Tanah, sungai dan hutan adalah 3 elemen terpenting yang memungkinkan sesorang hidup sebagai orang Dayak sejati. Selama berabad-abad 3 elemen ini telah membentuk sebuah identitas yang unik yang kita kenal sekarang sebagai orang Dayak. Orang Dayak dapat mempertahankan eksistensi dan cara hidup mereka yang khas dengan menerapkan 7 prinsip dalam menejemen sumber daya alam, yaitu :
  1. Kesinambungan
  2. Kolektivitas
  3. Keanekaragaman
  4. Subsistensi
  5. Organik
  6. Ritualitas
  7. Hukum Adat
Ke 7 prinsip ini dapat ditemui dalam sistem pengelolaan sumber daya alam pada semua sub suku Dayak. Secara konsisten orang Dayak menerapkan ke 7 prinsip ini sehingga terjadilah apa yang dicita-citakan banyak orang yakni sebuah sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Para ahli mengemukakan bahwa Pembanguna berkelanjutan harus memenuhi sekurang-kurangnya 3 syarat, petama, secara ekonomis menguntungkan, kedua, secara ekologis lestari dan ketiga, secara budaya tidak merusak. Orang Dayak sesungguhnya telah menerapkan praktek pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan selama berabad-abad.
Hampir 80% masyarakat adat (Indigenous Peoples) Dayak di Kalimantan mata pencahariannya berladang. Berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak. Tidak benar aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan merusak hutan. Istitut Dayakologi menyebutkan bahwa sistem ladang berpindah itu sebagai sistem pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system). Bukan ladan gberpindah tetapi ladang bergilir. Sebab sistem perladangan dari masyarakat Dayak ini berladang dilahan lain untuk memberi kesempatan lahan lama itu cukup tua (10-15 tahun) yang nantinya akan mereka ladangi lagi. Sistem pertanian ini merupakan jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan iatas tanah yang relatif kurang subur. Menurut Prof. Dr. Syarif Ibrhamim Alqadri dari FISIP Universitas Tanjungpura, sistem perladangan seperti ini tidak dapat dituding sebagai sumber kerusakan hutan. Daur perladangan sekitar 10-15 tahun secara teratur menyebabkan hutan subur berkelanjutan.
Aktifitas berladang tidak bisa terlepas dari hutan. Tanpa hutan, maka tidak akan ada ladang. Dalam berladang lahan yang dibutuhkan tidak luas maksimal hanya 1,5 hektar, setelah panen ladang ditanami pepohonan seperti karet, tengkawang, rotan, dan aneka jenis buah. Dalam waktu 10-15 tahun lahan tersebut telah berubah menjadi hutan kembali. Menanami ladang dengan pepohonan adalah wajib bagi setiap peladang. Kewajiban itu tidak terlepas dari adat yang dipegang oleh masyarakat Dayak. Jadi tidaklah mengherankan apabila hutan adalah eksistensi masyarakat Dayak.
Hutan bagi masyarakat Dayak merupakan dunia, sumber kehidupan. Kedudukan dan peran hutan seperti itulah yang mendorong masyarakat Dayak untuk memanfaatkan hutan di sekitar mereka dan sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri. Untuk melakukan hal itu, masyarakat Dayak dibekali oleh mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup dan pelestarian alam. Seperti penerapan 7 prinsip pengelolaan sumber daya alam yang telah disbutkan diatas.
Selain itu untuk memelihara, menjaga dan melindungi keberadaan hutan itu muncul dari perlakuan adat istiadat, peranan isntitusi adat dalam pengaturan sangsi dan denda serta mekanisme yang berkembang secara alamiah dari alam.
Hutan bagi masyarakat adat Dayak memang berperan sangat besar, ini terbukti dari sumber mata pencaharian mereka bersumber dari hutan (berladang), semua unsur kehidupannya juga bersumber dari hutan seperti bahan-bahan untuk membuat rumah panjang, semua didapat dari hutan. Seluruh bangunan berbahan kayu, tentu saja saat ini sudah banyak rumah panjang yang menggunakan seng sebagai atap rumah, paku baja sebagai pengikat dan pasak. Sebelum ada semua itu, bahan dasar pembuat rumah panjang dari kayu dan rotan. Demikian juga alat angkut, seperti sampan, lalu alat-alat rumah tangga seperti tikar, bakul dan alat-alat berperang seperti perisai, sumpitan, semua terbuat dari kayu.
Maka tidaklah mengherankan jika ada ungkapan yang mengatakan bahwa hancurnya hutan akan menghancurkan kehidupan ideologi, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat adat Dayak. Menurut Prof. DR Syamsuni Arman, seorang peneliti dari FISIP Universitas Tanjungpura, ada dua kekuatan besar yang akan mengubah drastis kebudayaan Dayak, yakni, pertama, perubahan ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga hubungan sosial yang dibina diatasnya akan mengalami perubahan juga. Kedua, berubahnya orientasi orang Dayak sehingga ketergantungan mereka terhadap hutan makin berkurang.
Masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya meeka membagi wilayah mereka (Binua) kedalam beberapa bagian, seperti masyarakat adat Dayak Simpakng yang menunjukkan kearifan mereka dalam mengelola sumber daya alam seperti :
1. Proses Perladangan
Sistem perladangan (Uma – Dayak Simpakng, Umai – Dayak Iban, Muh- Dayak Mayau, Huma – Dayak Kanayatn, Lakau- Dayak Jalai, Lako – Dayak Krio dan Pawan) pada beberapa subsuku Dayak dilaksanakan melalui proses yang sangat arif dan bijaksana.
Pada masyarakat adat Dayak Simpakng sebelum mereka membuka hutan mereka melakukan upacara adat nudok angko tautn, yakni upacara adat membuka tahun, meminta ijin pada Duwata (Tuhan), kemudian dilanjutkan dengan ngusok/nurutn tagor yaitu survey calon kawasan ladang, dan meminta ijin pada Menkedum Jembalang Tonah dan Puyaknggana (Duwata pemilik hutan). Upacara ini juga untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah, menghindari sumber mata air, pohon kayu madu, kayu damar, dan buah-buahan, serta menghindari tembawang dan tanah keramat.
Adapun tahapan perladangan masyarakat adat Dayak Simpakng adalah sebagai berikut :
  1. Musyawarah batas, maksudnya menentukan batas ladang dan meminta ijin pada pemilik diareal perladangan nantinya. Jadi harus ada mufakat dalam musyawarah tersebut.
  2. Minu (menebas), setelah mendapatkan lahan hal yang perlu dilakukan adalah penebasan. Alat yang digunakan seperti bore (parang), baliokng (beliung). Ketika melakukan penebasan tersebut lahan yang bersangkutan tiba-tiba dihinggapi oleh panginget/penyinyet (lebah madu) maka lahan itu harus segera ditinggalkan dan mencari lahan baru.
  3. Nobakng (menebang), dalam melakukan aktifitas ini ada beberapa aturan yangharus ditaati, yaitu tidak boleh mengenai usaha orang lain, jamih (bawas) orang lain, pohon madu, kebun, kampokng buah, keramat. Jika kejadiannya tidak desengaja maka yang bersangkutan harus segera memberitahukan kepada pemiliknya.
  4. Mpo ropa (masa pengeringan), masa ini berkisar antara 1,5 – 2 bulan, tergantung dari kondisi iklim. Bila panas terus menerus maka daun, ranting, dahan dan batang kayu akan cepat kering. Bila demikian maka ladang akan dibakar hangus (mosu). Hangus tidaknya sebuah ladang yang akan dibakar sangat menetukan tingkat kesuburan tanaman baik padi maupun tanaman sayur mayur lainnya.
  5. Miadakng (membuat sekat bakar), merupakan proses pembersihan disekeliling muh (ladang) yang sudah ditebang dengan tujuan agar api tidak menjalar ketempat lain.(me lada’ – Dayak Jalai, lale’ – Dayak Iban, watah – Dayak Hibun)
  6. Ngucol (membakar), setelah miadakng maka dilakukan pembakaran, namun sebelum dilakukan pembakaran semua warga yang ladang, kebun atau usaha lain yang berdekatan dengan ladang yang akan dibakar harus diberitahukan terlebih dahulu. Membakar juga harus berlawanan dengan arah angin, tidak boleh membakar dimusim angin kencang dan panas terik, dan biasanya pembakaran dimulai pukul 14.00 wib.
  7. Ngarorak, jika di hutan rimba setelah pembakaran selama minimal 3 hari tidak boleh keladang karena masih ada bara yang menyala. Ketika api sudah padam maka kayu yang tidak ahbis terbakar disingkirkan kegiatan inilah yang dinamakan ngarorak. Tumpukan kayu bekas bakaran itu namanya panok. Panok itu akan dibakar sebelum pulang pada pukul 18.00 wib. Areal bekas membakar panok itu akan subur untuk menanam cabe, jahe, kunyit, terong dan sebagainya.
  8. Tamurok (menanam padi), kegiatan penanaman padi ini biasanya dilakukan 2 orang seorang laki-laki yang membuat lobang diikuti dibelakangnya, seorang wanita, yang melakukan penanaman benih padi. Alat yang digunakan adalah tugal yang panjangnya 2,5 meter dengan diameter 3 cm ujungnya diruncingkan agak tumpul.
  9. Miobuh (merumput), sekitar 1,5 bulan setelah padi ditanam dilakukan pembersihan rumput diladang, tujuannya agar rumput tidak mengganggu pertumbuhan padi.
  10. Biti ampar kuning podi, setelah merumpun kegiatan berladang berhenti sampai masa panen tiba, masa 3 minggu- 1bulan digunakan untuk perbaikan jalan ke pondok, membuat tempat pemberhentian (mpadas/ mpalakng) sebelum padi di masukkan kedalam jurokng (lumbung). Mereka juga kadang menoreh karet untuk kemudian dijual kepasar.
  11. Ngotump (panen), padi yang dipanen ini harus benar-benar masak, jika belum maka padi itu akan cepat busuk jika disimpan, padi yang pertama masak diambil dan setiap anggota keluarga harus mencicipi berasnya. Sebelum panen ada upacara adat yang bernama mota dan ngamaru. Mota adalah upacara yang menyatakan bahwa panen akan dimulai dan ngamaru upacara pemberitahuan bahwa padi hasil panen itu akan dimakan oleh anggota keluarga.
  12. Gawe Tautn (upacara syukuran), upacara syukuranyang melibatkan seluruh warga di kampung yang bersangkutan. Didalamnya terdapat makan-makan bergendang (tarian), minum tuak, menari dan sebagainyadan upacara ini dilakukan di rumah bentang atau rumah panjang.
  13. Bacucok batonam (bersosok tanam), ladang yang baru dipanen padinya dinamakan jamih atau bawas. Jamih ini dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
i. Jamih mongut (bawas muda dibawah 5 tahun)
ii. Jamih malakng (bawas yang subur berumur sampai 7 tahun)
iii. Jamih muntuh (bawas tua yang berumur 7-25 tahun)
Jamih bisa ditanami tanaman keras seperti karet, pohon madu, kayu belian, keladan, dan lain-lain. Sedangkan buah-buahan seperti diatn (durian), ramut (rambutan), duku, rosat (langsat), galimikng (belimbing), pakawe (sejenis durian), kunyet, sore, pinang, nyior, sireh, tuba, itu semua ditanam disekitar pondok (dango).
2. Pengelolaan Kebotn gotah buah janah
Kearifan masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya, yaitu menanam lahan bekas berladang dengan tanaman keras. Bibitnya telah disiapkan 6 bulan – 1 tahun sebelum panen berakhir. Bibit ini diambil dari lahan lain, ketika lahan ditinggalkan selama 7-10 tahun maka sudah siap dipanen.
3. Pengelolaan pohon madu
Pohon madu yang dimaksud adalah pohon yang biasa digunakan oleh lebah untuk membuat sarang. Pohon madu ini termasuk sebagai keramat pedagi (benda keramat)
4. Pengelolaan kawasan hutan cadangan
Kawasan hutan ini sangat dikeramatkan, ini merupakan hutan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan, termasuk sebagai tonah colap tarutn pusaka. Ciri kawasan jenis ini adlaah bukit atau gunung yang didalamnya terdapat banyak tanaman obat, tanaman langka, banyak binatang, sungai yang masih banyak ikan, dan terdapat aneka bahan bangunan, kawasan tersebut telah ditetapkan dan diwariskan secara turun temurun dan pengelolaannya diatur dalam hukum adat. Biasanya kayu boleh diambil untuk keperluan hidup bukan untuk diperjualbelikan.
5. Pengelolaan keramat
Masyarakat adat Dayak selain memiliki wilayah keramat didaratan juga di lubuk sungai. Temapt seperti ini dipelihara, dilindungi dan dihormati oleh warga masyarakat. Didaerah tersebut tidak boleh ada kegiatan apapun kecuali upacara adat yang dilakukan 3 kali dalam setahun.
6. Pengelolaan Tembawang
Kawasan ini adalah bekas lahan yang telah ditinggalkan selama 5-10 tahun ditandai dengan banyak tanaman keras dan juga beberapa bekas perabot rumah tangga. Tembawang dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu :
  1. Tembawang rumah/ kambokng, terdapat dirumah
  2. Tembawang dango, terdapat disekitar pondok ladang 2-5 tahun yang lalu.
  3. Tembawang dukoh, terdapat disekitar pondok semi permanen yang pernah didiami antara 5-10 tahun.
  4. Tembawang bagant, terdapat di rimba, sempat didiami selama 3 minggu sampai sebulan kegiatan berburu.
7. Pengelolaan Jamih
Jamih adalah lahan bekas ladang, dan biasanya masih dirawat oleh pemiliknya karena akan diladangi lagi sekitar puluhan tahun lagi. Antara jamih dengan jamih lainnya ada batasan (bat) biasanya batasan ini berupa sungai, kayu yang tahan lama seperti kayu belian, bambu hidup, tanaman buah seperti durian atau angkabakng (tengkawang)
8. Pengelolaan are sungai
Air sungai merupakan sumber kehidupan lain bagi masyarakat adat Dayak. Agar air sungai dapat digunakan untuk masyarakat maka masyarakat Dayak tidak pernah berladang di tepi sungai, sehingga kayu yang berada di pinggir aliran sungai akan tetap ada yang berguna juga untuk pelindung dan penangkal erosi. Terkadang masyarakat Dayak melakukan ritual untuk menuba di aliran sungai tetapi meuba itu pun tidak boleh tiap hari. Ada upacara adat yang harus dilakukan sebelum melakukan penubaan
9. Mokatn tonah dan Nungkat Gumi
tujuan pelaksanaan adat ini adalah memulihkan kembali hutan kawassan adat yang dikelola oelh warga masyarakat adat. Upacara Nungkat Gumi dilakukan setiap 7 tahun sekali selama 7 hari 7 malam. Setelah upacara itu masyarakat melakukan pantakng ponti, dan selama masa pantangan itu tidak diperbolehkan memetik tanaman (balayo), me bia ikatn dari amun toruh tanyokng ka soju, toruh tanyokng ka soba (tidak boleh mengambil ikan tujuh tanjng kehilir dan kehulu dari sungai tempat mandi mereka), memotong atau makan hewan potongan, nyingor (bersiul), berpesta dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas maka terlihat bahwa Masyarakat Adat Dayak mempunyai kearifan terhadap lingkungan yang sangat tinggi, walaupun terkadang mereka di tuding sebagai aktor perusak lingkungan karena mereka melakukan sistem pertanian dengan sistem ladang berpindah.
Bentuk partisipasi masyarakat adat adalah adanya usaha memetakan wilayah mereka, terutama yang berkaitan dengan wilayah adat mereka. Pemetaan partisipatif ini dilakukan mengingat masyarakat adat Dayak hidup sepenuhnya tergantung dari Hutan. Sehingga mereka merasa perlu untuk menata ulang dan menginventarisasi ulang kepemilikan sumber daya alam yang mereka miliki. Pemetaan wilayah adalah suatu kegiatan memetakan wilayah adat yang dilakukan oleh masyarakat adat. Selain memetakan peruntukan lahan yang disesuaikan dengan fungsinya, juga memetakan sumber daya alam (potensi) lainnya seperti hewan dan binatang yang terdapat di dalam hutan. Setelah dilakukan pemetaan tersebut maka dibeberapa daerah dilakukan pembentukan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Pada SHK ini terdapat dua konsep yang menjadi satu kesatuan. Yakni „sistem hutan” dan „kerakyatan”. „Sistem hutan” artinya bahwa hutan dalam konsep SHK bukan sekedar tegakan kayu melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan „wilayah hukum adat” yang elemen-elemennya terdiri dari kawasan kambokng (kampung/ pemukiman), muh, uma, mih, lakau, lako (ladang), kebont (kebun), rimma (rimba), tamakng (tembawang), karamat (keramat/tempat suci), kubor atau tamak (perkuburan), sunge (sungai), dano (danau). Dalam sistem hutan ini tedapat pembagian peruntukan lahan yang disesuaikan dengan fungsinya. Sistem hutan berfungsi sebagai penopang sistem kehidupan setempat dan sumber pengembangan kebudayaan setempat. Sebagai penopang sistem kehidupan, formasi sistem hutan alam memberikan prasyarat bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat setempat dengan menyediakan air, menjaga kesuburan tanah, sumber makanan, dan lain-lain. Sistem hutan ini juga berfungsi sebagai sumber pengembangan kebudayaan, masyarakat setempat dengan kemampuan budi dan nalarnya mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, norma kepercayaan mereka pada setiap model pengelolaan hutan kawasan adat.
Kata „kerakyatan” menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas-komunitas lokal. Karena itu tujuan pengelolaan hutan adalah memberikan manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya pada komunitas-komunitas lokal, dengan demikian akan terwujud pengelolaan hutan yang adil dan lestari.
Suatu kawasan layak dinamakan sistem hutan kerakyatan jika memenuhi 9 karakteristik. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Aktor utama adalah rakyat (masyarakat lokal)
  2. Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat.
  3. Memiliki penguasaan teritorial yang jelas.
  4. Interaksi antara masyarakat adat dengan lingkungannya sangat erat dan langsung. Ekosistem menjadi bagian yang penting dari sistem kehidupan rakyat setempat
  5. Pengetahuan lokal menempati posisi yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan tradisi sitem pengelolaan hutan.
  6. Teknologi lokal adalah proses adaptasi yang dikuasai rakyat.
  7. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip-prinsip kelestarian (sustainability)
  8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil serta profesional.
  9. Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya; dalam jenis dan genetis; pola budidaya dan pemanfaatan sumber daya; sistem ekonomidan lain-lain.
Aktor dari sistem hutan kerakyatan ini adalah masyarakat adat, karena mereka memiliki budaya, pengalaman dan pengetahuan sejak turun temurun dalam mengelola sumber daya alam hutan mereka. Hal ini bisa dilihat dari tahapan-tahapan yang mereka lakukan sebelum membuka ladang, kepercayaan mereka akan tanda-tanda alam serta penggunaan alat dalam mengelola sumber daya alam yang semuanya tidak merusak alam disekitar mereka.
Daftar Pustaka
  1. Andasputra, Nico, et.al. 2001. Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosial Dan Resiliensi Ekologis di Kalimantan Barat, ed.1. Pontianak: CV Mitra Kasih.
  2. Andasputra, Nico, 1999. Perlawanan Rakyat Di Hutan Kalimantan: Kumpulan Berita Tentang Perlawanan Masyarakat Adat Terhadap HPH, HTI dan Pertambangan. ed.1, Pontianak: CV Mitra Kasih.
  3. Atok, Kristianus, et.al.1998. Peran Masyarakat Adat Dalam Tata Ruang, ed.1., Pontianak: CV Mitra Kasih.
  4. Djuweng, Stepanus. 1997. Indigenous People and Land-Use Policy in Indonesia: A Dayak Showcase. ed.1. Pontianak: CV Mitra Kasih.
  5. Florus, Paulus, Edi Petebang. 1999. Panen Bencana Kelapa Sawit. ed.1. Pontianak: CV Mitra Kasih.
  6. Kibas, Lukas. 2000.Menelusuri Bonua Titipan Anak Cucu: Bidoih Mayao. cet.1. Pontianak: CV Mitra Kasih.
  7. Nickel, James W. 1996. Hak Asasi Manusia : Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
  8. Pilin, Matheus, Edi Petebang.1999.Hutan: Darah dan Jiwa Dayak. ed.1. Pontianak: CV. Mitra Kasih.