Senin, 30 Januari 2012

Kebudayaan Papua

Papua

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Provinsi Papua
Papua COA.svg
Cogan kata: Karya Swadaya
IndonesiaPapua.png
Ibu kota Jayapura
Gabenor Barnabas Suebu
Keluasan 421,981 km2 (162,928 batu²)
Bil. penduduk 1,994,531  (2005)
Kepadatan 4.7 /km2 (12 /sq mi)
Kelompok etnik Orang asli: Melanesia (termasuk Aitinyo, Aefak, Asmat, Agast, Dani, Ayamaru, Mandaca Biak, Serui)
Bukan orang asli: Orang Jawa, Bugis, Orang Batak, Orang Minahasa, Orang Cina Han.)
Agama Protestan (51.2%), Roman Katolik (25.42%), Islam (23%), lain-lain (2.5%)
Bahasa Bahasa Indonesia (rasmi), 269 [1] Bahasa bumiputera: Bahasa Papua dan Bahasa Austronesia
Zon waktu WIT (UTC+9)
Laman http://www.papua.go.id/
Papua ialah sebuah daerah daftar kata indonesia ialah (Provinsi) di Indonesia yang terletak di bahagian barat kepulauan New Guinea dan pulau-pulau di sekitarnya.
Papua kadangkala dipanggil sebagai Papua Barat kerana Papua boleh dirujuk kepada seluruh kepulauan New Guinea atau bahagian selatan negara jirannya, Papua New Guinea. Papua Barat ialah sebutan yang lebih disukai oleh para nasionalis yang ingin memisahkan Papua daripada Indonesia dan membentuk negara sendiri. Daerah (Provinsi) ini dahulu dikenali dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian ditukarkan menjadi Irian Jaya oleh Suharto, nama yang tetap digunakan secara rasmi hingga tahun 2002. Nama daerah (provinsi) ini diganti menjadi Papua sesuai dengan UU No 21/2001 Autonomi Khusus Papua. Pada masa era penjajahannya, wilayah ini disebut New Guinea Belanda (Dutch New Guinea).
Papua merupakan daerah (provinsi) yang terletak di wilayah paling timur negara Republik Indonesia dan merupakan daerah yang penuh harapan. Daerahnya belum banyak diterokai oleh aktiviti manusia dan Papua kaya dengan sumber alam yang menjanjikan peluang untuk berniaga dan berkembang. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut dan pelbagai biotanya dan berjuta-juta tanahnya yang sesuai untuk pertanian. Dalam perut buminya juga menyimpan gas asli, minyak dan pelbagai bahan galian yang hanya menunggu untuk diterokai.

Isi kandungan

 [sorokkan

Pemerintahan

daerah (Provinsi) Papua beribu kota di Jayapura dan secara pentadbirannya terdiri daripada : 9 Pemerintahan Kabupaten iaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Merauke, Fak-Fak, Sorong, Manokwari, Biak Numfor, Yapen Waropen dan Nabire. Dua Pemerintahan Kota iaitu Kota Jayapura dan Kota Sorong, tiga Pemerintahan Kabupaten Administratif iaitu Puncak Jaya, Paniai dan Mimika. Jumlah Kecamatan di Papua adalah 173 kecamatan yang mencakupi 2.712 desa dan 91 kelurahan.

Geografi

Papua terletak pada kedudukan 0° 19' - 10° 45' LS dan 130° 45' - 141° 48' BT, menempati sesetengah bahagian barat dari Papua New Guinea yang merupakan pulau terbesar kedua selepas Greenland. Secara fizikal, Papua merupakan daerah (provinsi) terbesar di Indonesia, dengan luas daratan 21,9% dari jumlah kesuluruhan tanah seluruh Indonesia iaitu 421,981 km², membujur dari barat ke timur (Sorong - Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 batu) dan dari utara ke selatan (Jayapura- Merauke) sepanjang 736 km (456 batu). Selain daripada tanah yang luas, Papua juga memiliki banyak pulau sepanjang pesisirannya. Di pesisiran utara terdapat Pulau Biak, Numfor, Yapen dan Mapia. Pada bahagian barat ialah Pulau Salawati, Batanta, Gag, Waigeo dan Yefman. Pada pesisiran Selatan terdapat pula Pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak dan Panjang, sedangkan di bahagian timur bersempadan dengan Papua New Guinea.

Iklim

Papua terletak tepat di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun kerana daerahnya yang bergunung-gunung maka iklim di Papua sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Di daerah pesisiran barat dan utara beriklim tropika lembap dengan tadahan hujan rata-rata berjumlah diantara 1.500 - 7.500 mm pertahun. Tadahan hujan tertinggi terjadi di pesisir pantai utara dan di pegunungan tengah, sedangkan tadahan hujan terendah terjadi di pesisir pantai selatan. Suhu udara bervariasi sejajar dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m ( 900 kaki ), secara rata-rata suhu akan menurun 0.6 °C.

Topografi

Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawa sampai dataran tinggi yang dipenuhi dengan hutan hujan tropika, padang rumput dan lembah. Pada bahagian tengah pula terdapat rangkaian pergunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bahagian daripada pegunungan tersebut adalah pergunungan Jayawijaya yang terkenal kerana di sana terdapat tiga puncak tertinggi yang walaupun terletak dalam garisan khatulistiwa namun selalu diselimuti oleh salji di puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030 m (15.090 kaki), puncak Trikora 5,160 m (15,480 kaki) dan puncak Yamin 5,100 m (15.300 kaki). Sungai-sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan utara. Sungai Digul yang bermula dari pedalaman kabupaten Merauke mengalir ke Laut Arafura. Sungai Warenai, Wagona dan Mamberamo yang melewati Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Jayapura bermuara di Samudera Pasifik. Sungai-sungai tersebut mempunyai peranan penting bagi masyarakat sepanjang alirannya baik sebagai sumber air bagi kehidupan harian, sebagai nelayan mahupun sebagai sarana penghubung ke daerah luar. Selain itu terdapat pula beberapa danau, diantaranya yang terkenal adalah Danau Sentani di Jayapura, Danau Yamur, Danau Tigi dan Danau Paniai di Kabupaten Nabire dan Paniai.

Sosial Budaya

Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeza. Dengan mengacu pada perbezaan topografi dan adat istiadatnya maka secara amnya, penduduk Papua dapat di bezakan menjadi 3 kelompok besar iaitu:
  • Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah panggung), mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan.
  • Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, danau dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
  • Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun beternak secara sederhana.
Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis ayah atau patrilinea.

Bahasa

Di Papua ini terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Aneka pelbagai bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia digunakan secara rasmi oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman.

Agama

Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal ketuhanan, Papua dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Majoriti penduduk Papua beragama Kristian, namun demikian, seiring dengan perkembangan kemudahan pengangkutan dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak mubaligh sama ada orang asing mahupun rakyat Indonesia sendiri yang melakukan misi keagamaannya di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka berperanan penting dalam membantu masyarakat sama ada melalui sekolah-sekolah mubaligh, bantuan perubatan mahupun secara langsung mendidik masyarakat pedalaman dalam bidang pertanian, mengajar Bahasa Indonesia dan pengetahuan-pengetahuan amali yang lain - lainnya. Mubaligh juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum dibina oleh penerbangan biasa.

Gunung di Papua Timur

  1. Puncak Jaya atau Piramid Carstensz
  2. Puncak Sumantri Brodjonegoro
  3. Puncak Carstensz Timur
  4. Puncak Trikora

Rujukan

Gordon, Raymond G., Jr. (ed.), 2005. Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition. Dallas, Tex.: SIL International. Online version:

Kebudayaan Sulawesi Tenggara

Potensi Wisata Budaya di Sulawesi Tenggara
 
Obyek wisata Budaya yang terdapat di Sulawesi Tenggara yaitu:
1. Kota Kendari
- Tarian Melulo
- Tradisi Kalo Sara

2. Kota bau-bau
- Benteng Wolio
- Benteng Baadiah
- Benteng Sorawolio
- Museum Baadiah

3. Kabupaten Buton
- Kamali / Istana Maligei
- Pesta Adat Pakande - Kandea
- Tradisi Pusuo

4. Kabupaten Muna
- Tenunan Tradisional Desa Masalili
- Layangan Tradisional Kaghati
- Tradisi Keria

5. Kabupaten Kolaka
Tanjung Kayu Angin
- Cagar Budaya Nibandera
- Batu tapak Mowewe dari air Terjun anawai

Kebudayaan Sulawesi Selatan

Suku Bugis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Bugis
Famousbugis.JPG
Raja Ali Haji, Jusuf Kalla, B.J. Habibie, Najib Tun Razak, Andi Mallarangeng, Sophan Sophiaan.
Jumlah populasi
6,0 juta (sensus 2000)
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Indonesia (sensus 2000) 5.157.000 [1]
Sulawesi

Sulawesi Selatan 3.400.000
Sulawesi Tenggara 372.289
Sulawesi Tengah 314.008
Sulawesi Barat 103.207
Kalimantan

Kalimantan Timur 522.570
Kalimantan Selatan 366.495
Kalimantan Barat 135.490
Sumatera

Riau 120.508
Jambi 64.393
Bangka Belitung 33.200
Kepulauan Riau 26.400
Jawa

Jakarta 50.000
Malaysia 728.465
Singapura (sensus 1990) 15.374
Bahasa
Bugis, Indonesia, Melayu, dan lain-lain
Agama
Islam
Kelompok etnis terdekat
Toraja, Mandar, Makassar
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.

Sejarah

Awal Mula

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Masa Kerajaan

Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat

Kerajaan Makassar

Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).

Kerajaan Soppeng

Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo

Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia @arm

Konflik antar Kerajaan

Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe".

Penyebaran Islam

Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[3]

Kolonialisme Belanda

Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa. Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian di tahun 1905-1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.

Masa Kemerdekaan

Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak mengonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan transmigrasi.

Mata Pencaharian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Perompak

Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.[4]

Serdadu Bayaran

Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5] Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.

Bugis Perantauan

Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka[rujukan?].

Penyebab Merantau

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Bugis di Kalimantan Timur

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia

Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Makassar.

Referensi

  1. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 30 Januari 2003. ISBN 9812302123.
  2. ^ http://www.rajaalihaji.com/id/article.php?a=YURIL3c%3D= Situs Raja Ali Haji
  3. ^ Naim, Mochtar. Merantau.
  4. ^ Vlekke, Bernard H.M.. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 263.
  5. ^ Vlekke, Bernard H.M.. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 200.

Kebudayaan Sulawesi Utara

Kota Bitung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kota Baru Bitung
Lambang Kota Bitung
Lambang Kota Baru Bitung
Lokasi Sulawesi Utara Kota Bitung.svg
Peta lokasi Kota Baru Bitung
Koordinat: 1o23'23"-1o35'39"LU dan 125o1'43"-125o18'13"BT
Provinsi Sulawesi Utara
Dasar hukum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1990
Tanggal 15 Agustus 1990
Pemerintahan
 - Walikota Hanny Sondakh
 - DAU Rp. 304.672.494.000,-(2011)[1]
Luas 304 km2
Populasi
 - Total 175.137 jiwa (2010)[2]
 - Kepadatan 576,11 jiwa/km2
Demografi
 - Suku bangsa Sangir, Minahasa, Tionghoa, Jawa
 - Agama Kristen Protestan, Islam, Katolik, Konghucu, Buddha
 - Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Manado, Bahasa Sangihe
 - Zona waktu WITA
Pembagian administratif
 - Kecamatan 8
 - Situs web http://www.bitung.go.id

Kota Bitung adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara. Kota ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan laut yang mendorong percepatan pembangunan. Kota Bitung terletak di timur laut Tanah Minahasa. Wilayah Kota Bitung terdiri dari wilayah daratan yang berada di kaki gunung Duasudara dan sebuah pulau yang bernama Lembeh. Banyak penduduk Kota Bitung yang berasal dari suku Sangir, sehingga kebudayaan yang ada di Bitung tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di wilayah Nusa Utara tersebut. Kota Bitung merupakan kota industri, khususnya industri perikanan.

Sejarah

Menurut cerita sejarah, nama Bitung diambil dari nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di daerah utara Jazirah Pulau Sulawesi. Penduduk yang pertama yang memberikan nama Bitung adalah Dotu Hermanus Sompotan yang dalam bahasa daerah disebut dengan Tundu'an atau pemimpin. Dotu Hermanus Sompotan tidak sendirian tetapi pada saat itu dia datang bersama dengan Dotu Rotti, Dotu Wullur, Dotu Ganda, Dotu Katuuk, Dotu Lengkong. Pengertian kata Dotu adalah orang yang dituakan atau juga bisa disebut sebagai gelar kepemimpinan pada saat itu, sama seperti penggunaan kata Datuk bagi orang-orang yang ada di Sumatera. Mereka semua dikenal dengan sebutan 6 Dotu Tumani Bitung, mereka membuka serta menggarap daerah tersebut agar menjadi daerah yang layak untuk ditempati, mereka semua berasal dari Suku Minahasa, etnis Tonsea.
Daerah pantai yang baru ini ternyata banyak menarik minat orang untuk datang dan tinggal menetap sehingga lama kelamaan penduduk Bitung mulai bertambah. Sebelum menjadi kota, Bitung hanyalah sebuah desa yang dipimpin oleh Arklaus Sompotan sebagai Hukum Tua (Lurah) pertama desa Bitung dan memimpin selama kurang lebih 25 tahun, yang pada saat itu Desa Bitung adalah termasuk dalam Kecamatan Kauditan.
Dari Sekitar tahun 1940-an, para pengusaha perikanan yang mengusahakan Laut Sulawesi tertarik dengan keberadaan Bitung dibandingkan Kema (di wilayah Kabupaten Minahasa Utara sekarang) yang dulunya merupakan pelabuhan perdagangan, karena menurut pandangan mereka Bitung lebih strategis dan bisa dijadikan pelabuhan pengganti Kema.
Seiring dengan perkembangan Bitung sebagai suatu kawasan yang strategis serta jumlah penduduk yang semakin bertambah dengan pesatnya maka Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1975 tanggal 10 April 1975 Bitung diresmikan sebagai Kota Administratif pertama di Indonesia.

Geografi

Kota Bitung terletak pada posisi geografis di antara 1o23'23"-1o35'39"LU dan 125o1'43"-125o18'13"BT dan luas wilayah daratan 304 km2.

Batas wilayah

Batas wilayah Kota Bitung adalah sebagai berikut:
Utara Kabupaten Minahasa Utara
Selatan Laut Maluku
Barat Kabupaten Minahasa Utara
Timur Laut Maluku

Topografi dan Iklim

Dari aspek topografis, sebagian besar daratan Kota Bitung berombak berbukit 45,06%, bergunung 32,73%, daratan landai 4,18% dan berombak 18,03%. Di bagian timur mulai dari pesisir pantai Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian barat, merupakan daratan yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0-150, sehingga secara fisik dapat dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri, perdagangan dan jasa.
Di bagian utara keadaan topografi semakin bergelombang dan berbukit-bukit yang merupakan kawasan pertanian, perkebunan, hutan lindung, taman margasatwa dan cagar alam. Di bagian selatan terdapat Pulau Lembeh yang keadaan tanahnya pada umumnya kasar ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan palawija. Disamping itu memiliki pesisir pantai yang indah sebagai potensi yang dapat dikembangkan menjadi daerah wisata bahari.

Penduduk

Etnis

Sebagian besar penduduk Kota Bitung berasal dari suku minahasa dan suku sangir. Terdapat juga komunitas etnis Tionghoa yang besar di Bitung. Para pendatang yang berasal dari suku Jawa dan suku Gorontalo juga banyak ditemui di Bitung, dimana sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang.

Agama

Sebagian besar penduduk Kota Bitung memeluk agama Kristen Protestan. Sebagian besar penduduk Kota Bitung yang berasal dari etnis Jawa dan Gorontalo memeluk agama Islam. Agama Katolik juga banyak dianut oleh penduduk Kota Bitung, sementara agama Konghucu dan Buddha banyak dianut oleh penduduk yang berasal dari etnis Tionghoa.

Bahasa

Bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat Kota Bitung adalah bahasa Manado sebagai bahasa ibu dari sebagian besar penduduk Kota Bitung. Bahasa Sangihe juga sering digunakan oleh masyarakat suku Sangir yang ada di Kota Bitung.

Kebudayaan

Kebudayaan yang ada di Kota Bitung banyak dipengaruhi oleh budaya Sangir dan Talaud, karena banyaknya penduduk yang berasal dari etnis Sangir. Contoh dari budaya Sangir dan Talaud yang ada di Bitung yaitu Masamper. Masamper merupakan gabungan antara nyanyian dan sedikit tarian yang berisi tentang nasihat, petuah, juga kata-kata pujian kepada Tuhan. Budaya Sangir lainnya yang bisa ditemui di Bitung yaitu Tulude/Menulude. Tulude berasal dari kata Suhude yang berarti tolak. Maksud Acara Adat menulude ialah memuji Duata/Ruata (Tuhan), mengucap syukur atas perlindungan-Nya.

Perekonomian

Perekonomian Kota Bitung di dominasi oleh sektor pertanian dan perkebunan. Namun dalam perkembangannya sektor industri ternyata berkembang cukup pesat dan mencapai nilai tertinggi. Bertumbuhnya sektor industri sangat membantu perekonomian terutama dengan meluasnya kesempatan kerja. Bertambahnya perusahaan industri juga meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama dengan terserapnya tenaga kerja sebanyak 21.755 orang, meningkat dari tahun sebelumnya yang daya serapnya mencapai 21.290 tenaga kerja. Begitu juga dari sisi kapital dimana peningkatan jumlah perusahaan ini diikuti pula dengan peningkatan nilai investasi menjadi 541,67 milyar rupiah atau meningkat 23,47 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada Tahun 2004 sektor angkutan dan komunikasi memberikan kontribusi paling besar dalam perekonomian di Kota Bitung. Industri di Kota bitung di dominasi oleh industri perikanan, galangan kapal dan industri minyak kelapa. Disamping itu juga ada industri transportasi laut, makanan, baja, industri menengah dan kecil.

Transportasi

Darat

Sarana tranportasi darat yang ada di Kota Bitung adalah mikrolet sebagai angkutan kota dan bus sebagai angkutan antar kota, seperti bus trayek Bitung-Manado, Bitung-Tondano, Bitung-Gorontalo dan Bitung-Palu.

Laut

Sebagai kota pelabuhan, sarana transportasi di Kota Bitung cukup memadai. Sarana transportasi laut di Bitung menghubungkan daerah daratan dan Pulau Lembeh. Pelabuhan Bitung terdiri dari pelabuhan penumpang dan pelabuhan peti kemas. Pelabuhan Bitung merupakan satu-satunya pelabuhan di Sulawesi Utara yang disinggahi dan dilabuhi oleh kapal-kapal penumpang antar kota-kota besar di Indonesia.

Media

Referensi

  1. ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses pada 23 Mei 2011.
  2. ^ Badan Pusat Statistik - Provinsi Sulawesi Utara

Kebudayaan Sulawesi Tengah

Sulawesi Tengah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sulawesi Tengah
—  Provinsi  —
Lambang Sulawesi Tengah
Lambang
Motto: "Maliu Ntinuvu"
(Bahasa Kaili: "Mempersatukan semua unsur dan potensi yang ada")
Peta lokasi Sulawesi Tengah
Negara  Indonesia
Hari jadi 13 April 1964 (hari jadi)
Dasar hukum UU No. 13/1964
Ibu kota Palu
Koordinat 3º 30' LS - 1º 50' LU
119º 0' - 124º 20' BT
Pemerintahan
 - Gubernur Drs. H. Longki Djanggola, M.Si.[1]
 - Wakil Gubernur H. Sudarto, SH, M.Hum
 - Sekretaris Daerah Drs. Amjad Lawasa, M.Si
 - DAU Rp 743.161.759.000 (2011)[2]
Luas
 - Total 61.841,29 km² km2
Populasi (2010)[3]
 - Total 2.633.420 jiwa
 Kepadatan Kesalahan ekspresi: Kata "jiwa" tak dikenal/km²
Demografi
 - Suku bangsa Kaili (20%), Bugis (14%), Gorontalo (18%),
 - Agama Islam (76.6%), Protestan (17.3%), Katolik (3.2%), Hindu (2.7%), Budha (0.16%)
 - Bahasa Bahasa Indonesia, Pamona, Mori, Kaili dan lain-lain
Zona waktu WITA
Kabupaten 9
Kota 1
Kecamatan 147
Lagu daerah Tananggu Kaili, Tondok Kadadingku, Rano Poso, Wita Mori
Situs web www.sulteng.go.id
Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribukotakan Palu.

Sejarah

Wilayah provinsi Sulawesi Tengah sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat.
Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain:
  1. Poso Lage di Poso
  2. Lore di Wianga
  3. Tojo di Ampana
  4. Pulau Una-una di Una-una
  5. Bungku di Bungku
  6. Mori di Kolonodale
  7. Banggai di Luwuk
  8. Parigi di Parigi
  9. Moutong di Tinombo
  10. Tawaeli di Tawaeli
  11. Banawa di Donggala
  12. Palu di Palu
  13. Sigi/Dolo di Biromaru
  14. Kulawi di Kulawi
  15. Tolitoli di Tolitoli
Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:
  1. Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
  2. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja.
  3. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau.
Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1 kota.
Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa sungai, diantaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Juga terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu.
Sulawesi Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam, suaka margasatwa dan hutan lindung yang memiliki keunikan flora dan fauna yang sekaligus menjadi obyek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis.
Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut.

Pemerintahan

Kabupaten dan Kota

Provinsi Sulawesi Tengah terdiri atas 10 kabupaten dan 1 kota, 147 kecamatan, dan 1.664 desa/ kelurahan. Provinsi ini memiliki luas daratan 61.841,29 km2 (BPS 2010), dengan penduduk 2.633.420 jiwa (SP 2010), dengan tingkat kepadatan penduduk 43 jiwa/ km2.
Adapun daftar lengkap nama kabupaten/ kota, nama ibu kota, serta jumlah kecamatan, dan desa/ kelurahan di Provinsi Sulawesi tengah hingga saat ini (September 2011) adalah sebagai berikut.

Daftar Nama Kabupaten/ Kota, Ibu Kota, Jumlah Kecamatan, dan Desa/Kelurahan

Kabupaten/Kota Ibu Kota Jumlah Kecamatan Jumlah Desa/Kelurahan
Kabupaten Banggai Luwuk 13 255
Kabupaten Banggai Kepulauan Banggai 19 174
Kabupaten Buol Buol 11 107
Kabupaten Donggala Donggala 15 143
Kabupaten Morowali Bungku 13 245
Kabupaten Parigi Moutong Parigi 20 175
Kabupaten Poso Poso 18 156
Kabupaten Sigi Sigi Biromaru 15 160
Kabupaten Tojo Unauna Ampana 9 122
Kabupaten Tolitoli Tolitoli 10 84
Kota Palu - 4 43
Provinsi Sulawesi Tengah Palu 147 1.664

Daftar Gubernur

No. Foto Nama Dari Sampai Keterangan
1.
Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning 13 April 1964 13 April 1968  
2.
Kol. Mohammad Yasin 13 April 1968 April 1973  
3.
Brigjen Albertus Maruli Tambunan April 1973 28 September 1978  
4.
Brigjen Moenafri, SH 28 September 1978 22 Oktober 1979  
5.
Kol. R. H. Eddy Djadjang Djajaatmadja 22 Oktober 1979 22 Oktober 1980  
6.
Mayjen H. Eddy Sabara November 1980 Februari 1981 Pejabat Gubernur
7.
Drs. H. Ghalib Lasahido 19 Desember 1981 Februari 1986  
8.
Abdul Aziz Lamadjido, SH Februari 1986 16 Februari 1996  
9. Paliudju.JPG Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 16 Februari 1996 20 Februari 2001 periode pertama
10. Aminuddin ponulele.jpg Prof. (Em) Drs. H. Aminuddin Ponulele, M.S. 20 Februari 2001 2006  
11.
Gumyadi 2006 24 Maret 2006 Penjabat Gubernur
12. Paliudju.JPG Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 24 Maret 2006 17 Juni 2011 periode kedua
13.
Longki Djanggola 17 Juni 2011 sekarang

Perwakilan di Jakarta

Anggota DPR dari Provinsi Sulawesi Tengah

  1. H. Syarifuddin Sudding, SH. MH. dari Partai Hati Nurani Rakyat
  2. Ir. H. Rendy Lamadjido dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
  3. Akbar Zulfakar Sipanawa, ST dari Partai Keadilan Sejahtera
  4. Murad U. Nasir dari Partai Golongan Karya
  5. Muhidin M. Said, SE. MBA. dari Partai Golongan Karya
  6. Verna Gladies Merry Inkiriwang dari Partai Demokrat

Anggota DPD dari Provinsi Sulawesi Tengah

  • Nurmawati Dewi Bantilan, SE.
  • Ahmad Syaifullah Malonda, SH.
  • Shaleh Muhammad Aljufri, MA.
  • Pdt. DR. Silviana H. Pandegirot, M.Th

Demografi

Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis atau suku, yaitu:
  1. Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
  2. Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
  3. Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
  4. Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
  5. Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
  6. Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
  7. Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
  8. Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
  9. Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
  10. Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
  11. Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
  12. Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
  13. Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
  14. Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
  15. Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
  16. Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
  17. Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
  18. Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
  19. Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Di samping 13 kelompok etnis, ada beberapa suku hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Ta' di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami wilayah Sulawesi Tengah adalah Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu dan Budha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur serta tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu.

Budaya

Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan.
Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.

Kesenian

Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.

Agama

Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduknya memeluk agama Islam, 24.51% memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu serta Budha. Islam disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera Barat dan diteruskan oleh Al Alimul Allamah Al-Habib As Sayyed Idrus bin Salim Al Djufri, seorang guru pada sekolah Alkhairaat dan juga diusulkan sebagai Pahlawan nasional. Salah seorang cucunya yang bernama Salim Assegaf Al Jufri menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial saat ini.
Agama Kristen pertama kali disebarkan di kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda, A.C Cruyt dan Adrian.

lklim

Garis khatulistiwa yang melintasi semenanjung bagian utara di Sulawesi Tengah membuat iklim daerah ini tropis. Akan tetapi berbeda dengan Jawa dan Bali serta sebagian pulau Sumatera, musim hujan di Sulawesi Tengah antara bulan April dan September sedangkan musim kemarau antara Oktober hingga Maret. Rata-rata curah hujan berkisar antara 800 sampai 3.000 milimeter per tahun yang termasuk curah hujan terendah di Indonesia.
Temperatur berkisar antara 25 sampai 31° Celsius untuk dataran dan pantai dengan tingkat kelembaban antara 71 sampai 76%. Di daerah pegunungan suhu dapat mencapai 16 sampai 22' Celsius.

Flora dan Fauna

Sulawesi merupakan zona perbatasan unik di wilayah Asia Oceania, dimana flora dan faunanya berbeda jauh dengan flora dan fauna Asia yang terbentang di Asia dengan batas Kalimantan, juga berbeda dengan flora dan fauna Oceania yang berada di Australia hingga Papua dan Pulau Timor. Garis maya yang membatasi zona ini disebut Wallace Line, sementara kekhasan flora dan faunanya disebut Wallacea, karena teori ini dikemukakan oleh Wallace seorang peneliti Inggris yang turut menemukan teori evolusi bersama Darwin. Sulawesi memiliki flora dan fauna tersendiri. Binatang khas pulau ini adalah anoa yang mirip kerbau, babirusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tersier, monyet tonkena Sulawesi, kuskus marsupial Sulawesi yang berwarna-warni yang merupakan varitas binatang berkantung serta burung maleo yang bertelur pada pasir yang panas.
Hutan Sulawesi juga memiliki ciri tersendiri, didominasi oleh kayu agatis yang berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinang-pinangan (spesies rhododenron). Variasi flora dan fauna merupakan obyek penelitian dan pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna, telah ditetapkan taman nasional dan suaka alam seperti Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Tanjung Api dan terakhir adalah Suaka Margasatwa di Bangkiriang.

Senjata Tradisional

Senjata tradisional masyarakat Sulawesi Tengah adalah Parang (Guma).

Referensi

  1. ^ "Gubernur Diminta Tingkatkan Koordinasi dengan Pusat", Media Indonesia, 19 Juni 2011. Diakses pada 19 Juni 2011.
  2. ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses pada 23 Mei 2011.
  3. ^ Sensus Penduduk 2010