Suku Jawa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Jawa |
---|
Soeharto • Kartini • Opick Ari Lasso • Bambang Pamungkas • Affandi Krisdayanti • Megawati Soekarnoputri • Ahmad Dahlan |
Jumlah populasi |
2009: kurang lebih 100 juta. |
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan |
Indonesia:
Suriname: 75.000. Kaledonia Baru: 5.000. Republik Rakyat Cina: 400. [rujukan?] |
Bahasa |
Jawa, Indonesia, Melayu (dituturkan oleh komunitas yang berdomisili di Malaysia dan Singapura), Belanda (hanya digunakan oleh yang tinggal di Belanda dan Suriname) |
Agama |
Islam, Kristen (termasuk Katolik dan Protestan), Kejawen, Hindu, dan Buddha (semua resmi). |
Kelompok etnis terdekat |
suku Sunda, suku Madura, suku Bali, suku Tionghoa.[rujukan?] |
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Bahasa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa
dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa
Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi
berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal
dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh
sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya
sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme
kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut
nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi
kabur.
Profesi
Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan
mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat
eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang
Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model. Orang Jawa
juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan
pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di
luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang,
Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.
Stratifikasi sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam
yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau
penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi
dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan
sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit
diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang
Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.
Seni
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.
Tokoh-tokoh Jawa
- Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia.
- Ahmad Dahlan, Ulama (Kyai) dan pendiri organisasi Muhammadiyah.
- Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia.
- Hasyim Asyari, Pendiri Nahdatul Ulama.
- HM. Soeharto, Mantan Presiden Republik Indonesia.
- Julius Darmaatmadja, Uskup Agung Jakarta dan Mantan Ketua KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) 2000-2006.
- Khofifah Indar Parawansa, Politikus dan Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
- Megawati Soekarno Poetri, Mantan presiden republik indonesia dan sekaligus presiden wanita pertama di Indonesia
- Michelle Branch, Penyanyi internasional berdarah keturunan Jawa.
- Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan budayawan.
- Paul Salam Soemohardjo, Ketua Parlemen Suriname dan Ketua Partai Pertjaja Luhur di Suriname.
- Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral.
- RA. Kartini, Pahlawan Nasional.
- Saifullah Yusuf, Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sekarang menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur.
- Soekarno, Proklamator dan mantan Presiden Republik Indonesia.
- Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia.
- Wage Rudolf Supratman, Pencipta lagu "Indonesia Raya".
- Wahid Hasjim, Pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia
Galeri
Catatan kaki
- ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 28 Januari 2003.
Sumber
- (Inggris) Clifford Geertz.1960. The religion of Java. Glencoe : The Free press of Glencoe
Suku Betawi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Betawi |
---|
Mohammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Dedy Mizwar Benyamin Sueb, Alya Rohali, Fauzi Bowo |
Jumlah populasi |
3 juta (sensus 2000) |
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan |
Jakarta: 2.3 juta |
Bahasa |
Betawi, Indonesia |
Agama |
Islam dan Kristen (minoritas) |
Kelompok etnis terdekat |
Banten, Jawa, Sunda, Melayu |
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan
bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai
orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan
bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia.
Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung
pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan
berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Istilah Betawi
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda.
Sejarah
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan
bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk
membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan
darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.
Setelah VOC
menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan
banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda
perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa
Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[1]
Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam
bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku
bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk
bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas
dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan
Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk
sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung
Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan
Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle.
Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang
dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus
penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda,
dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab
Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Suku Betawi
Pada tahun 1930,
kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul
sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang
Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan
kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari,
mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal
mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis
dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas,
yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup
masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda
tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut
masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut
sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang
kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam
arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961,
'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta
penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses
asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus
berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir
di bumi Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Budaya Betawi merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda,
Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik
pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta
antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh
penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke
wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia
maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan
hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut
sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda
Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari
Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan
Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda
seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal
dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi
Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang
digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[2] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi
tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi
"é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau
tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal
dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi
di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen,
Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek
Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa,
Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.
Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan
Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran
dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran
adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka
mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati
seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya
masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong
yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek
dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh
Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain
Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni
tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil.
Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan
sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan
lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung
dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen
atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam
perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan
jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik
juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.
Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda
mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis
membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta,
orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa
profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal
di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para
petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum
banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H.
Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum
betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat
para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur
Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal
Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban
banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu,
meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru,
pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena
saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet
dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga
Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal
bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa,
India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing
kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar
masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang
berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal
tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah
Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial
mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu
berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga
nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang
beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat
menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti
dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau
kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong,
ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar
masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan
lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari
masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang
modernisasi tersebut.
Tokoh Betawi
- Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
- Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
- Ridwan Saidi - budayawan, politisi
- Bokir - seniman lenong
- Nasir - seniman lenong
- Benyamin Sueb - artis
- Nazar Ali - artis
- Mandra - artis
- Omaswati - artis
- Mastur - artis
- Mat Solar - artis
- Fauzi Bowo - Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012)
- K.H. Noerali - pahlawan nasional, ulama
- SM Ardan - sastrawan
- Mahbub Djunaidi - sastrawan
- Firman Muntaco - sastrawan
- K.H. Abdullah Syafe'i - ulama
- K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafe'i - ulama
- Tutty Alawiyah A.S. - mubalighat, tokoh pendidik, mantan menteri
- K.H. Zainuddin M.Z. - ulama
- Deddy Mizwar - aktor, sutradara, tokoh perfilman
- Nawi Ismail - sutradara, tokoh perfilman
- Hassan Wirajuda - mantan menteri luar negeri
- Ichsanuddin Noorsy - pengamat sosial-ekonomi, mantan anggota DPR/MPR
- Helmy Adam - sutradara
- Zen Hae - sastrawan, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
- Zaidin Wahab - pengarang, wartawan
- Surya Saputra - aktor, penyanyi
- Abdullah Ali - mantan Dirut BCA
- Alya Rohali - artis, mantan Putri Indonesia
- Abdul Chaer - pakar linguistik, dosen UNJ
- J.J. Rizal - sejarawan, penulis, pelaku penerbitan
- Wahidin Halim - Walikota Tangerang
- Ussy Sulistyowati - artis
- Urip Arfan - aktor, penyanyi
- Akrie Patrio - komedian
- Yahya Andy Saputra - pengarang
- Balyanur Marga Dewa - pengarang
- Bundari A.M. - arsitek, penulis
- Suryadharma Ali - Menteri Agama
- Chairil Gibran Ramadhan - sastrawan
- Warta Kusuma - mantan pesepak bola nasional
- Mohammad Robby - pesepak bola nasional
- Suryani Motik - tokoh IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia)
- Edy Marzuki Nalapraya - mantan Wagub DKI, tokoh IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia)
- Hasbullah Thabrany - guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Catatan kaki
- ^ Ensiklopedi Jakarta: Cornelis Chastelein
- ^ Three Old Sundanese Poems. KITLV Press. 27 Januari 2007.
Referensi
- Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol.I, Ithaca: Cornell University April 1967
- Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, pp. 78–159
- Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, pp. 203–221
- Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
- Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
- Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
- Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengem¬bangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar