Orang Minang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Minangkabau |
---|
Tokoh Minang terkenal; dari atas ke bawah: Baris pertama: Adityawarman, Imam Bonjol, Rohana Kudus, Haji Agus Salim, Buya Hamka. Baris kedua: Sutan Syahrir, Abdul Muis, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Chairil Anwar. Baris ketiga: Rasuna Said, Usmar Ismail, Meutia Hatta, Rosihan Anwar, Elly Kasim. Baris keempat: Harry Roesli, Sherina Munaf, Fariz RM, Bunga Citra Lestari, Taufiq Ismail. |
Jumlah populasi |
Kurang lebih 8 juta di Indonesia (2010)[rujukan?] |
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan |
Sumatera Barat, Indonesia: 4.264.345. Jabotabek, Indonesia: 890.000. Riau, Indonesia: 624.000. Jambi, Indonesia: 495.000. Aceh, Indonesia: 448.000. Sumatera Utara, Indonesia: 345.000. Kepulauan Riau, Indonesia: 156.000. Bengkulu, Indonesia: 73.000. Sumatera Selatan, Indonesia: 70.000. Negeri Sembilan, Malaysia: 450.000[1]. |
Bahasa |
Bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. |
Agama |
Islam. |
Kelompok etnis terdekat |
Melayu. |
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[2] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).[3]
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki,[4] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,[5] walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung,
menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa
Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.[6]
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.[7][8] Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu
dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan
permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam
pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.[9]
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai
profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari
tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.[10]
Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam
perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.[11]
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit)
yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau.
Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak
kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu
menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu
langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut
kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat
setempat memakai nama Minangkabau,[12] yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut.[13] Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[14] tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ....[15]
Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris
ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga
menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan.[16] Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.[17] Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
[sunting] Asal-usul
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada
legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang
sudah menjadi milik masyarakat banyak.[4] Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.[18]
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera
sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar
sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.[19] Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar.[5] Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah luhak ini menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.[4]
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta
membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau
bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk
ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari
kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.[20] Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
[sunting] Agama
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat".
Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun
ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman),[21] serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803,[22] memainkan peranan penting dalam penegakan hukum
Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul
tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi
adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an.[23]
[sunting] Adat dan budaya
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan.
Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis,
sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang
aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama,
cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama
tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter,
semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara
mufakat.[24]
[sunting] Matrilineal
Matrilineal
merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas
masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan
dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang,
memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan
keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka
sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah).[25]
Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset
ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih
tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada
komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi
adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan
tersebut. Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan
untuk menyerahkan harta pusaka—yang seharusnya dibagi kepada setiap anak
menurut hukum faraidh dalam Islam—hanya
kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula
kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato
dalam disertasinya
menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri
orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar
Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem Patrilineal.[26]
[sunting] Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu,
ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai
bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk
tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini
merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang
menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu.[27][28]
Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga
sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya
masing-masing.[29][30]
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
[sunting] Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian,
seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun
perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan
merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang
ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja
sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil
memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan
lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau
merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah
berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang,[31] dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.[32]
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau
bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme.
Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan
kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.[33]
[sunting] Olahraga
Pacuan kuda merupakan olah raga
berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat
ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan
tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan
kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan
dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba Pacu jawi dan Pacu itik.
[sunting] Rumah adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun.[34] Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.[35]
Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah
panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang
biasa disebut gonjong[36] dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi
penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah
beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum
menikah, biasanya tidur di surau. Surau
biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain
berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal
lelaki dewasa namun belum menikah.
Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
[sunting] Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan
merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan
merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok
kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan
juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga
istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses
dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya.[37] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
[sunting] Masakan khas
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara umum.
Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.[38]
[sunting] Sosial kemasyarakatan
[sunting] Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari
organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat
suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam
tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu,
dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.[5]
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari
unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga,
harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal
sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari
seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan
dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana
jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa
musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.[39]
[sunting] Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari.
Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di
Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat
mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari
pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini
disebut dengan Kerapatan Adat Nagari
(KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah
keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah
terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan
individu untuk mendapatkan status dan prestise.[40]
Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan
prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta
menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam
istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[5] Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.
[sunting] Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk,
merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga
untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang
laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap
kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara,
bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini
dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum,
membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari.
Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam
rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum
bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan
konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga
posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota
kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar
kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku.[41] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari,
merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan
berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya
yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar,
sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga
kaya.[42]
[sunting] Kerajaan
Dalam laporan de Stuers[43] kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno.[44] Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo
yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada
dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi
pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan,
salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang signifikan
di Semenanjung Malaya. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini
menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
[sunting] Minangkabau perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang
hidup di luar kampung halamannya. Merantau merupakan proses interaksi
masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah
petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama
memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua
kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam
mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga
pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.[45]
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun,
baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk
mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta
kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan
kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan
sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam
usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang
kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang
dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki
sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
[sunting] Jumlah perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan
tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[46] Berdasarkan sensus tahun 2010,
etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa,
dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan.
Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam
rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.[26]
Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos
merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab
menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di
perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya
hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum
mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap
di perantauan.
Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar
Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup
signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,7% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut.[47] Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.[48] Di kota-kota lainnya, dimana jumlah orang Minangkabau mencapai 10% atau lebih dari keseluruhan penduduk kota tersebut ialah Takengon (25,9%), Sigli (25,4%), Tanjung Pinang (20%), Binjai (16,6), Sibolga (16,6%), Sabang (15,9%), Gunungsitoli (14,5%), Tanjung Balai (13,9%), Medan (13,5%), Padang Sidempuan (13,3%), Palembang (10%), dan Jakarta (10%).[49]
[sunting] Gelombang rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi
pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas
yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[50]
Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga
Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan
koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia.
Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi
perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang
pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Natal, hingga Bengkulu.[51] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa,
sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama
istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di
Sulawesi.[52] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961
jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali
dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7
kali,[53] dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.[54] Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
[sunting] Perantauan intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah
untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang,
dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka,
hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan
pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang
merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan
dan pendiri Republik Indonesia.[55]
[sunting] Sebab merantau
[sunting] Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya
ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan
harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam
hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda
tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya
diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan
menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik
kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba
pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.[41]
Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau.
Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena
alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan
melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda,
dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme
melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas,
hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat
Minangkabau.[56] Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
[sunting] Faktor ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi
dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil
pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat
menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi
penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain
itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan
dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang
Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan
pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih
dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah
ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan
hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[57] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.[58]
Pedagang dari Arab
pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera
telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian
dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang
menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires
sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di
Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal
dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri
pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.[59]
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[60] dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.[61]
Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari
laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur
Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu
itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan
masyarakatnya adalah pendulang emas.[62]
Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.[63] Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.[64]
[sunting] Faktor perang
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah perang Padri,[23] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh menentang Belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926-1927.[65] Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.[54]
Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter
masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan
perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih
memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[66] Orang Kubu
menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan
masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan
resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau
menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden
sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan
masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang
Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja
dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk
lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok
tersebut.[43]
[sunting] Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering
menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung.
Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang
merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis
juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut,
dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat
budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi,
mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya
menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya
yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya
berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot
dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga
dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
[sunting] Orang Minangkabau dan kiprahnya
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab
itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam
berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi,
penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang.
Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk
Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan
banyak pencapaian.[26] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.[67] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.[68][69]
Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada
di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah
di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan.[70] Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773.
Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Tuanku Tunggang Parang, Dato Ri
Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, hingga sebagian Indonesia
timur. Misalnya seperti Dato Makuta, Tuanku Tunggang Parang dan Dato Ri
Bandang mengislamkan kerajaan Gowa
di Sulawesi Selatan. Dato Karama mengislamkan sebagian wilayah Sulawesi
Tengah. Dato Ri Tiro mengislamkan Makassar di Sulawesi Selatan dan Bima
di Pulau Sumbawa. Setelah huru-hara pada Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I yang sebelumnya juga merupakan Sultan Johor mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[71]
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir
dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan
Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal
parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung
kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis,
dan sosialis.
Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat,
orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di
Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Eni Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[72]
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said.
Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak
menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis
pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya
tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana,
novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa
Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel
karya sastrawan Minang seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa,
orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha
Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan,
perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha
sukses adalah, Abdul Latief (pemilik TV One), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia).
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai
sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan
produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal.
Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak
menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam
1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang,
seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Ade Irawan, Dorce Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film
perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan
peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.[73] Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.
[sunting] Catatan kaki
- ^ Sumber statistik rasmi Malaysia, Departemen Statistik Malaysia, diakses pada 22 Juli 2011
- ^ Josselin de Jong, P.E. de, (1960), Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia, Jakarta: Bhartara
- ^ Kingsbury, D., Aveling, H., (2003), Autonomy and disintegration in Indonesia, Routledge, ISBN 0-415-29737-0
- ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies 32 (3): 295–313. doi: .
- ^ Evers, Hans-Dieter, Korff, Rüdiger, (2000), Southeast Asian Urbanism, LIT Verlag Münster, Ed.2nd , hlm.188, ISBN 3-8258-4021-2
- ^ Ong, Aihwa, Peletz, Michael G., (1995), Bewitching women, pious men: gender and body politics in Southeast Asia, University of California Press, hlm. 51, ISBN 0-520-08861-1
- ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, and Mohamad, Maznah, (2009), Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Chaptep 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-874-0
- ^ Graves, Elizabeth E. (8 Februari 1981). The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century. Itacha, NY: Cornell Modern Indonesia Project #60. hlm. 1.
- ^ Ramli, Andriati, (2008), Masakan Padang: Populer & Lezat, Niaga Swadaya, ISBN 978-979-1477-09-3.
- ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ Hill, A. H., (1960), Hikayat Raja-Raja Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, London. Library, MBRAS.
- ^ Brandes, J.L.A., (1902), Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
- ^ Cœdès, George, (1930), Les inscriptions malaises de Çrivijaya,BEFEO
- ^ Purbatjaraka, R.M. Ngabehi, (1952), Riwajat Indonesia, I, Djakarta: Jajasan Pembangunan.
- ^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
- ^ Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
- ^ Graves (1981), p. 4.
- ^ Andaya, L.Y., (2008), Leaves of the same tree: trade and ethnicity in the Straits of Melaka, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-3189-6
- ^ Abdullah, Taufik, (1966), Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau, Indonesia, (2) 2: 1–24. doi:10.2307/3350753.
- ^ Azra, Azyumardi, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
- ^ a b Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
- ^ Westenenk, L. C. (1918). De Minangkabausche Nagari. Weltevreden: Visser. hlm. 59.
- ^ Koning, Juliette, (2000), Women and households in Indonesia: cultural notions and social practices, Routledge, ISBN 0-7007-1156-2.
- ^ a b c Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
- ^ Simanjuntak, Mengantar, (1982), Aspek bahasa dan pengajaran, Sarjana Enterprise.
- ^ Garry, J., Carl R., Rubino, G., (2001), Facts about the world's languages: an encyclopedia of the world's major languages, past and present, H.W. Wilson, ISBN 0-8242-0970-2.
- ^ Medan, Tamsin, (1985), Bahasa Minangkabau dialek Kubuang Tigo Baleh, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ Nadra, (2006), Rekonstruksi bahasa Minangkabau, Andalas University Press, ISBN 979-3364-55-6.
- ^ Phillips, Nigel, (1981), Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-23737-6.
- ^ Pauka K., (1998), Theater and martial arts in West Sumatra: Randai and silek of the Minangkabau, Ohio University Press, ISBN 978-0-89680-205-6.
- ^ Suryadi (2010), Masa Depan Seni Bersilat Lidah Minangkabau, Padang Ekspres.
- ^ Graves, Elizabeth E., (2007), Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial Belanda abad XIX/XX, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-661-1.
- ^ Azinar Sayuti, Rifai Abu, (1985), Sistem ekonomi tradisional sebagai perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap lingkungan daerah Sumatera Barat, hlm. 202, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
- ^ Navis, A.A., Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3, Grasindo, ISBN 979-759-551-X.
- ^ Idris, Soewardi (2004). Sekitar Adat Minangkabau. Jakarta: Kulik-Kulik Alang, Himpunan Eks-Siswa SMP Negeri Solok Masa Revolusi, 1946-1949,.
- ^ World’s 50 Most Delicious Foods by CNN GO.
- ^ de Jong, P.E de Josselin (8 Februari 1960). Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political structure in Indonesia. Djakarta: Bhartara. hlm. 10.
- ^ Graves (1981), p. 11.
- ^ a b Stibbe (8 Februari 1869). Het Soekoebestuur in de Padangsche Bovenlanden. hlm. 33.
- ^ Graves (1981), p. 25.
- ^ a b Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
- ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California Press. hlm. 25-86.
- ^ Graves (1981), p. 40.
- ^ Naim, Mochtar. Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore.
- ^ Peran Budaya Melayu dan Kewirausahaan. Bappeda Kota Pekanbaru
- ^ Barbara Watson Andaya, Recreating a Vision. Daratan and Kepulauan in Historical Context, 1997, p.503
- ^ Naim, Mochtar. Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore.
- ^ Munoz, Paul Michel (8 Februari 2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
- ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784 – 1847.
- ^ Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah, www.rajaalihaji.com, 24 Desember 2008, diakses pada 22 Juli 2011
- ^ Castles, Lance (1967). Religion, politics, and economic behaviour in Java: the Kudus cigarette industry. Yale University.
- ^ a b Syamdani, (2009), PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, ISBN 978-979-788-032-3.
- ^ Poeze, Harry A. In het Land van de Overheerser: Indonesiër in Nederland 1600-1950.
- ^ Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma'arif, Satu Nomor Contoh Produk Tradisi Merantau, Antara Sumbar, 5 November 2008, diakses pada 22 Juli 2011
- ^ Bemmelen Van R.W., (1970), The Geology of Indonesia, The Haque.
- ^ Wheatley P., (1961), The Golden Khersonese, Kuala lumpur, pp.177-184
- ^ Cortesao A., (1944), The Suma Oriental of Tome Pires, London:Hakluyt Society.
- ^ Marsden W., (1811), The History of Sumatra, London
- ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
- ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39
- ^ Tobler A., (1911), Djambi-Verslag, Jaarboek van het Minjwezen in Nedelandsch Oost-Indie: Verhandelingen, XLVII/3.
- ^ Raffles, Sophia, (1830), Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, London: J. Murray.
- ^ Kahin, Audrey R.,(2005), Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.
- ^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 73.
- ^ Majalah Tempo Edisi Khusus Tahun 2000, Desember 1999.
- ^ Tim Wartawan Tempo, "4 Serangkai Pendiri Republik", Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta (2010)
- ^ Empat Pendiri Republik Indonesia adalah Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka
- ^ Naim, Mochtar. Merantau.
- ^ Sejarah Kerajaan Siak Sejarah Kerajaan Siak, diakses pada 22 Juli 2011
- ^ Budaya Merantau Orang Minang (1) Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan, Pos Metro Padang, 10 Oktober 2008, diakses pada 24 Juli 2011[pranala nonaktif]
- ^ Mengenang Sastrawan Rustam Effendi, Tempo Interaktif, 2 Juni 1979, diakses pada 22 Juli 2011
[sunting] Literatur
- (Jerman) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac, Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
- (Jerman) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den Minangkabau in Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
- (Jerman) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches, Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3 (Erlebnisbericht)
- A.A. Navis, Curaian Adat Minangkabau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar