KONFLIK, ETNISITAS DAN INTEGRASI NASIONAL∗)
OLEH : SUHARNO∗∗)
OLEH : SUHARNO∗∗)
Abstrak
This paper lift important issues linked to conflict, ethnicity, national integration on aur world today. Main focus is why conflict based on ethnic and ethnic identity raised on our world today. The center of criticism will be explore in this paper. Beside that, this paper also give some important notion to maintain nationality owned by the ethnic group, especially Indonesia in multiethnic condition which have big risk and potency of being crash by ethnic conflict and disintegration.
Keyword : conflict, ethnicity, national integration
A.Pendahuluan
Setiap individu dalam masyarakat memiliki perspektif yang berbeda tentang hidup dan masalah-masalahnya. Perbedaan perspektif tersebut disebabkan karena masing-masing kita memiliki sejarah dan karakter yang unik, dilahirkan dalam cara hidup tertentu serta masing-masing kita memiliki nilai-nilai yang memandu pikiran dan perilaku yang memotivasi kita untuk mengambil tindakan tertentu dan menolak tindakan lainnya.
Orang sering beranggapan bahwa ketika memiliki fakta yang sama, semua orang akan sampai pada suatu analisis yang sama. Kenyataannya tidaklah demikian. Kebulatan suara bahkan lebih mustahil dicapai jika kita mempertimbangkan bahwa selain perbedaan-perbedaan alami tersebut terdapat perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh berbagai dimensi : status, kekuasaan, kekayaan, usia, peran menurut gender, keanggotaan dalam suatu kelompok sosial tertentu dan sebagainya. Perbedaan berbagai posisi berdasarkan indikator-indikator sosial tersebut mengakibatkan orang saling menginginkan hal-hal yang berbeda dalam situasi yang sama. Dan ketika sasaran dan kepentingan mereka tidak sesuai, maka terjadilah konflik.
Konflik dapat diartikan sebagai hubungan antar dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki-sasaran-sasaran yang tidak sejalan. (Mitchell, 1981). Pengertian ini harus dibedakan dengan kekerasan, yaitu sesuatu yang meliputi tindakan, perkataan, sikap atau berbagai struktur dan sistem yang mengakibatkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensinya secara penuh. (Fisher,et.al., 2001)
Konflik adalah kenyataan hidup (reality), tidak terhindarkan (undeniable) dan bersifat kreatif. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya dapat diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik lagi bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna apalagi karena ia memang merupakan bagian dari keberadaan manusiawi kita. Dari tingkat mikro, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan Negara, semua bentuk hubungan manusia-sosial, ekonomi dan kekuasaan-, mengalami pertumbuhan, perubahan dan konflik.
Konflik dibutuhkan karena berguna uintuk membuat kita menyadari adanya masalah, mendorong kearah perubahan yang diperlukan, memperbaiki solusi, menumbuhkan semangat, mempercepat perkembangan pribadi, menambah kepedulian diri, mendorong kedewasaan psikologis dan menimbulkan kesenangan.(Tjosvold, 1982)
Konflik—baik dalam suatu organisasi dan di semua tingkat—membuat kita penasaran untuk memikirkan dampak positif dan upaya penyelesaiannya. Dan ini berarti ada perubahan progresif. Sebaliknya, tidak ada konflik membuat orang menjadi kerdil karena kekurangan stimulasi, kelompok dan organisasi akan mandeg (stagnate) dan mati, serta masyarakat akan runtuh karena beban mereka sendiri yang tidak mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan keadaan dan hubungan kekuasaan yang terjadi.
B.Pembahasan
1. Penyebab Konflik
Konflik bisa disebabkan oleh banyak hal. Konflik dapat disebabkan oleh polarisasi yang terus menerus terjadi di masyarakat. Polarisasi sosial yang memisahkan masyarakat berdasarkan penggolongan-penggolongan tertentu dapat menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan dan permusuhan antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang dapat berujung pada munculnya kekerasan yang terbuka.
Konflik juga dapat disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan. Kondisi ini akan semakin rumit jika pihak-pihak yang berkonflik sulit memisahkan antara perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan 3
isu yang berkembang. Konflik yang berakar dalam dapat juga disebabkan oleh kebutuhan dasar fisik, sosial dan mental manusia yang tidak terpenuhi atau dihalangi pemenuhannya. Pada kondisi lain, konflik juga dapat disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau karena penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.
Pada tataran yang lebih luas, konflik juga dapat disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, politik dan ekonomi. Kondisi konflik akan berubah menjadi kekerasan massa terbuka jika dilakukan mobilisasi atas konflik yang terjadi. Kondisi psikologis konflik juga tidak akan secara langsung mengakibatkan timbulnya perilaku kekerasan kolektif tanpa adanya kejadian yang menjadi pemicu.
2.Pengelolaan Konflik
Terdapat beberapa pendekatan dalam upaya menangani konflik, yang kadang-kadang juga dipandang sebagai suatu proses. Berikut ini disajikan sebuah tipologi yang konsisten diajukan Fisher, walaupun bukan berarti ia bisa diterima secara umum, yaitu :
• Pencegahan konflik, merupakan upaya untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
• Penyelesaian konflik bertujuan mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian.
• Pengelolaan konflik bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku pihak-pihak yang terlibat kearah yang positif.
• Resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama antara pihak-pihak yang bermusuhan.
• Transformasi konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif
Masing-masing tahapan tersebut di atas akan melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya, penyelesaian konflik akan melibatkan juga tindakan pencegahan konflik. Pencegahan konflik di satu sisi mengacu pada strategi-strategi untuk mengatasi konflik laten dengan harapan dapat mencegah meningkatnya kekerasan, sedangkan resolusi konflik di sisi lain mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik) tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebab konflik. Sementara itu transformasi konflik menurut Fisher merupakan strategi yang paling menyeluruh dan luas yang juga merupakan strategi yang membutuhkan komitmen yang paling lama dan paling luas cakupannya.
3.Etnisitas
Sementara orang berpendapat bahwa etnisitas merupakan sesuatu yang “klasik”, soal yang sudah usang. Seperti diyakini kaum modernis, dalam dunia modern etnisitas akan hilang atau paling tidak surut diganti dengan entitas sosial berbasis pada ekonomi, kelas, partai atau kelompok kepentingan (interest group) yang lain. Sentimen etnisitas digeser oleh kesadaran kelas, politik etnis diganti dengan politik kelas, nasionalisme digeser oleh globalisme. Betulkah demikian ? Betulkan etnisitas sudah usang, menjadi klasik, semakin surut peranannya dalam dunia modern? Kalau demikian halnya, mengapa kini kita membicarakan soal etnisitas. Apakah betul soal etnisitas kini telah kehilangan relevansinya ? Nanti dulu, tengoklah masyarakat kita dan pandanglah ke dunia global. Kalau memang demikian, mengapa sekarang ini masih terjadi gejolak konflik etnis begitu hebat di berbagai daerah dan Negara. Sejak Perang Dunia Kedua usai, dunia kita diwarnai oleh konflik etnis dan agama. Konflik antar negara sisa-sisa Perang Dunia Kedua semakin surut, digantikan konflik internal antar etnis-agama dan antara etnis-agama dengan Negara (Gurr, 1993). Banyak Negara kini mengahadapi problem konflik internal etnis-agama ini termasuk Indonesia, seperti terjadi di Kalimantan, Maluku, di Aceh, Papua dan sebagainya.
Dunia kita juga menyajikan realitas ternyata etnisitas tidak pernah surut dari muka bumi. Modernisasi dan kapitalisme tidak bisa menghancurkannya, sebaliknya justru membangkitkannya dalam bentuknya yang baru. Cara produksi kapitalisme justru menghasilkan pengelompokan dan mobilisasi etnis tersendiri (Pieterse, 1996). Bahkan telah mendorong munculnya radikalisme politik etnis-agama sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi dan kapitalisme, seperti terjadi dalam kasus munculnya fundamentalisme tradisi-agama dimana-mana sekarang ini (Gidden, 1994).
Apa hubungannya antara konflik dengan etnisitas? Apakah etnisitas menjadi sumber konflik? Tidak, memang. Tetapi kurangnya saling memahami perbedaan etnisitas telah mejadikan banyak konflik antar etnis yang berbeda sering berkepanjangan bahkan berulang. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat antar berbagai etnis yang ada sejak tahun 1963 sampai 1999 telah tercatat 12 kali. Konflik antara etnis Dayak dengan Tioghoa bermotifkan politik yaitu rekayasa ABRI (TNI) terjadi tahun 1967, antara Dayak dengan Madura terjadi sebanyak 9 kali yaitu tahun 1963, 1968, 1970, 1972, 1977, 1979, 1983’1989, 1996/ 1997, dan konflik antara etnis Sambas dengan Madura terjadi pada tahun 1998/1999( Alqadri 2000: 1).
Dengan demikian, konflik, etnisitas ini jelas tetap relevan didiskusikan dan penting dalam dunia kita sekarang, bahkan semakin penting untuk dibicarakan. Tentu saja bukan dengan cara pandang yang klasik seperti itu. Kita perlu cara pandang baru untuk menjelaskannya. Bicara etnisitas dalam dunia kita sekarang adalah bicara soal klasik namun perlu dengan cara pandang baru. Teori modernisasi sudah usang, klasik, perlu diganti dengan teori baru. Menggunakan istilah Thomas Kuhn, paradigma modernisasi boleh jadi telah mengalami krisis dan anomali karena tidak bisa menjelaskan perkembangan jaman. Sehingga perlu revolusi paradigmatik untuk menggantikannya.
Setidaknya terdapat tiga isu area studi konflik etnis dan integrasi nasional yang akan dicermati dalam bahasan ini. Pertama, isu konflik etnis di sekitar persolan relasi etnisitas dengan etnisitas lain bagaimana konflik di dalam komunitas etnis dan antar kelompok etnis terjadi akan diurai dalam sub-pokok bahasan ini. Kedua, isu konflik etnis disekitar persoalan relasi etnisitas dengan Negara. Termasuk disini bagaimana peran Negara dalam pembentukan atau penghilangan identitas etnis. Ketiga, isu konflik etnis di seputar persolan relasi etnisitas dengan globalisasi. Disini dibahas bagaimana globalisasi membentuk identitas etnis dan sebaliknya bagaiamana kelompok etnis bereaksi melawan globalisasi sehingga terjadi benturan konflik antar keduanya. Keempat, isu disekitar persoalan integrasi nasional dalam konteks global. Disini akan dibahas tantangan integrasi nasional dalam konteks interaksi global-lokal dan bagaimana mengatasinya. Termasuk disini bagaimana strategi kultural tertentu bisa dilakukan untuk menghadapi kebangkitan dan konflik etnis ini.
4.Refleksi Teoritik
Sebelum masuk ke pembahasan ini, perlu diperjelas dulu pengertian etnisitas dalam berbagai perspektif yang ada relevansinya dengan dunia kita sekarang. Etnisitas sendiri merupakan konsep yang masih diperdebatkan. Semua orang mengakui pentingnya entitas etnis ini sebagai basis pengelompokkan sosial-politik penting. Namun bagaimana mereka memahaminya berbeda satu sama lain.
Disini persoalan utamanya terletak pada perdebatan antara kaum primordialis dan kaum kontruksionis sekita persolan : apakah etnisitas itu sesuatu yang primordial, given, ataukah constructed, situasional, dibentuk oleh situasi dan lingkungan sosial. Dua paradigma ini akan mengawali refleksi kita untuk menemukan paradigma baru teori etnisitas yang relevan dengan dunia kita sekarang.
Kaum primordialis atau disebut juga kaum essensialis, memandang kelompok etnis berakar pada sentimen “primordial”, kesadaran kultural yang diperoleh dari bekerjanya institusi sosial paling dasar seperti keluarga, klan, kelompok kepercayaan dan komunitas dimana mereka lahir, kecil dan dibesarkan (Geerzt, 1973). Sentimen demikian merupakan kesadaran identitas paling dasar, paling inti, yang ada mendahului segala macam bentuk identitas lainnya, seperti identitas personal, kelas, partai politik, warga Negara dari sebuah Negara. Identitas ini merupakan sesuatu yang given tanpa ada yang bisa menolaknya (R. Isaacs, 1975). Karena sifatnya yang demikian itu melekat dalam kesadaran setiap individu, maka sentimen primordial selalu mempengaruhi setiap bentuk pengelompokan sosial baik ekonomi, politik maupun kebudayaan.
Berbeda dengan itu, kaum konstruksionis atau disebut juga kaum realis atau situasionalis, melihak komunitas etnis merupakan realitas obyektif hasil konstruksi sosial. Sebagai hasil konstruksi sosial, komunitas etnis terbentuk atas dasar kesadaran bahwa mereka memiliki identitas tertentu, berbagi mitos tertentu bahwa mereka berasal dari keturunan genealogis yang sama, berbagi memori sejarah tertentu, menggunakan elemen kultural tertentu seperti bahasa, agama, adat dan simbol-simbol, terikat dengan tanah kelahiran dan punya solidaritas sosial diantara sesama anggotanya (Smith, 1991). Kelompok etnis disini bukan semata kategori sosial, tetapi lebih merupakan kesadaran kultural bersama. Diantara keduanya ada beberapa variasi kombinasi atau sintesa. Pandangan instrumentalis misalnya, menekankan peran kelompok elit dalam konstruksi identitas etnis melalui mobilisasi politik dan sumberdaya ekonomi (Brass, 1991). Pandangan neo-primordialis, menggabungkan instrumentalis dan primordialis, mengakui adanya kepentingan rasional dalam pembentukan identitas etnis, mengabaikan konstruksi sosial pembentukan identitas etnis, namun melihat sentiment primordial tetap merupakan sesuatu yang sulit berubah (Cohen, 1999).
Meski kedua varian tersebut terkesan berbeda, namun intinya kurang lebih sama. Pandangan konstruksionis hanya beda soal siapa lebih dominan berperan membentuk identitas etnis. Kaum instrumentalis menekankan pentingnya kelompok elit, sementara kaum konstruksionis menekankan bahwa konstruksi identitas etnis merupakan hasil produksi bersama baik elit maupun massa.
Pandangan primordialis dan neo-primordialis hanya beda soal bagaimana primordialisme bekerja. Sementara pandangan primordialis melihat sentimen primordial sepenuhnya bekerja dalam kesadaran kultural, pandangan neo-primordialis melihat adanya kalkulasi rasional dalam penggunaan sentimen primordial untuk kepentingan tertentu.
Dari variasi dan sintesa kombinasi ini muncul pemikiran baru untuk melihat etnisitas dalam konteks relasional. Disini diyakini bahwa soal etnisitas hanya bisa dipahami dalam relasinya dengan etnisitas lain atau struktur yang lebih besar misalnya Negara. Pemikir4an terakhir ini poercaya bahwa kesadaran etnis hanya akan muncul dan berkembang ketika berhadapan atau konflik dengan kelompok etnis lain (self versus the other). Karena itu bagaimana identitas etnis terbentuk sangat tergantung pada keberadaan dan relasinya dengan kelompok etnik lain atau struktur yang lebih besar. (Peiterse, 1996 ; Comaroff, 1999 ; Horowitz, 1985)
Pandangan relasional ini melampaui pandangan primordialis dan konstruksionis yang hanya melihat pembentukan identitas dari dalam diri kelompok etnik tanpa melihat relasinya dengan kelompok lain. Baik berpijak pada asumsi primordialis maupun konstruksionis, bagaimana konflik dan formasi etnisitas berubah, hilang atau memudar, hanya bisa dijelaskan dengan cara relasional ini.
Kata kuncinya terletak pada bagaimana etnisitas bekerja dalam konflik etnis melalui proses “etnisisasi” dan mobilisasi etnis. Paul Brass (1991) membedakan tiga macam konflik etnik dalam konteks relasional ini, yaitu : konflik di dalam komunitas etnik, antar kelompok etnik, dan konflik etnik dalam hubungan dengan Negara. Kita bisa menambahi satu lagi disini meskipun belum banyak disorot orang yaitu konflik etnisitas dalam hubungannya dengan globalisasi.
5.Konflik Antar Etnis
Konflik dan integrasi antar kelompok etnik dalam masyarakat merupakan proses dinamis, kekuatan saling tarik menarik satu sama lain. Ketika kelompok etnik berkonflik satu sama lain , maka implisit di dalamnya terjadi kohesi sosial 11
ke dalam masing-masing komunitas berkonflik. Konflik antara pendatang Bugis dan penduduk asli di beberapa daerah Indonesia Timur, misalnya semakin memperkuat solidaritas masing-masing kelompok etnis bersangkutan.
Kohesi sosial ini selanjutnya menimbulkan fragmentasi sosial secara internal di dalam masing-masing komunitas ketika sumberdaya yang ada seperti misalnya sumberdaya alam, ekonomi, politik, kekuasaan, simbol kultural sangat terbatas dan diperebutkan diantara mereka. Selain itu kohesi ke dalam mengaburkan batas-batas identitas masing-masing sub kelompok. Maka timbullah keinginan untuk mandiri memisahkan diri dengan kelompok etnis lainnya. Lalu terjadilah konflik antar kelompok etnis di dalam sebuah komunitas etnis tertentu yang lebih besar.
Semakin terfragmentasi sebuah kelompok etnik, maka pola hubungannya semakin rumit. Kompetisi untuk memperebutkan sumber daya politik, ekonomi, kultural semakin meningkat. Kompetisi itu mendorong kelompok-kelompok sub-etnik untuk melakukan persekutuan, koalisi, interseksi, penggabungan dengan kelompok lain membentuk kelompok etnis lebih besar.
Namun ketika persekutuan itu terbentuk, kembali terjadi fragmentasi di dalamnya karena kaburnya batas-batas (boundaries) identitas dan munculnya persoalan siapa mendominasi siapa. Dinamika konflik demikian berlangsung sangat dinamis. Hal itu bisa terjadi sebagai problem internal dalam komunitas sebagai akibat pengaruh kekuatan eksternal (Horowitz, 1985).
Secara umum, konstelasi hubungan antar kelompok etnik bisa mengambil dua macam bentuk hubungan : hubungan simetris atau tidak berjenjang (unrank relationship) dan hubungan asimetris atau hubungan berjenjang (rank relationship). Hubungan simetris bisa mengambil bentuk : saling tergantung satu sama lain (interdependency), pertukaran, kerjasama atau perang dingin.
Dalam relasi seperti itu interaksi sosial antar kelompok bisa terbangun. Namun hubungan simetris juga bisa teraktualisasi dalam hubungan ko-eksistensi damai, dimana masing-masing tidak saling mengganggu satu sama lain. Contohnya adalah hubungan antar suku Batak di Sumatera Utara. Mereka bisa saling menjaga dan memelihara keberadaan masing-masing dalam hubungan ko-eksistensi damai. Dalam dalam koeksistensi ini tidak pernah terjadi integrasi sempurna. Konflik akan selalu terjadi berkaitan dengan soal komparasi, kecurigaan, konstruksi musuh imajiner dan ketegangan diantara karena sikap ofensif-defensif akibat ancaman aneksasi satu sama lain terutama oleh kelompok etnis lebih besar.
Hubungan asimetris biasanya mengambil bentuk hubungan superordinasi-subordinasi. Biasanya kelompok etnis mayoritas-kuat-maju mendominasi kelompok minoritas-lemah-terbelakang. Namun, juga bisa kelompok minoritas-maju mendominasi kelompok mayoritas-terbelakang melalui negara atau dengan kebijakan politik melalui etnokrasi. Dalam hubungan ini integrasi bisa berlangsung namun mengandung potensi konflik besar. Seringkali kelompok subordinan berusaha melawan dominasi dan hegemoni kelompok superordinan yang selalu dikembangkannya untuk mengekalkan kekuasaan, hak istimewa, previlege, monopoli ekonomi yang bermuara pada konflik terbuka di antara mereka.
Dalam tataran ekstrim, konflik semacam ini kita temukan misalnya, diantara suku Ambon dengan Buton di Maluku, Suku Madura dan Dayak di Kalimantan, Etnis Cina dengan pribumi di Jawa dan Sulawesi Selatan. Dalam tingkat yang lebih rendah, hubungan asimetris bersifat dominasi dan hegemoni kita temukan misalnya di Sulawesi Utara dulu antara Suku Minahasa dengan Suku Gorontalo dan di Yogyakarta antara suku Jawa dengan pendatang dari “luar Jawa/orang sabrang”.
6.Negara dan Konflik Etnis
Konstelasi hubungan antar kelompok etnis itu bisa menghasilkan integrasi atau konflik sangat dipengaruhi oleh kekuatan dari luar, terutama Negara. Kebijakan Negara bisa menghasilkan integrasi ketika asimilasi baik karena dipaksakan dalam bentuk inkorporasi maupun secara sukarela melalui proses amalgamasi (Horowitz, 1985).
Inkorporasi terjadi ketika suatu kelompok meleburkan identitas kelompok lain dalam dirinya. Amalgamasi terjadi ketika dua kelompok atau lebih bergabung membentuk satuan baru, biasanya kelompok besar, seperti misalnya pembentukan bangsa dalam masyarakat majemuk. Sebaliknya kebijakan Negara bisa menimbulkan disintegrasi ketika kebijakan tersebut menyebabkan differensiasi baik dalam bentuk divisi maupun proliferasi. Divisi terjadi ketika satu kelompok etnis terbagi menjadi dua kelompok atau lebih. Proliferasi terjadi ketika satu kelompok etnis atau lebih menghasilkan kelompok-kelompok tambahan baru dalam dirinya.
Proses integrasi dan disintegrasi akibat kebijakan Negara itu berproses sangat dinamis, tarik-menarik, mengalami pergeseran, perubahan dan tumpang tindih satu sama lain. Hal itu bisa mendorong integrasi antar komunitas atau sebaliknya konflik dan segregasi antar komunitas. Kebijakan politik dan ekonomi yang fair bisa diakses oleh berbagai kelompok etnis, misalnya, bisa mengakibatkan dua komunitas etnis menyatu dalam berbagai aktivitas politik ekonomi. Demikian pula, format demokrasi konsesiasional diyakini beberapa kalangan bisa mengakomodasi berbagai kepentingan politik kelompok etnik dalam masyarakat majemuk (Lijpart, 1977).
Namun tidak jarang hal itu menimbulkan konflik diantara komunitas. Hal itu terjadi ketika penyatuan akibat kebijakan Negara tidak disertai dengan proses asimilasi yang jelas dan sistematis sehingga terjadi kompetisi sengit dan perebutan sumberdaya politik, kekuasaan, ekonomi dan kultural. Bila kebijakan itu tidak disertai dengan adanya formula pembagian kekuasaan dan sumberdaya politik, ekonomi, budaya yang jelas dan diterima berbagai kelompok maka hal tersebut bisa menimbulkan konflik yang hebat. Terutama hal itu bisa terjadi ketika pengikat penyatuan itu, baik atas dasar kepentingan bersama atau dipaksakan oleh inkorporasi Negara tidak efektif lagi mengikat hubungan antar kelompok etnis. Konflik hebat yang terjadi antar komunitas di Maluku, Kalimantan, Poso dan sebagainya di tanah air belakangan merupakan beberapa kasus konflik yang terjadi ketika kebijakan politik ekonomi selama ini tidak disertai dengan kebijakan asimilasi dan formulasi yang jelas dalam pembagian sumberdaya politik, ekonomi, kekuasaan, diantara mereka.
Kebijakan Negara juga bisa menimbulkan permasalahan serius hubungan antara kelompok-kelompok etnis dengan Negara itu sendiri. Di banyak Negara, termasuk Indonesia, seringkali Negara dijadikan alat oleh kelompok etnis dominan tertentu yang bergabung dalam formula despotisme kultural. Negara modern merupakan penentu pembagian kerja kelompok antar kelompok etnis yang mendisitribusikan nilai dan sumberdaya ekonomi seringkali secara tidak adil. Kontrol monokultur oleh suatu kelompok etnis terhadap aparatus Negara atau etnokrasi seringkali terjadi (Mayall dan Simpson, 1992).
Etnisisasi Negara oleh kelompok etnis tertentu banyak terjadi di berbagai Negara, baik oleh kelompok etnis mayoritas atau minoritas termasuk di Indonesia. Etnokrasi minoritas terjadi misalnya di Timur Tengah antara lain Syria (Alawites) dan Yordania (Hashemites monarchy supported by Bedouins). Sementera di Turki (Muslim Turki terhadap Suku Kurdi dan Minoritas lainnya) dan di Mesir (Muslim terhadap Koptik) merupakan bentuk etnokrasi mayoritas relative stabil. Di Asia Tenggara, etnokrasi mayoritas relatif stabil terjadi di Indonesia (Muslim Jawa terhadap etnis lainnya), Malaysia (Melayu terhadap Cina dan India) dan Singapura (Cina terhadap Melayu dan etnis lainnya). Sementara Philipina dan Tahiland merupakan etnokrasi mayoritas yang relatif tidak stabil (Brown dan Ganguly, 1997).
Etnokrasi minoritas terhadap mayoritas lain seringkali cenderung tidak stabil dibandingkan etnokrasi mayoritas. Namun, tidak selalu demikian bila disertai dengan kebijakan ekonomi tidak adil. Faktor ekonomi seperti misalnya kesenjangan ekonomi daerah dan kompetisi terhadap sumberdaya pemerintah khususnya pekerjaan pemerintah seringkali menciptakan ketidakstabilan tersendiri. Negara sendiri merupakan seumberdaya ekonomi dan kekuasaan sangat besar yang selalu diperebutkan berbagai komunitas etnis. Bila tidak disertai dengan kebijakan ekonomi yang adil sehingga terjadi kesenjangan sosial hal itu bisa mengancam disitegrasi. Kelompok etnis termarjinalkan secara politik dan ekonomi akan cenderung memisahkan diri atau menentukan nasib sendiri (self-determination) bila tidak terakomodasi.
Konflik separatisme di Aceh dan Papua bisa dibaca dari sudut pandang ini. Konflik ini terjadi ketika etnokrasi mayoritas Muslim Jawa Negara pusat tidak bisa mengakomodasi kepentingan elit lokal. Sebaliknya justru mendominasi dan mengeksploitasi sumberdaya lokal sehingga muncullah gerakan separatisme melawan dominasi Jawa Muslim dan ekstraksi ekonomi ke pusat akibat kapitalisasi yang terjadi selama ini, khususnya di masa Orde Baru.
Namun tidak jarang hal itu menimbulkan konflik diantara komunitas. Hal itu terjadi ketika penyatuan akibat kebijakan Negara tidak disertai dengan proses asimilasi yang jelas dan sistematis sehingga terjadi kompetisi sengit dan perebutan sumberdaya politik, kekuasaan, ekonomi dan kultural. Bila kebijakan itu tidak disertai dengan adanya formula pembagian kekuasaan dan sumberdaya politik, ekonomi, budaya yang jelas dan diterima berbagai kelompok maka hal tersebut bisa menimbulkan konflik yang hebat. Terutama hal itu bisa terjadi ketika pengikat penyatuan itu, baik atas dasar kepentingan bersama atau dipaksakan oleh inkorporasi Negara tidak efektif lagi mengikat hubungan antar kelompok etnis. Konflik hebat yang terjadi antar komunitas di Maluku, Kalimantan, Poso dan sebagainya di tanah air belakangan merupakan beberapa kasus konflik yang terjadi ketika kebijakan politik ekonomi selama ini tidak disertai dengan kebijakan asimilasi dan formulasi yang jelas dalam pembagian sumberdaya politik, ekonomi, kekuasaan, diantara mereka.
Kebijakan Negara juga bisa menimbulkan permasalahan serius hubungan antara kelompok-kelompok etnis dengan Negara itu sendiri. Di banyak Negara, termasuk Indonesia, seringkali Negara dijadikan alat oleh kelompok etnis dominan tertentu yang bergabung dalam formula despotisme kultural. Negara modern merupakan penentu pembagian kerja kelompok antar kelompok etnis yang mendisitribusikan nilai dan sumberdaya ekonomi seringkali secara tidak adil. Kontrol monokultur oleh suatu kelompok etnis terhadap aparatus Negara atau etnokrasi seringkali terjadi (Mayall dan Simpson, 1992).
Etnisisasi Negara oleh kelompok etnis tertentu banyak terjadi di berbagai Negara, baik oleh kelompok etnis mayoritas atau minoritas termasuk di Indonesia. Etnokrasi minoritas terjadi misalnya di Timur Tengah antara lain Syria (Alawites) dan Yordania (Hashemites monarchy supported by Bedouins). Sementera di Turki (Muslim Turki terhadap Suku Kurdi dan Minoritas lainnya) dan di Mesir (Muslim terhadap Koptik) merupakan bentuk etnokrasi mayoritas relative stabil. Di Asia Tenggara, etnokrasi mayoritas relatif stabil terjadi di Indonesia (Muslim Jawa terhadap etnis lainnya), Malaysia (Melayu terhadap Cina dan India) dan Singapura (Cina terhadap Melayu dan etnis lainnya). Sementara Philipina dan Tahiland merupakan etnokrasi mayoritas yang relatif tidak stabil (Brown dan Ganguly, 1997).
Etnokrasi minoritas terhadap mayoritas lain seringkali cenderung tidak stabil dibandingkan etnokrasi mayoritas. Namun, tidak selalu demikian bila disertai dengan kebijakan ekonomi tidak adil. Faktor ekonomi seperti misalnya kesenjangan ekonomi daerah dan kompetisi terhadap sumberdaya pemerintah khususnya pekerjaan pemerintah seringkali menciptakan ketidakstabilan tersendiri. Negara sendiri merupakan seumberdaya ekonomi dan kekuasaan sangat besar yang selalu diperebutkan berbagai komunitas etnis. Bila tidak disertai dengan kebijakan ekonomi yang adil sehingga terjadi kesenjangan sosial hal itu bisa mengancam disitegrasi. Kelompok etnis termarjinalkan secara politik dan ekonomi akan cenderung memisahkan diri atau menentukan nasib sendiri (self-determination) bila tidak terakomodasi.
Konflik separatisme di Aceh dan Papua bisa dibaca dari sudut pandang ini. Konflik ini terjadi ketika etnokrasi mayoritas Muslim Jawa Negara pusat tidak bisa mengakomodasi kepentingan elit lokal. Sebaliknya justru mendominasi dan mengeksploitasi sumberdaya lokal sehingga muncullah gerakan separatisme melawan dominasi Jawa Muslim dan ekstraksi ekonomi ke pusat akibat kapitalisasi yang terjadi selama ini, khususnya di masa Orde Baru.
7.Globalisasi dan Konflik Etnis
Konflik etnis juga tidak terelakkan akibat pengaruh kekuatan dari luar oleh perkembangan globalisasi. Isu konflik etnis di sekitar area ini lebih bersifat kultural dan ekonomi daripada politik. Globalisasi, dalam bentuk modernisasi budaya dan perkembangan kapitalisme, menimbulkan krisis identitas tersendiri bagi berbagai komunitas etnis. Selain itu, gelombang modernisasi dan kapitalisme dalam suatu teritori Negara menciptakan ketimpangan perkembangan antar daerah dan komunitas etnis. Reaksi atas krisis identitas dan ketimpangan sosial ekonomi ini bermacam-macam yang seringkali menimbulkan munculnya berbagai gerakan sosial anti globalisasi berbasis pada etnis dan agama (Pieterse, 1996 ; Gidden, 1994).
Reaksi komunitas lokal etnis-agama terhadap perkembangan ini bisa bermacam-macam. Setidaknya ada empat jenis respon lokal terhadap global dalam kaitannya dengan perkembangan modernisasi dan penetrasi kapitalisme ini : (1) akomodasi ; (2) revitalisasi ; (3) revivalisasi ; (4) resistensi. Akomodasi terjadi ketika etnis-etnis-agama lokal menerima globalisasi dalam dirinya dan mereka masuk secara sukarela dalam praktek budaya dan cara produksi kapitalisme berjalan. Revitalisasi berjalan ketika komunitas etnis-agama menggunakan modernisasi dan kapitalisme untu memperkuat identitas mereka dalam bentuknya yang baru, seringkali dalam bentuk hibrida. Revivalisasi merupakan penolakan terhadap modernisasi dan kapitalisme dengan membangkitkan tradisi-agama mereka untuk melawan. Sementara resistensi merupakan bentuk penolakan total atas budaya dan cara produksi kapitalisme.
Fundamentalisme tradisi-agama yang muncul di berbagai Negara sekarang ini bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap globalisasi. Fundamentalisme pada intinya memiliki ciri-ciri : (1) memegang kultur dan kepercayaan secara absolute ; (2) mempertahankan tradisi atau melawan globalisasi dengan cara tradisi ; (3) menolak segala bentuk praktek budaya, ekonomi, politik modernisasi dan kapitalisme yang berlaku sekarang dan memberlakukan ajaran dan cara hidup tradisi yang diajarkan penbahulunya ratusan tahun lalu ke dunia sekarang. Fundamentalisme ini merupakan gerakan sosial paling ditakuti kaum liberal karena tidak bisa didekati dengan cara modern dan dominasi dan hegemoni modern-kapitalisme. Sehingga benturan antara kaum liberal pendukung liberalisme dan kapitalisme dengan kaum fundamentalisme seringkali jatuh pada konflik kekerasan.
Ketegangan etnis lain yang muncul akibat globalisasi adalah berkaitan dengan tumbuhnya kaum migran dan diaspora di berbagai Negara. Globalisasi menyebabkan perpindahan penduduk dari satu Negara ke Negara lain begitu fleksibel dan dinamis. Akibatnya seringkali bermunculan komunitas kaum migran dan diaspora di berbagai tempat, terutama di kota-kota besar dunia yang menimbulkan hubungan konfliktual tersendiri dengan komunitas etnis lebih besar di Negara bersangkutan.
Persoalan penting berkaitan dengan kaum migran dan diaspora di tengah komunitas modern adalah mereka cenderung mengalami disilusi dan displacement di tengah komunitas modern. Kecenderungan demikian menyebabkan munculnya fundamentalisme tradisi-agama dengan memberlakukan kembali (retreat) tradisi-agama yang ada di tanah kelahiran (homelands) mereka di tengah-tengah komunitas asing. Mereka biasanya lebih fundamental daripada komunitas serupa di tempat asal mereka. Menjamurnya komunitas migrant dan diaspora ini seringkali menimbulkan reaksi negatif disertai dengan munculnya ideologi rasisme dari komunitas mayoritas etnis modern dimana mereka tinggal. Munculnya ideology rasisme dan fundamentalisme tardisi-agama di komunitas modern itu bisa menimbulkan benturan konflik etnisitas di antara mereka.
C. Penutup
Penanganan Konflik Etnis
Konflik etnis sebagaimana dipaparkan dimuka meskipun akarnya bisa sangat struktural namun manifestasinya seringkali berupa benturan sosial budaya. Ada beberapa pilihan tersedia untuk mengatasi kecenderungan konflik etnis yang kurang lebih bersifat budaya seperti itu.
Pertama, dengan cara pemisahan atau segregasi. Satu komunitas etnis secara sengaja hidup terpisah atau dipisahkan dengan komunitas etnis lain dengan prinsip tidak saling mengganggu satu sama lain. Hal ini bisa menciptakan perdamaian dalam arti koeksistensi damai meskipun bersifat semu karena sulitnya otonomi masing-masing dipelihara.
Kedua dengan cara exit, cerai, memisahkan diri. Komunitas yang satu secara sengaja memisahkan diri, kel;uar (exit), bercerai dari dominasi dan pengaruh hegemoni kelompok etnis lain. Mereka kemudian mencari tempat tersendiri yang aman dan damai, terpisah keterhubungannya dengan kelompok dominatif itu.
Ketiga dengan cara dialog. Komunitas etnis yang berkonflik mencoba membuka komunikasi, mencari kesesuaian, menghargai perbedaan dengan komunitas etnis lainnya menjadi sebuah komunitas dialogis. Melalui komunikasi dan dialog, pemahaman satu sama lain bisa dibangun, persepsi permusuhan bisa didekonstruksi, ketidaksesuaian cara hidup bisa diatur, menuju kerjasama dan saling ketergantungan satu sama lain.
Keempat, dengan cara kekerasan. Komunitas etnis satu dipaksa tunduk mengikuti komunitas etnis lain dengan cara refresif, kooptasi, dominasi, subordinasi dan menggunakaan kekerasan senjata.
Dalam konteks global sekarang ini, pilihan pertama dan kedua semakin terbatas peluangnya. Tidak ada satupun komunitas etnis di dunia ini yang tidak tersebntuh dan bisa mengisolasikan diri dari globalisasi. Globalisasi bukan hanya masuk ke ruang publik, tetapi juga masuh jauh mendalam dalam alam kesadaran subjek individu warga komunitas dimanapun. Karena itu, sulit pemisahan atau segreegasi terjadi. Demikian juga sulit bagi komunitas dan individu untuk menghindar, exit, tidak ingin bertemu dan berhubungan dengan komunitas etnis lain karena globalisasi telah membuat komunitas etnis mudah bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Sekarang ini pilihannya tinggal dua : dialog atau kekerasan. Dunia kita nampaknya dihadapkan pada hanya dua pilihan ini. Tentu saja dialog merupakan pilihan terbaik. Melalui dialog, persepsi permusuhan dan benturan konflik antar kelompok etnis dapat dihindari. Bahkan melalui dialog konflik bisa ditransformasikan menuju kerja sama saling menguntungkan.
Tapi untuk menuju ke sana tantangan yang ada sungguh berat. Komunitas dialogis antar etnis-agama tidak bisa dibangun begitu saja hanya dengan melibatkan sedikit orang, hanya di kalangan elit seperti yang dilakukan dalam dialog-dialog formal selama ini. Yang terjadi sekarang ini adalah dialog di kalangan diplomat dan formal pemerintahan, sementara warga komunitas etnis-agama terus berkelahi dan berbunuh-bunuhan satu sama lain seperti terjadi di Israel-Palestina dan di tempat-tempat lain serupa di dunia termasuk di Indonesia, di Poso, misalnya.
Kebanyakan komunitas dan warga etnis, ras dan agama di dunia kita sekarang tampaknya lebih memilih praktek kekerasan ini daripada dialog. Praktek kekerasan yang akut selalu menandai setiap konflik etnis-agama. Konflik komunal etnis agama selalu menimbulkan tragedy kemanusiaan dan berlangsung berlarut-larut (protracted). Kapan dialog antar etnis-agama itu berkembang? Kapan dunia kita bisa memiliki konflik komunal yang bersifat tanpa kekerasan? Ataukah kita bisa menghindari benturan budaya itu di suatu saat nanti meski dunia kita semakin menyempit akibat globalisasi? Wallahu a’lam bishowwab.
Kedua dengan cara exit, cerai, memisahkan diri. Komunitas yang satu secara sengaja memisahkan diri, kel;uar (exit), bercerai dari dominasi dan pengaruh hegemoni kelompok etnis lain. Mereka kemudian mencari tempat tersendiri yang aman dan damai, terpisah keterhubungannya dengan kelompok dominatif itu.
Ketiga dengan cara dialog. Komunitas etnis yang berkonflik mencoba membuka komunikasi, mencari kesesuaian, menghargai perbedaan dengan komunitas etnis lainnya menjadi sebuah komunitas dialogis. Melalui komunikasi dan dialog, pemahaman satu sama lain bisa dibangun, persepsi permusuhan bisa didekonstruksi, ketidaksesuaian cara hidup bisa diatur, menuju kerjasama dan saling ketergantungan satu sama lain.
Keempat, dengan cara kekerasan. Komunitas etnis satu dipaksa tunduk mengikuti komunitas etnis lain dengan cara refresif, kooptasi, dominasi, subordinasi dan menggunakaan kekerasan senjata.
Dalam konteks global sekarang ini, pilihan pertama dan kedua semakin terbatas peluangnya. Tidak ada satupun komunitas etnis di dunia ini yang tidak tersebntuh dan bisa mengisolasikan diri dari globalisasi. Globalisasi bukan hanya masuk ke ruang publik, tetapi juga masuh jauh mendalam dalam alam kesadaran subjek individu warga komunitas dimanapun. Karena itu, sulit pemisahan atau segreegasi terjadi. Demikian juga sulit bagi komunitas dan individu untuk menghindar, exit, tidak ingin bertemu dan berhubungan dengan komunitas etnis lain karena globalisasi telah membuat komunitas etnis mudah bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Sekarang ini pilihannya tinggal dua : dialog atau kekerasan. Dunia kita nampaknya dihadapkan pada hanya dua pilihan ini. Tentu saja dialog merupakan pilihan terbaik. Melalui dialog, persepsi permusuhan dan benturan konflik antar kelompok etnis dapat dihindari. Bahkan melalui dialog konflik bisa ditransformasikan menuju kerja sama saling menguntungkan.
Tapi untuk menuju ke sana tantangan yang ada sungguh berat. Komunitas dialogis antar etnis-agama tidak bisa dibangun begitu saja hanya dengan melibatkan sedikit orang, hanya di kalangan elit seperti yang dilakukan dalam dialog-dialog formal selama ini. Yang terjadi sekarang ini adalah dialog di kalangan diplomat dan formal pemerintahan, sementara warga komunitas etnis-agama terus berkelahi dan berbunuh-bunuhan satu sama lain seperti terjadi di Israel-Palestina dan di tempat-tempat lain serupa di dunia termasuk di Indonesia, di Poso, misalnya.
Kebanyakan komunitas dan warga etnis, ras dan agama di dunia kita sekarang tampaknya lebih memilih praktek kekerasan ini daripada dialog. Praktek kekerasan yang akut selalu menandai setiap konflik etnis-agama. Konflik komunal etnis agama selalu menimbulkan tragedy kemanusiaan dan berlangsung berlarut-larut (protracted). Kapan dialog antar etnis-agama itu berkembang? Kapan dunia kita bisa memiliki konflik komunal yang bersifat tanpa kekerasan? Ataukah kita bisa menghindari benturan budaya itu di suatu saat nanti meski dunia kita semakin menyempit akibat globalisasi? Wallahu a’lam bishowwab.
∗ Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Resolusi Konflik pada Civics Community, Jurusan PKn dan Hukum FISE UNY 2006
∗∗ Dosen Jurusan PKn dan Hukum FISE UNY
DAFTAR PUSTAKA
Chris Mitchell, The structure of International Conflict, Macmillan, London, 1981
Fisher, et.al., Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council, Jakarta, 2001
Dean Tjosvold, The Conflict Positive Organization : Stimulate Diversity and Create Unity, Addison Wesley, 1982
Gurr, T. Robert, Minorities at Risk, Global View of Ethnopolitical Conflict, United State of Peace Press, 1996
Giddens, Anthony, Beyond Left and Right, The Future of Radical Politics, Polity Press, 1994
Geerzt, Clifford, The Integrative Revolutions : Primordial Sentiments and Civil Politics in The New States, New York, 1973
Smith, 1991, Anthony D., National Identity, Penguin Books, 1991
Horowitz, Donald L., Ehnic Group in Conflict, University of California Press, 1985
Lijpart, Arend, Democracy in Plural Societies, a Comparative Exploration, Yale University Press, 1977
Brown, Michael E., and Sumit Ganguly (Ed.), Governement Policies and Ehnic
Tidak ada komentar:
Posting Komentar