Mahasiswa meminta sumbangan: Antara simpati dan antipati
OPINI | 08 November 2011 | 17:48
78
2
1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat
Seharian ini saya diajak menemani saudara sepupu saya untuk beberapa
keperluan. Perjalanan ini memang memutari kota Padang beberapa kali,
karena banyaknya tempat-tempat yang dituju. Dan kami melintasi jalan
utama, yaitu Jalan Sudirman hingga beberapa kali. Sepupu saya komplain
beberapa kali mengenai banyaknya anak mahasiswa yang berdiri dengan
kotak kardus ditangan dan meminta sumbangan untuk korban bencana banjir
bandang di Pesisir Selatan.
Di beberapa perempatan jalan, para mahasiswa ini berdiri disetiap jalan
dan meminta sumbangan pada saat lampu merah. Jarak antara satu
perempatan dengan perempatan lainnya lebih kurang adalah sekitar 200-250
meter dan pada perempatan lampu merah berikutnya sudah ada kembali
mahasiswa yang berdiri dengan kotak sumbangan.
Sepupu saya memang mengomel tak hentinya mengenai ini. Baru saja dia berhenti disatu lampu merah dan disodori kotak sumbangan, eh tahu-tahu
diperempatan berikutnya kembali disodori. Apalagi ketika kami melintasi
tempat yang sama beberapa kali. Karena dia sudah mulai kesal, sayapun
mengangkat tangan tanda memohon maaf karena tidak memberikan sumbangan.
Si sepupu mengatakan bahwa kenapa sih mahasiswa tidak bisa
meminta sumbangan dengan cara yang lebih elegan. Dia juga mengatakan
bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman lampau, tidak pernah ada audit
dan laporan tentang uang yang dikumpulkan kepada publik. Dan kalaupun
ada, menurutnya seharusnya disampaikan secara luas, toh mereka meminta sumbangan juga kepada masyarakat luas.
Menilik kejadian siang tadi, sebenarnya kejadian seperti ini sudah
berulang dan tentu saja komplain juga sudah sering. Saya tidak menafikan
bahwa saya sangat mengapresiasi para mahasiswa yang terpanggil untuk
membantu yang sedang dilanda kesulitan. Sebagai seorang mahasiswa, saya
paham akan keinginan mereka tersebut dan biasanya aksi ini dilakukan
secara spontanitas.
Spontanitas para mahasiswa ini memang patut diacungi jempol. Mereka rela
berpanas dan berhujan untuk mengusung kotak meminta bantuan pada para
pengendara kendaraan bermotor yang melintas jalan. Mungkin saja mereka
juga rela meninggalkan satu dua kelas kuliah mereka demi untuk berdiri
dan meminta sumbangan. Dan terkadang mereka juga harus rela tetap
tersenyum melihat muka masam pengendara.
Namun mungkin ada baiknya kita lihat pros dan cons mengenai metode
pengumpulan dana yang dilakukan. Dengan beragam permasalahan yang
berkembang dewasa ini, seperti maraknya aksi penipuan yang berkedok
amal, wajar saja masyarakat mulai terdegradasi kepercayaannya terhadap
lingkungan. Dan tentu saja, aksi seperti ini juga akan menuai beragam
prasangka. Yang mungkin sering kita dengar adalah “beneran tuh duitnya bakal nyampe kepada yang berhak?”. Dan hal ini menjadikan orang-orang yang memang berniat tulus untuk membantu juga dijadikan korban syak wasangka.
Pada saat gempa Padang-Pariaman 2009, kami mahasiswa dan masyarakat
Indonesia di Christchurch juga melakukan penggalangan dana dengan cara
membuka bazar makanan Indonesia serta menari. Alhamdulillah
cukup banyak dana yang terkumpul dan penggunaan uang tersebut dilaporkan
kepada publik, sehingga orang-orang yang sudah bermurah hati
mengulurkan tangannya tahu bahwasanya yang mereka sumbangkan sampai
kepada pihak yang berhak.
Tentu saja saya tidak akan membandingkan pelaksanaannya dan segala
macamnya. Disini yang mungkin bisa dijadikan pemikiran bersama adalah
bagaimana menggunakan cara yang bisa menarik simpati dan empati
masyarakat serta tentu saja transparan dan akuntabel.
Saya rasa di setiap kampus pasti ada organisasi mahasiswa yang bisa
berkoordinasi dengan sesama organisasi mahasiswa lainnya di daerah
tersebut, sehingga acara pengumpulan dana bisa terorganisir. Dana yang
terkumpul juga dihitung dan diumumkan kepada publik, misalnya dengan
mengajak kerjasama media daerah (koran lokal, radio atau televisi)
dengan memberikan spot secara gratis guna melaporkan sumbangan yang sudah diterima dan penyalurannya.
Nah, media juga diajak bekerjasama untuk mengumumkan
pengumpulan dana ini sehingga masyarakat tahu dimana dan kapan saja
mereka mengumpulkan dana. Dan kalau mereka memiliki posko, mungkin saja
ada masyarakat yang datang dan memberikan sumbangan. Jika perlu, gandeng
para pemuka masyarakat untuk mempromosikan gerakan pengumpulan dana.
Mungkin juga para mahasiswa ini bisa urun rembug untuk
menggelar acara amal seperti bazaar makanan, pagelaran kebudayaan dan
kesenian, dan sebagainya. Cara ini saya rasa mungkin akan mendapat
sambutan dan dukungan dari masyarakat karena selain menyumbang,
masyarakat juga merasa dilibatkan. Dan tentu saja dengan laporan
keuangan yang jelas, kedepannya masyarakat akan semakin percaya.
Kedengarannya memang ribet dan terlalu banyak prosedur, sementara korban butuh immediate aid. Untuk langkah pertama memang sepertinya ribet, ini hanya hingga sistem terbangun dan orang-orang mulai terbiasa.
Yah, apapun itu mudah-mudahan kedepannya ini bisa menjadi
pemikiran bersama dan para mahasiswa bisa menunjukkan kepeduliannya
bukan hanya dari meminta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar