atau diberi tedung.
- ^ disebut Da madu murdania.
- ^ Jarang ditemukan dalam aksara Bali. Disamakan saja dengan Da madu murdania, hanya diberi tedung.
- ^ Tinggen, hal. 27.
- ^ Simpen, hal. 44.
- ^ Tinggen, hal. 7
- ^ Situs resmi font Bali Simbar, diakses tanggal 5 Maret 2011
- ^ Catatan rilis BlankOn 6.0, diakses tanggal 5 Maret 2011
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Adeg-adeg
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Penggunaan
Dalam aksara Bali, huruf konsonan tidak ditulis seperti dalam huruf Latin atau Yunani, tetapi seperti dalam aksara Dewanagari. Selama huruf konsonan tersebut tidak dibubuhi oleh tanda vokal, maka huruf tersebut dibaca dengan bunyi /ə/ atau /a/. Untuk membuat suatu kata, cukup dengan merangkai huruf yang ada.Aksara Bali | Ejaan dengan huruf Latin |
---|---|
|
ma - na - ka |
|
ba - pa - ka |
Aksara Bali | Ejaan dengan huruf Latin |
---|---|
|
ma - na - k |
|
ba - pa - k |
[sunting] Aturan khusus
[sunting] Panggangge tengenan
Adeg-adeg tidak berhak ditulis melekat pada aksara yang sudah memiliki Pangangge tengenan sendiri. Maksudnya, huruf tersebut tidak perlu diberi adeg-adeg, sebab sudah ada yang mewakilinya (mewakili bunyinya).[2] Aksara yang mewakili itu disebut Pangangge tengenan. Yang termasuk Pangangge tengenan yaitu:Cecek |
Cecek merupakan huruf Nga yang sudah dimatikan bunyi vokal /a/-nya. Lambang cecek mewakili bunyi /ŋ/ ("ng"). |
Bisah |
Bisah merupakan huruf Ha yang sudah dimatikan bunyi vokal /a/-nya. Lambang bisah mewakili bunyi /h/. |
Surang |
Surang merupakan huruf Ra yang sudah dimatikan bunyi vokal /a/-nya. Lambang surang mewakili bunyi /r/. |
[sunting] Pemakaian di tengah kata
Biasanya, pemakaian adeg-adeg di tengah kata digantikan oleh gantungan aksara. Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama, namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu huruf yang sama disebut tumpuk tiga (tumpuk telu). Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[1]Misalnya pada kata "Tamblingan", dipakai adeg-adeg untuk mematikan huruf Ma. Bila tidak menggunakan adeg-adeg, maka gantungan La akan melekat di gantungan Ba, dan gantungan Ba akan melekat di bawah huruf Ma. Bila adeg-adeg ditulis di tengah kata, maka ditulis sebagai berikut:
Aksara Bali | Ejaan dengan huruf Latin |
---|---|
|
Ta - m - b - li - nga - n |
[sunting] Catatan kaki
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Cakra (guwung)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Cakra (guwung) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Letak penulisan: | Di bawah aksara yang dilekatinya. |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Penggunaan
Guwung digunakan pada kata yang berpola KKV (konsonan + konsonan + vokal) atau KKKV (konsonan + konsonan + konsonan + vokal). Contoh kata yang berpola KKV adalah: "dra", "pri", "tra", dan sebagainya. Contoh kata yang berpola KKKV adalah: "stra", "ntra", "ndra", dan sebagainya. Bila kata-kata tersebut disalin dari huruf Latin menjadi aksara Bali, maka huruf Latin R diganti dengan Guwung.Suku kata berpola KKV | |
---|---|
Aksara Bali | Ejaan dengan huruf Latin |
t - ra | |
p - ri |
[sunting] Guung macelek
Dalam aksara Bali, guwung atau cakra tidak boleh ditulis berdampingan dengan pepet. Contohnya pada kata "Krêsna" dan "Trêsna" (ê dibaca seperti huruf e pada kata "kemana", "kenapa"). Agar guwung dan pepet tidak ditulis berdampingan, maka digunakanlah guung macelek (lafal: /gʊ-woːŋ/ /mə-cə-lək/). Guung macelek itu sendiri juga merupakan gantungan aksara Ra repa.[sunting] Lihat pula
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Carik (aksara Bali)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Carik | ||
---|---|---|
Carik siki | Carik kalih | Carik pamungkah |
|
|
|
Carik kalih atau Carik pareren (lafal: /pərɛrɛn/; secara harfiah berarti "penghenti") adalah salah satu tanda baca yang digunakan dalam sistem penulisan aksara Bali, yang fungsinya sama seperti tanda titik dalam sistem penulisan huruf Latin. Carik pareren digunakan saat mengakhiri kalimat, di akhir judul suatu karangan, dan pada kidung/kakawin.
Carik pamungkah berfungsi seperti tanda titik dua dalam huruf Latin. Biasanya dipakai untuk mengawali dialog.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Penggunaan
Carik siki digunakan untuk mengakhiri kalimat sejenak, sama seperti fungsi tanda koma dalam huruf Latin.[2] Selain itu, carik siki juga digunakan dalam kakawin, dan kedudukannya sama seperti saat menulis kalimat. Apabila ada angka yang ditulis di tengah kalimat, maka carik siki digunakan untuk membedakan mana yang angka, mana yang huruf, agar tidak terjadi kekeliruan dalam membaca. Sebab, beberapa angka Bali bentuknya mirip dengan aksara Bali. Saat menulis angka di tengah kalimat, maka angka tersebut dimulai dengan carik siki, dan diakhiri pula dengan carik siki. Selain itu, carik siki digunakan saat membuat singkatan dengan menggunakan aksara Bali.Carik pareren atau Carik kalih biasanya digunakan di akhir sebuah kalimat. Carik pareren menandakan bahwa kalimat itu sudah diakhiri, sama seperti fungsi tanda titik pada huruf Latin. Selain itu, apabila ada dua carik kalih yang mengapit angka nol, maka terbentuklah tanda pasalinan, yang biasanya dipakai untuk mengakhiri surat atau karangan. Pada geguritan, tanda pasalinan tersebut dipakai sebagai pergantian tembang.
[sunting] Contoh penggunaan
Aksara Bali | Alihaksara |
---|---|
Bali, 1 Juli 1982. |
[sunting] Catatan kaki
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen A.B., I Wayan. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT. Mabhakti.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Cecek
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Fungsi
Fungsi cecek sama seperti tanda anuswara dalam huruf Dewanagari.[2] Cecek memberi efek agar suatu aksara wianjana (huruf konsonan) mendapat bunyi sengau dari pengucapan /ŋ/ (ng). Contohnya, kata "pasa" bila dilekati oleh cecek maka menjadi "pasang"; kata "sara" bila dilekati oleh cecek maka menjadi "sarang"; kata "lara" bila dilekati oleh cecek maka menjadi "larang"; dll. Aturan ini dianjurkan agar tidak perlu memberi adeg-adeg pada aksara "Nga".[sunting] Aturan penggunaan
Seperti pangangge tengenan lainnya, cecek tidak boleh ditulis sembarangan, harus mengikuti aturan menulis yang sudah ditetapkan.[sunting] Di akhir kata
Selain untuk menghindari gantungan bertumpuk, pemakaian cecek di tengah kata tidak diperbolehkan. Kata-kata seperti: "nangka", "jangka", "langka", "semangka", tidak diperbolehkan memakai cecek, sebab huruf Ng terletak di tengah kata. Kata-kata seperti: "bangkuang" dan "bangkiang" (bahasa Bali), diperbolehkan memakai cecek hanya untuk huruf Ng yang terletak di akhir kata. Cecek patut ditulis di akhir kata, apabila kata tersebut diakhiri dengan bunyi /ŋ/ (ng). Contoh kata: "pasang", "pisang", "lubang", "senang", dll. Tidak dianjurkan memakai adeg-adeg untuk melekati huruf Nga di akhir kata agar berbunyi /ŋ/.Aksara Bali | Ejaan dengan huruf Latin | Keterangan |
---|---|---|
|
Pa – sa – ng | Penulisan kata "pasang" yang benar dengan menggunakan aksara Bali. Jika dieja, kata tersebut dibentuk dari huruf Pa, Sa, dan tanda cecek (bunyi Ng). Suku kata terakhir dibubuhi tanda cecek agar dibaca "ng". |
|
Pa – sa – ng | Penulisan kata "pasang" yang salah dalam aksara Bali. Huruf Nga tidak perlu dibubuhi tanda adeg-adeg agar dibaca Ng. Dianjurkan memakai tanda cecek. |
[sunting] Bunyi suku kata yang sama
Cecek patut ditulis apabila suatu kata terdiri dari beberapa suku kata yang bunyi vokalnya sama dan mengandung bunyi /ŋ/ pada setiap suku katanya. Contoh kata (dalam bahasa Bali): "pongpong", "mongpong", "sungsung", "Klungkung", dan sebagainya.[sunting] Menghindari gantungan bertumpuk tiga
Cecek patut ditulis apabila suatu kata mengandung pola KKKV (konsonan-konsonan-konsonan-vokal), dimana huruf konsonan yang pertama dari pola tersebut berbunyi /ŋ/. Contohnya (dalam bahasa Bali): "ngkla", "ngkli". Contoh (dalam bahasa Bali) kata: "cangkling", "jungklang", "jungkling", dan sebagainya. Huruf Ng pada kata tersebut (yang sudah digarisbawahi) harus ditulis dengan cecek jika disalin menjadi tulisan Bali, meskipun tidak terletak di akhir kata.[sunting] Contoh penggunaan
|
[sunting] Lihat pula
[sunting] Catatan kaki
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Layar (surang)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Layar (surang) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Letak penulisan: | Di atas aksara yang dilekatinya. |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Penggunaan dan aturan
Layar atau surang digunakan pada suku kata yang berpola KVK (konsonan-vokal-konsonan) maupun KKVK (konsonan-konsonan-vokal-konsonan), dimana konsonan terakhir adalah fonem /r/. Contoh suku kata yang dimaksud adalah: sar, tar, swar, plar, dll.Dalam aksara Bali, fonem /r/ (Ra, Ra repa, guwung, surang) dan nasal /ɳ/ (Na rambat) sama-sama merupakan warga murdhania (konsonan retrofleks (tarik-belakang), meskipun menurut fonologi sesungguhnya Ra merupakan konsonan alveolar) dalam aksara Bali. Maka dari itu, dalam peraturan aksara Bali, apabila fonem /r/ diikuti dengan nasal /n/, secara otomatis fonem /n/ tersebut menjadi /ɳ/.[1] Secara sederhana, apabila dalam suatu kata terkandung surang (/r/), dan diikuti oleh aksara Na kojong (/n/), maka Na kojong tersebut berubah menjadi Na rambat (/ɳ/). Contoh kata yang dimaksud adalah: warna, karna, parna, dsb. Bila disalin ke dalam aksara Bali, huruf n pada kata-kata tersebut ditulis dengan Na rambat.
Layar atau surang dapat ditulis berdampingan dengan pepet atau ulu. Dalam penulisannya, pangangge suara (pepet dan ulu) didahulukan, lalu diikuti dengan surang.
[sunting] Surang dalam aksara Bali
Dalam peraturan penulisan aksara Bali, bentuk duita terjadi karena perubahan bentuk dari akar kata menjadi kata.[2] Contoh:- budh menjadi buddha
- cit menjadi citta
“ | Saluiring kruna lingga, yening aksarane ring arep masurang, ring pungkur wenang maduita.[2]
|
” |
Aksara Dewanagari |
Transliterasi aksara Dewanagari (IAST) |
Aksara Bali (dulu) |
Transliterasi aksara Bali (IAST) |
---|---|---|---|
कर्ण | Karṇa | Karṇna | |
सूर्य | Sūrya | Sūryya |
Aksara Dewanagari |
Transliterasi aksara Dewanagari (IAST) |
Aksara Bali (kini) |
Transliterasi aksara Bali (IAST) |
---|---|---|---|
कर्ण | Karṇa | Karṇa | |
सूर्य | Sūrya | Sūrya |
[sunting] Lihat pula
[sunting] Catatan kaki
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Nania
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nania |
---|
|
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Penggunaan
Nania digunakan pada suku kata berpola KKV (konsonan-konsonan-vokal), dimana bunyi /j/ merupakan konsonan[1] yang didahului oleh konsonan. Contoh suku kata: "tya" (lafal: /t̪ja/; konsonan /t̪/ dan /j/, vokal /a/); "nya" (lafal: /nja/; konsonan /n/ dan /j/, vokal /a/).Pada kalimat, nania digunakan pada kata yang mengandung bunyi /j/ namun didahului oleh konsonan. Contoh kalimat: “ambil yoyo.” Pada kalimat tersebut, huruf Y ditulis setelah huruf L, atau /j/ didahului konsonan /l/. Baik huruf Y maupun L ditulis pada kata yang berbeda, namun kalimat sama. Jika kalimat tersebut disalin menjadi aksara Bali, maka huruf Y disalin menjadi nania, dan ditulis di bawah huruf La.
Dalam bahasa Bali, nania digunakan pada kata-kata yang mengandung bunyi /ja/ yang diucapkan dengan cepat. Contoh: tabia (/t̪abjə/), abian (/abjan/), bangkiang (/baŋkjaŋ/), dsb.
Berbeda dengan aturan menulis huruf Latin di Indonesia, dimana huruf N dan Y membentuk fonem nasal palatal (/ɲ/), dalam aksara Bali, fonem tersebut dilambangkan dengan sebuah huruf saja. Nania tidak digunakan apabila mengalihaksarakan "nya" sebagai bunyi nasal palatal (/ɲa/), namun digunakan bila "nya" dianggap sebagai bunyi konsonan rangkap (/nˈja/). Dalam IAST, dipakai huruf Ñ agar tidak rancu dengan Ny sebagai dua huruf satu fonem.
[sunting] Variasi bentuk
Nania dapat ditulis dengan berbagai cara yang berbeda sesuai dengan aksara yang dilekatinya. Selain itu, nania dapat ditulis serangkai dengan guwung.-
Bentuk Nania jika melekati gantungan aksara, khususnya gantungan yang garis akhirnya mengarah ke bawah, misalnya Ha, Ka, Ta, dsb.
-
Bentuk Nania bila dikombinasikan dengan Cakra atau Guwung.
[sunting] Lihat pula
[sunting] Catatan kaki
- ^ Dalam peraturan aksara Bali, huruf Ya dianggap sebagai konsonan semivokal.
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
|
|||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||||||||||||||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||||||||||||||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||||||||||||||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||||||||||||||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||||||||||||||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||||||||||||||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
Pamada
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pamada | |
---|---|
Keterangan | |
· Merah: Ma · Biru: Nga |
· Ungu: Ja · Hijau: Pa |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Bentuk
Bentuk utuh |
Komponen | |||
---|---|---|---|---|
Ma | Nga | Ja | Pa | |
|
|
|
|
|
Empat tanda tersebut dipilih karena bila digabung, maka akan terbentuk kata "mangajapa". Kata tersebut berarti "mohon anugrah supaya selamat sentosa". Bila dua tanda pamada mengapit tanda windu (nol) dalam aksara Bali, maka akan beralih fungsi menjadi tanda carik agung.
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Pamada berfungsi sebagai tanda dimulainya suatu kakawin, judul karangan, dan ucapan suci, misalnya mantra-mantra. Sedangkan fungsi tanda carik agung hampir sama dengan tanda pamada, yaitu mengawali judul karangan. Makna tanda Pamada itu sendiri sama dengan pengucapan awighnamastu, ucapan suci dalam agama Hindu yang berarti "semoga berhasil tanpa halangan". Tanda Pamada dipakai dengan harapan agar apa yang ditulis dapat berjalan dengan lancar.[sunting] Lihat pula
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Panten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Panten |
---|
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Panten berfungsi sama seperti pamada, yaitu mengawali penulisan dengan harapan agar yang ingin ditulis dapat terlaksana dengan lancar tanpa halangan. Panten digunakan sebagai tanda pembuka suatu paragraf, surat, essai, dan geguritan. Panten juga digunakan untuk mengawali judul suatu cerita, atau suatu bab. Dalam surat, panten biasanya hanya terdapat pada paragraf awal.[sunting] Catatan kaki
- ^ Tinggen, hal. 26.
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Pepet (Hanacaraka)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pepet | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Fonem: | [ə] |
Letak penulisan: | di atas aksara yang dilekatinya. |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Dalam aksara Jawa dan Bali, pepet memberi vokal /ə/ pada huruf konsonan yang dilekatinya. Pepet ditulis di atas aksara yang dilekatinya. Pepet boleh ditulis berdampingan dengan simbol layar/surang dan cicak/cecek, dengan syarat bahwa pepet ditulis lebih dahulu, setelah itu diikuti oleh layar/surang atau cicak/cecek.Baik dalam aksara Jawa maupun Bali, tidak ada aksara tersendiri yang melambangkan vokal /ə/. Vokal /ə/ hanya terdapat dalam tanda (vokalisasi) pepet. Sebagai tanda vokalisasi, pepet tidak dapat ditulis sendiri. Huruf vokal /ə/ yang berdiri sendiri diperoleh dengan mengkombinasikan pepet dengan huruf vokal A atau konsonan Ha.[2][3]
Suku (Hanacaraka)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Fonem: | [u] |
Letak penulisan: | di bawah aksara yang dilekatinya |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Bentuk
Perbedaan antara suku dalam aksara Jawa dengan suku dalam aksara Bali adalah variasi cara penulisan. Suku dalam aksara Jawa dibuat lebih panjang dan runcing sedangkan suku dalam aksara Bali dibuat lebih pendek dan tumpul.Aksara Jawa | Aksara Bali | ||
---|---|---|---|
Suku | Suku mendut/ dirga mendut |
Suku | Suku ilut/ suku kered |
|
|
|
|
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Dalam aksara Jawa dan Bali, suku memiliki fungsi yang sama, yaitu memberi vokal /u/ pada huruf konsonan. Suku ditulis di bawah huruf konsonan. Suku juga boleh ditulis di bawah pasangan/gantungan aksara.[sunting] Suku dalam aksara Bali
Dalam aksara Bali, selain suku biasa, ada 2 suku lainnya, yaitu suku ilut (suku kered) dan suku kembung (gantungan Wa). Keduanya memiliki kemiripan dengan suku murda dan pasangan Wa dalam aksara Jawa. Karena suku dapat ditulis pada gantungan aksara, maka cara penulisannya juga berbeda-beda.[sunting] Suku ilut
Suku ilut disebut juga suku kered. Tanda ini melambangkan vokal /uː/ atau /u/ panjang. Dipakai untuk menuliskan kata-kata asing dengan aksara Bali, misalnya bahasa Kawi dalam lontar, atau untuk bahasa Bali serapan. Dalam bahasa Bali sekarang, suara /u/ panjang dan pendek tak bisa dibedakan lagi, namun dari segi penulisan masih tetap dipertahankan. Suku ilut ditulis lebih kecil bila melekati gantungan aksara, khususnya bila garis akhir gantungan tersebut mengarah ke bawah. Namun bila garis akhir gantungan tersebut ke atas, maka suku ilut ditulis berbeda. Hal ini juga berlaku untuk nania.[sunting] Suku kembung
Suku kembung identik dengan gantungan Wa dan tidak bisa dibedakan. Suku kembung digunakan untuk suku kata yang berpola KKV (konsonan-konsonan-vokal), dimana konsonan yang kedua adalah /w/. Suku kembung dapat ditulis serangkai dengan tedung.[sunting] Perubahan penulisan
Dalam aksara Bali, penulisan suku mengalami beberapa perubahan bila melekati suatu gantungan (lihat gambar di sebelah kanan).- Suku dan suku ilut ditulis lebih kecil, biasanya untuk gantungan aksara yang garis akhirnya mengarah ke bawah (lihat gambar 1 dan 2). Untuk gantungan aksara La, Ba, Na rambat, dan Ga gora, yang garis akhirnya mengarah ke atas, penulisan garis akhirnya dilanjutkan agar mengarah ke bawah, sehingga suku dapat melekatinya.
- Suku ditulis tidak melekati gantungan aksara (lihat gambar 3), biasanya untuk gantungan yang garis akhirnya mengarah ke atas, yaitu gantungan yang termasuk pangangge aksara – Ya, Ra, Wa – kecuali La.
- Suku ilut/suku kered mengalami perubahan bentuk bila melekati pangangge aksara (kecuali La) dan Ja jera yang garis akhirnya mengarah ke atas (lihat gambar 4). Garis akhir Pa kapal juga mengarah ke atas, namun bentuk suku dan suku ilut yang melekatinya tidak dimodifikasi.
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Taling
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Taling | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Letak penulisan: | di depan aksara yang dilekatinya. |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Aksara Jawa dan Bali merupakan abugida, dimana setiap huruf konsonan diikuti oleh vokal /a/. Taling berfungsi mengubah vokal /a/ pada huruf konsonan yang dilekatinya sehingga menjadi /eː/ atau /ɛ/.Taling ditulis di depan huruf konsonan yang dilekatinya. Taling bisa dikombinasikan dengan layar/surang yang melambangkan fonem retrofleks /r/, dan cicak/cecek yang melambangkan fonem nasal /ŋ/.
Dalam aksara Bali, taling yang melekati huruf Ha dipakai sebagai pengganti huruf E kara, khususnya bagi kata-kata dalam bahasa Bali asli yang diawali vokal /eː/ atau /ɛ/ pada suku kata pertamanya.
[sunting] Tanda vokalisasi ai
Tanda vokalisasi ai | |
Dirga muré (Jawa); Taling detya (Bali) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Letak penulisan: | di depan aksara yang dilekatinya. |
[sunting] Kombinasi dengan tarung (tedung)
Baik dalam aksara Jawa maupun Bali, taling yang dikombinasikan dengan tarung/tedung berubah fungsi menjadi tanda vokalisasi /oː/. Dalam aturan penulisan, taling ditulis terlebih dahulu, diikuti oleh konsonan, dan diakhiri oleh tarung/tedung.Bila huruf konsonan yang ingin diberi tanda vokalisasi berwujud pasangan/gantungan aksara yang ditulis ke bawah, penulisan taling dan tarung/tedung tidak digeser ke bawah. Dalam kasus seperti itu, perlu diperhatikan bahwa pasangan/gantungan aksara-lah yang diberi tanda vokalisasi, bukan huruf konsonan yang dilekati oleh pasangan/gantungan aksara tersebut.
Tarung/tedung yang dikombinasikan dengan taling repa (dalam bhs. Bali juga disebut taling detya) akan menjadi tanda vokalisasi /aːu/. Aturan penulisannya sama seperti cara mengkombinasikan taling dengan tarung/tedung.
[sunting] Lihat pula
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Tarung (tedung)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tarung (tedung) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Fonem: | [o]; [ɔ] |
Letak penulisan: | Di belakang aksara yang dilekatinya. |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Dalam aksara Jawa, tarung ditulis di belakang konsonan yang dilekatinya. Penulisannya pun terpisah. Sedangkan dalam aksara Bali, tedung ditulis di belakang, namun menyatu dengan konsonan yang dilekatinya. Pengecualian hanya berlaku bagi huruf Ba, Nga, Ja, Nya, Ka mahaprana, Ca laca, Ja jera, dan Pa kapal.
Selain membuat huruf konsonan dibaca lebih panjang, tarung/tedung juga membuat huruf vokal dibaca lebih panjang. Misalnya, bila diberi tarung/tedung, maka huruf A dibaca /aː/, huruf U dibaca /uː/, dan sebagainya. Dalam aksara Jawa, huruf vokal yang diberi tarung adalah A, U, dan O. Huruf I dan E memiliki variasi bentuk antara mana yang suara pendek dan suara panjang. Sedangkan dalam aksara Bali, hampir seluruh huruf vokal diberi tedung agar dibaca lebih panjang, kecuali E dan La lenga. Dalam aksara Bali, selain A, semua huruf vokal yang diberi tedung ditulis terpisah.
Vokal panjang | |||||
---|---|---|---|---|---|
Aksara Jawa | Aksara Bali | ||||
Ā | Ō | Ū | Ā | Ō | Ū |
[sunting] Kombinasi dengan taling
Tarung/tedung yang dikombinasikan dengan taling (tanda vokalisasi /e/) akan menjadi tanda vokalisasi /o/. Menurut aturan penulisan, taling ditulis terlebih dahulu, diikuti oleh huruf konsonan, diakhiri oleh tarung/tedung.Bila huruf konsonan yang ingin diberi tanda vokalisasi berwujud pasangan/gantungan aksara yang ditulis ke bawah, penulisan taling dan tarung/tedung tidak digeser ke bawah. Dalam kasus seperti itu, perlu diperhatikan bahwa pasangan/gantungan aksara-lah yang diberi tanda vokalisasi, bukan huruf konsonan yang dilekati oleh pasangan/gantungan aksara tersebut.
Tarung/tedung yang dikombinasikan dengan taling repa (dalam bhs. Bali juga disebut taling detya) akan menjadi tanda vokalisasi /aːu/. Aturan penulisannya sama seperti cara mengkombinasikan taling dengan tarung/tedung.
[sunting] Lihat pula
[sunting] Catatan kaki
- ^ Istilah tedung lazim digunakan di Bali. Kadangkala disebut tedong.
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Wisarga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wisarga | |
Wignyan (Jawa); Bisah (Bali) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Letak penulisan: | di belakang aksara yang dilekatinya |
Dalam aksara Bali, tanda wisarga ‹ः› disebut bisah, dan dalam aksara Jawa disebut wignyan. Dalam aksara Bali, ia dianggap sebagai salah satu pangangge tengenan yang melambangkan bunyi /ɦ/ atau /h/.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Bisah (wisarga) dalam aksara Bali
Bisah memberi efek agar suatu aksara wianjana mendapat desahan dari pengucapan huruf "H". Contohnya, kata "mara" bila dilekati oleh bisah maka menjadi "marah"; kata "basa" bila dilekati oleh bisah maka menjadi "basah"; kata "pisa" bila dilekati oleh bisah maka menjadi "pisah"; dll. Aturan ini dianjurkan agar tidak perlu memberi adeg-adeg pada aksara Ha.[sunting] Penggunaan
[sunting] Di akhir kata
Bisah digunakan pada kata-kata yang mengandung bunyi /h/ pada akhir kata. Maka dari itu, ia ditulis pada akhir kata, tepatnya pada suku kata terakhir. Contoh kata yang mengandung bunyi /h/ pada suku kata terakhir, yaitu: "basah", "pisah", "asah", "desah", dll. Meskipun huruf Ha yang dilekati oleh adeg-adeg dapat dipakai untuk melambangkan bunyi /h/, penggunaan tanda bisah sangat dianjurkan, karena aturan penulisannya memang demikian.Aksara Bali | Ejaan dengan huruf Latin | Keterangan |
---|---|---|
de - sa - h | Penulisan kata "desah" yang benar dalam aksara Bali. Suku kata terakhir mendapat tanda bisah agar dibaca dengan desahan /h/. | |
de - sa - h | Penulisan kata "desah" yang salah dalam aksara Bali. Huruf Ha tidak perlu dibubuhi dengan tanda adeg-adeg agar kata tersebut dibaca dengan desahan /h/. Dianjurkan menggunakan tanda bisah. |
[sunting] Suku kata yang sama
Bisah patut digunakan apabila ada suatu kata yang terdiri dari suku kata yang sama, dan suku kata tersebut mengandung bunyi /h/ yang tidak diikuti vokal /a/. Apabila kata tersebut diluluhkan menjadi kata kerja (bahasa Bali: kapolahang), tetap memakai bisah, meski suku katanya berubah karena peluluhan tersebut. Contoh (dalam bahasa Bali) kata: "cahcah" (jika diluluhkan menjadi "nyahcah"), "kohkoh" (jika diluluhkan menjadi "ngohkoh"), dan sebagainya. Huruf H (yang digarisbawahi) pada kata tersebut wajib diganti dengan bisah apabila disalin ke dalam aksara Bali.[sunting] Lihat pula
[sunting] Catatan kaki
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Wulu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wulu (ulu) | |
Wulu (Jawa); Ulu (Bali) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
|
|
Fonem: | [i] |
Letak penulisan: | di atas aksara yang dilekatinya |
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Bentuk
Bentuk dan fungsi tanda wulu dalam aksara Jawa memengaruhi tanda ulu dalam aksara Bali. Perbedaan terletak pada variasi cara penulisan.Aksara Jawa | Aksara Bali | ||
---|---|---|---|
Wulu | Wulu melik | Ulu | Ulu sari |
|
|
|
|
[sunting] Fungsi dan penggunaan
Aksara Jawa dan Bali merupakan abugida, dimana setiap huruf konsonan mengandung vokal /a/ dan membutuhkan tanda vokalisasi untuk mengubah vokal tersebut. Wulu atau ulu mengganti vokal /a/ dengan vokal /i/ pada aksara yang dilekatinya. Wulu atau ulu ditulis di atas aksara yang dilekatinya, dan dapat ditulis berdampingan dengan tanda sandhangan/pangangge lainnya yang harus ditulis di atas aksara, misalnya layar/surang dan cecak/cecek.[sunting] Ulu dalam aksara Bali
Selain ulu biasa, terdapat 3 macam ulu lainnya dalam aksara Bali, yaitu ulu sari, ulu ricem, dan ulu candra. Ulu sari merupakan pangangge suara yang banyak dijumpai setelah ulu biasa, sedangkan ulu ricem dan ulu candra hanya dijumpai pada kitab-kitab berbahasa Kawi dan Sanskerta, karena pemakaiannya terbatas, dan termasuk ke dalam jenis aksara modre[1] (aksara yang dipakai dalam mantra dan rajah, diyakini mengandung kekuatan gaib). Selain itu, ulu ricem dan ulu candra bukanlah tanda vokalisasi, melainkan tanda nasalisasi.Ulu sari | Ulu ricem | Ulu candra | ||
---|---|---|---|---|
|
|
|
|
|
[sunting] Ulu sari
Ulu sari disebut juga Sucika (śucika). Ia adalah pangangge suara yang melambangkan fonem vokal /iː/ atau suara /i/ panjang. Bentuknya seperti ulu yang diberi tanda carik. Biasanya ditulis pada kata-kata non-Bali yang ditulis dengan aksara Bali, misalnya nama Dewa-Dewi Hindu, nama tokoh dalam wiracarita Hindu, nama lokasi di India, dan kata asing (Sanskerta dan Kawi) yang diserap menjadi bahasa Bali. Sama seperti ulu, tanda ini ditulis di atas aksara yang dilekatinya.[sunting] Ulu ricem
Ulu ricem adalah pangangge suara osthya dalam aksara Bali.[1] Ulu ricem merupakan tanda nasalisasi labial. Aksara yang dilekatinya mengandung fonem nasal /m/. Ulu ricem hanya dipakai pada kitab berbahasa Sanskerta, misalnya Weda.[sunting] Ulu candra
Ulu candra termasuk pangangge suara anunasika.[1] Ulu candra sama seperti ulu ricem, yaitu tanda nasalisasi. Tanda ini juga ditemui dalam aksara Dewanagari, dengan nama Candrabindu. Aksara yang dilekati oleh ulu candra mengandung fonem nasal /ŋ/. Dalam huruf Latin IAST, sering ditulis dengan huruf ṁ. Ulu candra terdiri dari 3 bagian:[2]- bagian yang paling bawah, garis lengkung seperti bulan sabit, disebut ardhacandra, sebagai lambang sakti (energi) atau Prakerti. Dilambangkan dengan huruf A.
- bagian tengah, lingkaran/noktah, disebut bindu, sebagai lambang matahari. Dilambangkan dengan huruf U.
- bagian teratas, garis meruncing ke atas/segitiga sama kaki (trikona), disebut nada, sebagai lambang Siwa atau phalus. Dilambangkan dengan huruf M.
[sunting] Catatan kaki
[sunting] Referensi
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
- Puja, Gede. 1985. Agama Hindu untuk Kelas II SLTA. Penerbit Maya Sari.
[sembunyikan]
|
|||
---|---|---|---|
Aksara suara (Vokal) |
|||
Warga Kanthya (Konsonan langit-langit belakang) |
|||
Warga Talawya (Konsonan langit-langit) |
|||
Warga Murdhanya (Konsonan tarik-belakang) |
|||
Warga Dantya (Konsonan gigi) |
|||
Warga Osthya (Konsonan bibir) |
|||
Aksara ardhasuara (Semivokal) |
|||
|
|||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar